Sabtu, 12 April 2014

BHAGAVAD GITA - ARJUNA WISADA

MENINJAU TENTARA-TENTARA DI MEDAN PERANG KURUKŞETRA. Prb.Pād
ARJUNA WIŞĀDA YOGA (G.Pudja; Maswinara)
GUNDAHNYA SI ARJUNA (TL.Waswani)
TRADISI PEPERANGAN

1.1
dhŗitarāşţra uvāca   
dharma-kşetre  kuru-kşetre    samavetā  yuyutsavah
māmakāh  pāņdavāś caiva    kim  akurvata  sañjaya
dharma-kşetre—di tempat suci; kuru-kşetre—di tempat bernama Kurukşetra; samavetāh—sudah berkumpul;  yuyutsavah—dengan keinginan untuk bertempur; māmakāh—pihakku (putra-putraku);  pāņdavāś—putra-putra  Paņdu;  ca—dan; eva—pasti;  kim—apa;  akurvata—dilakukan mereka; Sañjaya—wahai Sañjaya?
Dŗitarāşţra berkata: Wahai Sañjaya, sesudah putra-putraku dan putra-Pāņdu berkumpul di tempat suci Kurukşetra dengan keinginan untuk bertempur, apa yang dilakukan oleh mereka? (Prabhupāda).
dharma-kşetre—di padang suci, di medan dharma.  Kşetre (Bali : setra)=sebuah padang  rumput luas, lapangan luas tempat gembala. Dharma= keimanan; hukum; agama. kuru-kşetre—di padang kuru;  samaveta—berkumpul.  yuyutsavah—sama-sama ingin perang, sama-sama siap tempur. māmakāh—(māma+kāh) māma=saya punya, yaitu pasukan saya (Kurawa) kāh=kata tanya “apakah”; pāņdavāś caiva— (pandawah+ca+iwa)=Dan (pasukan) si Pandawa. kim—apa; akurvata— (mereka) akan lakukan.
Dŗitarāşţra berkata: Apakah yang mereka akan lakukan, pasukanku dan pasukan Paņdawa di medan dharma, Kurukşetra, yang siap tempur, O Sañjaya? (Gde Pudja).
Dŗitarāşţra berkatan: Di medan dharma, di padang Kurukşetra, ketika putra-putraku dan putra-putra Paņdu telah berkumpul bersama siap untuk bertempur, apakah yang mereka lakukan, wahai Sañjaya?  (Maswinara).
Berkatalah Dŗitarāşţra: Di dataran nan suci ini (dharmakşetra), tanah kebenaran, tanahnya para Kuru, berkumpullah putra-putraku beserta putra-putra Sang Paņdu (Ayahanda Paņdawa) bersiap-siap untuk suatu yudha. Apa saja yang sedeng mereka lakukan beritakanlah kepadaku, wahai Sañjaya? (TL.Wasvani).
Keterangan :   Kurukşetra atau dharmakşetra, terletak di Hastinapura di utara kota New Delhi yang modern dewasa ini. Tempat ini di masa yang silam dianggap suci karena sering dipergunakan oleh para resi, kshatrya untuk bertapa, bahkan kabarnya juga para dewa-dewa.
    Salah satu kata pertama yang disebut di sloka pembukaan Bhagavad Gita di atas ini adalah kata dharma, inilah inti sebenarnya yang harus diserapkan oleh sidang pembaca, karena inilah salah satu pesan sesungguhnya Bhagavad Gita “Bangunanlah jiwa dan ragamu dengan dan untuk dharma”. Kata  dharma berasal dari kata “Dhru” yang berarti “pegang”. Dharma adalah kekuatan yang memegang hidup ini, dharma tidak terdapat dalam ucapan-ucapan manis, tetapi adalah kesaktian di dalam jiwa kita yang merupakan inti dari kehidupan kita.
    Dan Kşetra berarti padang, ladang atau medan. Seyogyanyalah kita bertanya pada pribadi kita masing-masing, “apa sajakah yang selama ini yang telah kutanam dan kupetik dalam hidupku ini, dharma ataukah adharma?” Bagi yang menanam dharma maka hidupnya akan menghasilkan karunia Ilahi, dan yang telah melakukan adharma maka kita dapat bercermin kepada para Kaurawa.
    “Bersiap-siap untuk suatu yudha”, Kaurawa menginginkan perang, sedangkan para Pandawa sebenarnya menginginkan perdamaian. Sang Kŗşņa yang Maha Bijaksana berusaha agar perdamaian terwujud, tetapi para Kaurawa selalu menolaknya, maka untuk mempertahankan diri dan menegakkan dharma/kebenaran terpaksalah para Pandawa berperang walaupun dengan laskar yang sedikit. Tetapi yang sedikit ini akhirnya akan menang karena mereka berjalan tegak di jalan kebenaran.
    Dalam ucapan Dŗitarāşţra yang mengatakan diatas “tanahnya para Kuru” dan juga “putra-putraku”, tersirat adanya rasa egois atau ahankara (angkara) yang besar, inilah sebenarnya sumber dari segala tragedi dalam hidup ini. Berkatalah Sañjaya :

1.2
sañjaya  uvāca 
dŗşţvā  tu  pāņdavānīkam    vyūdham  duryodhanas  tadā
ācāryam  upasańgamya    rājā  vacanam  abravīt
dŗşţvā—sesudah melihat;  tu—tetapi;  pāņdava-anīkam—tentara para pāņdava; vyūdham—tersusun dalam barisan-barisan tentara;   duryodhanah—Raja Duryodhana;  tadā—pada waktu itu; ācāryam—guru; upasańgamya—mendekati; rājā—sang raja; vacanam—kata-kata; abravīt—berkata.
Sañjaya berkata: Wahai Baginda Raja, sesudah meninjau tentara yang telah disusun dalam barisan-barisan oleh para putra Pāņdu, Raja Duryodhana mendekati gurunya dan berkata sebagai berikut: (Prabhupāda).
dŗşţvā—sesudah melihat;  tu—sesungguhnya;  pāņdava-anīkam—pasukan pāņdava; vyūdham—berbaris teratur; tadā—kemudian; ācārya—guru besar dalam berbagai bidang ilmu (agama, sosial, politik, militer) Drona sebagai Brahmawidya, Bhisma dikenal sebagai Pitrayana Jñana; -dekat; upasańgamya—menghadap; rājā—sang raja; vacanam—kata-kata; abravīt—mengatakan.
Sañjaya berkata: Setelah melihat pasukan Pāņdawa siap berbaris teratur, Raja Duryodhana datang mendekati gurunya, bersabda kata-kata berikut. (Gde Pudja).
Sañjaya berkata: Kemudian setelah menyaksikan pasukan para Pāņdawa yang siap siaga dalam formasi tempur Duryodhana, menghampiri gurunya ācārya agung Droņa seraya berkata: (Maswinara).
Kemudian pangeran Duryodana, setelah melihat barisan laskar para  Pandawa yang teratur rapi, menghampiri gurunya dan berkata: (TL.Wasvani).
Ket. Yang dimaksud guru di sini adalah Dronacharya, guru sang Kaurawa dan Pandawa. Di Baratahudha ini Drona mendukung Kaurawa sampai akhir hayatnya.

1.3
paśyaitām  pāņdu-putrāņām  ācārya  mahatīm  camūm
vyūdhām  drupada-putreņa  tava  śişyeņa  dhūmatā
paśya—lihatlah; etām—ini;  pāņdu-putrāņām—milik para putra Pāņdu; ācārya—wahai guru;   mahatīm—besar;  camūm—kekuatan tentara; vyūdhām—tersusun;  drupada-putreņa—oleh putra Drupada;  tava—milik anda;  śişyeņa—murid;   dhī-matā—cerdas sekali.
Wahai Guruku, lihatlah tentara besar para putra Pāņdu, yang disusun dengan ahli sekali oleh putra Drupada, murid anda yang cerdas. (Prabhupāda).
paśyai’tām-lihatlah ini; pāņdu-putrāņām—kepada putra-putra Pāņdu; mahatīm camūm—pasukan yang amat besar; vyūdhām—membariskan pasukannya, bersiap-siap untuk perang;  drupada-putreņa—dipimpin oleh putra Drupada;  tava  śişyeņa—oleh sisyamu;   dhīmatā—akhli, bijaksana.
lihatlah, itu pasukan Pāņdawa yang amat besar dipimpin oleh putra Pāņdu dan putra Drupada, muridmu sendiri yang cerdas bijaksana, O dang Acarya. (Gde Pudja).
Saksikanlah, wahai guruku; pasukan putra-putra Pāņdu yang gagah perkasa itu. yang dipimpin oleh murid paduka yang bijaksana, putra Drupada. (Maswinara).
Lihatlah wahai guruku, barisan laskar para Pandawa yang telah siap untuk berperang, mereka semua dipimpin oleh merid Sang Guru yang bijaksana, yaitu putra Sang Drupada. (TL.Wasvani).
Ket. Yang dimaksud “murid yang bijaksana’ di sini adalah Dhristadyumna. Ia adalah putra Raja Drupada dari kerajaan Panchala. Dia diangkat para Pandawa menjadi panglima perang untuk pihak Pandawa; Dhristadyumna sebenarnya masih merupakan saudara ipar para Pandawa. Dalam perang ini Resi Dorna akan membunuh Raja Drupada, kemudian akan membunuh Drona. Disusul putra Drona yang disebut Asvatama kemudian membunuh Dhristadyumna. Inilah lingkaran karma.


1.4
atra  śūrā  maheśv-āsā    bhīmārjuna-samā  yudhi
yuyudhāno  virāţaś  ca    drupadaś  ca  mahā-rathah
atra—di sini;  śūrāh—pahlawan-pahlawan;  maha-iśu-āsāh—pemanah yang perkasa; bhīmārjuna—kepada Bhīma dan Arjuna;   samāh—sejajar;  yudhi—dalam pertempuran; yuyudhāna—Yuyudhāna;  virāţah—Virāta;  ca—juga;  drupadah—Drupada;  ca—juga;  mahā-rathah—kesatria yang hebat.
Di sini dalam tentara ada banyak pahlawan pemanah yang sehebat Bhīma dan Arjuna dalam pertempuran: kesatria-kesatria yang hebat seperti Yuyudhāna, Virāta dan Drupada. (Prabhupāda).
atra—ini,di sini;  śūrā—pahlawan, pemberani;  maheśwāsā—nama-nama besar; yang tangguh; bhīmārjuna—Bhīma + Arjuna;   samā—sebanding;  yudhi—dalam pertempuran; mahā-rathah—akhli kereta perang.
Inilah (nama-nama) para pahlawan, pemanah-pemanah yang tangguh, sebanding dengan Bhīma dan Arjuna, (yaitu) Yuyudhāna, Virāta dan Drupada, semuanya panglima kereta perang. (Gde Pudja).

Disana ada pula pahlawan pemanah tangguh yang sebanding dengan Bhīma dan Arjuna,    dalam peperangan, seperti Virāţa, Yuyu-dhāna dan Drupada, yang semuanya merupakan perwira-perwira gagah perkasa. (Maswinara).
Di sinilah para pahlawan-pahlawan besar berkumpul, dari Bima, Arjuna ke yang tak kalah kehebatannya yaitu yuyudana, Virata dan Drupada. (TL.Wasvani).

1.5
dŗşţaketuś  cekitānah    kāśirājaś  ca  vīryavān
purujit  kuntibhojaś ca    śaibyaś ca  nara-puńgavah
dŗşţaketuh—Dŗşţaketu;  cekitānah—Cekitāna;   kāśirājah—Kāśirāja; ca—juga;  vīrya-vān—perkasa sekali;  purujit—Purujit;  kuntibhojah—Kuntibhoja; ca—dan;  śaibyah—Śaibya; ca—dan;  nara-puńgavah—pahlawan dalam masyarakat manusia.
Ada juga kesatria-kesatria yang hebat, perkasa dan memiliki sifat kepahlawanan seperti Dŗşţaketu, Cekitāna, Kāśirāja, Purujit,  Kuntibhoja dan Śaibya. (Prabhupāda).
Dŗşţaketu, raja Cedi, ibu kota kerjaannya=Suktamati; Cekitāna, sekutu pandawa yang memerintah di Banares (kasi); Keterlibatannya hanya karena jengkel terhadap Bhisma; Kāśirāja ini berputra tiga orang: Ambā, Ambalikā dan  Cekitāna; vīryavān—pemberani; Purujit dan Kuntibhoja adalah dua bersaudara; Kuntibhoja tidak punya keturunan, mengangkat anak perempuan Pritha, terkenal dengan nama Kunti, ibu Pāņdawa; Śaibya raja suku Sibi (Bhs.Yunani Sibae), bangsa pemberani; nara-puńgavah—pemimpin  dari pada manusia.
Dŗşţaketu, Cekitāna, dan raja Kāśi yang pemberani, Purujit,  Kuntibhoja dan Śaibya, yaitu banteng diantara manusia. (Gde Pudja).
Juga terdapat Dhŗşţaketu, Cekitāna, dan raja negeri Kāśi yang gagah perkasa; Purujit,  Kuntibhoja dan Śaibya, sebagai manusia-manusia pilihan yang perkasa. (Maswinara).
Juga Dŗşţaketu, Chekitana dan raja besar dari Kashi, Purujit, Kuntiboja dan Shaibya, semuanya pendekar-pendekar nan sakti wirawan. (TL.Wasvani).

1.6
yudhāmanyuś ca  vikrānta    uttamaujāś ca  vīryavān
saubhadro  draupadeyāś ca     sarva  eva  mahā-rathāh
yudhāmanyuh—Yudhāmanyu;  ca—dan; vikrānta—agung;  uttamaujāh—Uttamaujā; ca—dan;  vīrya-vān—perkasa sekali; saubhadrah—putra Saubhadrā;  draupadeyāh—putra-putra drupadi; ca—dan;     sarva—semua;  eva—pasti;  mahā-rathāh—kesatria-kesatria hebat yang akhli bertempur dengan menggunakan kereta.
AdaYudhāmanyu yang agung, Uttamaujā yang perkasa sekali, putra Subhadra dan putra-putra Draupadi. Semua kesatria itu hebat sekali bertempur dengan menggunakan kereta. (Prabhupāda).
Yudhāmanyu dan Uttamaujā adalah dua pemimpin penting dalam pasukan Pāņdawa karena sifat pemberani; vikrānta—pemberani;  vīryavān—pemberani; saubhadrah—putra Saubhadrā (Abhimanyu);  draupadeyāh—putra drupadi (Pratiwindhya, Sūtasoma, Srutakirti, Satānika dan Srutasena).
Yudhāmanyu yang pemberani, Uttamaujā yang gagah berani, putra-putra Subhadra dan Draupadi. Semua sesungguhnya akhli perang kereta. (Gde Pudja).
Juga ada Yudhāmanyu yang kuat kekar; Uttamaujā yang gagah berani, serta putra-putra Subhadra dan Draupadi; yang semuanya merupakan pahlawan-kereta yang tangguh. Maswinara
Juga yang gagah berani yaitu, Yudhamanyu dan Uttamanuja, Saubadra dan putra-putra Draupadi. (TL.Wasvani).
Keterangan :
•    Bima: Putra kedua dari Pandu, yang kedua dari para Pandawa.
•    Arjuna: Yang ketiga dari Pandawa bersaudara, dan yang paling dikasihi Sang Kreshna.
•    Yuyudana: Disebut juga Setyaki, pahlawan yang gagah perkasa.
•    Virata: Raja dari Matsya-desha, seorang raja nan arif-bijaksana. Selama pengasingan para Pandawa di hutan (13 tahun lamanya), tahun terakhir pengasingan ini, para Pandawa menyamar dan bersembunyi di istana Raja Virata. Alkisah putri sang raja kemudian dikawinkan dengan Abimanyu, putra Arjuna.
•    Dhristaketu: Putra Sishupala, raja dari Chedi-desha.
•    Chekitana: Salah satu pendekar yang gagah berani yang memimpin salah satu dari tujuh divisi laskar Pandawa.
•    Purujit dan Kuntibhoja: Saudara-saudara laki dari ibu Kunti, ibunya sang Pandawa.
•    Shaibya: Raja suku Sibi. Duryadana menyebut sebagai banteng diantara manusia, karena ia adalah seorang pendekar sakti yang bertenaga luar biasa.
•    Yudhamanyu dan Uttamanuja: Pangeran-pangeran dari Panchala, juga merupakan pendekar-pendekar nan sakti-wirawan. Keduanya dibunuh oleh Ashvatama sewaktu sedang tidur.
•    Saubhadra: Putra Arjuna dan Subadra (adik sang Kreshna). Ia dikenal dengan nama Abimanyu. Dalam perang ini ia memperlihatkan kepahlawannya yang luar biasa.
•    Putra-putra Draupadi: Mereka berjumlah lima orang, yaitu Prativindhya, Srutasoma, Srutakirtti, Satanika dan Srutukarman.
Pendekar-pendekar di atas semuanya kalau bekerja untuk perdamaian niscaya akan menghasilkan suatu suasana damai bagi semuanya, tetap rupanya takdir menentukan yang lain, dan itulah misteri Ilahi yang tak akan mungkin terjangkau oleh kita manusia ini.

1.7
asmākam  tu  viśişţā  ye     tān  nibodha  dvijottama
nāyakā  mama  sainyasya     samjñatham  tān  bravīmi  te
asmākam—milik kita; tu—tetapi; viśişţāh—perkasa luar biasa;  ye—yang;  tān—mereka; nibodha—perhatikanlah, maklumilah;  dvija-uttama—Orang yang paling baik diantara para Brāhmaņa; nāyakāh—komandan-komandan;  mama—milik saya;  sainyasya—milik bala tentara;     samjñā-artham—untuk keterangan;  tān-mereka;  bravīmi—saya sedang bicara;  te—kepada anda.
Tetapi perkenankanlah saya menyampaikan keterangan kepada anda tentang komandan-komandan yang mempunyai kwalifikasi luar biasa untuk meminpin bala tentara saya, wahai brahmana yang paling baik. (Prabhupāda).
asmākam—kita punya; tu—demikian juga; viśişţā ya—Tuankulah yang paling utama;  tān  nibodha—ketahuilah mereka itu; dvijottama—Pendeta terkemuka; nāyakā—pemimpin (plural) asal dari akar kata Ni (Naya) membimbing, membawa;  mama—saya punya;  sainyasya— (Sena) angkatan;     samjñārtham—itu yang boleh engkau ketahui;    tān—mereka itu;    bravīm—saya sebutkan;  te—kepadamu.
Ketahuilah, mereka (sebagai) pemimpin-pemimpin pasukan kami; untuk diketahui saya sebutkan mereka, yang pertama adalah Engkau pendeta utama. (Gde Pudja).
Ketahui pulalah, wahai yang terbaik diantara para dwijati (kaum pendeta), semua pasukan kita yang merupakan pimpinan kenamaan, yang akan kusebutkan namanya guna bahan informasi paduka guru. (Maswinara).
Ketahuilah juga, oh Engkau yang teragung di antara yang dilahirkan dua kali, pemimpin-pemimpin dan pendekar-pendekar di pihak kami, akan kusebutkan mereka demi Engkau yang kuhormati. (TL.Wasvani).
Ket. “Yang teragung di antara yang dilahirkan dua kali” adalah ungkapan yang ditujukan kepada Resi Drona, karena sang resi adalah seorang brahmana dan biasanya kaum brahmana dianggap lahir dua kali. Maksudnya: pertama seorang brahmana harus lahir di dunia fana ini, tetapi di dunia ini ia harus menjalani kehidupan kebatinan demi Sang Maha Esa, jadi “lahir” lagi dengan meninggalkan semua nafsu keduniawian demi pengabdiannya ke masyarakat dan Tuhan Yang Maha Esa. Inilah tugas seorang Brahmana seharusnya.

1.8
bhavān  bhīşmaś ca  karņaś ca     kŗpaś ca  samitim-jayah
aşvatthāmā  vikarņaś ca     saumadattis  tathaiva ca
bhavān—Prabhu sendiri;  bhīşmah—Kakek Bhīşma; ca—juga; karņah—Karņa; ca—dan; kŗpah—Kripa; ca—dan;  samitim-jayah—selalu menang dalam peperangan; aşvatthāmā—Aşvatthāmā; vikarņah—Vikarņa; ca-beserta; saumadattih—putra Somadatta; tathā—beserta; eva—pasti; ca—juga.
Ada tokoh-tokoh seperti Prabhu sendiri, Bhīşma, Karņa, Kŗpa, Aśvatthāmā, Vikarņa dan putra Somadatta bernama Bhūuriśravā, yang selalu menang dalam perang. (Prabhupāda).
bhavān—sebutan sebagai kehormatan untuk orang ketiga; nama-nama yang disebutkan antara Bhīşma, Karņa, Kripa, samitimjayah—yang sama jayanya dalam peperangan; nama-nama lainnya Aşvatthāmā, Vikarņa, putra Somadatta.
Yang terhormat, Bhīşma, Karņa, kemudian Kŗpa, yang sama-sama jaya dalam perang, demikian juga Aśvatthāmā, Vikarņa dan Somadattaputra. (Gde Pudja).
Paduka sendiri, guruku; lalu Bhīşma, Karņa dan Kŗpācārya, yang selalu jaya dalam pertempuran; demikian pula Aśvatthāmā, Vikarņa dan putra-putra dari raja Somadatta. (Maswinara).
Pertama-tama Dikau yang Drono, kemudian Bhisma, Karna dan Kripa yang tak terkalahkan dalam setiap yudha, juga Ashvatama, Vihana dan putra Somadatta. (TL.Wasvani).

1.9
anye ca  bahavah  śūrā     mad-arthe  tyakta-jīvitāh  
nānā-śastra-praharanāh     sarve  yuddha-viśāradāh
anye—lain-lain; ca—juga;  bahavah—dalam jumlah besar;  śūrāh—pahlawan-pahlawan;  mad-arthe—demi kepentingan saya; tyakta-jīvitāh—bersedia mempertaruhkan nyawa; nānā—banyak; śastra—senjata-senjata;  praharanāh—dilengkapi dengan;  sarve—semuanya;  yuddha-viśāradā—berpengalaman di bidang ilmu militer.
Ada banyak pahlawan lain yang bersedia mengorbankan nyawanya demi kepentingan saya. Semuanya dilengkapi dengan pelbagai jenis senjata, dan semuanya berpengalaman di bidang ilmu militer. (Prabhupāda).
anye—lain-lain; ca—juga;  bahavah—banyak;  madarthe—demi kepentingan saya(yaitu untuk Dŗitrarāşţra); tyaktajīvitāh—menyerahkan hidupnya; nānā-śastra—bermacam-macam senjata;  praharanāh—bersenjatakan; sarva—semua;  yuddha-viśāradāh—akhli dalam peperangan (akhli strategi, taktik dan penggunaan senjata).
Dan perwira lainnya yang sedia mempertaruhkan jiwa mereka untuk saya, sama-sama bersenjata lengkap aneka warna. Semua akhli dalam peperangan. (Gde Pudja).
 Dan masih banyak lagi para pahlawan terlatih yang tangguh dalam peperangan, yang diperlengkapi dengan segala macam persenjataan dan siap mempertaruhkan nyawa mereka demi kepentinganku. (Maswinara).
Dan banyak lagi pahlawan-pahlawan lainnya yang bersedia mengorbankan jiwa-raga mereka, bersenjatakan berbagai senjata-senjata yang sakti, kesemuanya ahli-ahli perang yang diada taranya. (TL.Wasvani).
Keterangan :
•    Bhisma : Pendekar tua yang ditunjuk menjadi panglima tertinggi di pihak Kaurawa, yang sebenarnya masih “kakek” para Kaurawa dan Pandawa, Bhismalah sebenarnya yang membesarkan raja Dhristarashtra dan para Kaurawa-Pandawa. Beliau amat mencintai para Pandawa, tetapi dalam perang ini beliau berpihak kepada para Kaurawa karena berhutang budi dan setia kepada Kaurawa sesuai dengan janjinya. Tetapi Bhisma pernah bersumpah dihadapan Duryodana tak akan pernah membunuh para Pandawa; dalam perang Baratayudha ini Bhisma membuktikan kehebatannya sampai akhir hayatnya.
•    Karna : Saudara tiri para Pandawa, adalah teman akrab Duryodana. Oleh Duryodana, Karna diangkat menjadi raja Angga (sekarang disebut daerah Bengal di India). Sebenarnya Karna adalah seorang kshatrya maha-sakti yang penuh dengan kasih-sayang kepada sesamanya, tetapi terika sumpah setianya kepada Duryodana maka ia memilih pihak Kaurawa. Setelah matinya Drona, Karna diangkat menjadi panglima tertinggi Kaurawa, tetapi hanya berlangsung dua hri saja, karena kemudian ia mati di tangan Arjuna, saudara tirinya sendiri. Beginilah kehendak Dewata.
•    Kripa : Saudara ipar resi Drona. Ia adalah di antara tida pendekar dari pihak Kaurawa yang tidak gugur dalam perang Baratayudha.
•    Ashvatama: Putra resi Drona, juga salah seorang panglima perangnya Kaurawa yang terkenal liciknya.
•    Vikarna: Putra ketiga raja Dhritarashtra, adik Duryodana.
•    Putra Somadatta: Somadatta adalah raja dari negara Bahikas yang membantu Kaurawa.

1.10
aparyāptam  tad  asmākam     balam  bhişmābhirakşitam
paryāptam  tv  idam  eteşām     balam  bhīmābhirakşitam
aparyāptam—tidak dapat diukur;  tat—itu; asmākam—milik kita;  balam—kekuatan;  Bhişma —oleh Kakek Bhişma;  abhirakşitam—dilindungi secara sempurna; paryāpta—terbatas; tu—tetapi; idam—semua ini;  eteşām—milik para Pāņdawa; balam—kekuatan;  bhīma—oleh Bhīma; abhirakşitam—dilindungi dengan teliti.
Kekuatan kita tidak dapat diukur, dan kita dilindungi secara sempurna oleh Kakek Bhīşma, sedangkan para Pāņdawa, yang dilindungi dengan teliti oleh Bhīma, hanya mempunyai kekuatan terbatas. (Prabhupāda).
aparyāptam—tidak cukup, tidak sempurna (Sriddhara), tidak terkirakan/tidak dapat dihitung (Anandagiri);  tad—itu; asmākam—kami punya; bala—pasukan, angkatan perang; abhirakşitam—dipimpin; paryāptam—dapat diperkirakan.
Pasukan kami yang dipimpin oleh Bhīşma, sungguh tak terkirakan banyaknya, sedangkan besar pasukan mereka di bawah komando Bhīma, dapat diperkirakan. (Gde Pudja).
Kekuatan pasukan kita yang dipimpin oleh Bhīşma, secara sempurna tak terbatas jumlahnya, sementara pasukan mereka yang dipimpin Bhīma, terbatas jumlahnya. (Maswinara).
Tak terhitung jumlah laskar kami yang dipimpin oleh Sang Bhisma, sedangkan di pihak mereka (Pandawa) yang dipimpin oleh Bima, jumlah laskar mereka sangat mudah untuk dihitung. (TL.Wasvani).
Ket : Sebenarnya jumlah tentara Kaurawa memang lebih banyak dari pihak Pandawa, kabarnya Kaurawa mempunyai laskar lebih banyak empat divisi dibandingkan pihak Pandawa. Ada juga yang menyebutnya berlipat ganda.

1.11
ayaneşu ca  sarveşu     yathā-bhāgam  avasthitāh
bhīşmam  evābhirakşantu     bhavantah  sarva  eva  hi
ayaneşu—di ujung-ujung strategis; ca—juga;  sarveşu—dimana-mana;  yathā-bhāgam—sebagaimana mereka tersusun dengan berbagai cara; avasthitāh—terletak; bhīşmam—kepada Kakek Bhīşma;  eva-pasti; abhirakşantu—harus memberi dukungan;  bhavantah—anda; sarva—semua masing-masing;  eva hi—pasti.
Sekarang anda semua harus memberi dukungan sepenuhnya kepada Kakek Bhīşma, sambil berdiri di ujung-ujung strategis masing-masing di gerbang-gerbang barisan tentara. (Prabhupāda).
ayaneşu—dalam; ca—juga; sarveşu—semua;  yathābhāgam—sebagai divisi; avasthitāh—diletakan; eva—hanya; abhirakşantu—dikawal, dipimpin;  bhavantah  eva hi—sesungguhnya untuk Tuanku semua..
Semuanya siap tegak dalam barisan masing-masing dalam divisi dipimpin oleh Bhīşma, masing-masing untuk Tuanku. (Gde Pudja).
Oleh karena itu, semuanya menempati posisimu masing-masing dalam divisimu dan hanya melindungi Bhīşma saja, dengan segala cara. (Maswinara).
Dan telah diatur sedemikian rupa sehingga setiap pendekar dan pimpinan divisi berada pada posisi masing-masing dan menjaga Bhisma dengan baik. (TL.Wasvani).
Ket : Oleh sementara ahli, ucapan-ucapan Duryodana di atas dianggap juga sebagai ungkapan rasa khawatir Duryodana yang merasa di pihak Pandawa terdapat lebih banyak pahlawan-pahlawan sakti, walaupun laskar mereka lebih sedikit.

1.12
tasya  sañjanayan  harşam    kuru-vŗddhah  pitāmahah
simha-nādam  vinadyoccaih     śankham  dadhmau pratāpavān
tasya—milik dia;  sañjanayan—bertambah;  harşam—rasa riang;  kuru-vŗddhah—leluhur keluarga besar Kuru Bhīşma;  pitāmahah—Kakek; simha-nādam—suara mengaum, seperti singa;  vinadya—bergetar; uccaih—dengan keras sekali;  śankham—kerang;  dadhmau—meniup; pratāpa-vān—yang gagah berani.
Kemudian Bhīşma, leluhur agung dinasti Kuru yang gagah berani, kakeh para kesatria, meniup kerangnya dengan keras sekali seperti suara singga, sehingga Duryodhana merasa riang. (Prabhupāda).
tasya—untuk dia;  sañjanayan harşam—untuk menibulkan kegembiraan, (semangat);  kuru-vŗddhah—Kuru yang tua (Arsna) pitāmahah—Kaluk; simha-nādam—suara seekor singa;  vinadyoccaih—ditiup dengan keras;  śankham—trompet (sankala) terbuat dari kerang;  dadhmau—ditiup;   pratāpavān—dengan garangnya.
Untuk membangkitkan semangat, pahlawan Kuru, yang telah lanjut usia, sebagai Patriar, meniup terompet kerangnya kuat-kuat (sehingga) menderu bagaikan raung singga. (Gde Pudja).
Untuk membangkitkan semangat (Duryadhana), kakek Bhīşma yang agung, sebagai sesepuh wangsa Kuru, sekarang meniup terompet kerangnya dengan sangat kerasnya, bagaikan raungan singga. (Maswinara).
Untuk memberi semangat kepada Duryodana, Sang Bhisma yang bijaksana meniup sangkakalalanya yang mengeluarkan suara sekan-akan auman dhasyat seekor singa. (TL.Wasvani).

1.13
tatah  śańkhāś ca  bheryaś ca      paņavānaka-gomukhāh
sahasaivābhyahanyanta     sa  śabdas  tumulo  ‘bhavat
tatah—sesudah itu; śańkhāh—kerang-kerang; ca—juga; bheryah—gendang-gendang besar; ca—dan; paņava-ānaka—gendang-gendang kecil dan bedug; go-mukhāh—terompet-terompet; sahasa—seketika; eva—pasti; abhyahanyanta—dibunyikan sekaligus; sah—itu;  śabdah—paduan suara;  tumulah—gempar;  abhavat—menjadi.
Sesudah itu, kerang-kerang, gendang-gendang, bedug dan berbagai jenis terompet semua dibunyikan seketika, sehingga paduan suaranya menggemparkan. (Prabhupāda).
Bherya—genderang;  paņavānaka-gomukhāh—tambur dan seruling tanduk; sahasa—seketika; eva—pasti; abhyahanyanta—gemuruh; sa—ia;  śabda(s)—bersuara, dibunyikan; tumulah abhava—menggema..
Kemudian trompet, genderang dan tambur serta seruling tanduk  dibunyikan serentak dengan gemuruh dan gagap-gempita. (Gde Pudja).
Kemudian dengan serempak tiba-tiba dibunyikan terompet-terompet kerang, genderang, bedug, tambur dan terompet-terompet tanduk; yang suaranya gagap gempita membahana. (Maswinara).
Kemudian dari segala penjuru tambur-tambur dan sangkalala dibunyikan oleh semua pihak, dan hiruk-pikuklah suasana waktu itu dipenuhi suara-suara ini. (TL.Wasvani).

1.14
tatah  śvetair  hayair  yukte     mahati  syandane  sthitau
mādhavah  pāņdavaś  caiva     divyau  śańkhau  pradadhmatuh
tatah—sesudah itu;  śvetaih—dengan putih;  hayaih—kuda-kuda; yukte—di-ikat untuk menarik kereta; mahati—dalam sesuatu yang besar;  syandane—kereta;  sthitau—terletak; mādhavah—Kŗşņa (suami dewi keberuntungan);  pāņdavah—Arjuna;  ca—dan; eva—pasti; divyau—rohani:  śańkhau—kerang-kerang;  pradadhmatuh—membunyikan.
Di pihak lawan, Śrī Kŗşņa dan Arjuna yang naik kereta besar ditarik oleh kuda-kuda berwarna putih membunyikan kerang-kerang rohani mereka. (Prabhupāda).
śvetair hayair—kuda-kuda berbulu putih; yukte—dipasang, ditarik; mahati—kuat, perkasa; syandane—kereta;  sthitau—berdiri; mādhavah pāņdavah caiva—Kŗşņa dan Arjuna divyau—Khilapiat, suci;  pradadhmatuh—meniup.
Kemudian setelah berdiri diatas kereta megah yang ditarik oleh dua ekor kuda putih, Kŗşņa dan Arjuna meniup trompet dewata mereka. (Gde Pudja).
Manakala, Kŗşņa dan Arjuna berdiri diatas kereta indah yang ditarik oleh kuda-kuda berwarna putih, mereka juga mulai  meniup terompet-terompet kedewataan mereka masing-masing. (Maswinara).
Kemudian, duduk di kereta perang nan agung, dengan pasangan-pasangan kuda-kuda putih, Sang Kreshna dan Arjuna masing-masing meniup sangkalala mereka. (TL.Wasvani).

1.15
pāñcajanyam  hŗşīkeśo     devadattam  dhanañjayah
pauņdram  dadhmau  mahā-śańkham bhima-karmā  vŗkodarah
pāñcajanyam—kerang bernama  Pāñcajanya;  hŗşīka-īsah—Hŗşīkeśa (Kŗşņa-Tuhan yang mengarahkan indra-indra para penyembah);  devadattam—Devadatta; dhanañ-jayah—Arjuna (perebut kekayaan); pauņdram—Pauņdra; dadhmau—meniup;  mahā-śańkham—Kerang yang mengerikan; bhīma-karmā—orang melakukan tugas-tugas berat; vŗka-udarah—pelahap (Bhīma).
Kemudian Śrī Kŗşņa meniup kerang-Nya yang bernama  Pāñcajanya; Arjuna meniup kerangnya bernama Devadatta; dan Bhīma, pelahap dan pelaksana tugas-tugas yang berat sekali, meniup kerangnya yang mengerikan bernama Pauņdra. (Prabhupāda).
Hŗşīkeśo—Kŗşņa dhanañjaya—Arjuna; dadhmau—meniup;  mahā-śańkham—trompetnya yang besar; bhīma-karmā—tingkah laku yang menakutkan; vŗka-udarah—julukan Srigala (tingkah laku dan perangainya seperti srigala)
Kŗşņa meniup trompet Pāñcajanya dan Arjuna meniup trompet Devadatta, Bhīma tingkahnya yang menakutkan galak bagaikan srigala meniup trompetnya yang kuat, Pauņdra. (Gde Pudja).
Hŗşīkeśa (Kŗşņa) meniup terompet Pāñcajanya-Nya dan Arjuna meniup trompet Devadatta-nya; sedangkan Wŗkodara (Bhīma) yang biasa melaksanakan tugas-tugas berat, meniup terompetnya yang hebat, yang bernama Pauņdra. (Maswinara).
Sang Kreshna meniup sangkalalnya yang bernama Panchajanya, dan Arjuna meniup sangkalalanya yang bernama Devadatta, sedangkan Bhima yang perkasa meniup sangkalalanya yang nampak besar, kekar dan kuat bernama Paundra. (TL.Wasvani).

1.16-18
anantavijayam  rājā    kuntī-putro  yudhişţhirah
nakulah  sahadevaś ca     sughoşa-maņipuşpakau.
kāśyaś ca  parameşv-āsah     śikhaņdī ca  mahā-rathah
dhŗşţadyumno  virāţaś  ca    sātyakiś  cāparājitah.
drupado  draupadeyāś ca     sarvaśah  pŗthivī-pate
saubhadraś ca  mahā-bāhuh    śańkhān  dadhmuh  pŗthak-pŗthak.
ananta-vijayam—kerang bernama  Anantavijaya; rājā—raja;  kuntī-putrah—putra Kuntī;   yudhişţhirah—Yudhişţhira; nakulah—Nakula;  sahadevah—Sahadeva; ca—dan; sughoşa-maņipuşpakau—kerang-kerang bernama Sugoşa dan Maņipuşpaka; kāśyah—Raja Kāsī (Vārāņasī); ca—dan;  parama-işu-āsah—pemanah yang berwibawa; śikhaņdī—Śikhaņdī; ca—dan;  mahā-rathah—orang yang dapat bertempur sendirian melawan beribu-ribu orang; dhŗşţadyumnah—Dhŗşţadyumna (putra raja Drupada);  virāţah—(pangeran yang memberi perlindungan kepada Pāņdava selama mereka sedang menyembunyikan diri); ca—juga;  sātyakih—Sātyaki (sama dengan Yuyudhāna, kusir kereta Śrī Kŗşņa); ca—dan; aparājitah—yang belum pernah dikalahkan; drupadah—Drupada, raja Pāñcāla; draupadeyāh—putra-putra Drupadi; ca—juga; sarvaśah—semua;  pŗthivī-pate—wahai Baginda Raja; saubhadrah—Abimanyu, putra Saubadrā; ca—juga; mahā-bāhuh—berlengan perkasa; śańkhān—kerang-kerang; dadhmuh—meniup;  pŗthak-pŗthak—sendiri-sendiri.
Raja Yudhişţhira, putra Kuntī, meniup kerangnya bernama Anantavijaya, Nakula dan Sahadeva meniup Sughoşa dan Maņipuşpaka. Pemanah yang perkasa Raja Kāsī, kesatria hebat yang bernama Śikhaņdī, Dhŗşţadyumna, Virāţa dan Satyaki yang tidak pernah dikalahkan, Drupada, para putra Draupadī, dan lain-lain, seperti putra Saubadrā, yang berlengan perkasa, semua meniup kerang-kerangnya masing-masing; wahai Baginda Raja. (Prabhupāda).
Anantavijaya—(Kemenangan yang abadi); sughoşa—(suara nan merdu); maņipuşpakau— (kembang permata); kāśyaśca—dan raja dari Kāsī; parameswasah—pemanah utama; śikhaņdī—Śikhaņdī; aparājitah—tak terkalahkan; drupadah—Drupada, raja Pāñcāla; draupadeyāśca—serta putra-putra Drupadi; sarvaśah—dari segala sisi;  pŗthivī-pate—raja atas dunia; saubhadraśca—dan putra Saubadrā; mahā-bāhuh—bersenjata yang kuat; pŗthak-pŗthak—masing-masing.
Putra Kuntī, prabu Yudhişţhira meniup Anantavijaya, (sedangkan) Nakula dan Sahadeva meniup Sughoşa dan Maņipuşpaka. Maha raja dari Kāsī pemanah yang unggul Śikhaņdī, pahlawan kereta Dhŗşţadyumna dan Virāţa demikian pula Satyaki yang tidak terkalahkan. Raja Drupada dan putra-putra Draupadī putra Saubadrā, dengan persenjataan yang kuat, semua meniup trompet mereka masing-masing dari segala penjuru. (Gde Pudja)
Putra Kuntī, raja Yudhişţhira, meniup terompet kerangnya yang bernama Anantavijaya: Nakula dan Sahādeva, masing-masing meniup terompet kerangnya yang bernama Sughoşa dan Maņipuşpaka. Dan pemanah perkasa raja dari Kāsī, kesatria kereta Śikhaņdī, Dhŗşţadyumna, Virāţa dan Satyaki yang sulit dikalahkan itu. Wahai penguasa bhūmi (Dhŗtarāşţra); Drupada dan putra-putra Draupadī serta putra Saubadrā (abhimanyu), yang berlengan perkasa, semuanya juga meniup terompet kerangnya masing-masing. (Maswinara).
Raja Yudhistira, putra ibu Kunti, meniup Anantawijaya, Nakula dan Sahadewa masing-masing meniup Sugosha dan Manipuspaka.
Juga yang ikut meniup sangkalalanya masing-masing adalah raja dari Kashi yang memimpin laskar pemanah, kemudian Sikhandi (Srikandi) yang gagah perkasa, Dhristadyumna, Virata dan Satyaki (Setyaki) yang tak terkalahkan.
Juga Drupada dan putra-putra Drupadi dan Saubadra, semuanya meniup sangkalala mereka dari setiap jurusan. (TL.Wasvani).
Keterangan :
•    Raja Yudhistira: Yang tertua diantara Pandawa adalah seorang maha-raja yang berwatak tenang, penuh kasih-sayang dan amat bijaksana dalam segala tindak-tanduknya, tak pernah bohong dalam segala hal. Beliau dikenal lebih sebagai seorang negarawan daripada seorang pendekar yang gemar berperang. Sangkalalanya disebut Anantawijaya (kemenangan tanpa akhir) atau suara kemenangan.
•    Nakula: Saudara keempat Pandawa dikenal amat mahir berkuda, sangkalalanya bernama Sugosa (suara indah).
•    Sahadewa (sadewa): Saudara kelima Pandawa, memiliki sangkalala yang bernama Manipuspaka (mutiara yang mekar atau bunga-bunga mutiara), bentuknya sangat indah laksana mutiara dan ditaburi pula dengan mutiara-mutiara asli yang indah.
•    Shikandi (Srikandi): Di India sering disebut juga sebagai putra raja (sebenarnya seorang banci) Drupada, di Indonesia ia dikenal sebagai pahlawan wanita, merupakan titisan dewi Amba yang menuntut balas kepada Bhisma. Panahnya akan menghabisi nyawa Bhisma dalam perang ini.
•    Satyaki: Adalah sais kereta perang pribadi Sang Kreshna.

1.19
Sa  ghoşo  dhārtarāşţrāņām      hŗdayāni  vyadārayat
nabhaś ca  pŗthivīm caiva     tumulo  ‘bhyanunādayan
Sah—itu; ghoşah—getaran suara; dhārtarāşţrāņām—dari para putra Dhŗtsrāşţra; hŗdayāni—hati; vyadārayat—mematahkan; nabhah—langit; ca—juga;  pŗthivīm—muka bumi; ca—juga; eva—pasti;   tumulah—gempar; abhyanunādayan—dengan bergema.
Berbagai jenis kerang tersebut ditiup hingga menggemparkan. Suara kerang-kerang bergema baik di langit maupun di bumi, hingga mematahkan hati para putra Dhŗtarāşţra. (Prabhupāda).
Sa—ia, itu; ghoşa—suara yang gemuruh / gegap gempita; hŗdayāni—hati, perasaan jiwa; vyadārayat—menyebabkan; nabhah—(s)langit; pŗthivīm—bumi; awhyanunādayan—bergema, menggetarkan.
Suara gegap gempita itu memecah angkasa dan bumi menggentarkan hati puta-putra Dhŗtarāşţra. (Gde Pudja).
Memenuhi angkasa dan bumi dengan gema yang gegap gempita, menggentarkan hati para putra Dhŗtarāşţra. (Maswinara).
Suara-suara dahsyat sangkalala-sangkalala ini memenuhi langit dan bumi tanpa henti-hentinya dan menjatuhkan semangat putra-putra Kaurawa. (TL.Wasvani).

1.20
atha  vyavasthitān  dŗşţvā     dhārtarāşţrān  kapi-dhvajah
pravŗtte  śastra-sampāte     dhanur  udyamya  pāņdavah
            Hŗşīkeśam  tadā  vākyam     idam  āha  mahī-pate.      (Metrum:Mahāpańkti)
atha—sesudah itu; vyavasthitān—terletak; dŗşţvā—memandang; dhārtarāşţrān—para putra Dhŗtsrāşţra; kapi-dhvajah—orang yang benderanya ditandai dengan gambar Hanumān; pravŗtte—pada saat hampir akan menjadi sibuk; śastra-sampāte—dalam melepaskan anak panahnya; dhanur—busur;  udyamya—mengangkat;  pāņdavah—putra Pāņdu (Arjuna);              Hŗşīkeśam—kepada Śrī Kŗşņa;  tadā—pada waktu itu;  vākyam—kata-kata; idam—ini; āha—berkata; mahī-pate—wahai Paduka Raja.
Pada waktu itu, Arjuna, putra Pāņdu, yang sedang duduk diatas kereta, benderanya ditandai dengan gambar Hanumān, mengangkat busurnya dan bersiap-siap untuk melepaskan anak panahnya. Wahai Paduka Raja, sesudah memandang para putra Dhŗtsrāşţra, Arjuna berkata kepada Hŗşīkeśa (Kŗşņa) sebagai berikut :        (Prabhupāda).
vyavasthitam—mendekat (siap perang); dŗşţvā—setelah melihat; kapidhvaja—pataka (dwaja) berlambang kera; pravŗtte—mulia; śastra-sampāta—anak panah yang akan terbang; dhanurudyamya—mengambil busur panah; Hŗşīkeśam—kepada Hŗşīkeśa (Kŗşņa);  tadā—kemudian;  vākyam—kata-ucapan; idam—ini; āha—berkata.
Kemudian setelah melihat putra-putra Dhŗtsrāşţra dengan senjata siap dalam barisan maka Arjuna dengan panji-panji berlambangkan “Hanuman” mengangkat busur pananhnya. Kemudian mengucapkan kata-kata ini kepada Kŗşņa. (Gde Pudja).
Kemudian Arjuna yang berdiri di kereta perangnya yang berlambangkan kera (Hanuman) memandang barisan putra-putra Dhŗtsrāşţra yang siap dengan senjata-senjatanya, lalu muilai mengangkat busur pananhnya. Kemudian berkata kepada Hŗşīkeśa (Kŗşņa) : (Maswinara).
Kemudian Arjuna yang di kereta perangnya terdapat panji bergambarkan Hanumān, memandang ke arah putra-putra Dhristarashtra yang telah siap untuk berperang; dan tak lama kemudian ketika perang akan segera dimulai, Arjuna memungut busur pananhnya. Dan berkata kepada Sang Kreshna : (TL.Wasvani).

1.21-22
arjuna  uvāca
senayor  ubhayor  madhye     ratham  sthāpaya  me  ‘cyuta
yāvad  etān  nirīkşe  ‘ham     yoddhu-kāmān  avasthitān
          kair mayā  saha  yoddhavyam     asmin  raņa-samudyame (M.Mahāpańkti)
senayoh—antara tentara-tentara;  ubhayoh—antara kedua-duanya; madhye—di tengah-tengah;     ratham—kereta; sthāpaya—mohon membawa; me—milik hamba; acyuta—wahai Kŗşņa yang tidak pernah gagal; yāvat—selama; etān—semua ini; nirīkşe—dapat memandang; aham—hamba;  yoddhu-kāmān—ingin bertempur;  avasthitān—tersusun di medan perang; kaih—dengan siapa; mayā—oleh saya;  saha—bersama-sama;  yoddhavyam—harus bertempur; asmin—dalam ini; raņa—pertengkaran; samudyame—dalam usaha.
Arjuna berkata: Wahai Kŗşņa yang tidak pernah gagal, mohon membawa kereta saya di tengah-tengah antara kedua tentara supaya saya dapat melihat siapa yang ingin bertempur di sini dan siapa yang harus saya hadapi dalam usaha perang yang besar ini. (Prabhupāda).
senayor ubhayor  madhye—di tengah-tengah antara kedua pasukan;    ratham—kereta; sthāpaya—letakkan, tempatkan; me—saya punya; acyuta(tidak tergerakkan)—Kŗşņa, kata acyuta—terdapat pula dalam Rg.I.52.3, dalam kitab  Buddha Dāthawane=Nirwana; Hŗşīkeśa (Hris=menjadi kuat, Kesa-rambut) Kŗşņa-mempunyai rambut ikal seperti dewa Apollo; yāvat—selama, selagi; nirīkşe—mengenal, mengetahui; aham—saya; yoddhukāmān—berkeinginan untuk perang;  avasthitān—sedang berdiri; kairmayā—dengan siapa saya;  saha—bersama, dengan;  yoddhavyam—yang harus berperang; asmin—dalam; raņasamudyame—perang yang sulit dilakukan.
Arjuna berkata: O Kŗşņa tariklan keretaku sampai di tengah di antara kedua pasukan. Dengan demikian saya dapat mengetahui siapa-siapa mereka yang siap, ingin bertempur yang saya harus hadapi nanti dalam peperangan ini. (Gde Pudja).
Arjuna berkata: Arahkan dan tempatkan keretaku ini di tengah-tengah antara kedua pasukan (yang saling berhadapan) ini, wahai Acyuta (Kŗşņa), agar supaya aku dapat mengetahui mereka yang siap dan bernafsu sekali untuk berperang; yang harus aku hadapi dalam pertempuran yang akan segera terjadi ini. (Maswinara).
Berkatalah Arjuna: Ingin kulihat semua yang ada di medan ini, mereka yang telah bersiap-siap untuk berperang, dengan siapa aku nanti harus berlaga. (TL.Wasvani).

1.23
yotsyamānān  avekşe  ‘ham     ya  ete ‘tra  samāgatāh
dhārtarāşţrasya  durbuddher     yuddhe  priya-cikīrşavah
yotsyamānān—orang yang akan bertempur;  avekşe—perkenankanlah saya melihat; aham—saya;      ye—siapa;  ete—itu; atra—di sini; samāgatāh—yang sudah berkumpul; dhārtarāşţrasya—untuk para putra Dhŗtsrāşţra; durbuddher—berpikir jahat;  yuddhe—dalam pertempuran;  priya—baik; cikīrşavah—menginginkan.
Perkenankanlah saya melihat mereka yang sudah datang di sini untuk bertempur karena keinginan untuk menyenangkan hati putra Dhŗtsrāşţra yang berpikir jahat. (Prabhupāda).
yotsyamānām—orang yang ingin hendak berperang;  avekşaham—saya melihat; ya—mereka itu;  ete-atra—di sini, di sana; samāgatāh—berkumpul; dhārtarāşţrasya—untuk putra Prabu Dhŗtsrāşţra; durbuddher—yang berpikir jahat;  yuddhe—dalam perperangan;  priyacikīrşavah —untuk memuaskan hati; untuk menuruti kata hati.
Agar dapat saya menyaksikan sendiri mereka yang berkumpul, berbaris di sini rela berkorban demi kepuasan hati putra Dhŗtsrāşţra yang berpikiran jahat. (Gde Pudja).
Dan aku ingin sekali melihat sendiri mereka yang berkumpul di sini, yang siap bertempur dan bernafsu sekali untuk mendapatkan apa-apa yang sangat disukai oleh putra Dhŗtsrāşţra yang berbudi jahat itu dalam peperangan ini. (Maswinara).
Ingin kulihat mereka yang berkumpul di sini, yang berhasrat untuk mendapatkan sesuatu yang berharga bagi putra-putra Dhristarashtra yang berhati iblis itu. (TL.Wasvani).

1.24
sañjaya uvāca
evam  ukto hŗşīkeśo     gudākeśena  bhārata
senayor  ubhayor  madhye     sthāpayitvā rathottamam
evam—demikian;  uktah—disapa; hŗşīkeśah—Śrī Kŗşņa; gudākeśena—oleh Arjuna; bhārata—wahai putra keluarga Bhārata; senayoh—antara tentara-tentara; ubhayoh—kedua-duanya; madhye—di tengah-tengah; sthāpayitvā—menempatkan; ratha-uttamam—kereta yang paling bagus.
Sañjaya berkata: wahai putra keluarga Bhārata, setelah disapa oleh Arjuna, Śrī Kŗşņa membawa kereta yang bagus itu ke tengah-tengah antara tentara tentara kedua belah pihak. (Prabhupāda).
evam—demikian;  ukto—ucapan, disampaikan; hŗşīkeśah—Śrī Kŗşņa senayar—kedua) pasukan; ubhayoh—kedua; madhye—di tengah, di antara; gudākeśena—oleh Arjuna; bhārata—putra bhārata; sthāpayitvā—setelah meletakkan; ratha-uttama—kereta yang terbaik.
Sañjaya berkata: Demikian permintaan Arjuna kepada Kŗşņa, setelah mendengar permintaan demikian  Kŗşņa menempatkan kereta yang indah di tengah-tengah kedua pasukan. (Gde Pudja).
Sañjaya berkata: Wahai Bhārata (Dhŗtsrāşţra), setelah Gudākeśa (Arjuna) berkata kepada Hŗşīkeśa (Kŗşņa), maka Śrī  Kŗşņa menempatkan kereta yang sangat indah itu ditengah-tengah  antara kedua pasukan yang saling berhadapan itu. (Maswinara).
Berkatalah sanjaya: Setelah arjuna selesai dengan kata-katanya, Sang Kreshna pun mengarahkan kereta perangnya, kereta yang terbaik diantara semua kereta-kereta perang, ke tengah-tengah, diantara kedua laskar yang berbaris rapi. (TL.Wasvani).

1.25
bhīşma-droņa-pramukhatah     sarveşām ca  mahī-kşitām
uvāca  pārtha  paśyaitān     samavetān  kurūn  iti
bhīşma—Kaket Bhīşma; droņa—guru Droņa;  pramukhatah—di depan; sarveşām—semua; ca—dan;  mahī-kşitām—pemimpin-pemimpin dunia; uvāca—bersabda; pārtha—wahai putra Pŗthā;  paśya –lihatlah; etān-semuanya; samavetān-sudah berkumpul; kurūn-anggota-anggota keluarga besar Kuru;  iti—demikian.
Dihadapan Bhīşma, Droņa dan semua pemimpin dunia lainnya, Śrī Kŗşņa bersabda, wahai partha, lihatlah para Kuru yang sudah berkumpul di sini. (Prabhupāda).
pramukhatah—di hadapan mahīkşitām—para pemuka, pemimpin-pemimpin negara (daerah  paśya’tān—lihatlah mereka, saksikanlah mereka; samavetān—berkumpul (bersama);  iti—ini.
Dihadapan Bhīşma, Droņa dan pemimpin-pemimpin terkemuka, Kŗşņa berkata: saksikanlah mereka Arjuna, para keturunan Kuru yang berkumpul ini. (Gde Pudja).
Dihadapan Bhīşma, Droņa dan semua pimpinan pasukan Kŗşņa bersabda :”Wahai Pārtha (Arjuna), lihatlah seluruh warga keluarga wangsa Kuru telah berkumpul bersama-sama (disini). (Maswinara).
Di hadapan Bhisma, Drona dan pendekar-pendekar lainnya, berkatalah Kreshna: Lihatlah, oh Arjuna, para Kuru yang sedang berkumpul (di sini). (TL.Wasvani).

1.26
tatrāpaśyat  sthitān  pārthah     pitŗn  atha  pitāmahān
ācāryān  mātulān  bhrātŗn    putrān-pautrān  sakhīms  tathā
śvaśurān  suhŗdaś  caiva     senayor  ubhayor  api.            (Metrum:Mahāpańkti) 
tatra—di sana; apaśyat—dia dapat melihat;  sthitān—berdiri; pārtha—Arjuna; pitŗ—ayah-ayah;  atha—juga;  pitāmahān—kakek-kakek; ācāryān—guru-guru; mātulān—paman-paman dari keluarga ibu;  bhrātŗn—saudara-saudara;  putrān—putra-putra; pautrān—cucu-cucu;  sakhīn—kawan-kawan;  tathā—juga; śvaśurān—mertua-mertua;  suhŗda—orang yang mengharapkan kesejahteraan; ca—juga; eva—pasti; senayor—antara tentara-tentara;  ubhayor—antara kedua belah pihak;  api—termasuk.
Di sana di tengah-tengah tentara-tentara kedua belah pihak, Arjuna dapat melihat para ayah, kakek, guru, paman, dari keluarga ibu, saudara, putra, cucu, kawan, mertua, dan orang yang mengharapkan kesejahteraanya semua hadir di sana. (Prabhupāda).
tatra—di sana; apaśyat—setelah melihat;  sthitān—berdiri; pārthah—Arjuna; pitŗn—bapa;  atha—kemudian;  pitāmahān—kakek, orang tua yang dihormati; ācāryān—guru besar; mātulān—paman dari pihak keluarga wanita;  bhrātŗn—saudara; pautrān—cucu (laki);  sakhīn—sahabat;  tathā—juga, kemudian; śvaśurān—para mertua;  suhŗda—sahabat.
Setelah Arjuna melihat di sana berdiri para bapa, kakek dan guru, paman, saudara, dan sepupu, anak, cucu dan sahabat, para mertua, kawan sejawat, berdiri tegak dalam barisan kedua belah pihak. (Gde Pudja).
Kemudian disana Pārtha menyaksikan berdiri dalam kedua barisan itu para bapak, kakek, guru, paman, saudara sepupu, anak, cucu demikian pula para sekutu dan juga para mertua, teman sejawat pada kedua pasukan tersebut. (Maswinara).
Dan Arjuna pun melihat paman-pamannya, para sesepuh (kakek-kakek), guru-guru, saudara-saudara dari ibunya, putra-putra dan para cucu, misan dan sahabat-sahabatnya, berdiri berbaris rapi. (TL.Wasvani).

1.27
tān  samīksya  sa  kaunteyah     sarvān  bandhūn  avasthitān
kŗpayā  parayāvişţo     vişīdan  idam  abravīt
tān—mereka semua; samīksya—sesudah melihat;  sah—dia; kaunteyah—putra Kuntī; sarvān—semua jenis; bandhūn—sanak keluarga;  ava-sthitān—terletak; kŗpayā—oleh kasih sayang; parayā—bertingkat; avişţah—tergugah; vişīdan—sambil menyesal;  idam—demikian;  abravīt—berkata.
Ketika Arjuna, putra Kuntī, melihat semua jenis kawan dan sanak keluarga ini, hatinya tergugah rasa kasih sayang dan dia berkata sebagai berikut :         (Prabhupāda). 
tān samīksya—setelah melihat mereka (semua);  sa—dia (Arjuna); sarvān bandhūn—semua sanak keluarga;  avasthitān—dalam barisan; kaunteyah—Kuntī putra (Arjuna); kŗpayā—rasa belas kasihan; parayā—mendalam; avişţa—diliputi, penuh berisi; vişīdam—dalam keadaan;  idam—ini;  abravīt—berkata.
Ketika Arjuna, putra Kuntī, melihat semua jenis kawan dan sanak keluarga ini, hatinya diliputi rasa kasihan dalam keadaan sedih, Arjuna berkata. (Gde Pudja).
Ketika putra Kuntī (Arjuna), menyaksikan seluruh sanak keluarganya berdiri berbaris di sana, hatinya diliputi dengan perasaan kasihan dan duka cita yang mendalam, sambil mengucapkan kata-kata : (Maswinara).
Juga terlihat ayah-mertuanya dan para teman yang terdapat di kedua belah pihak, Melihat jajaran sanak-sudaranya yang berbaris rapi ini, arjuna.... (TL.Wasvani).

1.28
arjuna  uvāca
dŗşţvemam  sva-janam  kŗşņa     yuyutsam  samupasthitam
sīdanti  mama  gātrāni     mukham ca  pariśuşyati
dŗşţva—sesudah melihat; imam—semua ini; sva-janam—sanak keluarga; kŗşņa—aduh Kŗşņa;     yuyutsam—semua bersemangat untuk bertempur; samupasthitam—hadir; sīdanti—gemetar;  mama—milik saya;  gātrāni—anggota-anggota badan;  mukham—mulut; ca—juga;  pariśuşyati—terasa kering.
Arjuna berkata: Kŗşņa yang baik hati, setelah melihat kawan-kawan dan sanak keluarga di hadapan saya dengan semangat untuk bertempur seperti itu, saya merasa anggota-anggota badan saya gemetar dan mulut saya terasa kering. (Prabhupāda).
dŗşţvenam—melihat ini; svajanam—orang-orang sendiri; kŗşņa—aduh Kŗşņa; yuyutsam—berkeinginan untuk berperang; samupasthitam—hadir mendekat; berbaris; sīdanti—menjadi lemas; gātrāni—anggota-anggota tunuh; mukham—mulut; pariśuşyati—terasa kering.
Arjuna berkata: Dengan menyaksikan orang-orang sendiri yang berbaris siap untuk berperang, o Kŗşņa, anggota tubuh saya menjadi lemas, mulut saya terasa kering. (Gde Pudja).
Bila aku menyaksikan orang-orangku  sendiri yang berbaris dan bernafsu sekali untuk bertempur,Wahai Kŗşņa, anggota badanku terasa lemas, mulutku terasa kering. (Maswinara).
Tergetar penuh dengan rasa iba dan berkata pilu : Melihat jajaran keluarga ini, oh Kreshna, bersiap-siap untuk berperang, sendi-sendi badanku terasa lemas dan bibirku terasa rapat. (TL.Wasvani).

1.29
vepathuś ca  śarīre  me     roma-harşaś ca  jāyate
gāņdīvam  sramsate  hastāt     tvak  caiva  paridahyate
vepathuh—badan gemetar; ca—juga;  śarīre—pada badan; me—milikku; roma-harşah—bulu roma merinding; ca—juga;  jāyate—sedang terjadi; gāņdīvam—busur Arjuna; sramsate—lepas; hastāt—dari tangan; tvak—kulit; ca—juga: eva—pasti;  paridahyate—terbakar.
Seluruh badan saya gemetar, dan bulu roma merinding. Busur Gāņdīva terlepas dari tangan saya, dan kulit saya terasa terbakar. (Prabhupāda).
vepathuh—gemetar; śarīre—pada tubuh; me—dari saya, pada saya; roma-harşah—bulu roma pada tegak; gāņdīvam—busur panah; sramsate—lepas jatuh; hastāt—dari tangan; tvak—kulit, alat perasa;  paridahyate—terbakar, terasa panas (dahati=membakar; dah=bakar).
Sekujur badan saya gemetar dan bulu roma saya pada berdiri. Busur terlepas dari tangan saya dan seluruh kulit saya terasa panas membara. (Gde Pudja).
Sekujur tubuhku gemetaran dan bulu romaku merinding. (Busur) Gāņdīva terlepas dari tanganku dan kulitku terasa terbakar seluruhnya. (Maswinara).
Seluruh tubuhku tergetar dan rambutku tegak berdiri. Busur Gandivaku terlepas dari tanganku dan seluruh kulitku terasa terbakar. (TL.Wasvani).

1.30
na  ca  śakromy  avasthātum     bhramativa ca  me  manah
nimitāni  ca  paśyāmi     viparītāni  keśava
na—tidak juga; ca—juga;  śakromy—saya dapat; avasthātum—tinggal; bhramati—lupa; iva—sebagai; ca—dan;  me—milik saya;  manah—pikiran; nimitāni—sebab-sebab; ca—juga;  paśyāmi—saya melihat; viparītāni—justru lawannya;  keśava—O pembunuh raksasa bernama Keśī (Kŗşņa).
Saya tidak tahan berdiri di sini lagi, saya lupa akan diri, dan pikiran saya kacau. O saya hanya dapat melihat sebab-sebab malapetaka saja, wahai pembunuh raksasa bernama Keśī. (Prabhupāda).
śakromy—saya dapat; avasthātum—berdiri; bhramati—dalam keadaan kacau, tidak menentu, seolah-olah; manah—pikiran; nimitāni—firasat, omen; viparītāni—yang bertentangan, buruk; keśava—Kŗşņa.
Saya tidak kuasa lagi berdiri dan pikiran saya kacau tak menentu. Saya melihat firasat buruk o Kŗşņa. (Gde Pudja).
Aku tak mampu untuk berdiri tegak dan pikiranku kacau. Dan aku melihat tanda-tanda buruk , wahai Keśawa (Kŗşņa). (Maswinara).
Tak kuat aku berdiri tegak lagi; kepalaku serasa berputar-putar. Dan kulihat pertanda iblis, oh Kreshna! (TL.Wasvani).


1.31
na  ca  śreyo  ‘nupaśyāmi     hatvā  sva-janam  āhave
na  kāńkşe  vijayam kŗşņa     na  ca  rājyam  sukhāni  ca
na—tidak juga; ca—juga; śreyo—hal-hal yang baik; anupaśyāmi—saya dapat membayangkan;     hatvā—dengan membunuh; sva-janam—sanak keluarganya sendiri; āhave—dalam pertempuran; na—tidak juga; kāńkşe—saya menginginkan; vijayam—kemenangan; kŗşņa—O Kŗşņa; na—tidak juga; ca—juga; rājyam—kerajaan; sukhāni—kebahagiaan dari hal itu; ca—juga.
Saya tidak dapat melihat bagaimana hal-hal baik dapat diperoleh kalau saya membunuh sanak keluarga sendiri dalam perang ini, Kŗşņa yang baik hati, saya juga tidak dapat menginginkan kejayaan, kerajaan, maupun kebahagiaan sebagai akibat perbuatan itu.  (Prabhupāda).
na ca—dan tidak; śreyo—kebaikan; anupaśyāmi—saya lihat; hatvā—membunuh; sva-janam—rakyat (orang) sendiri; āhave—dalam peperangan; kāńkşe—mengharapkan; vijayam—kemenangan; rājyam—kerajaan, wilayah; sukhāni—kesenangan.
Tidak ada baiknya saya membunuh rakyat sendiri dalam peperangan ini. Saya tidak mengharapkan kemenangan dan tidak juga kerajaan dan kesenangan, o Kŗşņa (Gde Pudja).
Dimana aku tidak melihat baikan sama sekali dengan membunuh sanak keluarga sendiri dalam pertempuran ini. Aku tidak menginginkan kemenangan lagi, wahai Kŗşņa, ataupun kerajaan maupun kesengan. (Maswinara).
Tak kulihat sesuatu apapun yang baik dengan membunuh sanak-saudaraku dalam perang ini. Tak kuinginkan kemenangan, Oh Kreshna, tidak juga aku menginginkan kerajaan atau pun kesenangan-kesenangan. (TL.Wasvani).

1.32-35
kim  no  rājyena  govinda     kim  bhogair  jīvitena  vā
yeşām  arthe  kāńkşitam  no     rājyam  bhogāh  sukhāni  ca
tan  ime  ‘vasthitā  yuddhe     prāņāms  tyaktvā  dhanāni  ca
ācāryāh  pitarah  putrās     tathaiva  ca  pitāmahāh
mātulāh  śvaśurāh  pautrāh     śyālāh  sambandhinas  tathā
etān  na  hantum  icchāmi     ghnato  ‘pi  madhusūdana
api  trailokya-rājyasya     hetoh  kim  nu  mahī-kŗte
nihatya  dhārtarāşţrān  nah     kā  prītih  syāj  janārdana
kim—apa gunanya;  nah—bagi kita; rājyena—kerajaan adalah; govinda—O Kŗşņa; kim—apa;  bhogair—kenikmatan; jīvitena—hidup; vā—atau; yeşām—dari siapa; arthe—demi kepentingan;  kāńkşitam—diinginankan;  nah—oleh kita; rājyam—kerjaan;  bhogāh—kenikmatan material;  sukhāni—segala kebahagiaan;  ca—juga;  te—mereka; ime—ini;  avasthitāh—terletak; yuddhe—di medan perang ini;  prāņān—nyawa-nyawa;  tyaktvā—menyerahkan;  dhanāni—kekayaan;  ca—juga;  ācāryāh—guru-guru;  pitarah—ayah-ayah;  putrāh—putra-putra;  tathā—beserta; eva—pasti;  ca—juga;  pitāmahāh—kakek-kakek;  mātulāh—paman-paman dari keluarga ibu; śvaśurāh—mertua-mertua;  pautrāh—cucu-cucu;  śyālāh—ipar-ipar;  sambandhinah—sanak keluarga;  tathā—beserta; tān—semua ini;  na—tidak pernah;  hantum—membunuh;  icchāmi—saya menginginkan;     ghnatah—dengan dibunuh;  api—walaupun;  madhusūdana—wahai pembunuh raksasa yang bernama Madhu (Kŗşņa); api—walaupun;  trailokya—dari tiga dunia;  rājyasya—untuk kerajaan;    hetoh—sebagai pertukaran;  kim nu—apa lagi;  mahī-kŗte—untuk bumi;  nihatya—dengan membunuh;  dhārtarāşţrān—para putra Dhŗtarāşţra; nah—milik kita;  kā—apa; prītih—kesenangan;  syāt—akan ada;  janārdana—wahai Pemelihara semua makhluk hidup.
O Govinda, barangkali kita menginginkan kerajaan, kebahagiaan ataupun kehidupan bagi orang tertentu, tetapi apagunanya kerajaan, kebahagiaan atau kehidupan bagi kita kalau mereka sekarang tersusun pada medan perang ini? O Madhusūdhana, apakah para guru, ayah, putra, kakek, paman dari keluarga ibu, mertua, cucu, ipar dan semua sanak keluarga bersedia bersedia mengorbankan nyawa dan harta bendanya dan sekarang berdiri di hadapan saya, mengapa saya harus berhasrat membunuh mereka, meskipun kalau saya tidak membunuh mereka, mungkin mereka akan membunuh saya? Wahai Pemelihara semua makhluk hidup, jangankan untuk bumi ini, untuk imbalan seluruh tiga dunia ini pun saya tidak bersedia bertempur melawan mereka. Kesenangan apa yang akan kita peroleh kalau kita membunuh para putra Dhŗtarāşţra? (Prabhupāda).
kim—apa;  no—kami; rājyena—dengan kerajaan, dengan kekuasaan; govinda—O Kŗşņa;  bhogair—dengan kesenangan; jīvitena—dengan hidup; vā—atau; yeşāmarthe—untuk siapa  kāńkşitam—keinginan, perebutkan; ta—itu semua; avasthitāh—berada siap; prāņān—hidup, jiwa;  tyaktvā—korbankan, membuang;  dhanāni—harta benda; ācāryāh—guru besar;  pitarah—orang tua, leluhur; tathā’wa—demikian pula; mātulāh—paman; śvaśurāh—mertua;  pautrāh—cucu;  śyālāh—ipar;  sambandhinas—sanak keluarga, sanak kadang; etān—mereka ini semua;  icchāmi—saya bermaksud; hantum—untuk membunuh; ghnato—akan mati; api—demikian juga;  trailokya rājyasya—berkuasa atas tiga dunia; hetoh—hanya karena;  kim—apa;  mahī-kŗte—untuk keduniaan;  nihatya—dengan membunuh;  dhārtarāşţrān nah—para putra Dhŗtarāşţra;  kā—apa; prītih—senangnya, enaknya;  syāt—akan terjadi.
Apa gunanya kerajaan dan kesenangan demikian pula hidup ini, oh Kŗşņa? Untuk siapa kita perebutkan kerajaan, kebahagiaan dan kesenangan yang mereka (pertahankan) berada di sini siap untuk perang dengan mengorbankan jiwa dan harta benda  mereka; guru, bapa, anak-anak dan kakek, serta paman, ipar, cucu, mertua, dan sanak kadang lainnya; semua itu aku tidak hendak bunuh mereka, sekalipun (mereka bunuh aku) oh Kŗşņa ? untuk ketiga dunia, apalagi hanya untuk dunia ini. Kebahagiaan apakah yang akan kita nikmati, setelah membunuh putra-putra Dhŗtarāşţra.  (Gde Pudja).
Wahai Giwinda (Kŗşņa), apa gunanya lagi kerajaan ini bagi kita, demikian pula kenikmatan dan kehidupan ini sendiri. Demi untuk siapakah  kita serta merta yang berdiri di sini  berperang, menginginkan kerajaan, kenikmatan dan kesenangan ini? dengan mengorbankan jiwa dan harta benda  mereka; para guru, ayah, putra-putra dan juga para kakek, paman, mertua, cucu, ipar, dan kaum kerabat (lainnya); Wahai Madhusūdana (Kŗşņa), aku tak ingin membunuh mereka, walaupun mereka membunuhku; kendatipun aku memerintah di ketiga dunia ini, apalagi hanya untuk dunia ini saja. Kesenangan apakah yang akan kita peroleh, setelah membunuh putra-putra Dhŗtarāşţra ini, wahai Janārdana (Kŗşņa)? (Maswinara).
Apakah arti sebuah kerjaan untuk kami, oh Kreshna, atau pun apakah arti dari kesenangan bahkan idup ini? Mereka-mereka ini sekarang berjajar rapi untuk mengorbankan hidup dan harta-benda mereka, sedangkan kami menginginkan kerajaan, kemewahan dan kesenangan, bukankah sebenarnya semua itu diperjuangkan untuk mereka juga. Yang terdiri dari para guru, ayah, putra-putra dan para kakek, paman, mertua, cucu, saudara-saudara ipar dan sanak-saudara lainnya.
Aku tak akan membunuh siapapun juga, walaupun aku sendiri boleh mati terbunuh, Oh Kreshna, takkan kuberperang walaupun aku sanggup mendapatkan ketiga dunia ini; apalagi hanya untuk satu yang bersifat duniawi ini?
Setelah membatai putra-putra Dhristarashtra, kenikmatan apakah yang dapat kita miliki, wahai Kreshna? (TL.Wasvani).

1.36
pāpam  evāśrayed  asmān     hatvaitān  ātatāyinah
tasmān  nārhā  vayam  hantum    dhārtarāşţrān  sa-bhāndavān
sva-janam  hi  katham  hatvā   sukhinah  syāma mādhava.  (M.Mahāpańkti)
pāpam—dosa-dosa;  eva—pasti;  āśrayet—harus menguasai;  asmān—kita;  hatva—dengan membunuh; etān—semua ini;  ātatāyinah—penyerang; tasmāt—karena itu;  na—tidak pernah;  arhāh—patut;  vayam—kita;  hantum—membunuh;   dhārtarāşţrān—para putra Dhŗtarāşţra; sabān-dhavān—beserta kawan-kawan;  sva-janam—sanak keluarga;  hi—pasti; katham—bagaimana;   hatvā—dengan membunuh;  sukhinah—bahagia;  syāma—kita akan menjadi; mādhava—O Kŗşņa, suami Dewi Keberuntungan.
Kita akan dikuassai oleh dosa kalau kita membunuh penyerang seperti itu. Karena itu, tidak pantas kalau kita membunuh para putra Dhŗtarāşţra dan kawan-kawan kita. O Kŗşņa, suami Dewi Keberuntungan, apa keuntungannya bagi kita, dan bagaimana mungkin kita berbahagia dengan membunuh keluarga kita sendiri?   (Prabhupāda).
pāpam—dosa, penderitaan;  iva—hanya;  āśrayet—yang akan lekat;  asmān—pada kami;  hatva—setelah membunuh; itān—ini semua;  ātatāyinah—mengancam hendak membunuh; tasmānnārhāt—oleh karena itu tidak diharapkan, karenanya tidaklah patut;  hantum—untuk membunuh;   dhārtarāşţrān—para putra Dhŗtarāşţra; swabāndhavān—keluarganya sendiri;  sva-janam—keluarga sendiri; katham—bagaimana; sukhinah—senang;  syāma—dapat menjadi, mungkin
Hanya dosalah yang akan datang kepada kami setelah membunuh sidurhaka itu. Karenanya tidaklah patut kita membunuh putra-putra Dhŗtarāşţra keluarga sendiri; Bagaimana kita bisa bahagia dengan membunuh keluarga sendiri oh Kŗşņa. (Gde Pudja).
Yang pasti hanyalah dosa bagi kita bila membunuh si durjana ini. Karena itu, tidak patut kita membunuh kaum kerabat kita sendiri, putra-putra Dhŗtarāşţra itu; Sesungguhnya bagaimana mungkin kita dapat bahagia, Mādhawa (Kŗşņa), apabila kita membunuh keluarga sendiri? (Maswinara).
Setelah membunuh penjahat-penjahat ini, kita sendiri akan tersemar oleh dosa-dosa ini.
Tak benar bagi kita untuk membunuh sanak-saudara sendiri, yaitu putra-putra Dhristarashtra. Sebenarnya, wahai Kreshna, mana mungkin kita ‘kan bahagia dengan membunuh keluarga kita sendiri? (TL.Wasvani).
Ke :    Arjuna adalah seorang pahlawan besar, tetapi menghadapi situasi yang unik ini, ia terhempas ke dalam suatu keragu-raguan yang dalam. Arjuna ke Kurukshetra untuk berperang tetapi tiba-tiba ia tak samapai hati untuk membunuh sanak saudaranya sendiri, walaupun ia tahu mereka-mereka ini berhati iblis. Tiba-tiba ia ragu untuk maju, gundahlah Arjuna dalam ‘ke akuan’ nya.
    Bukanlah kita manusia ini sering juga mengalami tekanan-batin yang berat dalam mengambil suatu keputusan yang maha-penting? Bukankah rasa iba sering kali membuka pintu kelemahan kita dan mengantarkan kita ke arah kehancuran itu sendiri? Itu semua karena kita terikat akan sanak-keluarga, harta benda, nama posisi kita dalam masyarakat. Menjadi budak dalam adat-istiadat demi kepentingan egois orang lainnya.
    Arjuna terjebak oleh rasa ibanya, oleh adat-istiadat dan simbul-simbol duniawi. Ia lupa tugas manusia sesungguhnya adalah demi dan untuk Yang Maha Esa, dan jalan ke Dia berarti meninggalkan semua milik duniawinya, baik yang berbentuk konkrit (nyata) maupun yang berbentuk abstrak. Dalam agama Kristen kita menjumpai suatu persamaan dalam hal ini, Nabi Isa (Yesus) pernah bersabda: “Seandainya seseorang datang kepadaKu tetapi belum bersedia meninggalkan ayah-bundanya, anak-istrinya, dan saudara-saudaranya, maka ia tidak akan menjadi muridKu”. Begitu pun dalam agama Hindu sering kita jumpai tokoh-tokoh spiritual di masa-masa yang silam yang harus meninggalkan “semua miliknya”, kalau sudah memilih jalan-Nya.
    Ini bukan berarti Sang Kreshna mengecam “rasa iba” atau perasaan “simpati” atas penderitaan seseorang: rasa iba adalah sifat seseorang yang satvik, tetapi rasa-iba yang sejati menurut versi Bhagavat Gita adalah yang tanpa moha, yaitu tanpa keterikatan duniawi. Rasa-iba yang sejati adalah ekpresi dari cinta atau kasih dari seseorang yang penuh dengan rasa “welas-asih”, dan tidak seseorang pun akan dapat mencintai sesuatu/seseorang dengan sejati tanpa memasuki “sinar pengetahuan ilahi”, dan bersedia berjalan lurus (tanpa keterikatan duniawi apapun juga) di jalannya sang dharma. Di atas, untuk sejenak Arjuna rupanya lupa akan dharmanya. Arjuna lupa dan belum sadar bahwa sanak-saudaranya yang sebenarnya bukanlah yang lahir secara fisik sebagai adik, kakak, ayah, ibu, paman, kakek, dsb, tetapi sanahk-saudara yang sejati adalah mereka yang mencintai Yang Maha Esa dan seiman dalam naungan Yang Maha Esa.
    Arjuna masih hilang dalam kealpaannya. Ia lupa bahwa dharma mengharuskan seseorang untuk melaksanakan semua kehendak Yang Maha Esa tanpa pamrih, sama sekali tanpa imbalan sesuatu apapun juga baik itu pahala atau pintu surga, tanpa apapun juga, titik. Hanya bekerja untuk dan demi Dia! Rasa iba yang sejati harus didasarkan atas dharma. Sang Rama sendiri untuk menegakkan dharma berperang melawan Rahwana, dan di Bhagavat Gita Sang Kreshna menganjurkan jalan yang sama kepada Arjuna, agar Arjuna lepas dari Choka (kesedihan) dan moha (keterikatan atau cinta duniawi).
    Di dalam Bhagavat Gita ajaran penting yang tersirat dalam “bunuhlah atau kekanglah pintu-pintu nafsumu”. Agama-agama yang lain pun selalu mengajarkan hal yang sama: Zoroaster misalnya mengatakan “berperanglah terhadap iblis tanpa henti-hentinya,” Sang Buddha berperang dengan Sang Mara. Yesus berperang dengan Syaitan, dan masih banyak contoh dari agama-agama yang lain. Arjuna di atas masih lupa bahwa ia harus berperang melawan Duryodana demi tegaknya dharma.

1.37-38
yady  apy  ete  na  paśyanti     lobhopahata-cetasah
kula-kşaya-kŗtam  doşa     mitra-drohe  ca  pātakam
katham  na  jñeyam  asmābhih    pāpād  asmān  nivartinum
kula-kşaya-kŗtam  doşam     prapaśyabhir  janārdana
yady—kalau;  apy—walapun;   ete—mereka;  na—tidak;  paśyanti—melihat;  lobha—oleh kelobaan upahata—dikuasai;  cetasah—hati mereka;  kula-kşaya—dalam membunuh keluarga; kŗtam—dilakukan;  doşa—kesalahan;  mitra-drohe—dalam bertengkar dengan kawan-kawan; ca—juga; pātakam—reakasi-reaksi dosa;  katham—mengapa; na—seharusnya tidak; jñeyam—menjadi terkenal;  asmābhih—oleh kita;  pāpāt—dari dosa;  asmāt—ini;  nivartinum—berhenti;  kula-kşaya—dalam membinasakan keluarga besar;  kŗtam—dilaksanakan; doşam—kejahatan;   prapaśyabhih—oleh orang yang dapat melihat;  janārdana—O Kŗşņa.
O Janārdana, walaupun orang ini yang sudah dikuasai oleh kelobaan tidak melihat kesalahan dalam membunuh keluarga sendiri atau bertengkar dengan kawan-kawan, mengapa kita yang dapat melihat bahwa membinasakan satu keluarga adalah kejahatan harus melakukan perbuatan berdosa seperti itu? (Prabhupāda).
yadi api—walapun juga; yadyapi ete—ini; paśyanti—melihat;  lobha—loba; upahata—buta;  cetasa—–pikiran; kulakşaya—musnahnya keluarga; kulakşayakŗtam—dengan musuhnya keluarga;  doşam—dosa, penderitaaan;  mitradrohe—penindasan oleh sahabat; pātakam—kejahatan;  katham—bagaimana jñeyam asmābhih—diketahui oleh kami  pāpād asmān—dari dosa kami; nivartinum—untuk mengusir; kula-kşaya—kehancuran keluarga; prapaśyabhir—tampak jelas.
Walaupun mereka yang jiwanya dikuasai oleh kelobaan tidak melihat adanya dosa membunuh keluarga dan tidak melihat kejahatan karma menindas. Namun mengapa kita ketahui dosa itu, untuk melenyapkannya dari perbuatan dosa, oleh kita menyadari dengan jelas yang akan membasmi keluarga sebagai suatu dosa. (Gde Pudja).
Walaupun bagi mereka yang pikirannya dikuasai oleh ketamakan, tidak melihat kesalahan dalam memusnahkan keluarga dan tidak merasa berbuat jahat dalam membasmi kawan;. Mengapa kita tidak memiliki kebijaksanaan untuk berpaling dari dosa semascam ini, wahai Janārdana (Kŗşņa); kita yang melihat kesalahan dalam memusnahkan sanak keluarga ini? (Maswinara).
Dengan hati yang dikuasai oleh keserakahan, maka tidak terlihatlah kesalahan ini yang akan mengakibatkan hancurnya keluarga kita dan penghianatan atas teman-teman dan para sahabat. Mengapa kita tidak memiliki kebijaksanaan  untuk menjauhi dosa semacam ini, wahai Kreshna – bukankah kita melihat kesalahan ini akan mengakibatkan kehancuran keluarga kita? (TL.Wasvani).
Ket : Arjuna masih menilai bahwa sesuatu kewajiban harus dilaksanakan dengan memikirkan imbalan yang duniawi sifatnya. Sedangkan dharma yang sejati tidak menuntut apa-apa. Dahrma  harus ditegakkan demi Yang Maha Kuasa, dan apapun yang diberikanNya sesudah itu, baik yang menyenangkan untuk kita atau yang membuat kita menderita karenanya, haruslah diterima sebagai pemberianNya. Dan itu harus ihlas, tanpa pamrih. Semua dharma kita adalah kewajiban dan persembahan kita kepadaNya, bahkan harus penuh dengan tanggung-jawab yang tulus kepadaNya bukan kepada kehendak unsur-unsur duniawi yang banyak terdapat disekitar kita, yang kalau dihitung seakan-akan tiada habisnya.

1.39
kula-kşaye  praņaśyanti     kula-dharmāh  sanātanāh
dharme  naşţe  kulam  kŗtsnam     adharmo ‘bhibhavaty  uta
kula-kşaye—dalam membinasakan keluarga;  praņaśyanti—dihancurkan; kula-dharmāh—tradisi-tradisi;  sanātanāh—kekal;  dharme—dharma;  naşţe—dibinasakan;  kulam—keluarga;  kŗtsnam—seluruh; adharmah—hal-hal yang bertentangan dengan dharma; abhibhavati—berubah; uta—dikatakan.
Dengan hancurnya sebuah dinasti, seluruh tradisi keluarga yang kekal di hancurkan, dan dengan demikian sisa keluarga akan terlibat dalam kebinasaan yang bertentangan dengan dharma. (Prabhupāda).
kulakşaya—dengan hancurnya keluarga; praņaśyanti—lenyap; kula-dharmāh—kebiasaan (adat) keluarga;  sanātanāh—abadi, kekal;  dharme naşţe—dengan lenyapnya adat kebiasaan; kŗtsnam-adharmah—semua adharma; abhibhavatyuta—terjadi, timbul.
Dengan hancurnya semua keluarga, adat istiadat keluarga yang turun temurun akan hancur dan lenyapnya tradisi, keluarga akan dikuasai oleh ketiada kepastian hukum. (Gde Pudja).
Dalam hancurnya keluarga, hukum-hukum tradisinya juga musnah; dan apabila hukum-hukum itu lenyap, maka keseluruhan keluarga juga akan berakibat menjadi tanpa dasar hukum. (Maswinara).
Dengan hancurnya sebuah keluarga, hancurlah juga semua tradisi-tradisi lama kita (kuladharma) dan dengan hancurnya tradisi-tradisi, larangan dan peraturan-peraturan nenek-moyang kita, maka kekacauan menguasai keluarga kita semuanya. (TL.Wasvani).

1.40
adharmābhibhavāt  kŗşņa     praduşyanti  kula-striyah
strīşu  duşţāsu  vārşņeya     jāyate  varņa-sańkarah 
adharma—hal-hal yang bertentangan dengan dharma; abhibhavāt—setelah menonjol; kŗşņa— Kŗşņa;  praduşyanti—dicemari;  kula-striyah—para wanita dalam keluarga; strīşu—oleh kaum wanita;  duşţāsu—dengan dicemari seperti itu;  vārşņeya—O putra keluarga Vŗşņi; jāyate—terwujud; varņa-sańkarah—keturunan yang tidak diinginkan.
O Kŗşņa, apabila hal-hal yang bertentangan dengan dharma merajalela dalam keluarga, kaum wanita dalam keluarga ternoda, dan dengan merosotnya kaum wanita, lahirlah ketuturnan yang tidak diinginkan, wahai putra keluarga Vŗşņi. (Prabhupāda).
adharmabhibhavāt—oleh karena ketidak adaan hukum menjadi karup; menjadi tidak suci kula-striyah—wanita yang telah berkeluarga; strīşu duşţāsu—kalau wanita tidak suci; jāyate—menimbulkan, melahirkan; varņasańkara—kekacauan keluarga.
Bila adharma berkecamuk o Kŗşņa, wanita-wanita jadi tidak suci dan bila wanita-wanita sudah tidak suci lagi aturan tentang warna tidak menentu. (Gde Pudja).
Dan apabila tirani merajalela, wahai Wārşņeya (Kŗşņa), para kaum wanita dari keluarga akan menjadi ternoda dan bila para wanita telah ternoda, tatanan warņa āśrama menjadi kacau tidak karuan. (Maswinara).
Dan kalau kekacauan ini (adharma) berkelanjutan, maka wahai Kreshna, wanita-wanita dalam keluarga ini akan berjalan serong. Dan kalau para wanita kita telah berlaku serong, oh Kreshna, akan terjadi percampuran dalam sistim kasta. (TL.Wasvani).
Ket : Arjuna amat khawatir bahwa kehancuran dalam keluarga besar mereka akan menghancurkan juga nilai-nilai lama tradisi mereka, dan lebih dari itu, jug akan menghancurkan sistim kasta yang mereka pegang teguh.
    Di dalam Bhagavad Gita, kita akan menemukan bahwa sistim kasta yang dianut secara diskriminasi adalah salah, suatu yang tidak senafas dengan inti ajaran Bhagavad Gita.
    Peranan wanita dalam agam Hindu sebenarnya sangat vital dan suci, nasib sesuatu bangsa maupun keluarga sering sekali ditentukan oleh peranan seorang wanita yang dalam hal ini bisa berupa seorang ibu, istri, dan sebagainya. Tidaklah mengherankan kalau Arjuna sangat gundah akan hancurnya moral para wanita dalam keluarga besar mereka. Semenjak masa silam para wanita dalam agama Hindu selalu mendapatkan posisi yang agung dan suci, penuh tugas untuk dharma. Derajat mereka sebenarnya lebih suci dari para priya dan nilai mereka lebih tinggi. Ini dapat dibukti dari kedudukan para dewa-dewi dalam legenda-legenda Hindu, juga suatu upacara suci tidak akan sah kalau tidak dihadiri seorang wanita; juga peranan gadis-gadis yang masih suci amatlah vital dalam upacara untuk para leluhur  dan tentunya masih sekian banyak contoh-contoh lainnya yang dapat kita baca sendiri di epik Mahabarata dan Ramayana di mana peranan wanita amat menonjol penuh kebajikan.

1.41
sańkaro  narakāyaiva  kula-ghnānām  kulasya  ca
patani  pitaro  hy  esām  lupta-pindodaka-kriyāh
sańkarah—anak-anak yang tidak diinginkan seperti itu; narakāya—menyebabkan kehidupan seperti neraka; eva—pasti;   kula-ghnānām—bagi mereka yang membunuh keluarga;  kulasya—untuk keluarga;  ca—juga;  patani—jatuh;  pitaro—leluhur;  hi—pasti;  esām—dari mereka;  lupta—dihentikan;  pinda—dari persembahan makan;  udaka—air;  kriyāh—pelaksanaan.
Meningkatnya jumlah penduduk yang tidak diinginkan tentu saja menyebabkan keadaan seperti di neraka baik bagi keluarga maupun mereka yang membinasakan tradisi keluarga. Leluhur keluarga-keluarga yang sudah merosot seperti itu jatuh, sebab upacara-upacara untuk mempersembahkan makanan dan air kepada leluhur terhenti sama sekali.  (Prabhupāda).
sańkaro—kebingan; narakāyaiva—laksana untuk neraka; kulaghnānām—yang membunuh keluarga; patani—jatuh, patita;  pitaro—arwah para leluhur;  hyesām—yang ini;  lupta— (karena) kekurangan;  pinda—nasi tarpana;  odaka—air pada persembahan tarpana;  kriyāh—persembahan, yajna (tarpana).
Keruntuhan moral ini membawa keluarga dan para pembunuhnya ke neraka, arwah nenek moyang jatuh (ke neraka), semua tarpana, air dan nasi tidak ada lagi baginya. (Gde Pudja).
Kekacauan moral ini akan membawa keluarga itu sendiri ke dalam neraka, emikian pula  para pembunuhnya. Karenanya roh-roh para leluhur akan jatuh karena ketiadaan persembahan nasi dan air bagi mereka. (Maswinara).
Dan kehancuran ini akan menjerumuskan, baik keluarga kita maupun yang menghancurkan nilai-nilai tradisi, ke neraka. Dan arwah para leluhur pun akan terabaikan karena tak akan mendapatkan air dan sesajen (yang berbentuk bulatan terbuat dari beras). (TL.Wasvani).
Ket : Arjuna amat khawatir kalau peperangan ini akhirnya malah merusak nilai-nilai tradisi lama dan agama mereka, sehingga arwah para leluhur pun ikut makan getahnya dengan tidak mendapatkan sesajen lagi. Biasanya para wanitalah yang mengatur sesajen ini pada upacara-upacara keagamaan tertentu. Kalau wanita-wanita dalam keluarga mereka sudah tidak setia lagi kepada leluhur mereka tentu akan timbul kekacauan dalam tradisi ini, pikir Arjuna. Upacara sesajen untuk para leluhur disebut shraddha.

1.42
doşair  etaih  kula-ghnānām     varņa-sańkara-kārakaih
utsādyante  jāti-dharmāh      kula-dharmāś  ca  śāśvatāh
doşaih—oleh kesalahan-kesalahan seperti itu;  etaih—semua ini;  kula-ghnānām—oleh para pembinasa keluarga;  varņa-sańkara—anak-anak yang tidak diinginkan; kārakaih—yang menyebabkan;  utsādyante—dibinasakan; jāti-dharmāh—proyek-proyek dalam masyarakat;      kula-dharmāh—tradisi keluarga;  ca  śāśvatāh—kekal.
Akibat perbuatan jahat para penghancur tradisi keluarga yang menyebabkan lahirnya anak-anak yang tidak diinginkan, segala jenis proyek masyarakat dan kegiatan demi kesejahteraan keluarga binasa. (Prabhupāda).
doşaih—oleh karena dosa-dosa;  etaih—semua ini; kulaghnānām—hancurnya keluarga;  varņa-samkara—aturan tentang warna, kebiasaan dalam golongan; kārakaih—terdapat;    utsādyante—hancur; jāt-dharmāh—kebiasaan keluarga;  kula-dharmāh—hukum keluarga; śāśvatāh—selalu, selama-lamanya.
Karena dosa dan kehancuran keluarga ini membawa keruntuhan bagi hukum golongan, kebiasaan keluarga dan hukum keluarga hancur untuk selama-lamanya. (Gde Pudja).
Oleh perbuatan keliru yang dilakukan para penghancur keluarga tersebut dan mengacaukan keberadaan Warņa āśrama, hukum-hukum kasta yang sudah lama berlalu juga keluarga itupun akan hancur. (Maswinara).
Karena ulah yang menghancurkan keluarga kita ini, terciptalah kekacauan dalam sistim varna (kasta) yang ada dalam tradisi kaum kita dan hancurlah keluarga ini. (TL.Wasvani).
1.43
utsanna-kula-dharmāņām     manuşyāņām  janārdana
narake  niyatam  vāso     bhavatīty  anuśuśruma
utsanna—dirusakkan;  kula-dharmāņām—mengenai mereka yang mempunyai tradisi keluarga;     manuşyāņām—mengenai manusia seperti itu;   janārdana—O Kŗşņa;  narake—di neraka;  niyatam—selalu;  vāsah—tempat tinggal;  bhavati—menjadi seperti itu; iti—demikian;  anuśuśruma—saya sudah mendengar menurut garis perguruan.
O Kŗşņa, Pemelihara rakyat, saya sudah mendengar menurut garis perguruan bahwa orang yang membinasakan tradisi-tradisi keluarga selalu tinggal di neraka. (Prabhupāda).
utsanna kuladharmāņām—hancurnya hukum keluarga; manuşyāņām—dari pada manusia; narake—di neraka;  niyatam—dengan abadi; vāso—tempat tinggal;  bhavatīanuśuśruma—demikian yang telah kami dengar.
Kami sudah dengar ini oh Janārdana,Pmanusia yang kebudayaan dan hukumnya musnah Neraka tempatnya yang abadi. (Gde Pudja).
Dan kita semua telah mendengar ini, wahai Janārdana (Kŗşņa), bahwa orang –orang dari keluarga-keluarga yang hukum-hukum tradisinya termusnahkan, pasti akan dicampakkan di neraka. (Maswinara).
Dan kami dengar, wahai Kreshna, bahwa barangsiapa kehilangan nilai-nilai tradisi keluarga, mereka akan tinggal di neraka. (TL.Wasvani).

1.44
aho  bata  mahat  pāpam     kartum   vyavasitā   vayam
yad  rājya-sukha-lobhena     hantum  sva-janam  udyatāh
aho—aduh;  bata—alangkah anehnya;  mahat—besar;  pāpam—dosa-dosa; kartum—untuk melakukan;  vyavasitāh—sudah mengambil keputusan;  vayam—kita;  yat—karena;  rājya-sukha-lobhena—didorong oleh kelobaan untuk kesenangan kerajaan;  hantum—membunuh;  sva-janam—sanak keluarga;  udyatāh—berusaha.
Aduh, alangkah anehnya bahwa kita sedang besiap-siap untuk melakukan kegiatan yang sangat berdosa. Didorong oleh keinginan untuk menikmati kesenangan kerajaan, kita sudah bertekat membunuh sanak keluarga sendiri. (Prabhupāda).
aho—ah, (Aho bata);  mahat pāpam—sangat besar dosa itu; kartum—untuk dilakukan;  vyavasitā—telah tetapkan;  vayam—oleh kita;  yad—kalau;  rājyasukhalobhena—Karena loba dan menuruti nafsu untuk kerajaan;  hantum—membunuh;  svajanam—rakyat sendiri;  udyatāh—bersiap-siap. Ah, betapa besar dosa kita, merencanakan pembunuhan sanak keluarga hanya karena menuruti kesenagan dan loba menginginkan kerajaan dan kenikmatan. (Gde Pudja).
Aduh, betapa besar dosa yang kita tanggung dalam usaha kita membunuh orang-orang (keluarga) kita sendiri, akibat dari perasaan tamak akan kenikmatan memiliki kerajaan. (Maswinara).
Aduh, betapa besarnya dosa yang harus kita pikul dengan membunuh sanak-keluarga hanya demi kemewahan sebuah kerajaan. (TL.Wasvani).

1.45
yadi  mām  apratīkām     aśastram  śastra-pāņayah
dhārtarāşţrā  raņe  hanyus     tan  me  kşemataram  bhavet
yadi—kalau pun;  mām—kepada hamba;  apratīkām—tanpa melawan;  aśastram—tanpa bersenjata lengkap;  śastra-pāņayah—orang yang membawa senjata di tangan;  dhārtarāşţrā—para putra;  raņe—di medan perang;  hanyu—dapat membunuh;  tat—itu; me—bagi saya;  kşemataram—lebih baik;  bhavet—akan menjadi.
Lebih baik bagi saya kalau para putra Dhŗtarāşţra yang membawa senjata di tangan membunuh saya yang tidak membawa senjata dan tidak melawan di medan perang. (Prabhupāda).
yadi—kalau; mām—saya; apratīkām—tanpa perlawanan; aśastram—tanpa senjata; śastrapāņayah—dengan senjata di tangan;  dhārtarāşţrāh—para putra; raņe—dalam peperangan;  hanyus tanme—mereka harus membunuh saya;  kşemataram—akan lebih baik;  bhavet—akan jadinya.
Bagi saya akan lebih baik apabila Kaurawa dengan senjata di tangan menyerang saya dalam pertempuran tanpa senjata, tanpa perlawanan. (Gde Pudja).
Jauh lbih baik bagiku, apabila putra-putra Dhŗtarāşţra dengan senjata di tangan membunuhku  dalam pertempuran, mentara aku tetap tak melawan dan tanpa senjata. (Maswinara).
Lebih baik aku dibantai putra-putra Dhritarashtra dengan senjata mereka, dan tak akan kulawan mereka. (TL.Wasvani).
1.46
sañjaya  uvāca
evam  uktvārjunah  sańkhye     rathopastha  upāviśat
visŗjya  sa-śaram  cāpam  śoka-samvigna-mānasah
evam—demikian;  uktvā—berkata;  arjunah—Arjuna;  sańkhye—di medan perang; ratha—kereta;  upasthe—di tempat duduk;  upāviśat—duduk sekali lagi;  visŗjya—meletakkan di sampingnya;   sa-śaram—berserta anak-anak panah;  cāpam—busur;  śoka—oleh penyesalan;  samvigna—berduka cita;  mānasah—dalam pikiran.
Sañjaya berkata: setelah berkata demikian di medan perang, Arjuna meletakan busur dan anak panahnya, lalu duduk dalam kereta. Pikiran Arjuna tergugah oleh rasa sedih.
(Prabhupāda).
evam uktvā—setelah berkata demikian; arjunah—Arjuna;  samkye—dalam peperangan, di medan perang; rathopastha—di atas tempat duduk kereta (nya);  upāviśat—duduk;  visŗjya—menjatuhkan saśaram—anak panah (nya);  cāpam—busur panah;  śokaasam—dengan sedih; vigna mānasah—dengan pikiran yang menyedihkan.
Sañjaya berkata: setelah berkata demikian di medan perang, Arjuna duduk di atas keretanya menjatuhkan busur dan anak panahnya, dengan perasaan penuh diliputi duka. (Gde Pudja).
Sañjaya berkata: setelah berkata demikian di medan pertempuran, Arjuna duduk terhenyak di  keretanya, membuang busur dan anak-anak panahnya, dengan semangat yang diliputi oleh kedukaan.
Berkatalah sanjaya: Setelah mengatakan hal-hal tersebut (di medan perang) Arjuna terjatuh ke sandaran kursi (kereta perangnya), dan menghempaskan panah serta busurnya; seluruh jiwanya tercekam dengan rasa gundah-gulana. (TL.Wasvani).
Ket : Arjuna sebenarnya adalah seorang kshatrya yang bersih, tetapi pada saat ini hatinya diselimuti awan tebal. Ia sebenarnya, seakan-akan berbicara tentang vairagya (penyerahan diri secara total), tetapi hal ini dilakukannya karena keterikatannya kepada kepada sanak-keluarga dan harta duniawi, bukan vairagya kepada Yang Maha Esa. Banyak yang bertanya apa perbedaan antara cinta(moha) dan cinta-sejati? Yang pertama adalah kulit luarnya yang selalu terikat pada sesuatu benda atau seseoarang secara duniawi, sedangkan cinta-sejati adalah suatu ekspresi dari suatu kesadaran yang dianugrahkan oleh Yang Maha Esa kepada kita semuanya yang sebenarnya penuh dengan rasio, pertimbangan, dan perhitungan yang penuh tanggung jawab baik kepada masyarakat maupun Yang Maha Pencipta. Cinta-sejati tidak terikat pada batas-batas pribadi seseorang. Arjuna tidak dapat berperang karena ia masih terikat dalam batas-batas “miliknya,” ia masih mencintai semua sanak-keluarganya dalam batas duniawi. Arjuna lupa akan akhir hidup kita semua, tidak ada apapun yang akan kita bawa kembali ke alam sana, karenanya Arjuna masih harus belajar tentang nishkama-karma (sesuatu tindakan atau pekerjaan tanpa mengharapkan pamrih).
    Sang Kreshna maklum Arjuna sedang mengalami depresi mental yang sangat berat, Beliaupun memulai ajaran-ajaranNya demi membangun lagi jiwa-raga Arjuna agar terjun lagi penuh semangat dan vitalitas untuk menghadapi hidup ini yang penuh dengan segala cobaan tetapi juga tugas-tugas dari Yang Maha Pencipta untuk kita semua.
    Inti dari ajaran Bhagavat Gita adalah, pembinaan mental dari kita sendiri secara batin. Gita mengingatkan dan sekaligus mengajarkan bahwa kelemahan adalah dosa; sesuatu kekuatan diri haruslah dibina dengan disiplin yang kuat dan tanpa pamrih. Kekuatan ini harus bersih dari segala unsur-unsur duniawi dan penuh dengan gairah hidup demi dharma kita kepadaNya. Pesan Sang Kreshna dalam bhagavat Gita adalah, “berdirilah dan berperanglah melawan kebatilan.” Hidup adalah perjuangan demi nilai-nilai kebenaran; hidup juga adalah sebuah kuil atau pura dari pemujaan kita kepadaNya tanpa pamrih. Maju terus pantang mundur demi dharma-bhaktimu kepadaNya, bukan kepada hasrat-hasrat pribadimu dalam bentuk apapu juga.


iti  śrīmad bhagavadgītāsūpanişatsu  brahmavidyāyām yoga  śāstre
 śrīkŗşņārjunasamvāde arjunavişādayogo nāma prathamo ‘dhyāyah.
Dalam Upanişad dari Bhagavadgītā, ilmu pengetahuan Yang Mutlak, śāstra Yoga dan percakapan antara Śrī Kŗşņa dan Arjuna, ini merupakan bab pertama yang berjudul ‘keragu-raguan Arjuna’. (Maswinara).
    Dalam upanishad Bhagavat Gita, bab yang pertama ini disebut sebagai Ilmu-Pengetahuan tentang Ilahi, sebuah Karya Sastra yang berbentuk dialog antara Sang Kreshna dan Arjuna yang disebut juga: Arjuna Vishada Yoga (Yoga Sang Arjuna dalam Kedukaannya). (TL.Wasvani).
Ket : Bab pertama disebut “Vishada Yoga.” Vishada berarti depresi (karena duka), yoga di sini berarti bagian atau bab (bagian bahasan). Vishada yoga adalah permulaan dari Bhagavat Gita. Sebenarnya kalau ditelaah secara mendalam, maka rasa depresi atau vishada ini adalah anak tangga pertama menuju ke kehidupan spiritual atau kebatinan. Setiap manusia harus mengalaminya setelah tersandung dalam berbagai aspek kehidupannya yang gagal, dan masuklah ia kemudian ke dalam suatu kegelapan seakan-akan tanpa jalan keluar, kemudian barulah ia meniti secara perlahan dari gelap menuju terang. Dari setiap depresi ini kalau sudah tidak terlihat jalan keluarmaka kita akan berteriak dalam kedukaan yang amat dalam: “Apakah arti kehidupan ini? Apakah arti semuanya ini? mengapa kita harus dilahirkan? Kemana kita akan pergi sesuadh mati nanti? ‘Oh Tuahnku mengapa Kau lupakan daku?’ Mengapa Kau tinggalkan daku sendiri dalam duka ini?” dan “Oh Tuhan Dikau tak adil padaku!” dan lain sebagainya sebagai tanda-tanda frustrasi dalam diri kita.
    Setiap manusia kemudian harus masuk ke dalam suatu keheningan sebelum ia kemudian melangkah masuk dalam suatu ilmu pengetahuan tentang dirinya sendiri. Dalam keheningan ini setelah membunuh atau menguasai semua bentuk rasa egonya baik yang berbentuk positif (baik) maupun negatif (buruk), ia akan menemukan bahwa ia tidak sendiri dan semua ini ada yang mengatur. Ia akan menemukanNya, yang selalu mengayominya, menuntunnya dan kasih-sayang kepadanya. Ia (Yang Maha Esa) selalu hadir dalam setiap agama dengan bentuk dan versi yang berlainan sesuai dengan kepercayaan  masing-masing individu; dalam Hindu Dharma Ialah Sang Kreshna (Ilahi dalam bentuk manusia), Sang Penuntun jalan kehidupan kita. Camkanlah bahwa untuk mendapatkan penerangan, seseorang melalui jalan takdir biasanya harus mengalami kegelapan dulu. Begitu juga Arjuna dan begitu juga kita manusia, sampai suatu saat nanti, kita pun, seperti Sang Arjuna akan mengucapkan:
Engkaulah yang Terutama,
Engkaulah Tujuan yang Tertinggi,
Dari ujung ke ujung Kau penuhi alam semesta ini,
Oh Dikau Bentuk yang Tanpa Batas (Anantarupam).                                    [XI.38]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar