DWIJENDRA TATTWA
Om ksantawiya ta
sang hulun, tan
kawrateng capa
tulah, mangasta wa
Danghyang
mangke, Danghyang
Dwijendra
sinuhun, nganugraha tatwa
kwruh, tatwa
gama Hindu Bali, weda
mantra tembang
kidung, solah bawa
tatacara, lawan
pancayajna kabeh,
Dewa yajneka
maka di, gumawe
treptining
kahyun, raharja
jiwatmaningong,
mogha Danghyang
tulus asung,
mangacraya risang hulun,
sidharekang don,
swa nagara trpti
winong.
Artinya :
Ya Tuhan,
ampunilah kami, semoga
tidak tertimpa
kutuk dan kualat, karena
kami kini memuja
Dang Hyang
Dwijendra yang
merupakan guru suci,
yang
menganu-gerahkan ajaran ilmu
pengetahuan
suci, Ajaran Ketuhanan
Hindu Bali, Weda
Mantra dan
nyanyian-nyanyian
tingkah laku
peradaban hidup,
dan lima yadnya,
seperti Dewa
Yadnya, yang membuat
ketentraman
batin, selamat sentosa, jiwa
kami, semoga roh
suci Dang Hyang
tetap belas
kasihan, membantu kami,
berhasillah
cita-cita kami, negara kami
selamat
sejahtera diselenggarakan.
berikut sekilas perjalanan beliau yaitu :
Berikut sekilas cerita mengenai babad brahmana
Dalam babad brahmana ini diceritakan Dang Hyang Nirartha adik dari Dang Hyang Angsoka yang mana beliau dijuluki dengan beberapa
nama, pada awalnya Beliau tinggal di asrama bersama ayahnya Hyang Asmaranatha di
Wilwatikta.
Setelah dewasa Beliau meninggalkan asrama itu menuju
Daha. Begitu agama Islam mulai menyebar di Wilwatikta, sedikit demi sedikit
kerajaan Majapahit yang pernah berkuasa di Nusantara mengalami
kehancuran.
Pembesar-pembesar kerajaan dengan pengikut setianya
meninggalkan kerajaan, ada yang ke Pasuruan dan ada juga yang ke Brangbangan.berikut sekilas perjalanan beliau yaitu :
(1) DAHA
Pada waktu Sang Nirartha masih usiaa muda/jejaka, beliau mengambil
istri di Daha,
seorang putri dari Dang Hyang Panawaran yaitu golongan keturunan
Bregu di geria
Mas Daha yang bernama Ida Istri Mas.
Setelah menikah, Sang Nirartha dilantik (didiksa) oleh Dang
Hyang Panawaran
menjadi pendeta (Brahmana Janma) diberi gelar Dang
Hyang Nirartha. Dari pernikahan
ini Dang Hyang Nirartha mendapat dua
orang
putra-putri, yang sulung putri diberi nama Ida Ayu Swabhawa alias
Hyangning Salaga
(yang berarti dewanya kuncup bunga melur) sebagai nama
sanjungan karena
cantik jelita rupa dan perawakannya serta pula ahli tentang
ajaran batin.
Adiknya seorang putra diberi nama Ida Kulwan (artinya kawuh
atau barat) dan diberi
nama sanjungan Wiraga Sandhi yang berarti kuntum
bunga gambir,
karena tampan dan gagah perawakannya.
(2) PASURUAN
Sementara itu
kehidupan masyarakat di Jawa sangat kacau balau,
karena di
sana-sini terjadi perkelahian-perkelahian dan pertempuranpertempuran,
penumpasan-penumpasan
yang sangat mengerikan dan
menyedihkan di
antara orang-orang Jawa yang telah masuk agama Islam
dengan
orang-orang Jawa yang masih taat mempertahankan agama lamanya
(sesungguhnya
agama lama yaitu agama warisan leluhurnya dengan agama
baru yaitu agama
Islam sama saja hakikat tujuannya. Yang berbeda adalah
cara-caranya,
bahasa yang dipergunakan dan upakara, upacaranya, serta tata
tertib pergaulan
hidupnya). Akhirnya ‘kalah’ agama lama dengan Islam. Oleh
karena itu
orang-orang Jawa yang masih taat dengan agama lamanya yaitu
agama yang
diwariskan oleh leluhurnya, terutama orang-orang Majapahit,
banyak pindah antara
lain ke Pasuruan, ke pegunungan Tengger, ke
Brambangan
(Banyuwangi), dan ada yang menyeberang ke Bali. Ketika itulah
Dang Hyang
Nirartha turut pindah dari Daha ke Pasuruan disertai oleh dua
orang
putra-putrinya, sedang istrinya tidak disebutkan turut ke Pasuruan.
Setelah
berselang beberapa tahun lamanya di Pasuruan, maka Dang
Hyang Nirartha
mengambil istri pula, yaitu seorang wanita yang terhitung
saudara sepupu
olehnya, putri dari Dang Hyang Panawasikan bernama Ida Istri
Pasuruan, dengan
nama sanjungan disebut Diah sanggawati (seorang wanita
yang sangat
menarik dalam pertemuan) karena cantiknya. Perkawinan ini
menghasilkan dua
orang putra laki-laki, yaitu yang sulung diberi nama Ida
Wayahan Lor atau
Manuaba. Manuaba (mulanya Manukabha) berarti burung
yang sangat
indah karena tampan dan indah raut roman muka dan bentuk
raganya. Adiknya
bernama Ida Wiyatan atau Ida Wetan berarti fajar
menyingsing.
(3) BRAMBANGAN
(BANYUWANGI)
Kemudian Dang
Hyang Dwijendra pindah pula dari Pasuruan ke
Brambangan (banyuwangi)
disertai oleh empat orang putra-putrinya namun
istrinya tidak
disebutkan turut. Tiada beberapa lama antaranya Dang Hyang
Nirartha
mengambil istri di sana yaitu adik dari Sri Aji Juru-Raja Brambangan
bernama Sri
Patni Kaniten yang sungguh-sungguh cantik molek rupanya
sehingga
terkenal dengan sebutan ‘jempyaning ulangun’, yaitu sebagai obat
penawar jampi
orang yang kena penyakit birahi asmara. Beliau itu turunan
raja-raja
(dalem) dan turunan Brahmana, terhitung buyut dari Dang Hyang
Kresna Kepakisan
di Majapahit, putri dari raja Brambangan kedua. Saudara
adik dari raja
Brambangan ketiga yang menjadi raja ketika itu, tegasnya
bersaudara kumpi
sepupu Dang Hyang Nirartha kepada Sri Patni Kaniten.
Perkawinan ini
menghasilkan tiga orang anak, seorang putri dan dua
orang putra.
Yang sulung seorang putri bernama Ida Rahi Istri rupanya cantik
dan pandai dalam
ilmu kebatinan; yang kedua bernama Ida Putu Wetan atau
Telaga atau
disebut juga Ida Ender (yang berarti ugal-ugalan) karena terkenal
pandainya, kesaktiannya,
dan ahli ilmu gaib. Banyak tulisan buah tangannya.
Yang bungsu
bernama Ida Nyoman Kaniten (yang berarti tenag dan disiplin
air).
(4) MPULAKI /
DALEM MELANTING
setelah beberapa
tahun lamanya Dang Hyang Nirartha bertempat
tinggal di
Brambangan, maka terjadi suatu hal yang menyebabkan tidak baik
hubungan Dang
Hyang Nirartha terhadap Raja Sri Aji Juru, karena raja
mengandung benci
dan murka kepada Mpu Dang Hyang. Mpu Dang Hyang
didakwa oleh
raja memasang guna-guna disebabkan oleh keringat Dang Hyang
Nirartha harum
sebagai minyak mawar. Tiap-tiap orang turut berdekatan
dengan beliau
turut harum tanpa memakai minyak wangi. Adik wanita Sri
Dalem Juru
mengandung cinta birahi kepada Mpu Dang Hyang, sebab itu
Dang Hyang
Nirartha berusaha pindah dari Brambangan, hendak menyeberang
ke Bali bersama
tujuh orang putra-putrinya dan istrinya Sri Patni Kaniten.
Pada suatu hari
menyeberanglah sang pendeta bersama anak istrinya
mengarungi laut
selat Bali yang disebut Segara Rupek. Sang pendeta sendiri
waktu menyeberang
mempergunakan sebuah labu pahit (waluh pait) bekas
kele kepunyaan
orang desa Mejaya. Kaki-tangannya dipergunakan sebagai
dayung dan
kemudi. Penyeberangan selamat tidak mendapat rintangan suatu
apa. Dang Hyang
Nirartha seorang pendeta yang tajam perasaan intuisinya itu
mengerti bahwa
penyeberangannya itu selamat atas bantuan sebuah waluh pait
dan kekuasaan
Tuhan. Sebab itu beliau bersumpah dalam lautan tidak akan
mengganggu
hidupnya waluh pahit seumur hidupnya sampai pada turunanturunannya.
Adapun
anak-istrinya menyeberang menumpang jukung (perahu)
bocor yang
disumbat dengan daun waluh pahit, juga kepunyaan orang desa
Mejaya.
Tiada berapa
lama antaranya karena mendapat tiupan angin barat
yang baik, maka
beliau tiba di pantai pulau Bali bagian barat. Sang Pendeta
telah sampai
terlebih dahulu, menantikan anak-istrinya sambil menggembala
sapi. Di tempat
itu lama-kelamaan dibangun sebuah Pura kecil lalu dinamai
Purancak. Atas
petunjuk orang-orang gembala itu, sang pendeta bersama anakistrinya
berangkat
berjalan ke arah timur memasuki hutan belukar. Di tengan
perjalanan,
rombongan sang Pendeta agak ragu-ragu. Jalan kecil (lisikan;bali)
yang mana harus
dituruti, karena banyak cabangnya. Tiba-tiba muncul seekor
kera di tengah
jalan. Ia berjalan lebih dahulu sambil bersuara ‘grok-krok’
seraya
melompat-lompat di atas dahan-dahan pohon sebagai menunjuk jalan.
San pendeta
berkata kepada kera itu :
“Hai kera,
semoga turun-turunanku kelak tidak boleh menyakiti
kera dengan
dalih memelihara”, demikian
pastu beliau terus berjalan ke arah
timur bersama
anak-istrinya.
Tiba-tiba
bertemu dengan naga yang besar terbuka mulutnya sangat
lebar dengan
rupa dan bentuk yang dahsyat mengerikan. Putra-putri dan
istrinya
terperanjat hebat, nyaris lari cepat-cepat, namun sang pendeta dengan
wajah yang
tenang masuk ke dalam mulut naga itu. Setibanya beliau di dalam
perut naga itu,
dijumpainya sebuah telaga yang berisi bunga tunjung (teratai)
tiga warna yaitu
tunjung yang di pinggir timur berwarna putih, yang di pinggir
selatan merah,
yang di pinggir utara hitam. Ketiga kuntum tunjung itu dipetik
oleh sang
pendeta, yang merah dikenakan di telinga kanan, yang hitam di atas
telinga kiri,
yang putih dipegang dengan tangannya, lalu keluar dari perut naga
itu seraya
mengucapkan Weda Mantra “Hayu Werddhi”. Naga itu musnah
dengan tidak
meninggalkan bekas. Rupa sang pendeta terlihat oleh istri dan
putra-putrinya
berwarna merah dan hitam, kemudian berubah berwarna mas.
Melihat keadaan
yang demikian, maka putra-putri dan istrinya diserang oleh
parasaan takut
yang amat sangat, sehingga tidak dapat menahan dirinya, lalu
lari
tunggang-langgang masuk ke dalam hutan tidak tentu tujuannya, masingmasing
membawa dirinya
sendiri.
Dang Hyang
Nirartha setibanya di luar tercengang terperanjat
karena
anak-istrinya tidak ada lagi. Dengan perasaan yang sangat cemas sang
pendeta
tergopoh-gopoh mencarinya ke dalam hutan belukar yang rapat dan
padat
tumbuhannya, tambahan pula hari telah mulai menggelap. Untung tidak
jauh dari
tempatnya semula didapati istrinya seorang diri duduk bersimpuh
terengah-engah
dalam kepayahan, pucat-pasi, lesu-letih tidak dapat berjalan
lagi.
“Wahai
Ketut,” kata Dang Hyang Nirartha. “Kemana larinya anakanak
kita?”
“Ampun sang
Pendeta, hamba tidak tahu kemana larinya anak-anak
kita, karea
mereka lari tak berketentuan dan berpencar masing-masing
dengan
kehendaknya sendiri-sendiri. Hamba tidak dapat mengejar mereka
karena lesu
kepayahan,” jawab
istri beliau.
Sang pendeta
merasa cemas dan ada pula getaran perasaan yang
tidak enak
menyelinap dalam hatinya yang seakan-akan membisikkan ada
sesuatu bahaya
yang sedang menimpa putrinya.
Setelah istrinya
reda sedikit payahnya, lalu bangun bersama sang
pendeta berjalan
perlahan-lahan mencari dan mengumpulkan putra-putrinya di
dalam hutan yang
gelap diselimuti malam itu. Semalam-malam itu sang
pendeta terus
berjalan bersama istrinya sambil memanggil-manggil nama
putra-putrinya
itu. Karena suara panggilan itu maka lama-kelamaan dapat
dikumpulkan
putra-putrinya seorang demi seorang dan akhirnya kurang lagi
seorang, yaitu
putrinya yang tertua, Ida Ayu Swabhawa belum diketemukan.
Mpu Dang Hyang
disertai anak dan istrinya terus mencari Ida Ayu Swabhawa
sambil
memanggil-manggil namanya. Setelah lama dicari, ditemuinya telah
berbadan halus
(astral). Tampat rupanya pucat lesu.
“Apa sebabnya
kau lari sampai sejauh ini, anakku?” ’tanya Dang
Hyang Nirartha.
“Ampunilah
Mpu Dang Hyang...,” jawab Ida Ayu Swabhawa.
“Sebabnya
hamba lari sejauh ini, karena diserang oleh rasa takut yang sangat
hebat tatkala
melihat rupa ayahanda ketika baru keluar dari mulut naga,–
sebentar merah,
sebentar hitam. Hamba lari dan terus dibuntuti dan dkejar
oleh rasa takut
itu, sehingga lari hamba.....kian lama kian cepat
menghabiskan
tenaga......sampai ke luar hutan, memasuki daerah desa,
lalu....,” baru sampai
sekian katanya lalu Ida Ayu Swabhawa terdiam. Wajah
mukanya tampak
sedih pedih kemudian berkata lagi, “Mpu Dang
Hyang,....hamba
malu hidup sebagai manusia lagi...karena merasa cemar diri,
penuh dosa.
Kasihanilah hamba, ajarilah sungguh-sungguh supaya hamba
bersih dari
dosa, tidak dilihat orang. Bisa menjadi dewa di surga, tidak lagi
menjadi
manusia....”
Dang Hyang Nirartha
terharu hatinya mendengarkan, kasihan
kepada putrinya
dan murka kepada orang-orang desa (Pegametan) itu. “janga
khawatir,
anakku. Ayah akan sedia mengajarkanmu suatu ilmu rahasia, agar
anakku terlepas
dari segala dosa dan dapat duduk sebagai dewa.”
Lalu Ida Ayu
Swabhawa diajar suatu ilmu rahasia kaparamarthan
yang berkuasa
melepaskan segala dosa. Setelah selesai ajarannya maka Ida
Ayu Swabhawa
menggaib, suci dari dosa, menjadi dewi yang bernama Dewi
(Bhatari)
Melanting, yang
akan menjadi junjungan persembahan orang-orang
desa di sana.
Adapun ketika sang pendeta mengajar ilmu rahasia kepada
putrinya,
didengar pula oleh seekor cacing kalung, maka secara tiba-tiba
musnah dosa
cacaing itu, lalu menjelma menjadi seorang manusia perempuan
yang memohon
agar diperkenankan menghamba kepada Mpu Dang Hyang
dengan menyembah
kakinya sang pendeta dan mengajukan permohonan
tersebut,
sebagai pembalasan jasa beliau memusnahkan dosanya dan ia bisa
kembali menjadi
manusia. Sang pendeta menerima permohonannya, lalu diberi
nama Ni
Berit.
Ketika itu istri
Dang Hyang Nirartha, Sri Patni Kaniten yang telah
diberi gelar
Empu Istri Ketut, dalam keadaan payah berdatang sembanh
kepada sang
pendeta.
“Mpu Dang
Hyang, hamba tidak kuasa berjalan lagi. Rasanya ajar
hamba akan
datang. Izinkanlah hamba turut sampai di sini dan ajarilah juga
hamba ilmu yang
diberikan kepada putri Ida Ayu Swabhawa, agar hamba
terlepas dari
dosa dan papa kembali menjadi dewa.”
Dang Hyand
Dwijendra menjawab, “Baiklah, adikku. Diam di sini
saja
bersama-sama putri kita Ni Swabhawa. Ia sudah suci menjadi Bhatari
Dalem Melanting
dan engkau boleh menjadi Bhatari Dalem Ketut yang akan
dijunjung
disembah oleh orang-orang di sini di desa bersama orang-orangnya
yang ada di sini
yang akan kupralinakan (hanguskan) agar tidak kelihatan
oleh manusia
biasa. Semuanya akan menjadi orang halus, orang Sumedang.
Dan daerah desa
ini kemudian bernama Mpulaki,” kata Dang Hyang.
Setelah
mengajarkan ilmu rahasia kepada istrinya maka Mpu Dang
Hyang
mengeluarkan agni rahasia (api gaib) menghanguskan seluruh desa dan
penghuninya
sekalian.
(5) GADING WANI
Kemudian Dang
Hyang Nirartha bersama 6 orang putra-putrinya
berangkat
meneruskan perjalanan ke timur. Lalu mereka tiba di sebuah desa
bernama GADING
WANI. Kebetulan waktu itu orang-orangdesa diserang
penyakit sampar
(grubug; Bali). Bendesa (Kepala Desa) Gading Wani tatkala
mengetahui sang
pendeta datang lalu segera menjemput di tengah jalan, duduk
bersila
menyembah.
“Mpu Dang
Hyang, kami mengucapkan selamat datang. Bahwa
sang pendeta
telah sudi datang ke tempat kami yang sedang ditimpa penyakit
sampar. Setiap
hari ada saja orang-orang kami yang meninggal mendadak.
Kami mohon urip
(hidup) dengan hormat. Sudilah kiranya Mpu Dang Hyang
memberikan kali
obat agar kami sembuh dan wabah ini hilang,” harapnya.
Demikian katanya
seraya berlinang-linang air matanya. Dang
Hyang Nirartha
terharu dan belas kasihan mendengarkannya. Seketika Ki
Bendesa disuruh
mengambil air bersih ditempatkan di sangku, periuk atau
sibuh. Setelah
diberi mantram oleh sang pendeta, lalu disuruh memercikkan
kepada yang
sakit dan meminumnya. Mpu Dang Hyang beserta putra-putrinya
dihaturkan
pesanggrahan tempat beristirahat dan dipersiapkan hidangan berupa
santapan dan
buah-buahan. Orang yang sakit setelah diperciki dan meminum
air tirtha dari
Mpu Dang Hyang seketika itu sehat bugar kembali.
Pada sore
harinya (sandhyakala) sang pendeta memerintahkan
orang-orang
meletakkan ganten (kunyahan sirih) beliau itu di empat penjuru
tepi desa untuk
mengusir bhuta kala yang membuat penyakit. Orang-orang
desa yang diberi
perintah menyembah dan segera berjalan melaksanakannya.
Memang
benar-benar sang pendeta adalah orang yang sakti, seketika itu orang
desa dapat
membuktikan dan melihat bayangan bhuta kala itu lari ke dalam
laut, rupanya
beraneka ragam. Orang desa banyak yang turun menyaksikan
pemandangan yang
ajaib itu, dan semuanya heran terhadap kesaktian sang
pendeta. Mulai
ketika itu beliau diberi gelar PEDANDA SAKTI WAWU
RAWUH (pendeta sakti
yang baru datang). Yang pandai bahasa Kawi
menyebut beliau
DANG HYANG DWIJENDRA (raja guru agama).
Orang desa
semuanya riang gembira. Tiap-tiap hari bergilir
menghaturkan
santapan kehadapan sang pendeta dan putra-putrinya serta
membuatkan
pamereman (tempat tinggal) di desa Wani Tegeh. Harapan orangorang
desa agar sang
pendeta menetap di sana, tetapi sang pendeta keberatan
karena masih
akan meneruskan perjalanan ke timur. Kemudian Ki Bendesa
Gading Wani
mohon berguru dan mebersih (mediksa) menjadi pendeta. Sang
pendeta berkenan
meluluskan permohonannya agar ada orang tua pembimbing
agama di sana.
Ki Bendesa
diajar ilmu kebatinan dan ketuhanan. Selanjutnya
dibersihkan
(didiksa) menjadi pendeta (Dukuh) Gading Wani. Setelah itu
diberi suatu
panugrahan dicantumkan dalam “Kidung Sebun Bangkung” . Ki
Bendesa Gading
Wani setelahnya dilantik menjadi pendeta (Dukuh)
menghaturkan
anaknya wanita cantik kepada Dang Hyang Dwijendra yang
bernama Ni Jro
Patapan sebagai pangguru yoga, yaitu tanda bakti berguru
untuk menjadi
pelayan Mpu Dang Hyang Dwijendra dalam mengatur sesajensesajen
berama Ni Berit.
Dengan senang hati Dang Hyang Dwijendra
menerimanya.
(6) PURA RESI
DESA MUNDEH
Entah berapa
waktu lamanya Pedanda Sakti Wawu Rawuh
berasrama di
desa Wani Tegeh. Maka tersebarlah beritanya sampai ke desa
Mas, Gianyar,
yaitu sanak saudaranya Ki Bendesa Gading Wani yang
bertempat di
Mas, dan sanak keluarganya di desa Mundeh, Kaba-Kaba.
Pada suatu hari
Ki Pangeran Mas mengadakan persiapan untuk
pergi ke dea
Wani Tegeh atau Gading Wani untuk memberitahu Dang Hyang
agar sudi datang
ke Mas. Sang pendeta menyetujui. Lalu berangkatlah sang
pendeta bersama
putra-putrinya dari desa Wani Tegeh menuju desa Mas.
Setelah tiba di
desa Mundeh , beliau dijemput oleh Ki Dendesa Mundeh di
tengah jalan
dengan suatu maksud mohon berguru pada sang pendeta, tetapi
ditolak oleh
sang pendeta karena permohonannya itu dilakukan ketika sedang
ada di jalan.
Tetapi oleh karena amat khidmat baktinya Ki Bendesa menjemput
beliau, maka ada
juga anugerahnya, yaitu debu tapak kaki beliau ketika beliau
berdiri berhenti
di tempat itu, laksana suatu lingga yang harus dihormati oleh
orang-orang
mundeh sampai kemudian. Ki Bendesa Mundeh amat senang
hatinya menerima
anugrah pendeta itu. Di tempat itu lambat laun dibangun
sebuah pura
bernama PURA RESI atau PURA GRIA KAWITAN RESI.
(7) MANGA PURI
(MANGUI)
Dari desa Mundeh
sang pendeta berangkat ke arah timur laut. Di
tengah jalan
beliau bertemu dengan sebuah aliran sungai. Di pinggi sebelah
baratnya ada
sebuah mata air. Airnya sangat suci dan sejuk. Di pinggirannya
terhias dengan
bunga-bungaan yang sedang mekar. Menebarkan bau harum
yang menyedapkan
penciuman hidung. Bunga rampai yang pupus gugur dari
kuntumnya
menutupi tanah seakan-akan kasur tilam sari, sungguh-sungguh
menggugah rasa
indah nikmat mesra membatin. Sang pendeta berhenti di
tempat itu,
dengan tenang melakukan yoga semadhi disertai pujastuti dan japa
mantra utama.
Dan di sekeliling beliau itu disebut Mangopuri (Mangui).
(8) PURA SADA
Tidak lama sang
pendeta ada di sana, lalu didengar oleh Ki Bendesa
Kapal turunan
dari Ki Patih Wulung, tentang sang pendeta ada di Mangopuri
(Mangwi). Maka
cepat-cepat Ki Bendesa Kapal datang menghadap Mpu Dang
Hyang untuk
menghaturi agar beliau berkenan singgah di sana serta
menjelaskan
bahwa beliau membawa surat pemberian Krian Patih Gajah Mada
yang berisi
perintah supaya memperbaiki pura Kahyangan yang ada di Bali,
dan pada waktu
itu kebetulan ada karya pujawali (odalan) di Pura Sada Kapal.
Demikian isi
permohonan Ki Bendesa Kapal. Sang pendeta memenuhi
permohonannya
dengan senang hati dan berangkat saat itu juga.
Tiada
diceritakan bagaimana beliau di tengah jalan. Akhirnya
tibalah sang
pendeta di dea Kapal lalu masuk ke dalam pura serta duduk di
balai piasan di
sebelah barat.
“Kaki Arya,” panggil
Dang Hyang kepada Ki Bendesa. “Siapakah
yang akan
menyelesaikan karya pujawali Bhatara di parahyangan ini?”
“Singgih Mpu
Dang Hyang,” jawab
Ki Bendesa. “Tiada lain Mpu
Guto kami aturi
di gunung Agung, untuk menyelesaikan karya pujawali ini.”
“Ki Arya,” panggil
sang pendeta. “Ki Guto itu adalah pelayanku
yang disangka
pendeta Brahmana. Ia adalah penjelmaan gandharwa yang
terkutuk
dahulunya. Yang harus diselesaikan olehnya segala caru yang kecil
dan untuk
upacara selamatan sawah ladang, demikianlah hak wewenangnya.”
Ujar sang
pendeta.
Tidak lama
antaranya maka datanglah rakyatnya yang diutus pergi
ke gunung Agung
mengaturi Ki Guto, memikul Ki Guto dengan tandu
pegayotan serta
berpayung agung dan langsung masuk ke dalam parahyangan
pura Sada. Demi
dilihat Dang Hyanh Dwijendra duduk di balai piasan, maka
Ki Guto
cepat-cepat turun dari tandu duduk bersimpuh di hadapan sang
pendeta seraya
mohon ampun atas kesalahan tingkah lakunya.
“Hai Guto, mulai
sekarang kamu jangan menipu masyarakat
umum. Aku
mengampuni kesalahanmu,” ucap sang pandita.
Demikianlah kata
sang pandita kepada Ki Guto, kemudian menoleh
kepada Ki
Bendesa.
“Kaki Arya,
ketahuilah bahwa aku yang mengutus Ki Guto pergi ke
Bali untuk
menyelidiki Dalem Sri Watorenggong, telah lama tidak muncul lagi
ke Jawa. Kini
urungkan Ki Guto menyelesaikan upacara pujawali di sini!”
perintah Dang
Hyang. “Yang patut dihadapinya adalah korban (caru)
terutama pada
waktu tileming kesanga (bulan mati pada bulan kesembilan
pada kalender
Bali, sekitar bulan Maret-April), anangluk mrana (pengusir
hama), mebalik
sumpah di sawah ladang, dan amugpug desti teluh tranjana
(menghalau sebangsa
ilmu hitam). Itulah wewenangnya. Jika ditugaskan
untuk pujawali
persembahyangan Dewa di pura-pura, panas kesakitan
masyarakat desa
olehnya.”
Ki Guto dan Ki
Bendesa menyembah berulang-ulang. Dang Hyang
Dwijendra
dihaturi memuja menyelesaikan upacara pujawali di Pura Sada,
sedang Ki Gito
disuruh memuja pada upacara korban (pecaruan).
(9) DESA TUBAN
Setelah selesai
upacara odalan di Pura Sada, maka sang pendeta
bersama
putra-putrinya dan 2 orang pelayannya pergi ke arah selatan, tiba di
desa Tuban di
daerah selatan Badung. Beliau dijemput oleh orang-orang desa
Tuban. Semuanya
dengan hormat dan tulus ikhlas menghaturkan hidangan
santapan kepada
sang pendeta dan putra-putrinya semua. Sementara sang
pendeta diam di
sana, banyak ikan laut yang tertangkap. Itu adalah karena
kasidhian
(kesaktiak) Pedanda Sakti Wawu Rawuh itu. Demikian juga tanamtanaman
dan segala
sesuatunya menjadi baik semuanya.
Pada suatu hari
sang pendeta dan putra-putrinya dihaturi hidangan
yang penuh
dengan berbagai masakan ikan laut. Sang pendeta bersama putraputrinya
dengan senang
menikmati hidangan yang luar biasa itu. Setelah
bersantap ada
masih tersisa ikan separo. Setelah diberi mantram oleh sang
pendeta lalu
dilemparkan ke dalam laut, maka ikan itu hidup kembali dan
diberi nama ikan
tampak (telapak), oleh karena dagingnya habis sebagian. Ikan
tampak itu
diberi mantra suci oleh Dang Hyang Nirartha dan diumumkan
kepada
orang-orang yang ada di sana, apabila kemudian ada orang magawe
hayu
(melaksanakan upacara untuk kesejahteraan), ikan itu boleh digunakan
sebagai isi
sesajen suci. Orang-orang desa Tuban yang kebetulan ada di tempat
itu melihat dan
menyaksikan keadaan yang sedemikian itu, semuanya
tercengang,
heran takjub dengan kesaktian sang pendeta itu. Kemudian sang
pendeta mengajar
dan menasihati orang-orang desa Tuban membuat pukat
(bubu) tanpa
umpan agar banyak mendapat ikan dengan cara diam-diam.
(10) ARYA TEGEH
KURI
Kurang lebih
tujuh hari lamanya sang pendeta di desa Tuban, maka
datang Kyayi
Arya Tegeh Kuri menjemput sang pendeta bersama putraputrinya
agar sudi
simpang di puri beliau. Pada suatu ketika berangkatlah sang
pendeta
diiringkan oleh Kyayi Tegeh Kuri.
Setibanya di
desa Buangan terpaksa beliau berhenti dalam sebuah
parahyangan pura
Batan Nyuh karena dihalangi oleh banjir besar.
Banyak orang
yang datang mengahadap dari sebelah timur jalan
memalui jembatan
gantung, semuanya menyembah serta memohon pengalah
air oleh karena
rumah-rumah mereka dilanda banjir. Sang pendeta belas
kasihan kepada
orang-orang yang kena bencana alam kebanjiran itu. Lalu
beliau
memberikan sepotong kayu anceng (tongkat) yang telah dirajah Sang
Hyang Klar,
disuruh agar dipancangkan di muara banjir itu. Dengan tiba-tiba,
menggelombang
naik air itu lalu bertolak lari ke barat memutus jalan. Sangat
heran
orang-orang yang melihat tentang kekuatan batin sang pendeta demikian
itu. Orang-orang
desa berdatangan menghaturkan buah-buahan dan antapsantapan
lainnya. Tidak
diceritakan lebih lanjut tentang sang pendeta di tengah
jalan, akhirnya
tiba di puri Arya Tegeh Kuri di Badung.
(11) DESA MAS
Setelah beberapa
lama beristirahat di Badung, maka datang Ki
Pangeran Mas
menjemput Mpu Dang Hyanh diaturi pergi ke desa Mas. Dang
Hyang Dwijendra
bersama putra-putri dan dua orang pelayan beliau pergi ke
desa Mas. Di
sana beliau dibuatkan Gria (rumah untuk para Brahmana) yang
baik, sehingga
menetap sang pendeta , diam di desa Mas.
Lama-kelamaan Ki
Pangeran Mas menghaturkan anaknya wanita
yang amat
cantik. Putri Bendesa Gading Wani, yang dipakai pelayan oleh sang
pendeta bersama
Ni Berit, kini dipakai pelayan oleh putrinya Pangeran Mas
yang bernama
Sang Ayu Mas Genitir. Kemudian setelah itu Pangeran Mas
dibersihkan
(didiksa) oleh Mpu Dang Hyanh, menjadi pendeta dan telah lama
paham tentang
Agama, ilmu ketuhanan, dan ilmu batin.
Setahun telah
berselang pertemuan suami-istri Dang Hyang Nirartha
dengan Sang
Istri Mas Genitir lalu melahirkan seorang putra diberi nama Ida
Putu Kidul.
Dalam antara itu
ada seorang pelayan Pangeran Mas bernama Pan
Geleng
menghaturkan sebuah pusuh (jantung pisang) pisang batu yang berisi
gading mas asal
tanamannya sendiri kepada Dang Hyang Dwijendra.
Kata Dang Hyang
waktu menerima pusuh pisang batu, “semoga
Pan Geleng kaya
sampai seturun-turunannya kelak.”
(12) PERGAULAN
HIDUP BRAHMANA
WANGSA
Diceritakan pada
suatu hari sang pendeta memangcing di taman,
berdiri di
tengah telaga, kakinya beralas daun tunjung (teratai), bisa
mengambang dan
tidak tenggelam. Setelah banyak mendapat ikan, sang
pendeta berhenti
memancing, lalu mandi menyucikan diri, kemudian
melakukan Surya
Sewana. Setelah selesai, sang pendeta dihaturi hidangan
santapan.
Setelah beliau selesai bersantap maka keempat putranya disuruh
meneruskan
menkmati. Empat orang putranya yaitu Ida Putu Kemenuh
(Daha), Ida Putu
Manuaba (Pasuruan), Ida Putu Telaga (Brambangan), dan
Ida Putu Mas
(desa Mas),
yang yang biasa disebut Kulwan, Lor, Wetan, dan
Kidul. Sedang
para putranya itu menikmati hidangan maka sang pendeta
memberikan
nasihat.
“Anakku
semuanya, engkau boleh saling cuntakain sampai turunturunanmu
kemudian. Saling
cuntakain artinya tenggang rasa, gotongroyong,
bela-membela,
dalam keadaan suka-duka hidup di dunia. Apabila
seseorang
berduka maka semuanya harus berbelasungkawa. Tentang
perkawinan boleh
ambil-mengambil. Tiap orang yang lebih tua dan pandai
boleh dipakai
guru (nabe). Jika kemudian engkau lupa akan ikatan
bersaudara,
semuga salah satu di antaranya yang melanggar amanatku ini
turun da surut
derajat kewibawaannya.” Demikian amanat sang pendeta.
Lama-kelamaan
terjadi hal yang agak ganjil mungkinkarena kodrat
Tuhan, yaitu
Dang Hyang menjamah pelayan Sang Istri Ayu Mas anak dari Ki
Bendesa Gading
Wani yang bernama Jro Patapan, akhirnya berputra seorang
laki-laki
bernama Ida Wayan Sangsi atau Ida Patapan.
Lain dari itu,
pelayan yang bernama Ni Berit pada suatu malam
dijumpai sedang
mengeluarkan air kencing sebagai air pancuran sehingga
menembus tanah
sampai sehasta dalamnya, lalu dijamah juga oleh sang
pendeta,
kemudian melahirkan seorang putra laki-laki diberi nama Ida
Wayahan Tamesi
atau Ida Bindu.
Diceritakan
setelah dua orang putranya terakhir sama-sama besar,
sang pendeta
pagi-pagi pergi pula ke suatu telaga di taman untuk memancing
ikan, berdiri di
tengah telaga beralas daun tunjung, tetapi tetapi daun tunjung
itu tenggelan
sepergelangan kaki sang pendeta, dan terlihat oleh beliau ikan
kakul (siput)
yang telah disantap dagingnya, sisanya dilemparkan ke dalam
telaga, lalu
hidup kembali. Dalam keadaan seperti itu menyelinap suatu
perasaan ke
dalam hati sanubarinya, bahwa dua orang putranya yang terakhir
ini akan surut
perbawanya. Setelah selesai memancing lalu beliau bersiram
menyucikan diri,
kemudian pulang dan masuk ke tempat pemujaan, lalu
melakukan
pemujaan seperti biasa.
Setelah keluar
dari tempat memuja maka dihaturi hidangan untuk
bersantap.
Setelah sang pendeta habis bersantap maka dipanggil putranya
keenam orang untuk
makan bersama-sama dalam satu hidangan. Putraputranya
berenam telah
siap untuk makan bersama (magibug) satu hidangan,
demi
masing-masing telah menggenggam nasi kepelan di tangannya, maka
tiap-tiap alat
makan itu berkontak berkelahi dengan kawan-kawnnya. Ada
yang bertarung,
ada yang jatuh, ada yang berbenturan di dulang, yang kalah
membalas pula
dan lain sebagainya sehingga alat-alat makan itu berantakan.
Hal itu dilihat
oleh sang pendeta, lalu orang disuruh membawakan lagi
makanan dua
hidangan yang berlain-lainan. Setelah siap, maka Ida Wayahan
Sangsi (Ida
Patapan) makan menjadi satu hidangan, dikumpulkan dengan Ida
Bindu. Sedang
putranya empat orang lagi makan menjadi satu hidangan.
Dengan keadaan
yang demikian maka tentramlah keadaan masing-masing,
asyik menikmati
hidangan dengan sepuas-puasnya tidak ada suatu sengketa
pun yang
terjadi.
Sementara sang
pendeta memberikan nasihat, “Anakku sekalian,
dengarkanlah
nasihatku baik-baik. Anakku Putu Sangsi dan Putu Tamesi
dalam
kehidupanmu turun-temurun boleh sembah-kasembah dan boleh ambilmengambil
istri, tetapi
dalam turun-turunannya anak-anakku empat orang
lagi, (yaitu
Putu Kulwan, Putu Lor/Manuaba, Putu Wetan, dan Putu Mas)
tidak boleh.
Tetapi engkau Putu Sangsi dan Putu Bindu seturun-turunanmu
boleh
menghaturkan sembah, menghaturkan putri dan berguru kepada
saudara-saudaramu
yang empat orang ini dan turun-turunannya, sebab
ibumu adalah
orang-orang pelayan. Demikianlah harus diingat benar-benar
amanatku ini.
Siapa yang melanggar akan mendapat papa, surut wibawa dan
wangsanya.” Demikian amanat
Dang Hyang Dwijendra.
(13) KI GUSTI
PANYARIKAN DAUH BALEAGUNG
Lambat laun
tersebar berita Dang Hyang sampai Ke Gelgel,
bahwasanya ada
seorang pendeta sakti baru datang disebut oleh umum
Pedanda Sakti
Wawu Rawuh, saktinya hampir sama dengan pendeta Loh
Gawe. Sebab itu
Dalem Watu Renggong (Raya Bali saat itu) sangat besar
hasratnya untuk
memanggil pendeta sakti itu untuk dijadikan gurunya. Pada
suatu hari diutus
Ki Gusti Penyarikan Dauh Baleagung pergi ke desa Mas
untuk menghaturi
Dang Hyang agar datang ke Gelgel dan diharapkan datang
esok harinya.
Pada hari yang
baik berangkatlah Gusti Penyarikan mengendarai
kuda putih,
berpakaian putih, hanya giginya saja yang hitam. Setibanya di
desa Mas,
dilihatnya Ki Bendesa Mas sedang menghadap sang pendeta di
sebuah pendopo
kecil, maka segera beliau turun dari kendaraan.
KI Gusti
Penyarikan segera duduk menghadap sang pendeta seraya
memperkenalkan
diri dan mempermaklumkan kedatangannya itu. Setelah
banyak
kata-katanya menceritakan keadaan di Bali kemudian timbul
pikirannya
hendak menyelami pengetahuan sang pendeta tentang ajaran
pemerintahan
negara.
Setelah sang
pendeta menjelaskan tentang tata negara, Kyayi
Panyarikan
merasa sangat beruntung dalam hatinya, sebagai kodrat Tuhan
mempertemukannya
dengan seorang pendeta sakti dan ahli dalam bidang
agama. Lalu
mengajukan permohonan agar ia diangkat sebagai muridnya,
berguru kepada
sang pendeta, belajar rahasia ilmu ketuhanan dan akhirnya
memohon
dibersihkan dan dinobatkan sebagai Bagawan, pendeta ksatria.
Sang pendeta
berkekan mengabulkan permohonan Ki Gusti, pada
malam harinya
sang pendeta mengajarkan rahasia ilmu ketuhanan dengan
yoga samadhinya
dengan Weda mantra yang penting-penting.
Ki Gustu memang
sudah mempunyai dasar dan bakat yang baik
tentang ilmu
ketuhanan, karena usaha dan latihannya sendiri. Sebab itu ajaran
sang pendeta
cepat dapat ditampung dan dipenuhinya. Besok paginya
kebetulan hari
baik, beliau didiksa oleh sang pendeta menjadi Bhagawan.
Setelah itu Mpu
Dang Hyang lanjut memberikan nasihat dan ajaran penting
kepada muridnya,
sehingga kyayi Panyarikan terlambat sehari kembali ke
Gelgel mengiring
Dang Hyang Nirartha.
(14) PURA
SILAYUKTI, TELUK PADANG
Pagi-pagi
setelah dua malam lewat, maka Kyayi Penyarikan
berangkat
mengiring Pedanda Sakti Wawu Rawuh ke Gelgel sama-sama
mengendarai
kuda. Tiada diceritakan lagi di tengah jalan maka tibalah beliau
di Gelgel.
Tetapi sayang Dalem Watorenggong telah berangkat pagi-pagi ke
teluk Padangbai
untuk berburu binatang dan menangkap ikan diiringi oleh
para mantri
punggawa dan rakyat sangat banyaknya. Oleh karena demikian
halnya maka
terpaksa Ki Gusti Penyarikan mengiring Dang Hyang ke Teluk
Padang.
Setibanya di Padang,
sang surya telah lewat tengah hari, para
punggawa mantri
telah sama-sama mulai mencari pondoknya masing-masing.
Kyayi Penyarikan
mengiring Dang Hyang menuju pesanggrahan Dalem.
Dalem
Waturenggong agak murka kepada Ki Penyarikan, katanya,
“Kenapa
sampai lewat janji baru datang?! Sebagai bukan orang tua.
Penyarikan,
antarkan Mpu Dang Hyang ke parahyangan Mpu Kuturan!”
Setelah Dang
Hyanh Nirartha beristirahat, datang Dalem
Waturenggong
menghadap bersama beberapa orang pelayan membawa
santapan seraya
berkata, “Selamat datang, Mpu, maafkanlah keadaan tempat
yang tidak
sepertinya ini, dan silakan menikmati santapan ala kadarnya.”
Sang pendeta
mengucapkan banyak terima kasih, lalu berkata,
“Tuanku,
maafkanlah Ki Penyarikan agak terlambat pada janjinya, sebab
beliau ingin
berguru dan mempelajari ilmu ketuhanan dan minta didiksa
menjadi
Bhagawan. Kami sedia melakukannya. Jangan tuanku kecewa karena
belakangan,
sebab soal agama tidak mengenal carikan atau sisa-sisa, karena
agama adalah
soal ketuhanan yang suci,” demikianlah kata sang pendeta.
“tuanku,
apakah hari ini tuan mendapatkan banyak ikan?”
“Wah, kami
benar-benar sial, tidak dapat seekorpun!” jawab
Dalem
Waturenggong.
“Tuanku, cobalah
sekarang perintahkan rakyat tuanku menangkap
ikan dan berburu
binatang, kiranya banyak berhasil,” kata sang Pendeta.
Dalem menurut
sang pendeta, memerintahkan rakyatnya
mengulangi
menangkap ikan dan berburu. Sebelum rakyat masuk ke laut akan
menangkap ikan
dan ke hutan akan berburu binatang, sang pendeta keluar dan
berdiri di
halaman memandang ke laut memanggil ikan dan memandang ke
hutan memanggil
binatang. Tidak berselang lama banyaklah ikan dan binatang
tertangkap oleh
rakyat. Dalem dan sang pendeta sangat gembira melihatnya.
Setelah hari
sore semua rakyat penangkap ikan dan pemburu binatang telah
kembali ke
tempatnya dengan membawa hasil yang sangat banyak, dan Sri Aji
Bali dan sang
pendeta kembali lagi ke pesanggrahan. Pada malam harinya
sampai larut
malam Dalem Waturenggong bercakap-cakap dengan sang
pendeta tentang
agama. Tetapi soal mebersih (mediksa) Dalem masih berfikir.
Besok paginya
Dalem kembali ke Gelgel diiringi oleh seluruh
menteri,
punggawa, dan rakyat. Dalem duduk dalam satu pedati yang ditarik
kuda bersama
sang pendeta. Setibanya di kali Unda, jalan pedati berhenti
karena air
sungai sedang naik, banjir karena hujan di pegunungan.
Kemudian sang
pendeta membisikkan ajaran Aswa-Siksa, setelah
Dalem mengerti
dan paham tentang ajaran itu, terutama mantramnya, lalu
diambil oleh
beliau sebuah cambuk dan dilecutkannya dengan keras, maka
ujungnya keluar
api sedang pangkalnya keluar air amrta. Dalam keadaan
seperti itu kuda
mendobrak air sungai, kakinya tenggelam sepergelangannya
dan akhirnya
selamat ke tepi sungai di barat. Semua yang melihat sangat
heran.
Tiada
diceritakan lebih lanjut betapa iring-iringan raja Bali di
tengah jalan,
maka tibalah di istana Gelgel. Sang pendeta ditempatkan di
tempat yang suci
dengan menikmati hidangan yang secukupnya. Dalem pada
kesempatan ini
menceritakan sikapnya, katanya, “Mpu Dang Hyang, sampai
saat ini saya
belum ada niat akan mediksa, karena telah merupakan surudan
dari pangeran
Dawuh.”
Sang pendeta
menjawa, “Tuanku, maklumilah seyakin-yakinnya,
bahwa agama itu
tidak ada yang merupakan surudan (sisa-sisa), kalau
diandaikan sama
dengan air yang diucurkan,”
Sekalipun
demikian penjelasan sang pendeta, namun Dalem
Watorenggong
tetap pada pendiriannya tidak mau mediksa.
(15) IDA BURUAN
Diceritakan Ki
Gusti Penyarikan Dauh Baleagung yang telah
berkedudukan
sebagai pendeta Bhagawan acapkali menghadap kepada Dang
Hyang untuk
mendalami ajaran agama dan kebatinan sampai juga pada sastra,
tembang-tembang
bersanjak, pupuh, kidung, dan guru-lagu kekawin, sehingga
pengetahuan Ki
Gusti Bhagawan sungguh-sungguh padat dan suci. Lamakelamaan
sebaga pengguru
yoga (bakti kepada guru) beliau menghaturkan
seorang putrinya
yang cantik dan menaruh bakat agama serta kesusastraan
kepada Dang
Hyang. Dang Hyang Dwijendra menerima dengan senang hari
pangguru yoga
tersebut, lalu dinikahkan dengan putranya yang bernama Ida
Putu Lor. Dari
perkawinan ini menurunkan dua orang putra, yaitu Ida Wayan
Buruan dan Ida
Ketut Buruan.
Dang Hyang
Dwijendra mempunyai dua asrama (gria), yaitu di dea
Mas dan di desa
Gelgel. Tiap-tiap hari purnama atau tilem Sira Mpu tetap
masuk ke istana
menghadap Dalem diiringi oleh cucu-cucu beliau yang masih
kecil, Ida Wayan
Buruan. Pada hari-hari baik sedemikian itu Dalem dipuja
oleh Mpu Dang
Hyang dengan Weda pangjaya-jaya dan diperciki air tirtha
yang telah
diberikan mantram kekuatan batin ketuhanan. Dengan hal demikian
lambat laun
Dalem menjadi seorang raja besar perbawanya, karena segala
batin
kependetaan ada pada beliau, namun sayang beliau belum mau mediksa
karena belum
bersih hatinya didahului oleh Kyayi Penyarikan Dauh
Baleagung.
(16) DALEM
WATURENGGONG BERGURU,
MEDIKSA
Diceritakan Mpu
Dang Hyang Angsoka, kakak dari Dang Hyang
Nirartha membuat
suatu karangan yang diberi nama Smara Rencana dikirim
ke Bali kepada
adiknya, kemudian dibalas dari Bali oleh Mpu Nirartha dengan
kidung
Sarakusuma.
Dengan demikian
Dalem tahu bahwa Dang Hyang Angsoka
seorang pendeta
yang pandai, maka niatnya timbul akan berguru kepada
beliau. Lalu
Dalem mengirim utusan ke Daha untuk menghaturi Dang Hyang
Angsoka datang
ke Bali untuk menjadi gurunya sekalian memberi padiksaan.
Tetapi Dang
Hyang Angsoka menolak permintaan Dalem Bali. Beliau berkata
kalau di Bali
sudah ada Dang Hyang Nirartha yang lebih pandai darinya.
Beberapa lama
kemudian, tiba-tiba turun Betara Mahadewa dari
gunung Agung,
diiringi oleh sang Boddha datang ke Gelgel menemui Dalem,
beliau lalu
bersabda, “Anakku Dalem Waturenggong, jika tidak terus engkau
berguru kepada
Mpu Dang Hyang Dwijendra, karena tidak ada pendeta yang
sama dengannya,
tidak dapat dielakkan lagi bahwa negara akan kacau,
anakku. Segala
tanah tidak bisa dipetik buahnya, penyakit akan mengembang,
musuh akan
timbul banyak, dan tidak selamat negara olehmu,” demikian
sabda Beliau
lalu musnah dari pandangan. Dalem Waturenggong menyembah
dan berjanji
akan menaati sabda Betara.
Setelah itu
Dalem memohon dengan hormat kepada Dang Hyang
Dwijendra untuk
berguru dan didiksa. Mpu Dang Hyang dengan gembira
meluluskan
permohonan Dalem, karena telah lama dinanti-nantikan. Hari
untuk mediksa
dipilah hari purnamaning kapat (purnama bulan keempat dalam
kalender Bali).
Setelah tiba hari yang baik itu, maka dengan upacara kebesaran
Dalem didiksa
oleh Mpu Dang Hyang.
Setelah selesai
upacara pediksan itu, Mpu Dang Hyang memberi
nasihat tentang
tatacara orang memangku kerajaan dan supaya jangan lupa
kepada Tuhan dan
leluhur. Tetapi tatkala sedang menguncarkan Weda Puja,
jangan memegang
genta, menyamai Bhatara namanya, sangat berbahaya.
Setelah itu Sri
Aji Waturenggong kian mashyur namanya
memegang
pemerintahan, negaranya tenteram kerta raharja, makmur sandang
pangan, tidak
ada penyakit merajalela, dan tidak ada musuh timbul.
(17) SIRA AJI
KRAHENGAN DARI SASAK
Pada suatu
ketika Sri Aji Waturenggong mempermaklumkan
kepada Dang
Gurunya bahwa negara Bali sering diserang oleh Sri Aji
Krahengan dari
Sasak (Lombok) yang sangat sakti dan pandai mengubah diri
(maya-maya) dan
ahli melayang. Acapkali prajurit Dalem kalah dalam
pertempuran di
tepi laut, hanya itu saja yang menggangu negaranya. Sebab itu
beliau memohon
nasihat bagaimana caranya menghadapi musuh itu.
Dang Hyang
Dwijendra menjawab, “nanak Waturenggong,
baiklah, aku
akan coba pergi ke Sasak sebagai utusan nanak, untuk datang
kepada Sira Aji
Krahengan mengadakan persahabatan. Oleh karena untuk
keselamatan
bersama, lebih baik bersahabat daripada bermusuhan.
Bersahabat akan
lebih banyak mendapat keuntungan bersama, sedangkan
kalau bermusuhan
banyak mendapat kerugian.
Akhirnya, pada
suatu hari baik, Dang Hyang Dwijendra berlayar
dengan menumpang
jukung. Pelayarannya lancar dan tidak mendapat aral
suatu apa.
Setibanya di Sasak, langsung beliau masuk ke dalam purinya Sri
Aji Krahengan.
Ketika Sri Aji melihat pendeta datang, segera beliau turun dari
tempat duduknya
dan menjemput sang pendeta dengan hormat dan
dipersilakan
duduk dekat dengan beliau. Setelah bersama-sama menikmati
suguhan minuman,
maka Sri Aji Krahengan berkata dengan hormat
menenyakan
perihal kedatangan sang pendeta.
Dang Hyang
Dwijendra menjelaskan maksud beliau datang, itu atas
perkenan, bahkan
merupakan utusan dari Dalem Waturenggong untuk
mengadakan suatu
ikatan persahabatan kepada Sira Aji Krahengan. Dan
Hyang juga menyatakan
bahwa dengan persahabatan kita akan dapat
memupuk rasa
persaudaraan dan memecahkan masalah bersama, sebagai
tanda
persahabatan, Dang Hyang mengatakan bahwa ada baiknya kalau Sira
Aju memberikan
salah seorang putrinya untuk menjadi istri Dalem
Waturenggong.
“Sang pendeta,
harap dimaafkan saja, karena kami tidak dapat
memenuhi sebagai
anjuran sang pendeta itu. Sebaiknya sang pendeta pulang
saja!”
Dengan hal yang
demikian sang pendeta keluar dari dalam puri
seraya
mengeluarkan kata-kata kutukan, “Semoga si Krahengan surut
kesaktianmu dan
surut kebesaranmu!” Demikian
kata beliau seraya menuju
pesisir, naik ke
atas jukung yang ditumpangi tadinya lalu menuju pulau Bali.
Setelah beliau
tiba di Gelgel kembali, sang pendeta dijemput Dalem
Waturenggong
dengan khidmad.
“Wahai Dang
Guru, apakah berhasil usaha Dang Guru di sana?”
tanya Dalem
Waturenggong ketika mereka duduk bersama.
“Nanak
Waturenggong, tidak berhasil usahaku mengadakan ikatan
persahabatan
kepada si Krahengan dan aku telah memberi kutukan (pastu)
agar ia surut
kewibawaannya, tidak lanjut menjadi ksatria,” jawab sang
pendeta.
(18) PURA RAMBUT
SIWI
Setelah Dang
Hyang Dwijendra menjabat Pandita Kerajaan di
Gelgel dan sudah
memberikan diksa kepada Dalem Waturenggong, beberapa
tahun kemudian
beliau berniat untuk melakukan tirthayatra, melihat dari dekat
perkembangan
ajaran kerohanian di desa-desa. Untuk melaksanakan niat
Beliau tersebut,
beliau minta izin kepada Dalem Waturenggong agar beliau
berkekan
memberikan persetujuannya. Karena tujuannya sangat baik, Dalem
tidak
berkeberatan dan mengizinkan sang Mpu untuk melaksanakan
perjalanan
bertirthayatra itu.
Konon
berangkatlah beliau menuju arah barat, mula-mula sampai di
daerah Jembrana.
Kebetulan beliau sampai pada sebuah parahyangan yang
biasanya pura
itu dujaga oleh seorang penjaga pura sekalian sebagai pemilik
parahyangan itu.
Seperti kebiasaan sang penunggu parahyangan itu, setiap
orang yang lewat
di tempat itu diharuskan untuk bersembahyang terlebih
dahulu sebelum
mereka meneruskan perjalanan. Kebetulan hari itu yang
tengah lewat
adalah Dang Hyang Nirartha. Sang penunggu parahyangan itu
menegur sang Mpu
agar beliau mengadakan persembahyangan di tempat suci
itu. Dia juga
menjelaskan bahwa parahyangan itu sangat angker sekali.
Barangsiapa yang
tidak mau menghaturkan persembahyangan di sana, dia
tidak mau
menjamin keselamatannya. Pasti orang itu akan menemukan celaka.
Setelah sang Mpu
bertanya, kesusahan apa yang akan dialami orang-orang
yang tidak mau
menghaturkan persembahyangan di parahyangan itu, sang
penunggu
parahyangan itu mengatakan bahwa yang bersangkutan pasti akan
dimakan macan.
Di daerah sekitar itu banyak macan yang sangat ganas yang
merupakan
rencangan parahyangan ini.
Dia meminta berkali-kali
kepada Mpu Nirartha agar beliau mau
bersembahyang
terlebih dahulu sebelum beliau melanjutkan perjalanannya
agar benar-benar
selamat di perjalanannya nanti. Mpu Nirartha menuruti
perkataan sang
penjaga pura itu, seraya beliau mempersiapkan diri akan
bersembahyang.
Di situ beliau menyatukan bayu, sabdha, dan idhepnya seraya
mengarahkan
konsentrasinya berngara sika atau mata ketiga. Tak lama
kemudian
tiba-tiba saja parahyangan menjadi pecah dan rubuh. Sang pemilik
parahyangan itu
angat kaget melihat kejadian yang sangat gaib itu, seraya ia
minta ampun,
agar parahyangan itu bisa dibangun lagi, sehingga ada tempat ia
menghaturkan
persembahyangan kehadapan Ida sang Hyang Widhi Wasa.
Sambil menangis
ia mohon ampun kepada sang Mpu agar sudi memaafkan
kesalahan-kesalahannya
dan mohon agar parahyangannya dapat dibangun
kembali. Sang
Mpu Nirartha menasihatinya agar tidak membohongi penduduk
yang tidak tahu
apa itu, dan harus berjajni bakti kepada Sang Hyang Widhi
selain kepada
leluhur. Maka setelah ia berjanji tidak akan membohongi
penduduk lagi,
Maka Dang Hyang Nirartha membangun kembali tempat
persembahyangan
itu. Selanjutnya beliau emutuskan untuk tinggal lebih lama
di sana. Lama
kelamaan didengar sang Mpu berada di sana, banyak para
penduduk datang,
ada yang ingin berguru agama dan tidak sedikit yang datang
untuk berobat.
Hal itu terjadi karena nama beliau sebelumnya di Gadingwani
sudah sangat
dikenal betul sebagai ahli pengobatan di samping ahli ilmu
agama. Ramailah
orang datang ke parahyangan itu. Lama-kelamaan karena
beliau memang
ingin beranjangsana berkeliling, maka beliau menyatakan akan
meninggalkan
mereka dan meneruskan perjalanan. Para penduduk sangat
sedih karena
kepergian beliau, karena mereka sudah merasa senang beliau
berada di
sana.mereka memohondengan sangat agar sang Mpu bersedia
tinggal lebih
lama di sana. Sang Mpu tetap tidak bisa menuruti permintaan
para menduduk
itu. Maka untuk mengikat mereka, sang Mpu berkenan
memberikan
selembar rambut beliau agar ditaruh di tempat parahyangan itu
untuk dijadkan
penyiwian sebagai pertanda peringatan akan keberadaannya.
Kemudian dari
tempat itu disebut Parahyangan Rambut Siwi atau Pura
Rambut Siwi.
Selanjutnya beliau menetapkan hari baik untuk pujawali
Parahyangan
Rambut Siwi tersebut.Piodalannya jatuh pada RABU UMANIS
PRANGBAKAT. Pada
hari itu disuruh menyelenggarakan pujawali untuk
memohon berkah.
Matahari ketika
itu telah pudar cahayanya, kian merendah hendak
menyembunyikan
wajahnya di tepi langit barat, karena itu sang pendeta
berniat akan
bermalam di Pura Rambut Siwi. Orang-orang makin banyak
menghadap sang
pendeta, yang berniat memohon nasihat soal agama, ada pula
yang mohon obat.
Semalam-malaman itu sang pendeta menasihatkan ajaran
agama kepada
penduduk, terutama berbakti kepada Ida Sang Hyang Widhi
dan
Bhatara-Bhatari leluhurnya, agar sejahtera hidupnya di dunia. Dan
diperingatkan
juga pelaksanaan puja wali di Pura Rambut Siwi agar
masyarakat
menjadi selamat dan tentram.
(19) PURA
PAKENDUNGAN (PURA TANAH LOT)
Diceritakan
besok paginya ketika sang surya mulai memancarkan
cahayanya ke
seluruh permukaan bumi, Mpu Dang Hyang melakukan
sembahyang Surya
Sewana disertai oleh orang-orang yang ada di sana.
Setelah
memercikkan air tirtha kepada orang-orang yang ikut sembahyang,
maka Mpu Dang
Hyang berangkat dari dalam pura Rambut Siwi ke arah timur
menyusuri tepi
pantai, diiringi oleh beberapa orang yang tertaut cinta baktinya
kepada sang
pendeta. Mpu Dang Hyang selalu memperhatikan keindahan
alam yang
dilaluinya dan dilihatnya.
Dalam keindahan
pemandangan itu selalu terbayang kebesaran
Tuhan yang
menjiwai keindahan itu yang menyebabkan mesra menyerap dan
menyulut batin
orang menjadi indah dan bahagia. Sang pendeta selalu
membawa lembaran
lontar dan pengutik pengrupak (pisau raut alat menulis
daun lontar)
untuk menggoreskan keindahn alam yang dijumpainya. Akhirnya
beliau tiba di
daerah Tabanan, di sana terhihat olehnya sebuah pulau kecil di
tepi pantai yang
terjadi dari tanah parangan, indah tampaknya dan suci
suasananya. Lalu
beliau berhenti di sana. Kemudian dilihat oleh orang-orang
penangkap ikan
yang ada di sana, lalu mereka itu datang menghadap sang
pendeta
masing-masing membawa persembahannya.
Pada waktu itu
hari sudah sore. Orang-orang nelayan itu
menghaturi sang
pendeta supaya beristirahat di pondoknya saja, tetapi sang
pendeta menolak,
beliau lebih suka beristirahat di pulau kecil itu.
Malam itu sang
pendeta mengajarkan agama kepada orang-orang
yang datang dan
dinasihatkan supaya membuat parahyangan di tempat itu
karena tempat
itu dirasa sangat suci, baik untuk tempat memuja Tuhan demi
kesejahteraan
dan kemakmuran daerah lingkungannya.
Orang-orang yang
menghadap berjanji akan membuat parahyangan
di sana, dan
dinamai Pura Pakendungan atau Pura Tanah Lot, karena terletak
di sebuah pulau
(karang) di tengah pantai.
(20) PURA
ULUWATU DAN PURA BUKIT GONG
Besok paginya
setelah melakukan Surya Sewana, maka Mpu Dang
Hyang Nirartha
berangkat dari Pakendungan ke arah tenggara dengan jalan
darat menyusuri
pantai. Dari jauh tampak oleh beliau suatu tanjung yang
menonjol ke laut
bagian wilayah bukit Badung, maka tanjung itulah yang
beliau tuju.
Perjalanan agak dipercepat di pantai, air laut sedang surut.
Setibanya di
sana maka diperhatikan oleh beliau bahwa tanjung itu terjadi dari
batu karang
seluruhnya dan sangat besar. Selanjutnya diperiksa keadaan batu
karang itu ke
utara, ke barat, ke selatan, dan ke timur serta diperhatikannya
pula pemandangan
yang ada di sana. Sungguh-sungguh indah dan bebas lepas
ke seluruh
dunia. Kemudian terdengar bisikan jiwa beliau bahwa tempat itu
baik untuk
memuja Sang Hyang Widhi dan terutama tempat “ngeluhur”
melepas
jiwatmanya kelak ke alam surga.
Akhirnya beliau
mengambil keputusan membuat kahyangan di
tempat itu.
Untuk kepentingan itu terpaksa beliau membuat asrama di
sebelahnya untuk
menetap sementaramengerjakan kahyangan itu. Pekerjaan
membuat
kahyangan itu mendapat bantuan dari orang-orang yang dekat di
sana. Setelah
beberapa hari lamanya maka kahyangan itu selesai diberi nama
Pura Uluwatu. Di
tempat asrama Mpu Dang Hyang lama-kelamaan didirikan
juga sebuah
kahyangan oleh orang-orang di sana dinamai Pura Bukit Gong.
(21) PURA BUKIT
PAYUNG
Setelah Pura
Uluwatu selesai dan dinasihatkan kepada orang-orang
di sana untuk
menjaganya, maka Dang Hyang Nirartha melanjutkan
perjalanan lagi
ke arah timur dengan melalui tanah berbukit-bukit. Beliau
kemudian tiba di
goa Watu, dari sana menuju Bualu. Di sebelah tenggara
Bualu ada sebuah
tanjung, di sana beliau berhenti. Ketika beliau menancapkan
payungnya ke
tanah, maka tiba-tiba memancar air dari dalam tanah,sangat suci
dan hening.
Air itu
dipergunakan menyucikan diri. Oleh orang-orang yang
dekat di sana
karena gembira hatinya seakan-akan mendapat anugerah air
amrta (air
kehidupan), maka di tempat itu dibangun sebuah kahyangan
dinamai Pura
Bukit Payung.
(22) PURA
SAKENAN
Setelah
menyucikan diri di Pura Bukit Payung, maka Dang Hyang
Nirartha
berangkat ke arah utara menyusuri pantai. Tidak jauh dari sana
dijumpainya dua
buah pulau batu yang disebut sebagai Nusa Dua. Di sana
beliau berhenti
dan mengarang kekawin Anyang Nirartha yang melukiskan
segala obnyek
keindahan yang dilihat oleh beliau sepanjang perjalanan,
digubah
dijadikan sajak kekawin yang terikat dengan guru lagu.
Setelah selesai
mencatat kekawinnya, Dang Hyang Dwijendra
melanjutkan
perjalanan ke arah utara. Tidak diceritakan halnya di tengah jalan
maka sampailah
beliau di Serangan. Pada bagian tepi barat laut Serangan sang
pendeta kagum
memandang keindahan alam di sana, yaitu keindahan laut
yang tenang
berpadu dengan keindahan daratan yang mengelilinginya. Sang
pendeta tak
puas-puasnya memandang keindahan alam yang dianugerahkan
Tuhan di sana,
dapat mempengaruhi batin menjadi tidak ternoda sedikit pun,
sehingga beliau
terpaksa berhenti dan menginap beberapa malam di sana.
Terasa oleh
beliau bahwa di tempat itu ada sumber kekuatan gaib yang suci,
san baik sebagai
tempat sembahyang memuja Tuhan untuk keselamatan dan
kesejahteraan.
Sebab itu beliau membangun pula suatu kahyangan di sana
diberi nama
Cakenan (yang asalnya dari kata cakya yang berarti menyatukan
pikiran). Puja
wali dilakukan pada hari Saniscara (Sabtu) Kliwon Kuningan,
dan keramaiannya
pada hari Umanis-nya (sehari sesudahnya).
(23) PURA AIR
JERUK
Setelah Pura
Sakenan selesai dibangun, Dang Hyang Dwijendra
keluar dari
dalam pura lalu berangkat ke arah utara menumpang sebuah
jukung, lalu
mendarat di Renon. Selama beliau berdiam di sana ada suatu
kejadian, yaitu
ketika tongkat beliau dipancangkan, tidak berapa lama lalu
keluar tunas dan
hidup menjadi pohon sukun. Setelah beberapa hari ada di
sana, beliau
meneruskan perjalanan ke arah timur, tiba beliau di Udyana
Mimbha (Taman
Intaran). Dari sana sang pendeta meneruskan perjalanan ke
arah timur laut,
menyusuri pantai laut kemudian tiba di pantai selatan wilayah
Bumi Timbul
(Sukawati).
Dari sana beliau
masuk darat arah utara lalu tiba di sawah Subak
Laba. Di sana
sang pendeta berhenti dan menginap, dijamu oleh orang-orang
subak dengan buah
jeruk yang sedap rasa airnya. Di asrama tempat menginap
Mpu Dang Hyang
setiap malam penuh orang-orang subak menghadap mohon
nasihat ajaran
agama terutama dari hal bercocok tanam padi dan palawija
lainnya menurut
musim dan hari wewaran. Sejak sang pendeta ada di sana
segala
tanam-tanaman dan binatang ternak berhasil baik.
Sebab itu
setelah Mpu Dang Hyang pergi daroi sana, maka oleh
orang-orang
subak dibuatkan satu pura di bekas tempat asrama sang pendeta
(yang dikenal
dengan sebutan Pedanda Sakti Wawu Rawuh) diberi nama Pura
Air Jeruk,
tempat sembahyang mohon keselamatan tanam-tanaman dan
binatang ternak.
Dan di sana ditanam satu pohon lontar sebagai peringatan
ajaran agama
yang diwejangkan oleh sang pendeta.
(24) PURA TUGU
Diceritakan Dang
Hyang Dwijendra berangkat dari Subak Laba ke
timur pula
menyusuri pantai laut. Setelah tiba di Rangkung lalu berbelok ke
utara.
Sesudahnya di hulu desa Tegal Tugu, sang pendeta lalu berhenti di luar
suatu kahyangan.
Kemudian keluar
seorang pemangku dari dalam pura setelah
menyapu
melakukan pembersihan, datang kepada sang pendeta yang tengah
berhenti di luar
pura. Setelah bertemu, sang pemangku berkata dan menyuruh
sang pendeta
menyembah ke dalam pura. Dang Hyang tidak membantah, dan
menuruti
permintaan sang pemangku itu. Beliau lalu masuk ke dalam pura.
Sang pendeta
duduk bersila di halaman pura berhadapan dengan
bangunan-bangunan
pelinggih, lalu melakukan yoga mengheningkan cipta
menghubungkan
jiwatmanya dengan Tuhan. Tiba-tiba rusak bangunan
pelinggih itu
semua. Sang pemangku bukan main terkejutnya dan terharu
hatinya melihat
keadaan itu, lalu menangis memohon ampun kepada Mpu
Dang Hyang
disertai permohonan agar sang pendeta berkenan pura itu
kembali seperti
sedia kala.
Dang Hyang
Dwijendra meluluskan permohonan pemangku itu,
lalu dengan yoga
bangunan pura itu kembali seperti semula.
Kemudian sang
pendeta berkata, “Sri mangku, ini kancing gelung
saya, saya
berikan kepada mangku. Tempatkanlah di pura ini, dan
sesudahnya
kahyangan ini diberi nama pura Tugu,”
Sangat gembira
pemangku itu menerimanya dan berjanji akan
melakukan segala
nasihatnya.
(25) GENTA
SAMPRANGAN
Setelah selesai
persoalan di pura Tugu maka Dang Hyang Nirartha
meneruskan
perjalanan ke arah timur sampai di Samprangan lalu berhenti.
Ketika beliau
duduk-duduk beristirahat, tiba-tiba terdengar oleh beliau suara
genta yang
dibunyikan memenuhi angkasa, sangat merdu dan indah didengar
oleh sang
pendeta, sehingga lama beliau termenung mengira-ngirakan
darimana asal
suara genta tersebut. Tidak lama setelah itu datanglah dari arah
timur seorang
pengalu (pedagang) menuntun seekor kuda yang berkalung
gentorag (genta)
yang suaranya sangat indah didengar oleh sang pendeta, lalu
dipanggillah
pengalu itu.
Etelah ia
mendekat, maka berkatalan Dang Hyang, “Bolehkah saya
meminta gentorag
kalung kuda saudara, untuk saya pergunakan dalam
memuja, karena
saya tertarik denga suaranya yang indah.”
Orang pengalu
itu demi mendengar kata sang pendeta demikian,
dengan cepat membuka
kalung kudanya, dan dengan khidmad serta tulus
ikhlas
menghaturkannya kepada sang pendeta. Ketika sang pendeta menerima
genta itu dari
tangan sang pengalu, beliau dengan gembira berkata, “semoga
engkau selalu
dalam perlindungan Sang Hyang Widhi.”
Lalu genta itu
bernama Genta Samprangan, karena didapat di
Samprangan.
(26) PURA
TENGKULAK
Berangkat pula
sang pendeta dari Samprangan ke timur sampai di
desa Syut
Tulikup. Di pinggir kali beliau berhenti duduk-duduk. Kemudian
datang beberapa
orang turut duduk menghadap sang pendeta, dengan hormat
menyapa sang
pendeta dan menanyakan dari mana datang ke mana tujuannya.
Setelah sang
pendeta menerangkan halnya berkelana menjelajah pulau Bali,
maka mereka
menyuruh salah seorang di antaranya memanjat pohon kelapa
dan memetik
buahnya yang muda (kuud) untuk dihaturkan kepada sang
pendeta.
Yang disuruh
segera memanjat pohon kelapa memetik sebuah
kuud, dan
sesudah kelungah itu dikasturi (dipotong bagian tampuknya), lalu
dihaturkan
kepada sang pendeta untuk diminum.
Sang pendeta
menerima kuud itu dengan ucapan terima kasih.
Sebagai biasa
apabila pendeta akan minum atau bersantap sesuatu apapun,
selalu didahului
dengan ucapan-ucapan Weda mantram yang mengandung
ucapan syukur
kepada Tuhan. Setelah selesai sang pendeta meminum airnya,
maka kuud itu
dipecah dua untuk disantap isinya. Sang pendeta menyantap isi
kuud itu
perlahan-lahan sambil bercakap-cakap dengan orang-orang desa di
sana.
Orang-orang itu menjelaskan bahwa kesejahteraan dan kemakmuran
mereka kurang
memuaskan, karena sering dilanda penyakit dan tanamtanaman
mereka kurang
berhasil.
Sang pendeta
menasihatkan apabila terjadi halangan, agar beliau
dipanggil secara
batin, tentu beliau akan datang secara niskala memberi
pertolongan
memohonkan kepada Tuhan agar halangan itu dapat
dimusnahkan.
Lalu san pendeta berangkat ke arah selatan dan diiringi oleh
orang-orang di
sana sampai tepi pantai.
Setiap malam,
pecahan kuud yang isinya disantap oleh Dang Hyang
dilihat oleh
oang-orang menyala seperti bulan, sehingga seluruh orang desa
dapat melihat
pada malamnya kuud itu menyala gemilang bagai bulan, dan
dapat dirasakan
kalau di sana terdapat kekuatan gaib.
Oleh karena itu
orang-orang desa sepakat membuat suatu pura di
sana untuk
memohon kepada Tuhan demi keselamatan dan kemakmuran desa.
Pura itu diberi
nama Pura Tengkulak.
(27) PURA GOWA
LAWAH
Diceritakan dang
Hyang Dwijendra terus berjalan ke timur
menyusuri pantai
laut. Akhirnya beliau sampai di Sowan Cekug. Lalu
melewati pantai
Gelgel dan beliau terus ke timur melalui pantai Kusamba dan
akhirnya sampai
pada sebuah gua yang penuh dengan kelelawar. Sang pendeta
masuk ke dalam
gua dan menemukan banyak kelelawar yang sedang
bergelantungan
di dalamnya. Suaranya hiruk-pikuk tiada putus-putusnya.
Sebab itu gua tersebut
disebut Goa Lawah.
Di atas gua ini
terdapat aneka macam bunga yang sedang tumbuh
dengan suburnya,
baunya harum disebarkan oleh angin semilir. Dari sana
tampak pula
keindahan pulau Nusa Penida. Segala keindahan ini menawan
hati sang
pendeta sehingga berkenan menetap beberapa lama di sana.
Lambat laun
dibangunlah sebuah parahyangan di sana yang
dinamai Pura Goa
Lawah. Setelah beberapa malam sang pendeta menginap di
sana, beliau
lalu kembali ke Gelgel.
Dalem
Waturenggong sangat gembira melihat kedatangan sang
pendeta. Beliau
dihadiahkan sebuah rumah dengan 200 orang pelayan. Tiap
malam Dalem
menghadap gurunya untuk mempelajari ilmu kamoksan
(kelepasan/bersatu
dengan Sang Hyang Widhi).
(28) PURA PONJOK
BATU
Beberapa bulan
kemudian, Dang Hyang berniat melihat-lihat
daerah Bali
Denbukit, yaitu daerah Bali utara. Apabila ada kesempatan akan
terus ke Sasak
untuk mengetahui agama yang dipeluk di sana. Dalem
berkenan akan
niat gurunya itu, dengan harapan jangan lama-lama bepergian.
Pada suatu hari
Mpu Dang Hyang berangkat ke utara dari Gelgel, akhirnya
tiba di pantai
barat laut dari gunung Agung.
Di sana ada
sebuah tanjung (ponjok) yang terjadi dari batu bulatan/
batu gunung yang
ditutupi lumut menghijau. Sang pendeta berhenti di sana
dan duduk untuk
melihat pemandangan laut.
Tiba-tiba beliau
melihat sebuah perahu dengan layar sobek
terdampar di
pantai pasir. Awak perahu tersebut pingsan di pantai pasir karena
mabuk laut yang
hebat. Kemudian, dengan kekuatan gaib, Mpu Dang Hyang
menyadarkan
mereka lagi. Mereka mengaku berasal dari Lombok. Mpu Dang
Hyang menasihati
agar mereka menginap dulu di sana beberapa lama, baru
kemudian kembali
ke Lombok, sekalian Mpu Dang Hyang akan ikut ke sana.
Besok paginya
mereka berangkat menyusuri selat Lombok yang
membiru.
Diceritakan kembali perihal keadaan di Ponjok Batu. Setiap malam
tampak oleh
orang-orang di sana bahwa batu tempat peristirahatan Dang
Hyang Nirartha
menyala terus-menerus. Akhirnya di sana didirikan sebuah
Pura dengan
bangunan sanggar agung (tempat memuja kebesaran Hyang
Widhi) dinamai
Pura Ponjok Batu.
(29) TUAN SEMERU
PURA SURANADI
Setibanya di
Sasak, Dang Hyang Nirartha juga mengajarkan agama
Islam waktu tiga
kepada orang-orang sasak, sehingga beliau diberi gelar
TUAN SEMERU.
Sebab itu beliau berkenan membuat syair bernama Tuan
Semeru
bertembang Dandang. Asrama beliau tempat mengajarkan agama
disebut
SURANADI, yang berarti asrama yang sangat indah diapit dua buah
telaga yang
penuh bunga yang harum.
Karena kebesaran
dan kesaktian jiwa beliau, maka di pinggir
asrama muncul
empat buah mata air yang bernama Catur Tirtha, yaitu tirtha
panglukatan,
tirtha pabersihan, tirtha pangentas, dan toya racun.
Tidak
putus-putusnya orang datang ke sana untuk membersihkan
diri. Orang-orang
Islam dan non-Islam menjadi rukun dan tidak ada
percekcokan. Mpu
Dang Hyang menjelaskan tujuan agama itu tiada lain
adalah Sang
Hyang Widhi itu sendiri atau Tuhan Allah, yang berbeda
hanyalah
bahasanya dan praktek agamanya saja.
(30) GUNUNG API
TAMBORA
Beberapa lama
kemudian, sang pendeta berniat untuk pergi ke
Sumbawa untuk
menemui saudara sepupu beliau. Pada suatu hari berangkatlah
beliau ke
Sumbawa bersama tukang perahu yang beliau tolong di Ponjok Batu.
Akhirnya, beliau
tiba di Sumbawa.
Beliau diiring
ke lereng sebuah gunung berapi bernama Tambora.
Beliau menginap
di rmah seorang petani. Beliau disuguhi ketela rebus dan
pisang rebus ala
kadarnya, karena sawah-ladang petani di sana sedang
terserang hama
ulat dan belalang.
Besok paginya
Kepala Desa datang ke tempat Dang Hyang dan
menceritakan
perihal desa mereka. Mpu Dang Hyang kasihan melihat
masyarakat di
sana, lalu menyuruh mereka menyalakan pedupaan dan
membakar
kemenyan malam harinya di sawah mereka, sementara beliau
sendiri akan
memohon kepada Betara yang bersthana di unung Tambora agar
hama-hama itu
dipindahkan dari sana.
Setelah matahari
terbenam, orang-orang mulai melaksanakan apa
yang
diperintahkan Pendeta Tuan Semeru. Beliau bersama kepala desa pergi
ke suatu tempat
di ladang yang agak tinggi, seraya memohon kepada Tuhan
agar hama-hama
di daerah itu lenyap. Beliau baru kembali ke pasraman
setelah larut
malam.
Besok paginya
alangkah terkejutnya masyarakat di sana
menyaksikan
hama-hama itu sudah lenyap tak bersisa. Sawah-ladang kembali
produktif dan
semua warga gembira. Mereka bertambah yakin bahwa Tuan
Semeru adalah
seoran pendeta yang benar-benar suci dan sakti.
Di sana Mpu Dang
Hyang juga menyembuhkan orang sakit. Orangorang
yang berobat
langsung menjadi segar, sehingga berita tentang kehebatan
beliau mulai
tersebar, sampai ke seluruh Sumbawa.
(31) DENDEN SARI
Diceritakan di
Sumbawa ada seorang penghulu kaya yang
mempunyai
seorang putri bernama Denden Sari. Karena kayanya dia menjadi
orang yang
sangat bangga akan kekayaan dan kikir. Tiap hari kerjanya hanya
menghitung
jumlah kekayaannya saja. Dia juga meminjamkan uang dengan
bunga tinggi,
memungut uang dari warga, dan memasukkannya ke kas
pribadinya.
Hanya itu yang dilakukannya setiap hari. Anak-anaknya tidak
dihiraukannya,
sehingga hidup mereka melarat. Ada salah satu putrinya
bernama Denden
Sari yang baru berumur 6 tahun, dalam keadaan sakit. Ia
sejak kecil
tidak dihiraukan lantaran orangtuanya sibuk dengan kekayaan
mereka.
Akhirnya, lama-kelamaan sakitnya bertambah parah. Badannya lemas
dan tidak
sadarkan diri selama beberapa hari.
Sang penghulu
mendengar ada seorang pendeta sakti yang bisa
mengobati orang
sakit sedang berada di Sumbawa. Tergerak hatinya untuk
meminta
pertolongan kepada sang pendeta. Tidak diceritakan bagaimana
pertemuan
mereka, akhirnya sang pendeta yang diiring sang penghulu tiba di
rumahnya. Dang
Hyang Nirartha melihat dan memperhatikan anak yang sakit
itu dalam
keadaan melarat sekali, nafasnya terengah-engah dan mukanya
pucat pasi
seakan-akan mayat, tetapi rupanya amatlah cantik.
”Oh, tuan
pendeta, hamba mohon sembuhkanlah anak hamba ini.
Kalau dia bisa
hidup lagi, hamba akan mempersembahkannya padamu,” ujar
sang penghulu
berharap.
“Baiklah, aku
akan menyembuhkannya. Tapi setelah sehat aku
akan membawanya
ke Bali,” jawab
sang pendeta. Lalu beliau memegang
kening anak itu
seraya diberikan bebayon (kekuatan gaib ketuhanan).
Beberapa detik
saja antaranya maka anak itu tersenyum dengan wajah cerah,
lalu duduk
dengan sehatnya.
Demikianlah
akhirnya Dang Hyang Nirartha membawa Denden
Sari kembali ke
desa Mas. Setelah Denden Sari meningkat gadis, Dang Hyang
Dwijendra
menikahkannya dengan cucu beliau yang bernama Ida Ketut
Buruan Manuaba.
(32) BUAH TANGAN
GURU DAN MAHAPUTRA
Ketika Dang
Hyang Dwijendra kembali ke Gelgel bukan main
gembiranya Dalem
Waturenggong. Setiap malam mereka membicarakan ilmu
batin dan
ketuhanan. Pangeran Dauh (Ki Dauh Baleagung) tetap saja datang
pada Dang Hyang
Nirartha untuk memohon nasihat-nasihat. Segala nasihat
gurunya itu
citulis dalam sebuah lontar berjudul Wukir Padelegan.
Untuk mengetahui
berapa banyak buah tangan (hasil karya) Dang
Hyang Nirartha
dan Pangeran Dauh, di bawah ini dicantumkan namanamanya,
yaitu :
Buah tangan
Pangeran Dauh :
1. Rareng Canggu
2. Wilang Sebun
Bangkung
3. Wukir
Padelegan
4. Sagara Gunung
5. Aras Nagara
6. Jagul Tuwa
7. Wilet Manyura
Tahun Saka 1414
8. Anting Anting
Timah
9. Kakawin
Arjuna Pralabda
Buah tangan Dang
Hyang Dwijendra :
1. Nusa Bali
Tahun Saka 1411
2. Kidung Sebun
Bangkung
3. Sara Kusuma
4. Ampik
5. Legarang
6. mahisa Langit
7. Hewer
8.
Majadanawantaka
9. Wasista Sraya
10.Dharma
Pitutur
11.Kawya Dharma
Putus
12.Dharma Sunya
Keling
13.Mahisa Megat
Kung Tahun Saka 1458
14.Kakawin
Anyang Nirartha
15.Wilet Demung
Sawit
16.Gagutuk Menur
17.Brati Sasana
18.Siwa Sasana
19.Tuan Semeru
20.Putra Sasana
21.Kidung Aji
Pangukiran
(33) MEDIKSA DAN
MEMBAGI WARISAN; PURA
PANGAJENGAN
Pada suatu
ketika Dang Hyang Nirartha mempermaklumkan pada
Dalem
Waturenggong bahwa beliau ingin kembali ke desa Mas.
“Nanak
Waturenggong, ingatlah segala nasihat yang sudah-sudah.
Kini aku akan
pulang ke desa Mas hendak melaksanakan upacara pediksan
keempat orang
anakku yang akan menggantikanku untuk menjadi pendeta,
yang akan
melanjutkan tugasku sebagai Brahmana di dunia, sebab aku akan
segera pulang ke
Siwaloka. Hari pediksan itu akan dilaksanakan pada tilem
sasih kalima
nanti. Jangan anak kecewa sepeninggalku. Pilih antara empat
anakku untuk
menjadi pendeta kerajaan!” demikian nasihat Mpu Dang
Hyang. Dalem
menyembah dengan khidmad.
Setibanya Dang
Hyang di desa Mas, dititahkan pangeran Mas
mempersiapkan
segala upakara untuk upacara pediksan nanti.
Diceritakan
tepat pada hari pediksan itu Sri Aji Dalem
Waturenggong
datang diiring oleh para punggawa, turut mempersaksikan
upacara suci
itu. Sesudah upacara itu selesai, maka Mpu Dang Hyang
memberikan
nasihat kepada putra-putranya, antara lain tentang kewajiban
pendeta.
1. Tidak boleh
minum tuak atau segala minuman beralkohol;
2. Menghindari
segala hal yang menyebabkan mabuk;
3. Tidak boleh
makan daging sapi, karena ia sebagai ibu yang
memberikan susu
kepada kita.
4. Tidak makan
daging babi rumahan (peliharaan);
5. Tidak memakan
daging ayam peliharaan;
6. Menghindari
segala hal kotor, baik sekala maupun niskala;
7. Tidak boleh
iri hati;
8. Tidak boleh
mengambil istri orang lain dan berzina.
Demikianlah
nasihat Mpu Dang Hyang kepada putra-putranya.
Selanjutnya
beliau mengeluarkan seluruh harta kekayaan beliau, dan akan
dibagikan kepada
semua putranya. Dalem Waturenggong turut
mempersaksikan
peristiwa itu, diiringi oleh Sira Arya Kenceng, Pangeran
Dauh Baleagung
beserta rakyatnya, dan Ki Pan Geleng pelayannya Ida Kidul.
Adapun harta
yang dibagi yaitu : emas, perak, uang kepeng,
permata mirah,
cincin, tegal sawah, lontar-lontar pustaka, alat pawedan
(pemujaan
kependetaan), rakyat (panjak), dan lain sebagainya. Tempat
membagi harta
beliau itu dilakukan di luar gria asramanya di Mas. Harta
benda itu dibagi
lima (5) untuk enam orang putranya. Di luar gria itu
diletakkan 5
buah balai amanca desa (5 arah).
Kemudian, Dalem
mempersilakan keenam putra Dang Hyang untuk
mengambil
warisan itu sesuai kehendak mereka.
1. Mpu Kulon
mengambil emas, perak, uang kepeng,
permata, surat
tegalan dan rakyat, akibatnya akan
mempunyai
keturunan banyak tapi kurang pandai.
2. Mpu Lor
mengambil surat tegal sawah, emas, perak,
uang kepeng,
permata perhiasan, dan rakyat, akibatnya
mempunyai
keturunan banyak tapi kurang pandai.
3. Mpu Wetan
mengambil surat tegal sawah, emas,
perak, uang
kepeng, permata perhiasan, dan rakyat,
akibatnya
mempunyai keturunan banyak tapi kurang
pandai.
4. Ida Putu
Sangsi dan Ida Putu Bindu mengambil satu
bagian untuk
mereka berdua berupa sawah dan ladang,
maknanya
kepandaian kurang, tapi banyak anak.
Mpu Kidul tetap
diam tak mengambil satupun. Akhirnya setelah
diperingatkan
oleh Dalem, barulan beliau mengambil : lontar pustaka, alat
pawedan, 2 buah
genta bernama Ki Brahmana dan Ki Samprangan, pisau
pengrupak
bernama Ki Tamlang, keris bernama Ki Sepak. Maknanya penuh
kepandaian dan
bakat, tapi sayang keturunannya sedikit. Beliau mengangkat
Bendesa Mas sebagai
pelayannya.
Masih ada
rakyat, seekor ayam kurungan, dan sebatang pisau
pengrupak. Mpu
Kulon mengambil rakyat, Mpu Lor mengambil ayam
kurungan, dan
Mpu Kidul mengambil pisau pengrupak.
Setelah selesai
semuanya maka Dang Hyang berpamitan pada
semuanya, sebab
beliau akan berangkat mencari tempat yang suci untuk
kembali ke
Siwaloka. Putra-putranya semua menyembah dengan khusuk,
demikian pula
Sri Aji Dalem Waturenggong dan Pangeran Dauh Baleagung,
para Arya dan
rakyat yang hadir.
Demikianlah
akhirnya Dang Hyang Dwijendra berjalan ke arah
selatan seorang
diri, hanya membawa tempat pacanangan (tempat sirih). Dang
Hyang Dwijendra
mengembara memasuki tempat-tempat suci tanpa ada
seorang pun yang
tahu. Tapi pada suatu hari ada orang yang memberitahu
Pangeran Mas
bahwa Dang Hyang sedang ada di penghulu sawah antara desa
Sumampan dengan
Tengkulak, dilihat sedang menulis lontar.
Beberapa hari
kemudian kebetulan hari Penampahan Kuningan.
Bendesa Mas
bersama istrinya pergi ke tempat Dang Hyang dengan membawa
makanan yang
enak rasanya yang akan dihaturkan kepada Mpu Dang Hyang.
Mpu Dang Hyang
menerimanya dengan senang hati, lalu menyuruh pangeran
Mas untuk
mencarikan bungkak untuk menyucikan makanan itu.
Setelah Dang
Hyang meninggalkan tempat itu, maka tempat bekas
beliau bersantap
setiap malam mengeluarkan sinar dan berbau harum, karena
itu di sana
didirikanlah sebuah pelinggih bernama Pura Pangajengan
(pangajengan =
tempat makan).
(34) PURA
MASCETI DAN PURA PETI TENGET
Diceritakan
setelah itu Dang Hyang pergi ke pantai selatan Bali,
berjalan menuju
desa Rangkung mendekati pelabuhan Masceti. Tiba di sana,
beliau merasakan
dewa sedang mendekati beliau, maka timbullah semangat
untuk melakukan
pemujaan di dalam pura Masceti. Ketika beliau
mengucapkan Weda
Matram, tangan beliau dipegang oleh Betara Masceti.
“Tidak patut
Dang Hyang menyembah seperti ini, karena sudah
suci menunggal
kepada Sang Hyang Widhi. Apa sebab Dang Hyang masih di
dunia?” tanya Bhatara
Masceti.
“Saya masih
menunggu saat turunnya perintah dari Tuhan,” jawab
Dang Hyang.
“Kalau begitu,” ujar Bhatara
Masceti. “Marilah kita bersamasama
bercengkrama di
daerah pinggir laut.”
Kemudian, karena
kesaktian Bhatara Masceti, akhirnya mereka tiba
di pulau
Serangan bagian barat laut. Seseorang melihat mereka serupa cahaya
merah dan
kuning, lalu memberanikan diri mendekat. Dilihatnya Mpu Dang
Hyang sedang
bercakap-cakap dengan Bhatara Masceti, lalu dia berkata.
“Mpu Dang Hyang,
tinggallah dulu di sini, sebab hamba akan
memuja
Sesuhunan.”
“Baiklah,” jawab Mpu Dang
Hyang. “Buatlah di sini sebuah candi
yang akan
disungsung oleg jagat dan buat pula sebuah gedong pelinggih
Bhatara Masceti,
karena beliau iring Bapak sampai ke sini!”
Dang Hyang
melanjutkan pembicaraannya dengan Bhatara Masceti,
tiba-tiba telah
sampai mereka di tepi laut Krobokan. Dari sana Mpu Dang
Hyang melihat
tanjung Uluwatu sebagai perahu hendak berlayar memuat
orang-orang suci
menuju surga.
“Dang Hyang,
maafkan saya. Saya mohon diri di sini,” demikian
kata Bhatara
Masceti lalu menggaib.
Dang Hyang
Dwijendra berjalan menuju Uluwatu, pecanangannya
diletakkan.
Ketika itu beliau melihat ada orang halus bersembunyi di semaksemak
karena takut
melihat perbawa Dang Hyang yang suci itu. Makhluk
halus itu adalah
Buto Ijo.
Buto Ijo
kemudian diperintahkan oleh Dang Hyang untuk menjaga
pecanangannya di
sana, dan daerah itu diberi nama Tegal Peti Tenget. Kalau
ada yang hendak
merusak daerah itu, Buto Ijo ditugaskan untuk melawan.
Dang Hyang
Nirartha terus menuju Uluwatu. Setelah tiba di sana,
tidak terperikan
senang hati beliau, karena tempat itu sunyi dan hening, di
sana beliau
mengheningkan cipta, menunggu panggilan Tuhan untuk
ngeluhur.
Pada suatu hari
datang kepala desa Krobokan bersama beberapa
orang menghadap
Mpu Dang Hyang. Ia bercerita mengenai orang-orang yang
sakit dan tidak
bisa diobati setelah datang ke tegal (Peti tenget) tersebut. Lalu
Dang Hyang
memberitahu bahwa pecanangan beliau ada di sana karena beliau
tidak
memerlukannya lagi, dan dijaga ketat oleh Buto Ijo. Dang Hyang
kemudian
memerintahkan agar di sana dibangun sebuah kahyangan pelinggih
Bhatara Masceti.
Pecanangan milik beliau juga diperintahkan untuk
disungsung agar
memperoleh kesejahteraan desa. Pada hari pujawali, Buto Ijo
harus diberi
cecaruan, berupa nasi segehan atanding, ikannya jejeron, babi
mentah, segehan
agung, lengkap dengan tetabuh tuak arak.
Kelihan Krobokan
berpamitan, kemudian di Tegal Peti Tenget
kemudian
dibangun sebuah pura bernama Pura Peti Tenget.
(35) PURA LUHUR
ULUWATU
Pada hari Selasa
Kliwon Medangsia, Dang Hyang Dwijendra
mendapatkan
wahyu dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa bahwa beliau pada hari
itu dipanggil
untuk ngeluhur. Merasa bahagia sekali beliau, karena apa yang
dinanti-nantikan
telah tiba. Hanya ada sebuah pustaka yang belum dapat
diserahkan
kepada salah seorang putranya. Tiba-tiba Mpu Dang Hyang
melihat seorang
bendega (nelayan) bersama Ki Pasek Nambangan sedang
mendayung jukung
di lautan di bawah, lalu dipanggil oleh beliau.
Setelah bendega
itu menghadap, lalu Dang Hyang berkata,
“Engkau akan
kusuruh menyampaikan kepada anakku Mpu Mas di
desa Mas,
katakan pada beliau bahwa bapak menaruh sebuah pustaka mereka
di sini yang
berisi ajaran ilmu kesaktian.”
“Singgih,
pukulun sang sinuhun,” ujar bendega lalu mohon diri.
Setelah Ki Pasek
Nambangan pergi, maka Dang Hyang Nirartha
mulai melakukan
yoga samadhinya. Beberapa saat kemudian beliau moksa
ngeluhur, cepat
bagai kilat masuk ke angkasa. Ki Pasek Nambangan
memperhatikan
juga hal itu dari tempat yang agak jauh, namun ia tidak
melihat Mpu Dang
Hyang, hanya cahaya cemerlang dilihat melesat ke angkasa
bagai petir.
Demikianlah
akhir riwayat hidup Dang Hyang Nirartha. Kahyangan
tempat beliau
ngeluhur itu kemudian disebut Pura Luhur, lengkapnya Pura
Luhur Uluwatu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar