Selasa, 10 Februari 2015

BANTEN PRAYASCITA DALAM UPACARA DEWA YADNYA DI PURA PENATARAN AGUNG (Ditinjau Dari Bentuk, Fungsi Dan Makna)


ABSTRAK
Banten Prayascitta Dalam Upacara Dewa Yadnya di Pura Penataran Agung
(Ditinjau Dari Bentuk, Fungsi dan Makna)

     
       Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan Bentuk, Fungsi dan Makna Banten Prayascitta dalam Upacara Dewa Yadnya di Pura Penataran Agung. Penelitian ini mengangkat permasalahan (1) Bagaimana bentuk Banten Prayascitta yang dipergunakan dalam Upacara Dewa Yadnya di Pura Penataran Agung ? (2) Apa fungsi Banten Prayascitta yang dipergunakan dalam Upacara Dewa Yadnya di Pura Penataran Agung ? (3) Makna apa yang terkandung di dalam Banten Prayascitta yang dipergunakan dalam Upacara Dewa Yadnya di Pura Penataran Agung ?
       Jenis penelitian yang digunakan adalah Deskriptif kualitatif dengan menggunakan teknik obsevasi, dokumentasi dan metode wawancara terstruktur yaitu wawancara langsung dengan informan/responden (Para pemangku, Pengamong Pura, Sarati Banten dan Sulinggih) dimana peneliti menyiapkan daftar pertanyaan.
       Dari hasil analisis data menunjukkan bahwa Banten Prayascitta dengan alas jejahitan berbentuk bundar, bahan yang digunakan yaitu : daun kelapa yang kuning atau gading. a) Unsur-unsur jejahitan Banten Prayascitta antara lain : (1) Aledan bundar, (2) Buah-buahan, (3)  Aledan peras, (4) Pisang, (5) jajan, (6) kacang, (7) Komak, (8) Saur, (9) Tumpeng, (10) Ajengan bundar, (11) Ayam Panggang, (12) Garam, (13) Tulung bebas, (14) Ketipat sedayu, (15) Kwangen, (16) Ajengan Kepelan, (17) Kajer ayam, (18) Sampean naga sari, (19) Sampean gunting, (20) Kerik keramas, (21) Tehenan, (22) Lis / bhuu, (23) Kelungah nyuh gading, (24) Tulung Agung b) Bentuk Banten Prayascitta menyerupai atau menggambarkan bundar atau cakra buana, bahwa bumi ini bundar yang berputar mengelilingi matahari dan bulan sehingga terjadi siang dan malam yang sesuai dengan ajaran rwa bhineda.
       Fungsi Banten Prayascitta adalah sebagai pembersihan atau ngelukat Pura, Pelinggih dan Upakara dalam Upacara Yadnya tersebut.
       Makna yang terkandung dalam Banten Prayascitta adalah Sebagai simbul yang mengandung nilai religius sebagai kekuatan Siwa Guru.

Kata Kunci : Banten Prayascitta, Upacara Dewa Yadnya.


BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
       Umat Hindu dalam kehidupan keagamaannya dengan jelas dapat disaksikan melalui pelaksanaan suatu upacara. Upacara merupakan salah satu kerangka agama Hindu, dimana kegiatannya paling jelas dapat dilihat dalam Upacara Panca Yadnya. Upacara Panca Yadnya merupakan rangkaian kegiatan manusia untuk mendekatkan atau menghubungkan diri dengan Ida Shang Hyang Widhi Wasa atau manifestasinya. Panca Yadnya sendiri terdiri dari Dewa Yadnya, Rsi Yadnya, Pitra Yadnya, Manusia Yadnya dan Butha Yadnya. Dewa Yadnya adalah upacara persembahan kepada api suci Siwa (Siwagni) dengan membuat Mandala Yadnya, Rsi Yadnya adalah pemujaan kepada para pendeta dan orang-orang yang memahami makna hakekat hidup, Pitra Yadnya adalah pemujaan kepada roh suci leluhur, memberi makanan kepada masyarakat itu disebut Manusia Yadnya. Bhuta Yadnya adalah taur dan upacara kepada tumbuh-tumbuhan, antara lain dalam bentuk Upacara Walikrama dan Eka Dasa Rudra.
      Ngurah dkk, (2005: 155-156) kelima jenis Yadnya tersebut erat kaitannya dengan Tri Rna yaitu tiga jenis hutang yang patut dibayar dalam kehidupan ini. Tri Rna terdiri dari Dewa Rna, Rsi Rna dan Pitra Rna. Dewa Rna adalah hutang urip atau  jiwa pada Hyang Widhi yang telah menciptakan kehidupan serta segala yang menunjang kehidupan alam semesta ini. Rsi Rna yaitu hutang kepada para maha rsi atas jasa dan kemurahannya yang menuntun dan membebaskan kita dari kebodohan dengan pengetahuan suci yang mengantarkan pada kesejahteraan dan kebahagiaan jasmani dan rohani. Pitra Rna adalah hutang kepada leluhur yang telah melahirkan, memelihara dan membesarkan diri kita. Berdasarkan keyakinan tersebut, sangat berkaitan erat dengan upacara dan upakara.
       Upakara atau Banten merupakan salah satu alat atau sarana dalam pelaksanaan upacara bagi mereka yang menempuh jalan bhakti, karena manusia memiliki kemampuan yang sangat terbatas dalam menghubungkan dirinya dengan Ida Shang Hyang Widhi Wasa. Di dalam Catur Marga Yoga, Upakara tersebut diwujudkan melalui  Karma Marga Yoga yang artinya jalan bekerja atau berbuat, karena upacara menjadi bagian  integral dari Umat Hindu yang diungkapkan melalui pelaksanaan upacara yang dilengkapi dengan upakara atau banten sebagai bentuk rasa sujud bhakti permohonan maaf serta tuntunan keselamatan yang ditujukan kepada Ida Shang Hyang Widhi Wasa (Arwati, 2005: 1)
       Sebagaimana diyakini dan dipercayai bahwa Ida Shang Hyang Widhi merupakan pencipta seluruh alam semesta dengan segala isinya, termasuk umat manusia. Dalam ajaran Agama Hindu, terdapat sloka yang berbunyi :
            “Purusa evedam sarvam yad bhutam yasca bahvyam uta ‘mrtatwas yecam yudam ‘nena ‘ti rohati”.
            Artinya :
            Sang Hyang Widhi adalah pencipta alam semesta, baik yang ada maupun yang akan ada, Sang Hyang Widhi adalah kekal abadi, yang hidup tanpa makan” (Reg Veda X.89.2)”.
       Mengingat pelaksanaan yajna tersebut sangat penting sekali dalam kehidupan keagamaan Umat Hindu, maka lebih jauh kalau kita simak kitab suci Manawa Darmasastra III.70 (Nala dan Wiratmadja, 1993: 169)  menegaskan sloka tentang beberapa jenis Yajna yang disebut Panca Yajna, berbunyi:
            Adhyapanam brahma yajnah pitr Yajniastu tarpanam homo daivo balibhaurto nryajno ‘tithi pujanam.
            Artinya :
            “Mengajar dan belajar adalah yajna bagi brahmana, menghaturkan Tarpana dan air suci adalah yajna untuk leluhur, menghaturkan minyak dan susu adalah Yajna untuk para dewa, mempersembahkan Bali adalah             Yajna untuk Bhuta dan penerimaan tamu dengan ramah adalah Yajna untuk manusia”.
       Dari beberapa kutipan sloka di atas, maka dengan jelas kita dapat menyimak makna atau pengertian Dewa Yajna dalam sloka Manawa Dharmasastra tersebut di atas, ditegaskan bahwa Upacara Dewa Yajna adalah suatu upacara persembahan yang ditujukan kepada para Dewa sebagai manifestasi dari Ida Shang Hyang Widhi Wasa. Persembahan yang dimaksud adalah persembahan yang disuguhkan dengan penuh keikhlasan atau ketulusan hati.
       Selanjutnya pula bahwa Shang Hyang Widhi dapat menciptakan alam semesta ini didasarkan atas Yajna, kata Yajna berasal dari kata Yaj (Bahasa Sansekerta) yang artinya berkorban. Jadi kata Yajna berarti pengorbanan yang dilandasi keikhlasan hati atau ketulusan hati tanpa mengharapkan adanya balasan. Kalau di simak bait sloka dalam kitab suci Bhagavad Gita III.10 (Netra, 1994: 46) menegaskan sebagai berikut :

Sahayajnah prajah srstva puro ‘vaca prajapatih 
  angina prasavisyadhvam esa ve’stv istakamadhuk”.
                   
            
              Artinya :
Pada jaman dahulu kala Prajapatih / Tuhan Yang Maha Esa menciptakan alam semesta atas dasar yajna dan bersabda “dengan ini akan berkembang dan akan menjadi kamadhuk bagi keinginanmu”.
      
       Kamadhuk adalah sapi Dewa Indra yang dapat memberikan / memenuhi keinginan dan dalam hal ini yang dimaksud adalah bumi tempat manusia hidup. Dari kutipan sloka di atas menjelaskan bahwa alam semesta diciptakan atas dasar Yajna dan untuk kelangsungan hidup alam semesta dan manusia, maka manusia (Umat Hindu) wajib memelihara dan melestarikan alam ini atas dasar Yajna pula. Begitu besar sekali manfaat serta pentingnya kita melaksanakan Upacara Dewa Yajna dengan hati yang tulus ikhlas
       Upacara Dewa Yadnya adalah pemujaan atau persembahan sebagai perwujudan bhakti kepada  Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa) dalam berbagai manifestasinya, yang diwujudkan dalam bermacam-macam bentuk upakara. Bhakti ini bertujuan untuk mengucapkan terima kasih kepada tuhan terhadap hambanya dan mohon kasihnya agar kita mendapatkan berkah, rahmat, dan karunianya sehingga kita dapat hidup dengan selamat.
       Upacara Dewa Yadnya dapat dilaksanakan di sanggah atau pemerajan, di pura atau kahyangan-kahyangan dan di tempat-tempat suci yang setingkat dengan itu, sehubungan dengan Upacara Dewa Yadnya ini, sloka Bhagavad Gita IV.24 (Netra, 1994: 50) menyatakan :
           
            “Brahma rpanam brahma havir Brahmagnau brhamana hutam
             Brahmai’va tene gantavyam Brama karma samadhina”.
           
            Artinya:
          “Dipujanya Brahman, persembahan itu adalah Brahman oleh Brahman   kedalam api Brahman.dengan memusatkan meditasinya kepada Brahman dalam kerja ia mencapai Brahman”.
Ada beberapa permasalahan bagi Umat Hindu pada umumnya kurang memiliki pengetahuan filsafat serta pengetahuan mengenai makna Upakara dan Upacara. Lebih-lebih lagi Umat Hindu yang tidak mendapatkan Pendidikan Formal maupun Informal, walaupun mereka bisa membuat upakara dan melaksanakan Upacara Yajna, namun belum memahami dan kurang mengerti apa fungsi dan makna dari Upacara Yajna tersebut.
Umat Hindu dalam kegiatan Upacara Dewa Yajna dalam upacara penyucian menggunakan Banten Prayascitta, karena Banten Prayascitta merupakan bagian dari Banten penyucian.
       Masyarakat Hindu di Lombok khususnya di Karang Tangkeban Kelurahan Cakra Selatan sebagian besar belum memahami bagaimana penggunaan Banten Prayascitta dalam Upacara Dewa Yajna (Ditinjau Dari Bentuk, Fungsi, dan Makna). Sehubungan dengan hal tersebut, maka peneliti ingin mengetahui secara langsung melalui suatu penelitian dengan judul “Banten Prayascitta dalam Upacara Dewa Yadnya di Pura Penataran Agung Padma Kencana Kelurahan Cakra Selatan Kota Mataram (Ditinjau Dari Bentuk, Fungsi, dan Makna)”. 
B. Rumusan Masalah
     1. Bagaimana bentuk Banten Prayascitta yang dipergunakan dalam Upacara Dewa Yadnya di Pura Penataran Agung ?
2. Apa fungsi Banten Prayascita yang dipergunakan dalam Upacara Dewa Yadnya di Pura Penataran Agung ?
3. Makna apa yang terkandung di dalam Banten Prayascita yang dipergunakan dalam Upacara Dewa Yadnya di Pura Penataran Agung ?
C.  Tujuan Penelitian
C.1. Tujuan Umum
       Adapun yang menjadi tujuan umum penelitian ini adalah  secara Umum, penelitian ini bertujuan sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan Jenjang Starata Satu (S1), secara Umum Penelitian ini juga bertujuan sebagai pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian Masyarakat. Selain itu penelitian ini bertujuan  untuk dapat memberikan sumbangan pemikiran serta memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan  tentang tattwa, etika dan ritual dalam Upacara dan Upakara Dewa Yadnya, sehingga dapat dijadikan pedoman dan landasan dalam mewujudkan kehidupan yang harmonis baik lahir maupun bathin.
C.2. Tujuan Khusus
            Adapun yang menjadi tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan Bentuk, Fungsi, dan Makna Banten Prayascita Dalam Upacara Dewa Yadnya.
D.  Manfaat Penelitian
       Manfaat penelitian adalah nilai guna dari kegiatan penelitian. Setiap penulisan karya ilmiah atau penelitian sudah tentu memiliki manfaat atau guna yang ingin dicapai berupa hasil yang dapat di manfaatkan untuk kepentingan saat ini maupun yang akan datang. Melalui pelaksanaan penelitian ini diharapkan hasilnya dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun  praktis. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
D.1. Manfaat Teoritis
       Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan menambah referensi mengenai Upacara Dewa Yadnya khususnya Banten Prayascita yang berdasarkan tattwa, etika dan ritual yang dirangkum dalam ajaran Tri Kerangka Dasar Agama Hindu.
D.2. Manfaat Praktis
          Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis sebagai berikut :
a.    Mendapatkan pengetahuan tentang Upacara Dewa Yadnya khususnya Banten Prayascita.
b. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sumbangan pengetahuan bagi yang ingin lebih mendalami tentang Upakara Banten Prayascita.
c. Bagi masyarakat, dapat digunakan sebagai bahan acuan dan pertimbangan untuk mengetahui Bentuk, Fungsi, dan Makna Banten Prayascita.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.  Penelitian Relevan
       Memuat hasil-hasil penelitian sebelumnya yang relevan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti lain, dengan maksud untuk menghindari duplikasi. Disamping itu untuk menghindari bahwa topik yang akan diteliti belum pernah diteliti orang lain dalam konteks yang sama (http://hidayat.blog spot.com/kajian penelitian relevan.html).
       Wiana (2009), dalam bukunya “Suksmaning Banten” buku ini membahas tentang makna banten serta arti dan makna beberapa banten, salah satunya yaitu Banten Prayascitta. Terkait dengan obyek penelitian ini yaitu Banten Prayascitta dalam Upacara Dewa Yadnya tersebut, buku ini sangat cocok dan menunjang dalam pembuatan penelitian ini. Karena buku ini memaparkan arti dan makna banten yakni Banten Prayascitta dan unsur-unsur yang membentuknya.
       Arwati (2005), dalam bukunya yang berjudul “Perwujudan Upakara untuk Upacara Agama Hindu”. Dalam buku ini membahas tentang sarana upakara dan jenis tetandingan upakara serta penggunaannya. Dalam hubungannya dengan penelitian ini, ada membahas tentang jenis-jenis tetandingan Banten Prayascitta yang mana kesemua jenis tetandingannya berbeda. Sehingga buku ini dapat dijadikan pedoman didalam membahas tentang Banten Prayascitta terutama tentang jenis tetandingannya sehingga dapat menambah wawasan kita.
       Sudarsana (1998), dalam bukunya yang berjudul “Filsafat Yadnya”. Buku ini membahas hal-hal yang berhubungan dengan upakara yakni bentuk, fungsi, makna dan tetandingan upakara salah satunya adalah Banten Prayascitta. Sehingga buku ini dapat dijadikan acuan di dalam pembuatan penelitian ini, karena menjelaskan bentuk, fungsi, makna, serta tetandingan upakara.
       Wijayananda (2004), dalam bukunya yang berjudul “Makna Filosofis Upacara dan Upakara”. Dalam buku ini membahas makna yadnya, makna upacara dan upakara. Salah satu upakara yang dibahas yaitu Banten Prayascitta, sehingga buku ini sangat cocok untuk dijadikan pedoman di dalam penulisan skripsi ini karena membahas makna upakara/banten Prayasciita.

B.  Konsep
       Konsep adalah realisasi idea ke dalam pola yang teratur, menuju simpul-simpul makna. Simpul makna ini diwujudkan dalam kata, simbul atau adagium Tujuannya adalah untuk membuat tatanan sistematik pola pikir dan mengekspresikan hubungan horizontal antar benda-benda nyata/Sekala dan vertical antara benda-benda nyata ke yang tak nyata/Niskala (Keramas, 2008:34).
       Narbuko dan Achmadi, (2013:140). Konsep adalah merupakan unsur pokok penelitian. Penentuan dan perincian konsep ini dianggap sangat penting agar persoalan-persoalan utamanya tidak menjadi kabur. Konsep yang terpilih perlu ditegaskan agar tidak terjadi salah pengertian mengenai arti konsep tersebut. Tetapi perlu diperhatikan karena konsep merupakan hal yang abstrak maka perlu diterjemahkan dalam kata-kata sedemikian rupa sehingga dapat diukur secara empiris.       
       Titib, (2001: 134) Banten  atau persembahan suci memiliki arti  persembahan yang di buat dengan  sarana tertentu antara lain berupa: bunga, buah buahan, daun tertentu seperti sirih dan makanan seperti nasi dengan lauk pauk, jajan dan sebagainya, disamping sarana yang sangat penting lainnya adalah air dan api.
       Jayawijayananda, (2004:10) Banten atau Upakara memiliki makna pengejawantahan dari penyatuan Bayu, Sabda, Idep atau menyatukan pikiran, perkataan dan perbuatan untuk tujuan-tujuan yang lebih mulia serta untuk mensejahterakan alam semesta dan segala aspek kehidupannya.
       Sudarsana (1998: 18) lebih lanjut menjelaskan tentang pengertian Banten yaitu bahwa Banten sesungguhnya berasal dari kata “Bangten” dan terdiri dari dua suku kata yaitu “Bang” dan “Enten” (bahasa Bali). Suku kata Bang bisa diartikan Brahma, dan brahma menjadi Brahman (Sang Hyang Widhi). Sedangkan Enten bisa diartikan “ingat” atau dibuat sadar (Cetana). Jadi kata banten mengandung pengertian, bahwa Umat Hindu membuat banten untuk mendidik dirinya supaya selalu ingat dengan keberadaan Sang Hyang Widhi karena beliau adalah pencipta segala isi dunia ini.
         Merujuk lontar Yajna Prakerti dalam Wiana (2009: 34) disebutkan Sehananingbebanten” pinaka raganta twi, pinaka warna rupaning Ida Bhatara, pinaka anda bhuana. Artinya semua bebanten adalah lambang dirimu sendiri, lambang kemahakuasaan Tuhan dan lambang Bhuana isi alam semesta. Berdasarkan uraian lontar Yadnya Prakerti ini Banten memiliki tiga makna. Banten bermakna sebagai simbol manusia baik lahir maupun batin, bermakna untuk melambangkan berbagai wujud Kemahakuasaan Tuhan dan Banten juga melambangkan keberadaan isi alam semesta ini berupa planet-planet isi ruang angkasa. Planet isi ruang angkasa ini dalam lontar Wrehaspati Tattwa disebut Andha yang artinya telor. Planet tersebut bentuknya bulat seperti telur sehingga disebut Anda Bhuwana. Melalui penggambaran arti banten seperti yang diuraikan dalam lontar Yadnya Prakerti itu, telah tergambar pula bahwa Banten itu juga, sebagai sarana untuk mewujudkan nilai dan makna suatu yadnya sebagai landasan bagi manusia untuk percaya dan Bhakti pada Tuhan, yang bertujuan untuk mengabdi dengan sesama manusia dan untuk mewujudkan kesejahteraan alam semesta.
       Jadi dari uraian diatas yang menjelaskan tentang arti/makna banten dapat peneliti simpulkan bahwa banten adalah suatu sarana konsentrasi dimana keterbatasan kita sebagai manusia maka untuk mendekatkan diri dengan Tuhan dengan segala manifestasinya kita wujudkan dengan sarana banten/upakara.
       Banten prayascita termasuk banten yang memiliki mutu kedewataan (Daiwi Sampad), oleh karena itu Banten prayascita  berfungsi sebagai pebersihan dan merupakan simbul yang mengandung nilai religius sebagai kekuatan siwa guru. Kata Prayascita berasal dari suku kata pra- yas dan citta yang mengandung arti penyucian segala kesedihan (Sudarsana,1998: 46-84).  
       Wiana (2009: 55-56) Prayascitta berasal dari kata Prayas dan Citta. Prayas dalam bahasa      sansekerta artinya bahagia atau gembira, sedangkan kata Citta artinya alam pikiran (Pikiran yang suci  dan netral disebut citta). Dalam tradisi Hindu di Bali salah satu Banten yang dipakai dalam Upacara Yadnya untuk mengembalikan alam pikiran yang kotor itu adalah Banten Prayascitta.
Banten Prayascitta sebagai lambang penyucian rohaniah. Banten Prayascitta selalu menyertai Banten Byakala atau Banten Durmangala. Banten Prayascitta ini biasanya dipergunakan setelah Banten Byakala atau Banten Durmengala dihaturkan. Ini berarti penyucian sekala (lahiriah) terlebih dahulu barulah penyucian niskala (rohaniah). Banten Prayascitta disamping selalu menyertai Banten Byakala dan Banten Durmangala juga digunakan dalam berbagai peristiwa. Banten Prayascitta dipergunakan saat selesai mendirikan/memperbaiki bangunan rumah. Banten Prayascitta juga dipergunakan saat selesai Cunttaka. Misalnya (42 hari setelah melahirkan), setelah upacara kematian, Banten Prayascitta juga selalu melengkapi Banten Eteh-eteh Panglukatan di depan Pandita Memuja. Pandita sebelum menghaturkan Upakara Yadnya selalu didahului dengan menyucikan (Ngelukat) Upakara yang akan dihantarkan oleh Pandita dalam Upacara Yadnya tersebut. Salah satu dari proses panglukatan sarana Upakara Yadnya yang akan dihantarkan oleh Pandita itu menggunakan Banten Prayascitta.
       Dalam kamus Jawa Kuna Indonesia (2004 : 859) Prayascitta (dalam bahasa sansekerta berarti taubat, penebusan dosa, ganti rugi) penebusan dosa, korban penebusan, upacara penyucian (menghapus         dosa atau akibat kutukan).
       Dari pendapat yang disampaikan diatas mengenai prayascitta maka peneliti menyimpulkan Prayascitta adalah banten pembersihan atau pengelukatan segala kekotoran baik Bhuana Agung maupun Bhuana Alit.
       Bentuk Banten Prayascitta yaitu sebagai alasnya adalah sebuah kulit sesayut dan kadang-kadang berbentuk tamas kemudian diatasnya berturut-turut diisi kulit peras dari janur (busung) yang bentuknya bulat, daun tabia bun (mungkin dapat diganti dengan daun tabia atau lombok biasa), 8 lembar yang dijait menjadi satu serta bentuknya bundar (seperti padma), lalu diatasnya diisi nasi yang bentuknya juga bundar. Di atas nasi diisi lauk-pauk serta 5 iris telur dadar, yang diletakkan sedemikian rupa sehingga menunjukkan kelima arah mata angin. Di beberapa tempat ada kalanya dilengkapi dengan 8 biji bawang putih (kesuna) yang dialasi dengan kukun kambing (sejenis anyam-anyaman dari busung). Kemudian banten ini dilengkapi pula dengan buah-buahan, jajan, sampian naga sari, canang genten/burat wangi, penyeneng, pasucian/pengeresikan, bhuu, padma, lis senjata (lis yang melukiskan 5/9/11 jenis senjata nawa dewata seperti bajra, gada, danda, cakra, angkus, dan sebagainya), kelapa gading yang masih muda (kelungah) di kasturi (di buka dengan bukaan yang berbentuk segitiga) dan sebuah banten perang kecil (tumpengnya kecil).
       Fungsi atau kegunaan Banten Prayascitta adalah dapat dipergunakan sebagai pembersihan terhadap bangunan yang baru selesai/diperbaiki, sehabis kecuntakaan (kesebelan) seperti sehabis melahirkan (setelah berumur 42 hari), setelah kematian, sebagai salah satu perlengkapan yang ditaruh di depan Pandita Mepuja (berfungsi sebagai eteh-eteh pengelukatan)  Tim Penyusun, (1996 : 20).      
       Makna yang terkandung dalam Banten Prayascitta adalah sebagai lambang penyucian rohaniah. Karena itu Banten Prayascitta ini selalu menyertai Banten Byakala atau Banten Durmanggala. Banten Prayascitta ini biasanya dipergunakan setelah Banten Byakala atau Banten Durmanggala dihaturkan. Ini berarti penyucian sekala/lahiriah terlebih dahulu barulah penyucian niskala/ rohaniah (Wiana, 2009 : 56)
       Tata pelaksanaan suatu Yadnya disebut Upacara. Kata upacara dalam bahasa sansekerta berarti mendekati. Dalam kegiatan upacara agama diharapkan terjadinya suatu upaya untuk mendekatkan diri kepada Hyang Widhi Wasa, kepada sesama manusia, kepada alam lingkungan, Pitara maupun Rsi. Pendekatan itu diwujudkan dengan berbagai bentuk persembahan maupun tata pelaksanaan sebagaimana yang telah diatur dalam ajaran Agama Hindu. Upacara memberikan identitas tersendiri bagi agama-agama tertentu yang membedakan dengan agama yang lainnya. Masing-masing agama memiliki aturan dalam tata pelaksanaan upacaranya (Ngurah dkk, 2005: 147-148).
       Kata upacara berasal dari dua suku kata, yaitu; Upa dan Cara.Upa” artinya dekat atau mendekat. Dan “Car” yang memiliki arti harmonis, seimbang, selaras. Upacara Yadnya memiliki arti atau makna. Dengan keseimbangan, keharmonisan dan keselarasan dalam diri, kita mendekatkan diri dengan Tuhan Yang Maha Esa. Sebelum kita ingin mendekatkan diri kepadanya, hendaknya terlebih dahulu kita dapat menciptakan keseimbangan dan keselarasan serta keharmonisan dalam diri kita, agar dapat terwujudnya keharmonisan dengan Tuhan Yang Maha Esa (Wijayananda, 2004: 49)
       Jadi dari uraian arti atau makna upacara, dapat peneliti simpulkan bahwa upacara adalah pelaksanaan dari suatu acara.
       Tim Penyusun, (1996: 96) Dewa Yadnya adalah suatu korban suci yang dilakukan oleh Umat Hindu dan ditujukan kehadapan Ida Shang Hyang Widhi Wasa dan Para Dewa- dewa.
        Netra (1994: 50) Dewa Yadnya diartikan sebagai pemujaan atau persembahan sebagai            perwujudan bakti kepada Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa) dalam berbagai manifestasinya, yang diwujudkan dalam bermacam-macam bentuk Upakara.
       Dari pendapat diatas tentang arti Dewa Yadnya dapat peneliti simpulkan, Dewa Yadnya yaitu korban suci yang di persembahkan dengan hati yang tulus dan iklas kehadapan Ida Shang Hyang Widhi beserta segala manifestasinya.
       Pura adalah tempat suci untuk memuja Hyang Widhi Wasa dalam segala Prabhawanya dan Atma Sidha Devata (roh suci leluhur) (Ngurah dkk, 2005: 177).
Pura berasal dari kata “Pur” yang artinya kota , benteng, atau kota yang berbenteng. Pura berarti suatu tempat yang khusus dipakai untuk dunia kesucian dengan dikelilingi oleh tembok (Netra, 1994 : 83).
       Dari penjelasan yang disampaikan diatas tentang pengertian pura maka dapat peneliti simpulkan bahwa pura adalah suatu tempat yang telah disucikan yang mana di pura ini didirikan beberapa bangunan suci atau pelinggih untuk melakukan sembah bhakti kepada para Dewa maupun Tuhan.
       Penataran adalah Pura Padharman (Kawitan) yakni klen (Kelompok) besar merupakan kelompok kerabat yang lebih luas dari klen kecil (dadya) dan terdiri dari beberapa kelompok kerabat Dadya. Anggota kelompok kerabat tersebut mempunyai ikatan tempat pemujaan yang disebut Pura Paibon atau Pura Panti. Oleh karena itu Penataran digolongkan ke dalam pura Kawitan yaitu Pura yang penyungsungnya ditentukan oleh ikatan “Wit” atau leluhur berdasarkan garis keturunan (Titib, 2001 : 99-100).
       Dari uraian diatas dapat disimpulkan, penataran adalah pura yang masuk kedalam kelompok pura pedharman yang mana pengamong atau anggotanya berasal dari leluhur yang sama.

C.  Landasan Teori
       Teori adalah upaya memahami fenomena alam dengan memakai konsep yang konsisten (Keramas, 2008: 49). Konsep yang konsisten diterjemahkan dengan konsisten dan terbukti kebenarannya melalui testing dan retesting. Teori dipakai untuk menjelaskan fenomena alam agar mudah dimengerti. Teori lebih sesuai untuk menjelaskan fenomena fisik karena kekonsistenannya dalam memprediksi hasil di masa depan.Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Bentuk, Teori Fungsional Struktural,Teori Semiotik Semantik , dijelaskan sebagai berikut :
C.1. Teori Bentuk
       Padma (2009 : 9) Bentuk adalah benda yang mengandung pengertian sebuah bangun yang dapat memberikan gambaran, tatanan, wujud atau rupa dari sesuatu. Sedangkan menurut Poerwadarminata, (dalam Sindu 2008 : 8) menyatakan bahwa bentuk diartikan wujud dan rupa (ragam) ; wujud (yang dilihat). Bila dikaitkan dengan penelitian ini maka bentuk yang dimaksudkan adalah bentuk Banten Prayascitta dalam Upacara Dewa Yadnya.
C.2. Teori Fungsionalisme
         Kata fungsionalisme merupakan kata dengan akhiran isme. Dalam bahasa Indonesia, kata ini berarti sebuah paham. Paham adalah salah satu bentuk aliran atau cara berpikir. Sejauh ini, kata fungsi dimaknai sebagai kegunaan suatu hal. Setiap benda, hal, kejadian, atau peristiwa mestinya memiliki sebuah fungsi. Apa bila tidak dilihat dari segi fungsinya, dapat pula dilihat dari segi kegunaan.
         Fungsional menekankan pada fungsi-fungsi. Ini dapat diterapkan mulai dari hal-hal sederhana sampai kompleks. Tidak dapat dipungkiri, bahwa dalam sebuah jabatan suatu instansi merupakan implementasi dari sebuah fungsi kerja.
         Fungsionalisme adalah sebuah studi tentang operasi mental, mempelajari fungsi-fungsi kesadaran dalam menjembatani antara kebutuhan manusia dan lingkungannya. Fungsionalisme menekankan pada totalitas dalam hubungan pikiran dan perilaku. Dengan demikian, hubungan antar manusia dengan lingkungannya merupakan bentuk manifestasi dari pikiran dan perilaku. Dalam fungsionalisme ada kaidah yang bersifat mendasar bagi suatu antropologi yang berorientasi pada teori, yakni diktum metodologis bahwa kita harus mengeksplorasi sistem sistemik budaya. Artinya, kita harus mengetahui bagaimana perkaitan antara institusi-institusi atau struktur-struktur suatu masyarakat sehingga membentuk suatu sistem yang bulat. Kemungkinan lain ialah memandang budaya sebagai sehimpun ciri yang berdiri sendiri, khas dan tanpa kaitan, yang muncul disana-sini karena kebetulan historis dalam tafsir fungsionalis, fungsionalisme adalah metodologi untuk mengeksplorasi saling ketergantungan. Di samping itu para fungsionalis juga menyatakan bahwa fungsionalisme merupakan teori tentang proses kultural.
         Fungsionalisme sebagai perspektif  teoretik dalam antropologi bertumpu pada analogi dengan organisme. Artinya, ia membawa kita memikirkan sistem sosial-budaya sebagai semacam organisme, yang bagian-bagiannya tidak hanya saling berhubungan melainkan juga memberikan andil bagi pemeliharaan, stabilitas, dan kelestarian hidup organisme itu. dengan demikian dasar semua penjelasan fungsional ialah asumsi (terbuka atau tersirat) bahwa semua sistem budaya memiliki syarat-syarat fungsional tertentu untuk memungkinkan eksistensinya. Jadi, sistem budaya memiliki kebutuhan yang semuanya harus dipenuhi agar sistem itu dapat hidup.
         Aliran fungsionalisme menganggap bahwa untuk melakukan sebuah tindakan atau lakuan diperlukan sebuah prosedur berpikir, cukup kompleks, dan jangka panjang. Terhadap apa-apa yang akan dilakukan tersebut, sudah memiliki kerangka berpikir. Aliran ini sangat melihat adanya faktor internal dan eksternal atas diri orangnya. Pendapat-pandapat tersebut sudah sejalan dengan pendapat para tokoh.
         Orang yang berada di daerah pesisir secara struktur (sebuah pemikiran jangka pendek) menciptakan sebuah pola pikir untuk melakukan pekerjaan sebagai nelayan. Namun aliran fungsionalisme tidak sejalan dengan pola pikir tersebut. Aliran ini juga tidak meninggalkan faktor-faktor seperti kondisi tubuh, cuaca, kepunyaan dan hasil, dan kemampuan, sedemikian rupa sehingga orang pesisir memiliki pola berpikir yang menghasilkan pemahaman untuk tidak harus menjadi nelayan. Secara mudah bisa menjadi nelayan hanya jika dalam situasi dan kondisi yang tepat. Orang yang memiliki pandangan seperti ini, sangat mengerti kapan harus menjadi nelayan, dan kapan harus menjadi – peternak misalnya.
         Dalam perkembangannya sekarang ini, berdasarkan alur berpikirnya, manusia dibagi atas empat aliran besar. Pertama, aliran behaviorisme yang menggunakan pola pikir berperasaan. Insting menjadi faktor penentu dalam hal ini. Apa bila sebuah kebudayaan yang hanya mengandal insting seseorang, akan diklasifikasikan dalam kelompok ini.
         Kedua, strukturalisme merupakan paham dengan pola berpikir jangka pendek. Tidak mengenal peninjauan atas faktor-faktor lain pun memiliki pengaruh sangat tinggi. Penekanan dalam hal ini adalah secara struktur saja. Aliran ini pun dapat disebut aliran profesional, sesuatu itu berjalan sesuai dengan perannya.
         Ketiga, fungsionalisme yang menggunakan pola pikir peninjauan terhadap fungsi. Keempat, fungsionalisme-struktural yang merupakan perpaduan antara kelebihan ditingkat struktur dan tingkat fungsional. Aliran keempat ini mencoba mengurangi kelemahan-kelemahan yang ada pada tingkat sebelumnya. Yang melatar belakangi lahirnya fungsionalisme adalah karena masih didapatkannya kelemahan-kelemahan pada paradigma-paradigma sebelumnya (evolusi, difusi, dan sejarah kebudayaan), meskipun sudah menggunakan metode dengan baik, dan bahkan mereka selalu memperbaiki metode analisis dalam penelitiannya. Akan tetapi kesan yang muncul dari hasil atau kesimpulan dari penelitian mereka seakan spekulatif. Kelemahan-kelemahan muncul antara lain disebabkan karena, studi-studi yang mereka lakukan tidak membandingkan kebudayaan-kebudayaan yang saling berdekatan, akan tetapi lebih kepada data yang telah tersedia dalam budaya itu sendiri, dan tidak dilakukannya penelitian lapangan untuk memperoleh data tersebut.
         Dalam salah satu bentuknya, fungsionalisme adalah penekanan dominan dalam studi antropologi khususnya penelitian etnografis, selama beberapa dasawarsa silam. Artinya, menonjolnya fungsionalisme dan kerja lapangan dalam antropologi secara bersamaan ini bukanlah suatu hal yang kebetulan. Fungsionalisme, menurut para ilmuwan-ilmuwannya adalah sebuah paradigma kebudayaan yang meliputi, metodologi untuk mengeksplorasi saling ketergantungan, dan fungsionalisme merupakan teori tentang proses kultural. Selain berminat melacak cara saling pertautan yang sangat bermacam ragam dan sering kali mengejutkan antara unsur-unsur suatu budaya, banyak fungsionalis berpandangan dan mengklaim bahwa mereka telah menciptakan sosok teori yang menjelaskan mengapa unsur-unsur itu berhubungan secara tertentu, dan mengapa terjadi pola budaya tertentu atau setidak-tidaknya mengapa pola itu bertahan.               Fungsionalisme sebagai perspektif teoretik dalam antropologi bertumpu pada (analogi dengan organisme), artinya ia membawa kita memikirkan sistem sosial-budaya sebagai semacam organisme, yang bagian-bagiannya tidak hanya saling berhubungan melainkan juga memberikan andil bagi pemeliharaan, stabilitas, dan kelestarian hidup “organisme” itu. Dengan demikian dasar semua penjelasan fungsional adalah asumsi (terbuka maupun tersirat) bahwa semua sisem budaya memiliki syarat fungsional tertentu untuk memungkinkan eksistensinya yang semuanya harus dipenuhi agar sistem itu dapat bertahan hidup, dapatlah diduga bahwa jika kebutuhan sistem fungsional itu tidak dipenuhi maka sistem itu akan mengalami disintegrasi dan “mati”. Atau ia akan berubah menjadi sistem lain yang berbeda jenis. Maka dalam hal ini institusi, kegiatan budaya, dan kompleks kultural lainnya, dipahami atau dijelaskan bukan hanya sebagai spesifikasi hubungan dengan suatu sistem yang lebih besar dan mengimplikasikan hal-hal tersebut. Hendak ditunjukkan pula bahwa hubungan tadi ikut berperan memelihara sistem besar itu atau sebagian tertentu darinya.
         Dari uraian diatas menimbulkan asumsi bahwa kesempurnaan paradigma fungsionalis masih harus dibumbui dengan beberapa aspek yang tanpanya bisa jadi wujud fungsionalis adalah sebuah paradigma yang stagnan atau bahkan bisa dikatakan mati. Artinya paradigma ini masih mempunyai kelemahan, meskipun secara eksplisit teorinya sudah mampu menyimpulkan keadaan sebuah kebudayaan   (http://maychan9.blogspot.com/2013/10/may-anjars-world-bagi-ilmu.html).
          Teori fungsionalisme dalam kaitannya dengan penelitian ini akan digunakan untuk menelaah masalah-masalah yang mengacu pada fungsi, dalam hal ini Banten Prayascitta Dalam Upacara Dewa Yadnya.
C.3. Teori Semiotik Semantik (semiotic semantic)
        Semiotik Sematik menguraikan tentang pengertian suatu tanda sesuai dengan ‘arti’ yang disampaikan. Dalam arsitektur Semiotik Semantik merupakan tinjauan tentang sistem tanda yang dapat sesuai dengan arti yang disampaikan. Hasil karya arsitektur merupakan perwujudan makna yang ingin disampaikan oleh perancangnya yang disampaikan melalui ekspresi wujudnya. Wujud tersebut akan dimaknai kembali sebagai suatu hasil persepsi oleh pengamatnya. Perwujudan makna suatu rancangan dapat dikatakan berhasil jika makna atau ‘arti’ yang ingin disampaikan oleh perancang melalui rancangannya dapat dipahami dan diterima secara tepat oleh pengamatnya, jika ekspresi yang ingin disampaikan perancangnya sama dengan persepsi pengamatnya (http://junaedi2008.blog spot.com/2009/01/teori-semiotik.html).

D.  Kerangka Penelitian


 













       Keterangan Bagan :
       Pelaksanaan upacara dalam kehidupan sehari-hari Umat Hindu yang lebih menonjol tercermin dari pelaksanaan upacara yang berupa Panca Yajna yaitu : Dewa Yajna, Rsi Yajna, Manusia Yajna, Pitra Yajna dan Bhuta Yajna. Fokus penelitian yang peneliti lakukan adalah pada upacara Dewa Yajna yaitu sarana upacara yang digunakan berupa “Banten Prayascitta”, dengan fokus kegiatan penelitian mengenai “Bentuk, Fungsi dan Makna dari Banten Prayascitta”.


BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A.  Rancangan Penelitian
       Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif. Pengertian penelitian kualitatif dapat diartikan sebagai penelitian yang berdasarkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau prilaku yang diamati (Zuldafrial dan Lahir,   2012: 2).
       Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada karakteristik pendekatan kualitatif deskriptif karena data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar dan bukan angka-angka. Selain itu semua yang dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang diteliti. Tujuan digunakannya pendekatan ini adalah untuk melakukan penggalian yang mendalam tentang Banten Prayascitta dalam Upacara Dewa Yadnya agar diperoleh data yang lengkap dan mendetail sesuai dengan batas penelitian untuk dapat mendeskripsikan secara mendalam guna dapat menjawab permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini.

B.    Jenis dan Sumber Data
       Jenis data dalam penelitian ini adalah data kualitatif dengan menyajikan data berupa keterangan yang disajikan dalam bentuk kata-kata atau kalimat, informasi-informasi yang memberikan ciri pendekatan kualitatif. Jenis data ada dua yaitu (Mustari, 2012: 38) :
B.1. Data Primer
       Data primer adalah data yang dihasilkan dari sumber primer. Sumber primer adalah istilah yang digunakan dalam sejumlah disiplin ilmu untuk menggambarkan bahan sumber yang terdekat dengan orang, informasi, periode, atau ide yang dipelajari.
B.2. Data Sekunder
       Data Sekunder adalah data yang diambil orang lain dalam penelitian yang lain, kemudian kita ambil untuk mendukung penulisan penelitian kita.

C.    Teknik Pengumpulan Data
       Penelitian yang bersifat kualitatif membutuhkan data-data yang akurat agar penelitian ini di akui sebagai penelitian ilmiah dan bisa dibuktikan.
       Adapun teknik pengumpulan data yang paling tepat dalam penelitian ini adalah teknik observasi, wawancara, dan dokumentasi.

C.1. Teknik Observasi
        Narbuko dan Achmadi, (2013: 70) Observasi (Pengamatan) adalah alat pengumpulan data yang dilakukan cara mengamati dan mencatat secara sistematik gejala-gejala yang diselidiki.
C.2. Teknik Wawancara
       Wawancara merupakan proses tanya jawab dalam penelitian yang berlangsung secara lisan dalam dengan dua orang atau lebih bertatap muka mendengarkan secara langsung informasi-informasi atau keterangan-keterangan.
            Dewasa ini teknik wawancara banyak dilakukan di Indonesia sebab merupakan salah satu bagian yang terpenting dalam setiap survai. Tanpa wawancara penelitian akan kehilangan informasi yang hanya dapat diperoleh dengan bertanya langsung kepada responden. Seperti kita lihat atau dengan lewat teknik wawancara, televisi atau radio merupakan teknik yang baik untuk menggali informasi di samping sekaligus berfungsi memberi penerangan kepada masyarakat (Narbuko dan Achmadi, 2013: 83). Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik wawancara terstruktur  dimana peneliti menyiapkan daftar pertanyaan yang diberikan kepada responden/informan yang mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan Banten Prayascitta dalam Upacara Dewa Yajna.
C.3. Teknik Dokumentasi
       Dokumentasi dari asal katanya dokumen yang artinya barang-barang tertulis. Didalam melaksanakan metode dokumentasi, peneliti menyelidiki benda-benda tertulis seperti buku-buku, majalah, peraturan-peraturan, notulen rapat, catatan harian dan sebagainya (Zuldafrial dan Lahir, 2012: 80).
       Teknik dokumentasi digunakan dalam penelitian ini untuk melengkapi data-data yang diperoleh dari hasil observasi dan wawancara, jika data yang diperoleh belum representatif untuk sebuah data penelitian yang ilmiah. Metode dokumentasi dalam penelitian ini dapat berupa foto/gambar.

D.     Teknik Analisis Data
       Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Analisis Model Miles dan Hubermen dalam Mustari (2012: 75) yang terdiri dari :
1.      Reduksi data (data reduction) adalah proses pengumpulan data penelitian dengan cara merekam data lapangan dalam bentuk catatan-catatan lapangan yang harus ditafsirkan dan diseleksi agar masing-masing data menjadi relevan dengan fokus masalah yang diteliti.
2.      Tampilan data (data display). Kegiatan menampilkan data adalah mengorganisasi, meringkas, dan menyambungkan informasi.
3. Kesimpulan atau Verifikasi adalah bagian penyimpulan data dimana data    masih dapat diuji kembali dengan data di lapangan atau berdiskusi agar kebenaran ilmiah dapat tercapai.

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A.  Hasil Penelitian

1. Bentuk, Fungsi dan Makna Banten Prayascitta menurut Umat Hindu di Kota     Mataram

 a. Bentuk Banten Prayascitta
       “Banten Prayascitta adalah Banten pebersihan dari kekotoran dasa mala agar dapat melaksanakan Upacara Dewa Yadnya. Sedangkan bentuk Banten Prayascitta adalah bundar melambangkan bumi yang merupakan tempat kehidupan mahluk hidup yang terikat dengan hukum rwa bineda sehingga pelaksanaan upacara salah satu unsur dari rwa bineda harus disucikan. Bahan Banten Prayascitta adalah terbuat dari daun kelapa yang serba kuning (gading). Unsur-unsur Banten Prayascitta terdiri dari aledan bundar, sampean naga sari, jajan, buah-buahan, bhuu, tumpeng, lis ,kelungah nyuh gading,ajengan. Upacara yang menggunakan Banten Prayascitta selain Upacara Dewa yadnya adalah Upacara Rsi yadnya, Pitra yadnya, dan Manusia yadnya. Kedudukan Banten Prayascitta dalam Upacara Dewa Yadnya yaitu sebagai banten arepan pendeta yang akan difungsikan sebagai pembersih sarana Upakara dan pelaksana Upacara. Sumber yang digunakan yakni lebih banyak menggunakan buku-buku tentang Upakara Yadnya dan buku tetandingan banten Upacara Dewa Yadnya”.
      
       Banten Prayascitta merupakan Banten Pebersihan. Bentuknya menggambarkan bundar, karena perputaran bumi mengelilingi matahari atau bulan. Bahan Banten Prayascitta menggunakan daun kelapa gading atau semua serba gading. Sedangkan unsur-unsur Banten Prayascitta adalah aledan bundar, kerik keramas, sampean naga sari, kacang komak, ayam, tehenan, bhuu, lis, nyuh gading, buah-buahan, jajan, toya siram. Banten Prayascitta dapat digunakan pada Upacara Dewa Yadnya, Rsi Yadnya, Manusia Yadnya. Kedudukan Banten Prayascitta adalah disamping manggala puja”.
        
       Banten Prayascitta adalah Banten pembersihan dalam Upacara Yadnya. Bentuk Banten Prayascitta adalah bundar melambangkan bhuwana atau windhu melambangkan nol. Banten Prayascitta terbuat dari daun kelapa nyuh gading. Adapun unsur-unsur tersebut adalah tulung 5, sampean naga sari, kwangen, tipat sedayu 5, nasi kepel 5, nasi bunder (diatas nasi berisi bawang, jahe, usus ayam, ayam, nyuh gading dikasturi, bhuu, buah-buahan, pisang, jajan. Banten Prayascitta digunakan pada semua upacara, kecuali Bhuta yadnya. Kedudukan Banten Prayascitta yaitu berada disamping pendeta yang muput upacara”.
    
       Banten Prayascitta adalah untuk Banten Pembersihan. Bentuknya bundar sebagai simbol alam semesta. Bahan yang digunakan yaitu janur kelapa gading. Sedangkan unsur-unsur Banten Prayascitta adalah buah-buahan, jajan, tulung 5, kwangen, tipat sedayu 5, tipat sari 5, tumpeng kecil 5, sampean naga sari, kelungah nyuh gading, kerik keramas, tehenan, bhuu, lis nawa sanga. Kedudukan Banten prayascitta yakni didepan dengan posisi ngayab kebagian atas adalah pembersihan tempat dan sarana sesudah Banten Duurmanggala. Banten Prayascitta dapat digunakan dalam Upacara Dewa Yadnya, Manusia Yadnya, Bhuta Yadnya. Tetandingan atau susunannya yaitu aledan bundar, diatasnya ditaruh raka-raka, jajan, dibelakang raka-raka ditaruh ketipat sedayu, ketipat sari, tumpeng, tulung urip, tulung agung, tetongger mecelek ring duur tumpeng, trus diatasnya sampian naga sari, diatas sampian tehenan, kerik keramas, lis nawa sanga, disamping ditaruh kelungah nyuh gading dan tirte pemeras citta. Sumber sastranya adalah Empu Klutuk”.

        Banten Prayascitta adalah suatu sarana yang untuk menenangkan, mengendalikan hal-hal yang dihubungkan dengan pergejolakan buta yang membuat yadnya kita menjadi kacau. Adapun bahan yang digunakan dalam membuat Banten Prayascitta adalah daun kelapa gading. Bentuknya yaitu bundar melambangkan bumi. Sedangkan unsur-unsur Banten Prayascitta adalah aledan bundar, tulung, tumpeng, sampean naga sari, buah-buahan, tipat sedayu, tipat sari, tehenan, kerik keramas, lis nawa sanga, bhuu. Banten Prayascitta dapat digunakan dalam Upacara Dewa Yadnya, Manusia Yadnya. Kedudukannya berada diseputaran sang manggala puja. Banten yang melengkapi Banten Prayascitta yaitu Banten Pejati”.
      
        Banten Prayascitta adalah merupakan Banten penyucian atau pengelukatan. Bentuk Banten Prayascitta adalah berbentuk bundar sebagai simbul dunia ini yang tidak berawal dan tidak berakhir. Bahan yang digunakan dalam Banten Prayascitta adalah daun kelapa nyuh gading. Sedangkan unsur-unsurnya adalah aledan bundar, ajengan bundar, tumpeng, tulung agung, ketipat sedayu, kwangen, ajengan kepel, sampean naga sari, kerik keramas, tehenan, bhuu, kacang, komak, saur, buah-buahan, jajan, kelungah nyuh gading. Banten Prayascitta dapat digunakan dalam Upacara Manusia Yadnya, Bhuta Yadnya (dalam upacara besar seperti Caru Rsi Gana). Kedudukannya berada disamping manggala upacara, yang merupakan banten pengeresikan. Sumber sastranya adalah lontar purwakaning wewantenan kinucap pepangeran”.
     
     Banten Prayscitta merupakan Banten penyucian. Bentuk Banten Prayascitta yaitu bulat . Bahan yang digunakan adalah daun kelapa yang serba gading atau berwarna kuning. Unsur-unsur Banten Prayascitta ialah aledan bundar, ajengan kepel, ajengan bundar, telur dadar, kacang, komak, saur, sampean bundar, ketipat sedayu, ayam panggang, buah-buahan, jajan, pisang, bhuu, kerik keramas, kelungah nyuh gading. Banten Prayascitta dapat digunakan pada Upacara Manusia Yadnya. Kedudukannya berada di dekat pedande atau pemuput upacara”.

       Banten Prayascitta adalah merupakan suatu Banten penyucian. Bahan yang digunakan ialah daun kelapa gading yang berwarna kuning. Bentuk Banten Prayscitta adalah bundar. Unsur-unsur Banten Prayascitta adalah aledan bundar, nasi berbentuk bundar, daun dapdap, nasi kepel, ketipat sedayu, kwangen, tumpeng, lis bebuu, kelapa muda gading dikasturi. Banten Prayascitta dapat digunakan dalam Upacara Manusia Yadnya. Kedudukannya berada disebelah kanan Pedanda mepuja. Sumber sastranya yaitu lontar Tapini, lontar Bhama Kertih.

       Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa bentuk Banten Prayascitta adalah bundar, bahan yang digunakan yakni daun nyuh kelapa gading/semua serba kuning atau gading. Unsur- unsurnya adalah aledan bundar, ajengan bundar, ajengan kepel, kwangen, ketipat kukur/ketipat sedayu, kacang, komak, saur, ayam panggang, tulung agung, jajan, buah-buahan, sampian naga sari, kerik keramas, lis/bhuu, kelungah nyuh gading di kasturi.
Ini sesuai dengan teori yang ada di dalam buku “Filsafat Yadnya” tetapi yang membedakan adalah unsur- unsur pembentuk dari Banten Prayascitta yang mana di dalam hasil wawancara yang peneliti lakukan unsur-unsur pembentuknya tidak ada menggunakan pekir bunga duren, jajan uli merah putih, tebu dan kekaputan tape.

b. Fungsi Banten Prayascitta

       “Fungsi Banten Prayascitta dalam Upacara Dewa Yadnya adalah untuk pengelukatan dengan menggunakan bhuu dan pensucian”.

       “Fungsi Banten Prayascitta dalam Upacara Dewa Yadnya adalah untuk penyucian betare dan upakara dalam upacara”.

       “Fungsi atau kegunaan dari Banten Prayascitta dalam Upacara Dewa Yadnya adalah sebagai pembersihan atau pelukatan segala mala dan kekotoran yang datang dari segala mahluk hidup”.

       “Fungsi Banten Prayascitta dalam Upacara Dewa Yadnya adalah sebagai pembersihan yadnya”.

       “Fungsi Banten Prayascitta dalam Upacara Dewa Yadnya adalah untuk ngelukat tempat maupun upakara yadnya”.

       “Fungsi Banten Prayascitta ialah sebagai pengelukatan.

       “Fungsi Banten Prayascitta adalah untuk mensucikan sarana upakara maupun areal tempat upacara yadnya tersebut berlangsung”.
       Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa fungsi Banten Prayascitta adalah sebagai sarana penyucian/pengelukatan dalam suatu upacara yadnya. Ini sesuai dengan teori yang ada di dalam buku “Catur Yadnya”. Akan tetapi ada yang berbeda dari hasil wawancara yang peneliti lakukan tentang fungsi dari Banten Prayascitta yang mana fungsi dari Banten Prayascitta ini sebagian besar penggunaannya mengarah ke dalam upacara Dewa Yadnya saja. Sedangkan di dalam buku “Catur Yadnya” ada disebutkan bahwa Banten Prayascitta dapat digunakan sehabis kecuntakaan (kesebelan) seperti sehabis melahirkan (setelah berumur 42 hari) dan setelah kematian.


c. Makna Banten Prayascitta

       “Makna yang terkandung dalam Banten Prayascitta yaitu mengembalikan kesadaran umat manusia bahwa mereka berasal dari yang maha suci dan harus mewujudkan kembali jati diri mereka sebagai atman yang kekal”.


       “Makna yang terkandung dalam Banten Prayascitta adalah sebagai simbul penyucian alam semesta baik itu Bhuana Agung dan Bhuana Alit dan sebagai pengelukatan dalam penyucian Upacara yadnya”.

       “Makna yang terkandung dalam Banten Prayascitta adalah banten pembersihan atau penyucian, baik penyucian untuk pura,  pelinggih maupun untuk bangunan-bangunan yang baru selesai dibuat”.

       “Makna yang terkandung dalam Banten Prayascitta adalah merupakan banten pembersihan sekala niskala, tergantung dari upacara yang dilaksanakan”.

       “Makna yang terkandung dalam Banten Prayascitta adalah agar keheningan dari yadnya itu terpancar di dalam proses upakara yadnya itu”.

       “Makna yang terkandung dalam Banten Prayascitta adalah  merupakan banten pensucian alam semesta baik itu Bhuana Agung maupun Bhuana Alit”.

       “Makna yang terkandung dalam Banten Prayascitta adalah merupakan banten pengelukatan agar tempat Upacara Yadnya menjadi suci dan upakara atau banten menjadi suci sebelum dihaturkan kepada para Dewa sebagai sinar sucinya Tuhan.


       “Makna yang terkandung dalam Banten Prayascitta adalah setiap sarana upakara baik itu jenis bebantenannya maupun tempat Upacara Yadnya tidak terlepas dari segala kekotoran, karena kita tidak tau sejauh mana tingkat kesucian dari Banten dan tempat Upacara Yadnya tersebut. Oleh karenanya Banten/ Upakara dan areal tempat berlangsungnya suatu upacara perlu kita sucikan”.

       Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa makna Banten Prayascitta adalah sebagai lambang penyucian yang bersifat niskala (rohaniah). Ini sesuai dengan teori yang ada di dalam buku “Suksmaning Banten”. Tetapi ada yang berbeda dengan wawancara yang peneliti lakukan yakni pada wawancara dengan informan/responden dilapangan makna Banten Prayascitta adalah merupakan Banten pengelukatan/pembersihan sekala niskala sedangkan pada teori di dalam buku “Suksmaning Banten” makna Banten Prayascitta sebagai penyucian bersifat niskala saja.

B.  Pembahasan Hasil Penelitian


B.1. Bentuk Banten Prayascitta

       Berdasarkan observasi data yang ditemukan di lapangan tentang bentuk Banten Prayascitta menurut Umat Hindu maka bentuk Banten Prayascitta menyerupai atau menggambarkan bundar atau cakra buana. Dari wujud Cakra buana menggambarkan bahwa bumi atau dunia ini adalah bundar yang berputar dan mengelilingi matahari dan bulan sehingga terjadi siang dan malam yang sesuai dengan ajaran rwa bhineda. Siang dan malam melambangkan dua hal yang berbeda, begitu pula kehidupan kita sebagai manusia pikiran selalu di kuasai oleh asuri sampad dan daiwi sampad yaitu pikiran keraksasaan dan pikiran kedewataan. Pikiran jangan sampai diperbudak oleh sifat keraksasaan hendaknya di sucikan dengan suatu Upakara yaitu Banten Prayascitta.
       Bahan yang digunakan dalam membuat Banten Prayascitta adalah daun kelapa yang kuning atau gading. Janur yang berwarna kuning adalah simbul laksana melambangkan Dewa Mahadewa. Membuat reringgitan pada bahan janur kelapa gading yang digunakan pada Banten Prayascitta menggambarkan kelanggengan hati menghaturkan bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Proses penyusunan Banten Prayascitta yang dilakukan sebagai cetusan hati yang penuh ketulusan, rasa kedamaian dan keindahan bhakti suci yang tidak habis-habisnya.
       Dari pengamatan yang ditemukan dilapangan unsur-unsur Banten Prayascitta terdiri dari aledan bundar, buah-buahan, pisang, jajan, aledan peras, kacang, komak, saur, tumpeng 2, ajengan bundar, ayam panggang, garam beralaskan serojan hiasan, tulung bebas, ketipat sedayu 5, kwangen 5, ajengan kepelan 5, kajer ayam, petangas atau sampean naga sari, sampean gunting, kerik keramas, tehenan, lis atau bhuu, air bersih (anyar), air suci yang khusus atau tirtha, kelungah nyuh gading. Jika keadaan memungkinkan, maka perlengkapan-perlengkapan tersebut diusahakan dari daun kelapa gading semuanya, terutama alat-alat untuk mencipratkan air.
       Banten Prayascitta tidak hanya digunakan untuk Upacara Dewa yadnya tetapi juga digunakan saat selesai cuntaka. Misalnya habis melahirkan (42 hari setelah melahirkan), sehabis upacara kematian. Kedudukan Banten Prayascitta pada Upacara Dewa Yadnya adalah diseputaran Pandita memuja yang digunakan untuk menyucikan (ngelukat) upakara.
B.2. Fungsi Banten Prayascitta
     Berdasarkan hasil observasi data yang ditemukan di lapangan fungsi atau kegunaan Banten Prayascitta pada Upacara Dewa Yadnya adalah sebagai pembersihan atau ngelukat Pura, Pelinggih dan Upakara dalam Upacara Yadnya tersebut.
B.3. Makna Banten Prayascitta
Berdasarkan hasil observasi data yang ditemukan di lapangan makna Banten Prayascitta dalam Upacara Dewa Yadnya adalah Sebagai simbul yang mengandung nilai religius sebagai kekuatan Siwa Guru.
       Adapun mantra Banten Prayascitta yang digunakan dalam Upacara Dewa Yadnya adalah :
             Om Prayascitta Kareyehi Sidhi Mandi Mantramku Angurip Amunah         Sarwa Rogha, Bancane Ring Bebantenan. Om Sidirastu Tad Astu   Swaha”.

             Artinya :
           
Dengan Banten Prayascitta ini semua pelaksanaan upacara disucikan atau   dibersihkan semoga semua rogha atau penghalang dan bencana dapat dimusnahkan.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A.  Kesimpulan
       Dari hasil penelitian dan analisis tersebut di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.    Bentuk Banten Prayascitta
a.       Bahan yang digunakan membuat Banten Prayascitta adalah dari daun kelapa gading yang serba kuning.
b.      Bentuk Banten Prayascitta menyerupai atau menggambarkan bundar atau cakra buana.
c.       Unsur-unsur Banten Prayascitta terdiri dari aledan bundar, buah-buahan, pisang, jajan, aledan peras, kacang, komak, saur, tumpeng 2, ajengan bundar, ayam panggang, garam beralaskan serojan hiasan, tulung bebas, ketipat sedayu 5, kwangen 5, ajengan kepelan 5, kajer ayam, petangas atau sampean naga sari, sampean gunting, kerik keramas, tehenan, lis atau bhuu, air bersih (anyar), air suci yang khusus atau tirtha, kelungah nyuh gading.
2.     Fungsi Banten Prayascitta adalah sebagai pembersihan atau ngelukat Pura, Pelinggih dan Upakara dalam Upacara Yadnya tersebut.
3.   Makna Banten Prayascitta
a.       Sebagai Banten pensucian Bhuana Agung dan Bhuana Alit.
b.      Sebagai Banten Pensucian segala keletehan (sarwa mala).
B.  Saran
1.      Demikian pentingnya fungsi dan makna Banten Prayascitta dalam Upacara Dewa Yadnya sudah selayaknya Umat Hindu melestarikan Budaya Hindu yang selama ini menjadi kebanggaan umat.
2.   Lembaga keagamaan seperti Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) hendaknya dapat memberikan pelatihan bagi generasi muda agar mampu membuat Banten Prayascitta dan dapat membemberikan pemahaman tentang fungsi dan makna Banten Prayascitta dalam Upacara Dewa Yadnya.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar