Selasa, 10 Februari 2015

SESAJI UPACARA PERANG TOPAT DI PURA LINGSAR KEMALIQ KECAMATAN LINGSAR ( KAJIAN BENTUK, FUNGSI DAN MAKNA )


ABSTRAK
Sesaji  Upacara Perang Topat  di Pura Lingsar Kemaliq Kecamatan Lingsar
( Kajian Bentuk, Fungsi dan Makna )

            Prosesi upacara Perang Topat di Pura Lingsar Kemaliq, Kecamatan Lingsar dilaksanakan setiap tahunnya pada setiap Purnaming Sasih Keenam yang bersamaan dengan Upacara Pujawali di Pura Lingsar, yang meliputi Pura Gaduh, Pura Kemaliq, Pura Pesiraman atau lebih dikenal dengan Pura Bhatara Bagus Balian. Khusus di Pura Kemaliq, kegiatan Piodalan atau Pujawalinya tidak hanya diikuti oleh Umat Hindu saja tetapi juga dilaksanakan dari kalangan Suku Sasak yang menganut Waktu Telu. Hal ini yang memotivasi penulis untuk melakukan penelitian dan yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini : (1) Bagaimana Bentuk dan Fungsi Sesaji Upacara Perang Topat di Pura Lingsar Kemaliq Kecamatan Lingsar. (2) Apa Makna Sesaji Upacara Perang Topat di Pura Lingsar Kecamatan Lingsar.
            Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif, berlokasi di Pura Lingsar, Kecamatan Lingsar. Yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah tokoh masyarakat dan tokoh umat yaitu pengurus krama pura dan tokoh dari Suku Sasak Waktu Telu, serta masyarakat sekitar pura. Informasi digunakan sebagai sumber data primer yang dilengkapi dokumentasi di lapangan.
            Hasil penelitian menunjukan bahwa Sesaji Ritual Perang Topat mempunyai bentuk dan fungsi yang bersifat baku, dalam arti bahwa Sesaji Perang Topat tidak berubah dari tahun ke tahun, dimana bentuk sesaji yang digunakan selalu sama seperti menggunakan sedah, bunga, dulang, rombong pawija, beras ketan, rempah-rempah, kebon odek, lamak, botol momot, cecepan dan topat. Sesaji yang digunakan susunannya tetap seperti tahun-tahun sebelumnya, yang berubah hanya jenis bunga yang digunakan dan penambahan jenis jajan-jajanan. Sesaji atau Sesajen adalah Upakara yang berisi unsur makanan yang digunakan dalam setiap Upacara Ritual Suku Sasak (di Bali lebih dikenal dengan nama Bebanten).           
       Fungsi Sesaji Upacara Perang Topat adalah sebagai sarana memohon kesuburan, kemakmuran dan juga diyakini membawa rejeki, disamping untuk dapat menghubungkan umat manusia kepada Sang Pencipta.
 Makna yang terkandung dalam Upacara Perang Topat sebagai ungkapan trima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa atas anungrah kesuburan, kamakmuran serta rejeki yang diberikan kepada Masyarakat Lingsar.

Kata Kunci : Sesaji  Upacara Perang Topat, Pura Lingsar Kemaliq

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
            Provinsi Nusa Tenggara Barat memiliki banyak pulau dan salah satunya adalah Pulau Lombok, dimana Pulau Lombok didiami oleh berbagai masyarakat yang berbeda suku, budaya dan agama yang hidup rukun dan berdampingan. Agama yang dominan di Pulau Lombok adalah Agama Islam, dimana Agama Islam merupakan agama mayoritas yang dianut oleh masyarakat di Pulau Lombok, selain Agama Islam di Pulau Lombok banyak juga kita jumpai berbagai agama seperti Agama Hindu, Agama Kristen, Agama Budha dan Agama Konghucu. Agama Hindu merupakan agama terbesar kedua di Pulau Lombok, sehingga di Pulau Lombok banyak dijumpai pura-pura yang tersebar dengan bentuk dan ciri khasnya masing-masing. Pura di Lombok sebagian besar merupakan peninggalan sejarah yang dibangun pada masa kerajaan Hindu Bali yang berkuasa di wilayah Lombok Bagian Barat, salah satu pura peninggalan kerajaan Hindu Bali adalah Pura Lingsar di Kecamatan Lingsar Kabupaten Lombok Barat. Pura ini menjadi unik karena Pura Lingsar tersebut disakralkan bukan hanya dari kalangan Umat Hindu saja, tetapi juga disakralkan oleh Suku Sasak yang merupakan penganut Agama Islam,
            Suku asli di Pulau Lombok adalah Suku Sasak, mereka terbagi menjadi Suku Sasak yang beragama Islam Waktu Lima yang merupakan agama mayoritas yang dianut oleh Suku Sasak, Suku Sasak Agama Islam Waktu Telu (Waktu Tiga /Wetu Telu), dan juga ada sebagian Suku Sasak Agama Buda atau dikenal dengan Orang Budha. Suku Sasak yang melaksanakan Upacara Perang Topat tersebut adalah Suku Sasak yang menganut Agama Islam Waktu Telu, yang mana Suku Sasak Waktu Telu ini merupakan Suku Sasak yang beragama Islam yang tidak melakukan sembahyang lima waktu sesuai ajaran Agama Islam pada umumnya, akan tetapi mereka melakukan sembahyang tiga waktu yakni sembahyang tarawih pada Bulan Ramadan, sembahyang pada waktu Lebaran Tinggi (bersamaan Idul Fitri Islam Sunni), dan sembahyang waktu Lebaran Pendek (bersamaan Idul Adha). Mereka yang menganut Islam Wetu Telu ini juga tidak melakukan sembahyang jumat dan tidak melakukan Ibadah Haji, karena kewajiban itu hanya kewajiban kyain atau pemimpin agamanya saja yang dianggap oleh mereka sebagai perantara hubungan dengan Tuhan. Suku Sasak Wetu Telu ini adalah sinkritisme Hindu – Islam, sumber ajarannya berasal dari Ajaran Sunan Kalijaga, sinkritisme ini dalam kepercayaan mistik merupakan kombinasi dari Hindu (Adwaita) dengan Islam (Sufisme). Dengan adanya ajaran pantheisme ini, maka kepercayaan animisme masih berlaku terus dan mistik dari segi agama bisa diterima secara sukarela oleh semua penduduk Lombok yang masih paham animisme, ajaran inilah yang kemudian dinamakan Wetu Telu (Sujana : 2006 : 19 - 20).
            Setiap tahun pasti dapat kita jumpai suatu acara yang jadi kebanggaan kita semua yaitu lokasinya di Pura Lingsar Kecamatan Lingsar yang pada saat Pujawali kita akan jumpai suatu upacara yang kita kenal dengan Perang Topat. Upacara Perang Topat yang dilaksanakan sekali dalam setahun tepatnya setiap purnaming sasih keenam menurut Kalender Bali. Dalam acara tersebut masyarakat dari etnis yang berbeda saling melempar topat dan mereka meyakini bahwa upacara tersebut dilaksanakan dengan tujuan untuk memohon kesuburan, kemakmuran dan juga dinyakini membawa rejeki sehingga topat yang dilempar selalu direbutkan, diambil oleh kedua belah pihak. Topat yang dijadikan alat untuk saling lempar bukan topat yang dibuat sembarang orang, topat tersebut harus dibuat oleh Suku Sasak Wetu Telu, karena disinilah letak keistimewaan topat yang dijadikan alat saling lempar tersebut. Topat yang dipakai untuk saling lempar tersebut tidak boleh dibawa pulang langsung apabila belum digunakan untuk saling lempar, karena topat tersebut dipercaya dapat memberi kesuburan, kemakmuran dan rejeki apabila topat tersebut sudah digunakan untuk saling lempar dan keadaan bentuk dari topat tadi sudah tidak utuh lagi.
            Dalam setiap Upacara Pujawali di Pura manapun pada umumnya pastilah ada banten atau dalam bahasa Sasak yaitu Sesaji. Sesaji dalam Upacara Perang Topat ini tidak sama dengan banten yang digunakan oleh Umat Hindu, karena Sesaji tersebut dibuat oleh Suku Sasak sendiri yang mempunyai aturan tersendiri juga. Sebelum dilangsungkannya Upacara Perang Topat, terlebih dahulu diadakan persembahyangan di Pura oleh Umat Hindu. Setelah Umat Hindu selesai melaksanakan persembahyangan dilanjutkan dengan Mendak Pesaji. Mendak Pesaji berarti menjemput Sesaji yang disimpan di bale penyimpanan. Dilaksanakan pada sore hari menjelang Raraq Kembang Waru. Sesaji untuk Perang Topat tersebut pada waktu pujawali dibawa masuk ke Kemaliq diletakkan di Altar Kemaliq dan dilaksanakan Ngaturan Pesaji kepada roh-roh gaib dipimpin oleh seorang Pemangku Sasak. Selesai upacara ngaturan pesaji, sarana persembahyangan seperti Kebon Odeq, bunga ditempatkan di dalam Kemaliq, kemudian dilanjutkan dengan Perang Topat sekitar jam 17.30 menjelang tenggelamnya sinar matahari, perang topat tersebut dilaksanakan sebagai ungkapan rasa terima kasih umat manusia kepada sang pencipta yang telah memberikan keselamatan, sekaligus memohon berkah.
            Pura lingsar merupakan salah satu tempat ibadah Umat Hindu yang berada di Lombok dimana Pura ini lokasinya sekitar 7,5 km dari kota Mataram tepatnya di Desa Lingsar, Kecamatan Lingsar. Pura Lingsar ini dibangun pada masa jayanya raja Kerajaan Karangasem yaitu pada abad ke 17.  Pura Lingsar adalah merupakan peninggalan sejarah dan merupakan cagar budaya yang masih terawat sampai saat ini. Pura ini dibangun pada masa pemerintahan Anak Agung Karangasem yang memerintah pada waktu itu. Pura lingsar merupakan bukti toreransi antar umat beragama yang mana meskipun berbeda keyakinan, mereka bisa hidup rukun dan harmonis.
            Untuk menjaga kedamaian antar pemeluk agama di Pura Lingsar tersebut, di sekitar tempat itu ada suatu larangan bagi masing-masing agama yang akan melaksanakan persembahyangan di Pura Lingsar. Di sekitar areal Pura Lingsar dilarang memotong binatang yang dianggap suci dan binatang yang diharamkan, seperti memotong babi bagi yang Hindu dan dilarang memotong sapi bagi yang Islam. Ketika masuk ke dalam kawasan Pura Lingsar tersebut pengunjung disarankan untuk memakai selendang yang diikat pada pinggang untuk menghormati tempat tersebut, yang mana tempat tersebut dianggap suci. Upacara Perang Topat ini dilaksanakan dengan tujuan untuk memohon suatu kesuburan dan kemakmuran serta rejeki untuk masyarakat baik itu suku Sasak juga untuk umat Hindu yang ada di Pulau Lombok. Topat yang digunakan dalam Perang Topat itu yang telah digunakan untuk saling lempar biasanya selalu direbut untuk dibawa pulang oleh kedua belah pihak untuk disebar di Sawah atau di Kebun bahkan pekarangan, juga di Letakan di Tempat mereka berjualan guna memperoleh rejeki, kesuburan dan kemakmuran.
            Pura Lingsar ini dibangun oleh I Gusti Anglurah Made Karangasem (Dewata di Balakapal Mataram) yang berkuasa pada waktu itu, kemudian pura tersebut dipugar kembali oleh Raja Mataram-Lombok yaitu I Gusti Anglurah Ketut Karangasem (Dewata di Rum Metaram). Pada sekitar tahun 1860 oleh Raja yang berkuasa saat itu, Pura tersebut diperluas lagi. Pura Lingsar dibangun lebih luas lagi dengan pembagian pura menjadi tiga bagian sesuai fungsinya masing masing. Komplek Pura yang dibangun yakni Pura Gaduh di Sebelah Utara atau paling atas, Pura Kemariq di Tengah-tengah dan Pura Pesiraman berada di Sebelah Selatan, dimana Komplek Pura tersebut menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Pada jaman dahulu jika saat akan melaksanakan Persembahyangan keluarga raja dan masyarakat akan melakukan mandi suci terlebih dahulu di Pura Pesiraman sambil memohon Lugra atau Ijin kepada Bhatara yang Melingga di Pura Lingsar baru naik ke Pura Kemaliq untuk melaksanakan persembahyangan, setelah dari Pura Kemaliq diteruskan naik lagi ke Pura Gaduh untuk melaksanakan persembahyangan kembali.
            Pelinggih di komplek Pura Lingsar masing-masing diamong atau disungsung oleh Banjar-banjar yang ada disekitar Pura Lingsar, seperti Pelinggih Bhatara Gede Lingsar yang ada di Kemalik, diamong oleh Banjar Montang dan warga desa sekitar Lingsar (Mangku Parman), Pelinggih Bhatara Gunung Agung yang ada di Pura Gaduh diamong oleh Banjar Lingsar, Pelinggih Gaduh diamong oleh Banjar Tragtag, Pelinggih Bhatara Ngerurah yang juga ada di Pura Gaduh diamong oleh Banjar Pemangkalan, Pelinggih Bhatara Gunung Renjani  yang juga berada di Pura Gaduh diamong oleh Bannjar Karang Baru. Banjar-Banjar yang mengamong masing-masing pura tersebut mempunyai tanggung jawab masing-masing pada setiap Pelinggih yang diamongnya. Pada waktu Pujawali dari kedua Suku yakni Suku Sasak Watu Telu dan Umat Hindu saling tolong menolong memasang abah-abah dan keperluan pura lainya.
            Keunikan Upacara Perang Topat yang hanya terdapat di Pulau Lombok yaitu di Pura Lingsar  Kemaliq menjadi suatu model Upacara Keagamaan yang dilakukan oleh dua Etnis yang berbeda dengan agama yang berbeda pula, namun mampu mewujudkan suatu ritual yang sama dan menyatu dalam areal tempat yang satu pula serta pada hari yang sama yaitu pada saat Upacara Pujawali di Pura Lingsar Kemaliq Kecamatan Lingsar. Melihat adanya tradisi yang unik  ini peneliti sangat tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Sesaji Upacara Perang Topat di Pura Lingsar Kemaliq Kecamatan Lingsar (Kajian Bentuk, Fungsi dan Makna)”
B. RUMUSAN MASALAH
            Dari uraian latar belakang di atas, maka permasalahan yang dapat dirumuskan adalah sebagai beriku :
1. Bagaimana Bentuk dan Fungsi Sesaji Upacara Perang Topat di Pura Lingsar Kemaliq Kecamatan Lingsar.
2. Apa Makna Sesaji Upacara Perang Topat di Pura Lingsar Kemaliq Kecamatan Lingsar.
C. TUJUAN PENELITIAN
            Didalam melakukan penelitian ini terlebih dahulu dipaparkan mengenai tujuan umum dan tujuan khusus penelitian yaitu sebagai berikut :
1. Tujuan Umum
            Adapun tujuan umum penelitian ini adalah untuk memberikan kontribusi kepada masyarakat Hindu maupun non Hindu yaitu Suku Sasak yang ada di Desa Lingsar, pada khususnya tentang prosesi Sesaji Upacara Perang Topat di Pura Lingsar Kemaliq  Kecamatan Lingsar.
2. Tujuan Khusus
Adapun yang menjadi tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan Bentuk, Fungsi, dan Makna Sesaji Upacara Perang Topat di Pura Lingsar Kemaliq Kecamatan Lingsar.
D. MANFAAT PENELITIAN
            Setiap kegiatan tertentu pasti ada manfaatnya atau guna yang ingin dicapai. Sehubungan dengan itu maka hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memiliki manfaat atau kegunaan bagi mereka yang memerukannya baik itu secara teoritis maupun secara praktis.
Adapun Manfaat Penelitian sebagai berikut ;
1. Manfaat Teoritis
            Secara Teorotis dari hasil penemuan-penemuan yang ada di buku-buku atau pustaka diharapkan dapat memperkaya sarana penyebaran informasi, bahan studi dalam usaha pembinaan, pengembangan dan pemahaman dalam segi Bentuk, Fungsi dan Makna dari Sesaji Upacara Perang Topat di Pura Lingsar Kemaliq Kecamatan Lingsar.
2. Manfaat Praktis
            Secara Praktis hasil penelitian ini bisa menghasilkan manfaat yang bisa digunakan untuk memahami dalam arti memperjelas informasi yang tidak diketahui agar mereka yang ingin tahu menjadi lebih tahu mengenai Bentuk, Fungsi dan Makna dari Sesaji Upacara Perang Topat di Pura Lingsar Kemaliq Kecamatan Lingsar.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.  Penelitian Relevan
            Penelitian yang relevan biasanya digunakan untuk mencari persamaan dan perbedaan penelitian orang lain dengan penelitian yang sedang kita buat atau membandingkan penelitian yang satu dengan yang lain dengan maksud untuk menghindari duplikasi. (http://berita-ntb .blogspot.com/2012/penelitian-yang relevan-contohdan.html).
            Sujana (2006), dalam bukunya “Upacara Perang Topat Dalam Kehidupan Suku sasak Waktu Telu Dan Umat Hindu Di Pura Lingsar Kecamatan Lingsar Kabupaten Lombok Barat (Kajian Bentuk, Fungsi Dan Makna)” buku ini membahas tentang Upacara Perang Topat. Terkait dengan obyek penelitian ini yaitu mengenai Upacara Perang Topat, buku ini sangat cocok dan menunjang dalam pembuatan penelitian ini. Karena buku ini memaparkan Mengenai upacara Perang Topat di Pura Lingsar.
            Sumada (2011), dalam bukunya yang berjudul “Ritual Kebon Odek Sebagai Wahana Membangun Solidaritas Sosial Penganut Islam Wetu Telu Dengan Penganut Hindu Di lingsar, Kabupaten Lombok Barat”. Dalam buku ini membahas mengenai Kebon Odek yang merupakan salah satu sesaji yang digunakan dalam Upacara Perang Topat. Sehingga buku ini dapat dijadikan pedoman didalam membahas tentang Sesaji Upacara Perang Topat.
            Wijayananda (2004), dalam bukunya yang berjudul “Makna Filosofis Upacara dan Upakara”. Buku ini membahas hal-hal yang berhubungan dengan upakara. Sehingga buku ini dapat dijadikan acuan di dalam pembuatan penelitian ini, karena menjelaskan bentuk, fungsi, makna upakara.
B.  Konsep
            Konsep adalah merupakan unsur pokok penelitian. Penentuan dan perincian konsep ini dianggap sangat penting agar persoalan-persoalan utamanya tidak menjadi kabur. Konsep yang terpilih perlu ditegaskan agar tidak terjadi salah pengertian mengenai arti konsep tersebut. Tetapi perlu diperhatikan karena konsep merupakan hal yang abstrak maka perlu diterjemahkan dalam kata-kata sedemikian rupa sehingga dapat diukur secara empiris ( Narbuko dan Achmadi, 2013:140).
            Kata pura berasal dari kata “Pur” yang artinya benteng. Pura berarti suatu tempat yang khusus dipakai untuk dunia kesucian dengan dikelilingi oleh tembok. Hampir semua pura (tempat suci) dikelilingi atau dibentengi dengan tembok atau pagar untuk memisahkan dengan dunia sekitarnya yang dianggap tidak suci (Netra, 1997 : 3).
            Menurut I Gusti Gde Goda dalam bukunya yang berjudul pura, Pura  berasal dari Sanskerta dari urat kata “pur” yang artinya benteng. Kalau ditinjau dari segi proses pembuatannya supaya suci dan selanjunya dijaga kesuciannya. Secara sederhana pura dapat diartikan sebagai tempat suci yang disesuaikan dengan batas-batas yang jelas, berpagar/bertembok sebagai tempat dewa-dewa.
Upacara Perang Topat yang berkaitan dengan pelaksanaan pujawali di Pura Lingsar dengan rangkaian acaranya adalah termasuk Upacara Dewa Yadja yaitu persembahan kepada Tuhan sebagaimana yang telah dinyatakan dalam bagawad gita III sloka 14 ( S.Pendit. 2002;92 ).
            Annad bhawanti bhutani
            Parjanyad annasambhavah
            Yajnad bhavati parjanyo
            Yajnah karma samudhavah
Artinya
            Karena makanan, mahluk hidup
            Karena hujan, makanan tumbuh
            Karena persembahan hujan turun
            Dan persembahan lahir karena kerja
                                   
            Mengenai sistem kepercayaan masyarakat Suku Sasak, mereka masih percaya akan adanya suatu kekuatan gaib, juga percaya akan adanya kekuatan supranatural. Kepercayaan-kepercayaan demikian diaktualisasikan dengan melaksanakan suatu ritual oleh masyarakat Suku Sasak itu sendiri, masyarakat yang menganut Islam Wetu Telu untuk melaksanakan ritual tersebut memerukan alat-alat serta perlengkapan upacara. Melalui perlengkapan upacara inilah mereka mengungkapkan emosi, perasaan mereka dengan melaksanakan Upacara Perang Topat yang disadari dan dipercayai oleh masyarakat Suku Sasak yang menganut sistem Islam Wetu Telu tersebut akan mendatangkan hujan dan mereka akan merasa terbebas sesuai dengan sistem kepercayaan mereka tersebut.
            Sesaji atau Sesajen adalah Upakara yang brisi unsur makanan yang digunakan dalam setiap upacara ritual Suku Sasak (di Bali lebih dikenal dengan nama Banten). Sesaji yang dibuat oleh suku Sasak terdiri dari nasi, buah-buahan, daging dan sayur-sayuran atau lauk pauk seperti Lekes, Sekar, Kebon Odeq, buah pisang keladi, pepaya, nanas, jambu, mangga, pinang, manggis, dan buah-buahan lainya,bunga-bunga (bunga Kamboja, Nusa Indah), Kembang Pinang, kembang Gadung, Gemitir, kantil, daun beringin, daun sirih, daun andong, daun temen merah dan putih, daun pria, rokok kulit jagung, kelapa, lidi, bambu, beras kuning, kepeng bolong dan empok-empok, Pedek , Rombong, kotak, Momot, Gedah., Wastra, Cecepan berupa ceret berisi air dan Ajengan. Dalam hal membuat dan menata sesaji yang dikerjakan oleh kerabat pemangku, jumlahnya sembilan dulang, sebagai runtutannya dibuat sanganan, yaitu dulang berisi jajan sebanyak sembilan dulang berisi buah-buahan. Semua kegiatan ini dilakukan oleh kaum perempuan, kemudian disimpan di bale penyimpanan. Sesaji tersebut tidak boleh dikerjakan oleh perempuan yang sedang haid, demikian pula mereka tidak diperbolehkan  masuk ke  areal pura Lingsar Kemaliq atau ke Pura Gaduh.
            Upacara Secara etimologi berasal dari kata Upa dan Cara, dalam hal ini Upa berarti dekat atau mendekatkan, sedangkan Cara berasal dari kata Car berarti harmonis, seimbang dan seraras (Wijayananda, 1999 : 52). Dengan keseimbangan, keharmonisan dan keserarasan dalam diri, kita mendekatkan diri kepada Ida sang Hyang Widhi Wasa. Sebelum kita mendekatkan diri kepadanya hendaknya terlebih dahulu kita dapat memciptakan keseimbangan dan keserarasan serta keharmonisan dalam diri kita, agar dapat terwujud keharmonisan dengan Ida sang Hyang widhi Wasa. Upacara merupakan suatu perwujudan dari religi ritual yang dilakukan bersama-sama dan sungguh-sungguh yang meliputi emosi keagamaan, sistem keyakinan, sistem ritus, peralatan ritus, upacara dan umat manusia (Koentjaraningrat, 1987 ; 81-83).
Upakara itu berasal dari bahasa Sansekerta yang mana terdiri dari dua suku kata yaitu “Upa” dan “Kara”. Upa yang artinya hubungan dengan, sedangkan kara artinya pekerjaan tangan. Sehingga pengertian upakara itu adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaan tangan. (Dupa Bandem dan Heri Juniawan, 2009 : 3). Menurut Suryasin Upakara berasal dari kata “Upa” dan “Kara”. Upa artinya berhubungan dengan dan Kara artinya perbuatan atau pekerjaan atau tangan. Jadi Upakara adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan perbuatan atau pekerjaan atau tangan. Pada umumnya Upakara adalah berbentuk materi. Dan bentuk materi dari pada upakara-upakara tersebut disebut Banten atau Sesaji. Jadi Sesaji dalam hal ini merupakan semua perkerjaan tangan yang berbentuk materi yang digunakan dalam melaksanakan suatu yang berkaitan dengan suatu upacara yang masih dijaga dan dilaksanakan secara turun temurun.
            Yajnya merupakan korban suci dengan tulus iklas. Dalam hal ini Suku Sasak Watu telu melaksanakan Upacara Perang Topat yang merupakan korban suci berupa Sesaji dengan tulus iklas. Yajnya juga merupakan salah satu bagian dan merupakan aspek terakhir dari Tri Kerangka Dasar Agama Hindu yaitu mengenai Upacara Yajnya. Tim dalam buku Panca Yajna (2008 : 2) kata Yajna berasal dari bahasa Sanskerta dari urat kata Yaj yang berarti memuja, mempersembahkan atau memberi pengorbanan, jadi Yajna itu berarti pemujaan, persembahan atau korban suci. Istilah Yajnya tersebut juga dipersamakan dengan pengertian Ritual. Tiga Kerangka Dasar Agama Hindu itu yaitu:
1.      Tatwa (Filsapat)
Tatwa adalah personifikasi dari kekuatan Mahat (Intuisi) dengan kenyataannya adalah merupakan tempat jaringan otak, sebagai sumber berpikir dan merupakan tempat susunan syaraf pusat sebagai tempat pusat perintah.
2. Etika (Susila)
Etika adalah merupakan personifikasi dari kekuatan Buddhi (Akal)  yaitu menerima perintah dari Mahat, untuk diteruskan kepada Ahamkara, kenyataan sebagai badan penyebab, sebagai tempat memproses perintah Mahat sehingga menjadi kebijaksanaan.
3. Upaca (Ritual)
Upacara adalah personalifikasi dari kekuatan ahamkara sebagai pelaksana perintah dari buddhi sehingga muncullah prilaku, kenyataan sebagai simbul anggota badan (tangan dan kaki).(Sudarsana, 2002 : 6).
            Secara harfiah tata pelaksanaan suatu Yajnya disebut Upacara. Kata Upacara dalam bahasa Sangskerta berarti mendekati. Dalam kegiatan Upacara Agama diharapkan terjadinya suatau upaya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, kepada sesama manusia, kepada alam semesta, kepada Leluhur maupun kepada Para Rsi. Pendekatan itu diwujudkan dalam berbagai bentuk persembahan maupun tata pelaksanaannya. Yajnya merupakan bagian yang utuh dari seluruh ajaran dan aktivitas agama. Bahkan yajnya merupakan unsur yang sangat penting, bagaikan seperti kulit telur yang membungkus dan melindungi bagian didalamnya yang merupakan dari sari telur itu sendiri. Seperti itulah Yajnya dengan Upacara dan Upakaranya merupakan kulit telur yang nampak dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Yajnya tidak hanya menandakan identitas keagamaan, tetapi lebih dari pada itu Yajnya merupakan pengejawantahan ajaran agama.
            Adapun yajnya tersebut dapat digolongkan menjadi lima bagian yang disebut dengan Panca Yajnya, terdiri dari yaitu :
1.      Dewa Yajnya
Dewa Yajnya yaitu korban suci dengan tulus iklas yang ditujukan kehadapan Tuhan atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan semua Manifestasinya (dewa-dewa)
2.    Bhuta Yajnya
Bhuta Yajnya yaitu korban suci dengan tulus iklas yang dipersembahkan kepada Para Bhuta dan berbagai tingkatannya.
3.    Pitra Yajnya
Pitra Yajnya yaitu persembahan yang tulus iklas yang dipersembahkan kepada Roh Leluhur.
4.    Rsi Yajnya
Rsi Yajnya yaitu korban suci dalam bentuk berdana punia yang ditujukan kepada Para Rsi guru rohani.
5.    Manusia Yajnya
Manusia Yajnya yaitu upacara yang ditujukan untuk keselamatan manusia termasuk penghormatan kepada para tamu.
         Kalau dihubungkan dengan Panca Yajnya maka Upacara Perang Topat di Pura Lingsar Kemaliq kecamatan Lingsar ini dapat dikaitkan dengan Dewa Yajnya karena merupakan korban suci dengan tulus iklas yang dipersembahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
            Di dalam Athawar Weda XII.1,  yang dikutip oleh Sudiastiawan (2005 : 642)  dijelaskan mengenai yajnya tersebut di atas yang berbunyi sebagai berikut :
Satyam brhadrtamugram, diksa tapo
Brahma Yajnah prthivin dhrayanti, sa no
Bhutasya bhavyasya patnyurum lokam
Prthivi nah krnotu
Artinya :
Kebenaran ( Satya ) hukum yang agung, yang kokoh dan suci ( Rta ), tapa brata, doa dan jayna, inilah yang menegakkan bhumi. Semoga bhumi ini, ibu kami sepanjang masa memberikan tempat yang lega bagi kami.

Selanjutnya dijelaskan dalam Bhagawad Gita IV.12, yang dikutip oleh Tim (2008 : 7)
            Kanksantah karmanam siddim
            Yajanta iha devantah
            Ksipram hi manuse loke
            Siddhir bhavanthi karmanja
Artinya :
Mereka yang menginginkan hasil dari pekerjaannya diatas dunia ini menyembah para dewa, karena dari sesuatu perkerjaan adalah mudah sekali didapat diatas dunia ini.

        Dari kedua sloka di atas, maka sudah sepantasnya kita sebagai umat manusia melakukan yajnya, karena merupakan salah satu penyangga tegaknya kehidupan didunia ini. Biasanya orang itu yakin akan sesuatu hal sehingga membuatnya kagum dan akhirnya membawa dia untuk melakukan sesuatu dengan tulus iklas baik dengan cara menyembah ataupun berkorban akan sesuatu hal. Tulus iklas adalah kemauan dasar dalam pelaksanaan yajnya, karena tulus iklas itu adalah jiwa yajnya, berkerja dengan rela berkorban adalah berbhakti pada kewajiban tampa pamrih. Tuhan menciptakan dunia ini berserta manifestasinya termasuk manusia adalah dengan yajnya, maka dengan yajnya pulalah kita sebagai manusia melaksanakan kewajiban didunia ini agar dunia ini sepanjang masa memberikan tempat yang membuat bahagia bagi kita semua.
C. Landasan Teori
    1. Bentuk
            Menurut Farlin (2000: 44) dalam judul bukunya Kamus Praktis Bahasa Indonesia, bentuk berarti bangunan, gambaran, rupa, wujud yang tampak. Berdasarkan pengertian bentuk di atas, maka bentuk dalam penelitian ini adalah bagaimana bentuk Sesaji Upacara Perang Topat di Pura Lingsar Kemaliq Kecamatan Lingsar.
2.    Fungsi
            Menurut Poerwadaminta (1976 : 122)  fungsi berarti kegunaan. Menurut tim ( 2001: 322-703) Kamus Besar Bahasa Indonesia fungsi berarti kegunaan. Fungsi dalam penelitian ini adalah sebagai sarana memohon kesuburan, kemakmuran dan juga diyakini membawa rejeki, disamping untuk dapat menghubungkan umat manusia kepada Sang Pencipta.
3.    Makna
            Makna artinya kita berbicara mengenai  sesuatu yang padat nilai. Nilai suatu upacara keagamaan tentunya berbeda sekali dengan nilai suatu kegiatan hidup lain seperti kegiatan bidang ekonomi serta bidang kegiatan lainnya. Menurut Tim (2001 : 508)  makna berarti maksud, seperti orang, benda, tempat, sifat, proses dan kegiatan. Maka makna yang dimaksud dalam penelitian ini adalah nilai suatu kegiatan dan proses upacara. Kegiatan upacara dimaksud seperti Sesaji Upacara Perang Topat haruslah dilihat nilainya dari sudut spiritual.
D.  KERANGKA BERPIKIR



 







Memudahkan masyarakat agar lebih mengetahui mengenai Sesaji Upacara Perang Topat di Lingsar Kemaliq Kecamatan Lingsar
 
       



            Dari kerangka berpikir di Atas, maka penulis dapat memberikan suatu gambaran secara garis besar mengenai Sesaji Upacara Perang Topat di Pura Lingsar Kemaliq Kecamatan Lingsar, yaitu Suku Sasak yang mempunyai kepercayaan Wetu Telu melaksanakan Upacara Perang Topat, mereka melaksanakan upacara tersebut melalui proses dari persiapan alat dan sarana upacaranya sampai puncak acara Perang Topat tersebut. Suku Sasak Waktu Telu dalam melaksanakan Upacara Perang Topat di Pura Lingsar Kemaliq Kecamatan Lingsar mempunyai sesaji tersendiri yang mereka buat sendiri yang mana sesaji tersebut menjadi kajian dalam penelitian ini adalah untuk mencari Bentuk, Fungsi dan Maknanya, agar masyarakat yang belum mengetahui mengenai hal tersebut selanjutnya menjadi tahu mengenai Sesaji Upacara Perang Topat tersebut.
E. ASUMSI DAN KETERBATASAN
1. Asumsi
            Asumsi adalah sesuatu yang diyakini kebenarannya (Arikunto, 1998: 18) atau dengan kata lain asumsi adalah anggapan-anggapan dasar tentang sesuatu hal yang akan dijadikan acuan dalam berpikir dan bertindak dalam melaksanakan penelitian. Adapun asumsi dalam penelitian ini sebagai berikut :
a.       Suku Sasak Watu Telu maupun Umat Hindu Lombok yang melaksanakan Upacara Perang Topat di Pura Lingsar Kemaliq Kecamatan Lingsar pada saat ini lebih mengutamakan pada upacaranya saja yang dilakukan secara turun-temurun di Pura Lingsar tampa memahami makna dari Upacara Perang Topat tersebut.
b.      Pura Lingsar Kemaliq dibangun untuk menyatukan secara batiniah masyarakat Sasak dengan masyarakat Hindu Bali yang ada di Lingsar.
2. Keterbatasan
            Mengingat terbatasnya waktu, biaya dan kemampuan peneliti, maka perlu diadakan pembatasan penelitian. Tetapi pembatasan ini bukan berarti mengurangi hasil yang diharapkan. Aspek penelitian yang terlalu luas dengan kemampuan yang terbatas akan mengakibatkan kekacauan atau kekaburan dalam hasil penelitian dan sulit untuk dipertanggung jawabkan. Untuk menghindari hal-hal tersebut dan untuk menyatukan presepsi, maka dalam penelitian ini kajiannya dibatasi hanya pada Sesaji Upacara Perang Topat di Pura Lingsar Kemaliq Kecamatan Lingsar Kajian Bentuk, Fungsi dan Makna.
BAB III
METODE PENELITIAN

A.    Rancangan Penelitin
            Menurut Moleong (2002 : 2), menyatakan bahwa keputusan rancangan apa yang akan dipakai akan tergantung pada tujuan peneliti, sifat masalah yang akan digarap dan berbagai alternatif yang mungkin digunakan. Sifat masalah akan memainkan peranan utama dalam menentukan cara-cara pendekatan yang cocok, selanjutnya akan menentukan rancangan penelitinya.
            Berdasarkan sifat masalahnya, maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif yaitu penelitian yang tidak mengadakan perhitungan (Moleong, 2002 : 2). Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan temuan-temuan empiris yang dapat dideskrifisikan secara rinci, jelas dan lebih akurat (Netra, 1976 : 35). Dalam hal ini peneliti, meneliti tentang Sesaji Upacara Perang Topat dilihat dari segi  bentuk, fungsi dan makna.
            Dengan demikian dalam menghimpun dan mengumpulkan data yang akan dipergunakan peneliti adalah dengan menghubungi informan yang bisa memberikan keterangan baik lisan maupun tulisan.
B.     Lokasi penelitian
            Penelitian ini dilakukan di Pura Lingsar Kemaliq, Desa Lingsar, Kecamatan Lingsar, Kabupaten Lombok Barat. Dipilihnya Lokasi Pura Lingsar Kemaliq ini, karena di Pura Lingsar Kemaliq tersebut pada Waktu Pujawalinya diadakan Upacara Perang Topat, Upacara tersebut merupakan upacara yang dipercayai untuk memperoleh kesuburan, kemakmuran serta rejeki. Upacara Pujawali di Pura Lingsar ini dilaksanakan bukan hanya oleh Umat Hindu saja akan tetapi Suku Sasak yang beragama Islam Wetu Telu. Dimana dalam Upacara Perang Topat ini mereka saling lempar topat satu sama lain tanpa ada suatu rasa dendam kalau mereka terkena lemparan topat lawannya Mereka pada saat pujawali selalu melaksanakan Upacara Pearang Topat dan Upacara Kebon Odeq, yang mana acara tersebut tidak dapat dipisahkan dari acara Pujawali Pura Lingsar karena Upacara ini merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Kemudian mengenai apa sarana Upakaranya dan makna yang terkandung dalam Upacara Perang Topat tersebut belum banyak masyarakat yang memahaminya bahkan masyarakat tidak tahu siapa yang bikin topat serta apa saja banten yang digunakan dalam acara Upacara Perang Topat tersebut.
C.    Jenis dan Sumber Data
            Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif dengan menyajikan data berupa keterangan yang disajikan dalam bentuk kata-kata atau kalimat meliputu data primer dan data sekunder.
C.1.Data primer
Data primer yang diperoleh dari penelitian lapangan yaitu penelitian langsung kelapangan untuk mendapatkan data primer (Subagyo, 2004 : 88). Data primer dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh langsung dari sumber pertama. Data ini dikumpulkan dari informan yang pernah atau terlibat dalam proses Upacara Perang Topat yaitu Pemangku di Pura Lingsar, tokoh masyarakat serta masyarakat yang mengetahui masalah yang diteliti dengann menggunakan metode wawancara secara langsung.
C.2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber kedua yang berasal dari tinjauan pustaka, dokumen yang berkaitan dengan maslah yang diteliti.
D.    Teknik Pengumpulan Data
            Nawawi (2001 : 94), menyatakan bahwa teknik  pengumpulan data yang tepat dalam suatu penelitian akan memungkingkan dicapainya pemecahan masalah secara valid dan pada gilirannya akan memungkingkan dirumuskannya genelarisasi yang objektif. Dalam penelitian ini yang digunakan untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah observasi, wawancara, dan dokumentasi.
1. Observasi.
            Pengamatan atau observasi adalah metode pengumpulan data dimana peneliti sebagai kolabulatornya mencatat informasi sebagai yang mereka saksikan selama penelitian. Penyaksian terhadap peristiwa-peristiwa itu bisa dengan melihat, mendengar, merasakan yang kemudian dicatat seobyektif mungkin. Peranan pengamatan dapat dibedakan berdasarkan hubungan partisipartifnya dengan kelompok yang diamati. Dimana peneliti melakukan pengamatan secara terstruktur serta si peneliti telah mengetahui aspek apa dari aktivitas yang diamatinya yang relevan dengan masalah serta tujuan penelitian (Sugiono, 2005 : 64)
            Sedangkan menurut Sugiono (2005 : 165), menjelaskan bahwa observasi adalah merupakan tehnik pengumpulan data yang mempunyai ciri-ciri yang spesifik bila dibandingkan dengan tehnik yang lain yaitu observasi tidak terbatas pada orang juga dengan objek-objek lainya. Observasi juga diartikan pengamatan secara langsung ke objek penelitian untuk melihat dari dekat kegiatan yang dilakukan (Riduwan, 2006 ; 76).
            Berdasarkan beberapa pengertian tentang observasi, maka dalam penelitian yang dilakukan dipura kemaliq lingsar desa lingsar kecamatan lingsar, dalam metode pelaksanaan observasi. Peneliti melakukannya pada objek penelitian yang meliputi kegunaan perang topat, sesaji yang digunakan dalam perang topat, ritual upacara perang topat.
2. Wawancara.
            Menurut Marjuki (2005 : 66), menyatakan bahwa wawancara merupakan cara mengumpulkan data dengan jalan tanya jawab sepihak yang dikerjakan secara sitematis dan berlandaskan tujuan penelitian. Wawancara juga diartikan suatu percakapan dengan maksud tertentu yang dilakukan oleh dua pihak antara pewawancara yang mengajikan pertanyaan dan yang terwawancara yang memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan kepadanya. Wawancara juga merupakan suatu proses interaksi dan komunikasi verbal dengan tujuan untuk mendapatkan suatu informasi penting yang diinginkan (Danin, 2002 : 130)
            Berdasarkan pengertian tentang wawancara tersebut diatas, sehingga dalam penelitian ini yang diwawancarai adalah pemangku, tokoh agama dan tokoh masyarakat serta informan yang mengetahui atau memiliki informasi tentang kaitannya dengan prosesi upacara Perang Topat di pura kemaliq lingsar kecamatan lingsar.
3. Dokumentasi
            Dokumentasi merupakan data yanag diperoleh secara langsung dari tempat penelitian yang meliputi buku-buku yang relevan, laporan kegiatan, foto (Riduwan, 2006 : 77). Menurut Moleong (2005 : 216) , menyatakan bahwa dokumentasi yang diartikan setiap bahan tertulis yang dipersiapkan karena adanya permintaan seorang peneliti.
            Metode pencatatan dokumentasi merupakan cara memperoleh data dengan jalan mengumpulkan segala macam dokumen dan melakukan pencatatan secara sistematis. Yang dimaksu dokmen dalam hal ini adalah buku-buku, jurnal, majalah dan berbagai jenis dokumen lainya (Agung, 1999 : 74).
            Dalam penelitian ini dokumentasi yang digunakan adalah foto dan buku-buku yang berkaitan dengan Upacara Perang Topat, metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah hanya menggunakan foto dan buku-buku serta situs internet yang relevan terhadap judul dari penelitian ini.
E. Teknik Analisi Data
            Setelah selesai tahap pengumpulan data, maka dilakukan analisis data. Analisis data adalah proses penyempurnaan data yang ditfsirkan dan diinterpretasikan. Menyusun data berarti menggolongkannya dalam pola tema atau kategori. Berhubung data-data yang diperoleh adalah data yang bersumber dari literatul dan langsung menganalisis data tersebut serta memberi interpretasi (Nasution, 1992 : 126).
            Penelitian ini bersifat kualitatip yakni data-data yang disajikan berwujud kata-kata dan bukan angka. Analisis kualitatif diartikan sebagai usaha berdasarkan kata-kata, disusun dalam bentuk teks. Analisis data dilakukan pada saat pengumpulan data, yang diawali dengan proses klarifikasi data agar tercapai kosistensi (Gulo, 2002 : 179).
F. Penentuan Informan
            Sebelum menentukan informan, Perlu dijelaskan apa yang dimaksud dengan informan. Informan dalam penelitian ini adalah mereka yang diwawancarai secara kongkrit, para informan tersebut dipilih dengan mempertimbangkan pengetahuan mereka tentang masalah yang diteliti atau yang mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan obyek yang diteliti dengan menunjuk informan kunci yang berperan untuk memberikan informasi berikutnya sampai tingkat kejenuhan dan untuk banyaknya informan dalam penelitian ini tidak dibatasi (Sanapiah, 2003 : 67).

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A.    Hasil Penelitian
1. Gambar Umum Lokasi Penelitian
            Desa Lingsar merupakan suatu bagian dari satu kesatuan wilayah adminitrative yaitu masuk Kecamatan Lingsar, Kabupaten Lombok Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Di Desa Lingsar terdapat sebuah Taman yang luas dimana di Dalamnya terdapat deretan pura peninggalan kerajaan dahulu yang bersejarah dan cukup terkenal. Pura tersebut digunakan oleh dua etnis yang berbeda untuk melaksanakan sarana kegiatan ritual keagamaan. Kedua kelompok etnis yang berbeda tersebut menamakan peninggalan bersejarah ini dengan sebutan yang berbeda pula menurut kepentingan mereka masing-masing, yaitu dengan sebutan Kemaliq Lingsar dan Pura Lingsar. Lokasi Pura Lingsar berjarak kurang lebih 7,5 km dari Kota Mataram. Kecamatan Lingsar terdiri dari desa-desa yang subur dengan banyak sumber mata airnya, mata pencaharian penduduknya sebagian besar adalah sebagai petani. Desa Lingsar terdiri dari 15 (lima belaas) Dusun yaitu ; 1) Dusun Nirbaye; 2) Dusun Repok Keri; 3) Dusun Lingsar Timur; 4) Dusun Lingsar Barat; 5) Dusun Lingsar Keling; 6) Dusun Keling; 7) Dusun Gegelang Dasan; 8) Dusun Gegelang Daye; 9) Dusun Gegelang Lauq; 10) Dusun Gegelang Bantek; 11) Dusun Bantek; 12) Dusun Gontoran Timur; 13) Dusun Kroye; 14) Dusun Onor; 15) Dusun Sandongan.
Batas-batas wilayah Pura Lingsar adalah sebagai berikut : 
a.         Sebelah Utara Desa Sandongan, Sigerongan dan Karang Bayan.
b.         Sebelah Selatan Desa Gegelang, Desa Dasan Tereng dan Gerimak Indah.
c.         Sebelah Barat Desa Honor, Desa Peteluan Indah dan Kelurahan Bertais.
d.        Sebelah Timur Desa Tragtag, Desa Batu kumbung dan Batu Mekar.
            Pada tahun 1993-1995 terjadi pemugaran dan pembenahan Taman Lingsar yang dilakukan oleh Dinas Pariwisata Nusa Tenggara Barat dalam bentuk pembuatan pintu gapura dan pagar keliling komplek kolam kembar yang berada disebelah utara Taman Lingsar, praktis hal tersebut mengubah dan mengurangi luas Taman Lingsar tersebut, karena disebelah barat kolam kembar itu masih terdapat sebuah kolam lagi yang merupakan bagian Taman Lingsar. Tetapi dengan dibuatnya pagar keliling, kolam yang berada disebelah barat, menjadi terletak di luar Taman lingsar. (Sujana : 2006 : 39 -40)
            Kompleks Pura dan Kemaliq Lingsar merupakan kompleks taman yang besar dengan bangunan Pura di dalamnya. Bangunan Pura sendiri tidak begitu besar tetapi mempunyai beberapa keistimewaan. Pura ini terdiri atas tiga kompleks, yaitu : 1) Kompleks Pura Lingsar (Pura Gaduh); 2) Kompleks Kemaliq; 3) Kompleks Pesiraman.
            Kompleks Pura Lingsar (Pura Gaduh) terletak di bagian atas sebelah utara menghadap ke barat dan merupakan tempat ibadah Umat Hindu. Sedangkan kompleks Kemaliq dan kompleks Pesiraman terletak di bagian bawah di sebelah selatan, juga menghadap ke barat tetapi letaknya sedikit ke utara. Bangunan Pura Lingsar (Pura Gaduh) dan Kemaliq dihubungkan dengan dua buah Kori Agung. Di halaman luar (Bencingah) Pura Lingsar dan Kemaliq terdapat tiga buah bangunan Bale. Dua buah Bale Jajar di halaman barat Pura dan sebuah Bale Bengong. Kedua bangunan Bale Jajar  ini merupakan tempat kegiatan kesenian dan beristirahat bagi umat yang bersembahyang, berbentuk segi empat panjang, bertiang enam (Sekenem). Atapnya berbentuk limasan dan terbuat dari seng, lantai dari batu bata dengan ketinggian 0,66 m dari permukaan tanah, panjang 10,71 m dan lebar 5,25 m.
            Bangunan Bale Bengong terletak di halaman Jaba Pisan (halaman luar Kemaliq) yang merupakan tempat kegiatan rapat dan beristirahat bagi umat yang bersembahyang. Bentuknya segi empat panjang, dan bertiang enam (Sekenem). Atapnya berbentuk limasan dan terbuat dari seng, lantainya dari batu bata dengan tinggi lantai dari permukaan tanah 0,60 m, panjang 6 m, dan lebar 6 m. Di samping bangunan-bangunan tersebut diatas, di sebelah selatan Pura/Kemaliq terdapat pancuran Siwak (Sembilan buah pancuran), yaitu bangunan yang merupakan tempat mandi kaum laki-laki dengan panjang 21,50 m dan lebar 3,50 m di sebelah barat,  dan tempat mandi kaum perempuan yang letaknya di sebelah barat dengan panjang 18,50 m dan lebar 4,20 m. Kemudian pada pancuran yang berada disebelah barat pemandian kaum wanita ada pancuran yang dinamakan Pancuran Loji, pancurannya sebanyak 2 buah. Pada bagian paling selatan kompleks taman terdapat Kolam Ageng berukuran keliling 6.230 m2. Sedangkan perigi kolam terbuat dari pasangan batu kali yang direkat dengan semen.
            Di sebelah utara halaman luar (Bencingah) terdapat Kolam Kembar. Halaman tempat Kolam Kembar ini dikelilingi oleh tembok yang bahannya dari batako. Pada sisi sebelah selatan dan sisi sebelah utara terdapat candi bentar dari batu bata. Candi Bentar yang ada di sebelah selatan merupakan pintu masuk ke halaman Bencingah, sedangkan Candi Bentar yang ada di sebelah utara merupakan pintu masuk ke halaman parkir (Jabaan). Di halaman parkir ini terdapat bangunan gedung baru yang dimanfaatkan sebagai tempat pagelaran. Di sebelah utara, paling ujung utara halaman Jabaan terdapat dua buah gapura yang merupakan bangunan lama dengan bentuk seperti pilar  tinggi dari batu bata
2. Letak Administrasi
            Desa lingsar terletak di Kecamatan Lingsar yang jaraknya kurang lebih 7.5 km dari Kota Mataram, Desa Lingsar ini terdiri dari 15 dusun yang sebagian besar merupakan daerah  pertanian.
3. Keadaan Geografis
            Desa lingsar yang merupakan daerah pertanian dengan luas tanah pertanian 834 Ha reratif tidak mengenal musim hujan dan musim kemarau karena dengan adanya beberapa sumber mata air yang ada di wilayah Desa Lingsar tersebut yaitu Sarasuta, Saraswili, Lingsar, Manggong dengan curah hujan 134mm/tahun membuat daerah Lingsar menjadi daerah yang subur.
4. Sosial Ekonomi dan Budaya
            Secara umum rata-rata kemampuan ekonomi masyarakat Desa Lingsar termasuk kategori sedang/mencukupi dengan sebagian besar masyarakatnya hidup dari pertanian, perternakan, tukang, pegawai negeri sipil dan usaha industri pariwisata. Desa lingsar mempunyai kesenian tari-tarian seperti Tari Betek Baris Lingsar, Gendang Beleq, Beleganjur, Pereret, Gong Gebyar.
B.  Status dan Fungsi Pura Lingsar Kemaliq
            Pura Lingsar adalah salah satu tempat Umat Hindu untuk melaksanakan kegiatan upacara dengan segala ritus-ritus yang didasarkan atas keyakinan agama Hindu dengan kitab suci Weda. Menurut Selayang pandang Pura Lingsar, Pura Lingsar adalah salah satu tempat suci yang juga sebagai tempat persembahyangan Umat Hindu. Ajaran Agama Hindu yang bersumber pada kitab Weda dapat menerima siapa saja untuk melakukan persembahyangan ditempat suci Agama Hindu selama tata upacata itu tidak bertentangan dengan prinsip ajaran Agama Hindu yang bersumber dari Weda. Agama Hindu dapat menempatkan cara-cara dan tradisi-tradisi serta keyakinan masyarakat pada tempat terhormat sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip ajaran Agama Hindu, sehingga Pura Lingsar sampai saat ini dijumpai berbagai kelompok masyarakat yang melakukan persembahyangan seperti Suku Sasak dan keturunan Cina ( Sujana : 2006 : 54 – 55 ).     
            Pura Lingsar Kemaliq merupakan salah satu Pura yang ada di Pura Lingsar yang merupakan satu kesatuan dari Pura-pura di Lingsar. Pura Lingsar ini meliputi Pura Gaduh, Pura Kemaliq, Pura Pesiraman, Pura Ulon dan Pura Manggis. Dalam Areal Pura Kemaliq Terdapat sebuah kolam yang diatasnya ada Arca Dewa Wisnu dan disebelah timurnya terdapat Artar Kemaliq serta terdapat dua buah bale sekepat dan sebuah bangunan penyimpanan area.
            Pura Lingsar merupaka tempat suci milik bersama seluruh masyarakat di Lombok sehingga di Pura Lingsar Agama Hindu maupun Agama non Hindu seperti Sasak sama-sama menjalankan adat tradisi, Agama Hindu melaksanakan Pujawali/Piodalan sedangkan Suku Sasak melaksanakan Perang Topat, kedua acara tersebut dilaksanakan berbarengan pada hari yang sama sehingga di Pura Lingsar tersebut tercipta sikap toreransi yang tinggi.
6. Kemaliq
            Kemaliq itu sendiri berasal dari kata Maliq yang artinya Sakral, tempat bersejarah bagi Umat Islam Tempo dulu. Konon di Kemaliq tersebut merupakan tempat hilang atau Moksanya tokoh ulama yang bernama Raden Mas Kertajagat atau yang lebih dikenal dengan sebutan Datu Sumilir. Beliau merupakan penyebar Agama Islam di Lombok Barat dengan tetap mengadopsi budaya lama atau budaya nenek moyang yang kemudian disebut dengan Wetu Telu, sinkritisme Islam dengan ajaran nenek moyang tersebut melahirkan kebudayaan seperti saat ini yang kita liat.  Dengan adanya ajaran Pantheisme ini, maka kepercayaan Animisme masih berlaku terus dan mistik dari segi agama bisa diterima secara sukarela oleh semua penduduk Lombok yang masih paham Animisme sehingga di Kemaliq Pura Lingsar merupakan tempat untuk menghaturkan Sesaji atau Sesajen.
            Kemaliq itu merupakan tempat makam Wali Allah yang menyebarkan Agama Islam di Lombok yang mana Wali Allah tersebut Muftah atau Moksa menghilang tampa bekas disitus Kemaliq.
7. Pengemong Pura Lingsar
            Pelinggih di Komplek Pura Lingsar itu masing-masing diamong oleh Banjar-banjar yang ada disekitar Pura Lingsar tersebut, seperti Pelinggih dikomplek Pura Lingsar tadi masing-masing diamong oleh Banjar-banjar yang ada disekitar Pura Lingsar tersebut seperti Pelinggih Bhatara Gede Lingsar (Kemalik) diamong oleh Banjar Montang dan warga desa sekitar Lingsar (Mangku Parman), Pelinggih Bhatara Gunung Agung diamong oleh Banjar Lingsar, Pelinggih Gaduh diamong oleh Banjar Tragtag, Pelinggih Bhatara Ngerurah diamong oleh Banjar Pemangkalan, Pelinggih Bhatara Gunung Renjani di among oleh Bannjar Karang Baru. Banjar-banjar yang mengamong masing-masing Pura tersebut mempunyai tanggung jawab masing-masing pada setiap Pelinggih yang diamongnya.
            Pada setiap waktu Pujawali dari kedua Suku yakni Suku Sasak Watu Telu dan Umat Hindu saling tolong menolong memasang Abah-abah dan keperluan pura lainya. Sehingga secara garis besar Pengemong Pura Lingsar dapat dikatakan adalah seluruh masyarakat yang ada di Desa Lingsar, Kecamatan Lingsar.
B.4. Pemangku Pura Lingsar
            Menurut Mangku komang Saputra selaku salah satu Pemangku di Pura Lingsar (Wawancara tanggal 30 Nopember 2013). Pura Lingsar ini secara Keseruluhan memiliki 8 (delapan) orang pemangku yang terdiri dari yaitu: 1) Pemangku Purna; 2) Pemangku Rai; 3) Pemangku Reme; 4) Pemangku Komang Saputra; 5) Pemangku Wedarba; 6) Pemangku Karyasa; 7) Pemangku Japa Astaman; 8) Pemangku Suparman
            Khusus untuk di Kemaliq memiliki pemangku dari Suku Sasak yaitu Mangku Suparman dan untuk Pemangku dari Umat Hindunya diberlakukan sistem bergilir bergilir agar semua Pemangkunya dapat melaksanakan tugasnya.
            Yang menjadi Pemangku dari Suku Sasak adalah satu keturunan dari Pemangku sebelumnya. Pemangku Suparman merupakan Pemangku yang ke 9 (Sembilan) Lingsar Kemaliq. Adapun ke 9 (Sembilan) Pemangku yang pernah menjadi Pemangku di Lingsar Kemaliq adalah : 1) Nursalam (Mbiq Bagiq), 2) Nursalim (Sigar batu), 3) Indrawan, 4) Amaq Lingsari, 5) Lingsari, 6) Amaq Nurawan; 7) Nurawan; 8) Amsiah, Sanusi, Asmin. ( bersaudara ), 9) Suparman.
B.5. Proses Upacara Perang Topat
            Perang Topat diadakan di Pura Lingsar Kemaliq sebagai bentuk permohonan untuk meminta kesuburan, kemakmuran yang mana Perang Topat itu dilakukan oleh masyarakat di wilayah Pura Lingsar yang biasanya sebagai petani atau masyarakat umum yang Sembahyang di Pura Lingsar tersebut, Perang Topat merupakan simbul perang kegembiraan atas panen yang melimpah. Untuk diketahui Raden Mas Kerta Jagat pernah diangkat menjadi Raja di daerah tersebut dengan gelar Pemban Pengerakse Jagat atau yang lebih dikenal dengan Datu Sumilir dan kemudian beliau Moksa di suatu tempat yang namanya Kemaliq, untuk mengingat kejadian itu pada setiap Purnamaning Sasih Kaenam tepatnya saat Upacara Pujawali di Pura Lingsar diadakan prosesi Upacara Perang Topat yang bertempat di Pura Lingsar Kemaliq.
           Perang Topat ini diadakan untuk memohon kemakmuran, kesuburan dan rejeki sehingga masyarakat yang datang ke Kemaliq tidak hanya dari masyarakat Lingsar saja tapi banyak masyarakat dari luar seperti dari Lombok Utara, Lombok Tengah, ada juga dari Lombok Timur, mereka datang bersama keluarganya sambil membawa Topat untuk di Sembahkan ke Kemaliq.
            Guna menyukseskan rangkaian pelaksanaan Upacara Pujawali Pura Lingsar perlu adanya suatu perencanaan yang matang, pengorganisasian yang baik serta penyusunan seksi-seksi yang akan ditugaskan untuk menggerakkan dan mengawasi pelaksanaan Upacara Pujawali Pura Lingsar.
            Adapun prosesi Upacara Perang Topat di Pura Lingsar Kemaliq dibagi menajdi tiga tahapan yaitu : Masa Persiapan, Upacara Pendahuluan, Puncak Acara Perang Ketupat, Langlan dan Beteteh.
Adapun proses atau rangkaian pelaksanaan upacara meliputi :
a. Masa persiapan
            Agar pelaksanaan Upacara Perang Topat itu lancar, maka perlu adanya perencanaan yang matang, pengorganisasian yang baik dan penyusunan seksi-seksi yang akan menggerakkan dan mengawasi pelaksanaan Upacara Perang Topat tersebut. Hal tersebut terdiri dari tiga kegiatan mulai dari Gotongroyong, Memasang abah-abah, dan Penaek Gawe atau Penaek Karya.
Adapun ketiga kegiataan tersebut meliputi :
1). Gotong Royong
Gotong royong dan pembersihan, pembersihan disina dalam arti membersihkan segala sesuatu yang terkait dengan Upacara Perang Topat, yang mana pembersihan dimaksud meliputi pembersihan komplek Pura Lingsar. Pembersihan disini berarti membersihkan perlengkapan Upacara Perang Topat, pembersihan juga meliputi perlengkapan upacaranya diantaranya :
a). Momot dan Gedah, sejenis botol dan gelas/toples.
b).Wadah-wadah yang terdiri dan Talam kuningan, dulang-dulang dan tabag
c). Kain-kain untuk hiasan di Kemaliq yang terdiri dari lelingsir,lelangsa, lamak, leluhur dan bukus teken.
d). Piring cangkir dan runtutannya.
e). Payung agung dan tombak, semua alat ini disimpan disebuah tempat yang disebut bale penyimpanan yang terletak disebelah timur rumah pemangku.
2). Masang Abah-Abah
Setelah melakukan kegiatan gotong royong yang meliputi pembersihan areal Pura serta prasarana yang diperlukan dilanjutkan dengan memasang abah-abah. Yang dimaksud dengan kegiatan memasang abah-abah di sini adalah :
a). Lelamak lapis atau alas duduk yang berfungsi sebagai alas sesaji yang dipersembahkan pada roh gaib. Lelamak terdiri dari tiga lapisan putih, kuning dan kuning coklat dipasang di pelatar Kemaliq.
b). Lelingsir, semacam kain pelingsir yang dipasang di ujung atap sebelah luar dengan tiga lapisan dan bagian dalam juga tiga lapis.
c). Pandangan, sejenis ornamen dari kain yang ditempelkan keliling Kemaliq. Kain dimaksud semacam kain merah dengan ornamen perada motif  Bali juga dipasang dibawah cermin-cermin yang ditempel ditembok belakang pelinggih.
d). Leluhur, kain yang digunakan melapisi langit-langit bangunan Kemaliq sebagai bebaduk.
e). Payung Agung, umbul-umbul dan Tombak, dipasang di pelataran Kemaliq. Jumlah payung Agung, umbul-umbul dan tombak semuanya dua puluh buah. Payung, umbul-umbul dan tombak digunakan pada saat mendakpesaji, ngilehang dan beteteh.
f). Bungkus teken, terbuat dari kain putih polos yang dipasang tiang-tiang bangunan Kemaliq.
3). Penaek Gawe/Penaek Karya
            Penaek Gawe merupakan awal kerja untuk Upacara Perang Topat dan dilaksanakan sehari sebelum Upacara Perang Topat. Adapun kegiatan yang dilakukan meliputi yaitu ;
a). Membuat Sesaji atau Piaq Pesaji
Pembuatan Pesaji dilakukan oleh masyarakat Suku Sasak Telu yang ada di Lingsar. Adapun Pesaji yang dibuat terdiri dari nasi,buah-buahan,daging dan sayur-sayuran atau lauk pauk.
b). Membuat Kebon Odeq
Kebon Odeq terdiri dari 2 (dua) suku kata yaitu Kebon berarti kebun dan Odeq yang berarti mini atau kecil. Jadi Kebon Odeq adalah kebun mini atau dunia mini ,karena di dunia ini ada kehidupan maka segenap hasil bumi dimasukan kedalam Kebon Odeq dengan maksud agar selalu memelihara alam semesta ini. Adapun acara upacara Kebon Odeq yang ada di Pura Lingsar Kemaliq serta runtutannya sebagai berikut :
(1).Lekes adalah Pecanangan ( Pabuan ) dan Rokok ( Lanjaran ).
(2).Sekar adalah bunga-bunga yang ditaruh di atas bokor yang terdiri dari beraneka ragam bunga seperti bunga nusa indah, cempaka, gemutir dan lainnya.
(3).Kebon Odeq Lanang dan Istri bahan-bahan Kebon Odeq antara lain lekesan ( daun sirih, gambir, pamor, dan buah pisang keladi, pepaya, nanas, jambu, mangga pinang ) buah-buahan ( manggis ) bunga-bunga (bunga kamboja, nusa indah, kembang pinang, kembang gadung, gemitir, kantil, daun beringin, daun sirih, daun andong, daun temen merah dan putih, daun pria, rokok kulit jagung, kelapa, lidi, bambu, beras kuning, uang bolong dan empok-empok).
(a). Pedek adalah tikar dan bantal yang jumlahnya satu buah. Tikar bantal ini digulung kemudian dibungkus dengan  kain songket.
(b). Rombong adalah tempat nasi yang terbuat dari anyaman bambu, Rombong ini diisi dengan berbagai biji-bijian yang dapat dilungsur untuk dimakan manusia. Juga berisi dengan beras kuning dan pipis bolong sejumlah tujuh atau sembilan.
(c). Kotak yaitu wadah yang berbentuk kotak, kotak ini terbuat dari daun lontar, isinya sama dengan isi rombong.
(d). Momot adalah sebuah botol berbentuk bundar dan berleher panjang. Momot ini tidak diisi dengan apapun, kemudian dibungkus dengan kain kuning dibungkus lagi dengan daun andong seperti menata Kebon Odeq. Menurut keyakinan para penganut Wetu Telu bila doa mereka terkabul, maka Momot yang kosong akan berisi Tirta atau air yang datang secara gaib. Pengecekan dilakukan setelah acara Beteth yaitu Upacara penutupan yang dilaksanakan sore hari menjelang tenggelamnya matahari.
(e). Gedah merupakan gelas/toples yang tidak tertutup, diisi air yang diambil dari mata air di Kemaliq oleh Pemangku.
(f). Wastra, berarti kain dibuntal sebanyak dua buah, masing-masing buntalan terdiri dari sembilan kain yang masih baru.
(g). Cecepan berupa ceret berisi air
(h). Ajengan berarti makanan, sejumlah sembilan dulang. Ditutup Tembolaq terbuat dari daun lontar dengan hiasan munte-munte, dulang terbuat dari kayu berkaki tunggal, isinya : nasi putih, lauk kering seperti dendeng, telur, ikan asin, teri dan saur (serondeng) dan kacang-kacangan.
(i). Sanganan adalah penganan berupa aneka jajan tradisional berjumlah sembilan seperti pisang goreng, keciprut, kerontongan, iwel, tarik, jaja uli (jaja tujak), tape (poteng) cerorot, tekel, kaliadem, wajik dan banget.
b.Upacara pendahuluan
1).Upacara Mendak
            Pada sore hari dilakukan Upacara Mendak, Mendak merupakan Upacara penyambutan Tamu Agung.Tamu Agung yang dimaksud adalah Roh-roh gaib yang berkuasa di Gunung Rinjani atau Bhatare Gunung Rinjani dan Roh-roh yang dari Gunung Agung atau Bhatare Gunung Agung. Upacara ini dilaksanakan oleh Warga Sasak dan Bali .Upacara Mendak berarak-arakan dari Pura Lingsar menuju ke Timur, menuju ke arah Gunung Rinjani, ke arah Barat Gunung Agung.Ini menjadi simbol bersatunya Lombok dan Bali.Arak-arakan ini di terdepan barisan Tari Baris, disusul pembawa Sesaji, diapit pembawa Payung Tombak, dan umbul-umbul barisan paling terakhir adalah kesenian setelah itu diadakan Upacara nyambutan di pertigaan menuju Pura Lingsar.                                                                                                    
2). Mendak Kebon Odeq
            Setelah mendak Bhatare gunung Agung dan Gunung Rinjani kemudian dilanjutkan dengan mendak kebon odeq dari bale penyimpanan menuju Kemaliq, sebelum menuju Kemaliq terlebih dahulu diadakan Acara Ngilahang sebanyak tiga kali dengan mengelilingi Pura termasuk kerbau yang akan disembelih pada esok hari, setelah itu baru kemudian memasuki Pura Kemaliq, sebelum Kebon Odeq diletakkan di Petaulan terlebih dahulu Kebon Odeq dikelilingkan didalam Areal Pura Kemaliq sebanyak tiga kali dan kemudian Kebon Odeq diletakkan di petaulan, dilanjutkan dengan ritual yang dilakukan oleh Suku Sasak yang dipimpin oleh Pemangku Sasak. Didalam ritual ini harus menggunakan Pesajik sebanyak 18 dulang. Sembilan dulang diperuntukkan bagi Umat Sasak dan Sembilan dulang lagi diperuntukkan untuk Umat Hindu.
c. Puncak Prosesi Upacara Perang Topat
            Puncak acara Perang Topat serta Upacara Pujawali di Pura Lingsar yang dilaksanakan sehari setelah mendak Tirta atau bertepatan dengan Purnamaning Sasih ke Enam menurut penanggalan kalender Bali atau biasanya jatuh pada bulan Desember. Adapun kegiatan yang dilaksanakan pada saat prosesi puncak acara yang dimulai dari sejak pagi hari hingga puncak acara yaitu :
1. Nampah Kaoq
            Nampah Kaoq artinya penyembelihan kerbau, yang dimulai sejak dini hari. Kepala kerbau digantung di pelantaran Kemaliq pada pohon Nagasari.
2. Miaq Pesaji
            Miaq Pesaji Maksudnya adalah membuat dan menata Sesaji yang dikerjakan oleh kerabat pemangku. Jumlahnya sembilan dulang, sebagai runtutannya dibuat Sanganan, yaitu dulang berisi jajan sebanyak sembilan, selain itu juga dibuat bayuhan, dulang berisi buah-buahan.
            Semua kegiatan ini dilakukan oleh kaum perempuan, kemudian disimpan di bale penyimpanan. Baik Sesaji maupun Kebon Odeq tidak boleh dikerjakan oleh perempuan yang sedang haid, demikian pula mereka tidak boleh masuk ke Kemaliq atau ke Pura Gaduh karena masih dianggap kotor.
3.  Nyerahang Topat
            Topat yang akan digunakan dalam Upacara Perang Topat dibuat oleh kerabat pemangku, namun ada juga yang dibuat oleh masyarakat yang secara sukarela membuatnya dan menyerahkannya ke Pura Kemaliq Lingar. Topat itu diserahkan pada siang harinya, kemudian langsung diletakan di Altar Kemaliq.
4. Pedande Munggah Mepuje
            Pedande Munggah Mepuja pada sore hari sekitar jam 15.00, bagi umat Hindu yang ada di Kemaliq mengadakan persembahyangan yang dipimpin oleh Pendeta Siwa yang dilanjutkan dengan Puja Tri Sandya, pamuspayan, lanjut dengan ngelungsur Amertha, selesai.
5. Mendak Pesaji
            Mendak pesaji berarti menjemput Pesaji yang disimpan di bale penyimpanan. Dilaksanakan sore hari menjelang Raraq Kembang Waru. Pada saat mendak pesaji, Kebon Odeq beserta urutannya dibawa ke bale penyimpanan. Pihak penjemput dan yang dijemput bertemu di depan pintu gerbang dekat bale penyimpanan, kemudian Pesaji dibawa ke Kemaliq. Urutan barisan pemendak Pesaji, diawali barisan Tari Baris, Tari Teleq, Pesaji, Kebon Odeq, diapit Payung Agung, Tombak dan Umbul-umbul. Ketika menuju ke Kemaliq. Para Penari Baris dan Tari Teleq berjalan sambil menari, merekalah yang menjadi pusat perhatian para pengunjung yang berada di Pura Lingsar. Sebelum Kebon Odeq diletakkan di Altar Kemaliq dilakukan Acara Ngilehan mengelilingi kemaliq sebanyak tiga kali.
6.  Ngaturan Pesaji
            Setelah Ngilehan, Pesaji dibawa masuk ke Kemaliq diletakkan di Altar Kemaliq dan dilaksanakan Ngaturan Pesaji kepada Roh-roh Gaib yang ada di Pura Kemaliq Lingsar dengan dipimpin oleh seorang Pemangku Sasak.
7. Upacara Perang Topat
            Selesai upacara Ngaturan Pesaji, dilaksanakan Upacara Perang Topat, peserta yang menunggu Upacara Perang Topat mulai bersiap-siap dikedua belah pihak, baik itu yang berada disebelah atas yang telah selesai melaksanakan Persembahyangan Pujawali, demikian pula disebelah bawah dari Suku Sasak yang telah bersiap dan menanti lemparan Ketopat dari Kemaliq. Peserta pertama yang menerima Topat adalah peserta yang berada disebelah bawah, maka setelah lemparan pertama dimulai maka puncak Upacara Perang Topat dimulai, bunyi kul-kulpun terus bertalu-talu ( Bersautan ) selama satu jam, peserta dari bawah melempar keatas dan saling balas-membalas seterusnya sampai selesainya acara Perang Topat tersebut.
c. Lalang
            Lalang adalah penyelang atau penyela atau masa senggang dalam arti tidak ada kegiatan. Bisa juga diartikan masa antara. Lalang dimaksudkan untuk istirahat setelah melaksanakan serangkaian prosesi Upacara Perang Topat yang bersamaan dengan Kebon Odeq, lalang berlangsung selama dua hari.
d. Beteteh
            Setelah masa lalang atau istirahat selama dua hari, maka diadakan Upacara Beteteh. Beteteh adalah acara membuang Kebon Odeq yang merupakan acara penutup dari  rangkaian prosesi upacara Perang Topat dan Kebon Odeq. Rangkaian acara beteteh ini terdiri dari tiga bagian.
Adapun tiga acara dalam rangkaian upacara Beteteh diantaranya :
1.    Persiapan Pesaji
            Persiapan untuk upacara dengan membuat Pesaji dibuat pada pagi harinya, Pesaji yang dibuat disebut bulayak. Bulayak yaitu semacam lontong berbentuk bulat panjang dibungkus dengan daun enau muda. Turutan pesaji bulayak diantaranya terdiri dari lekesan dan buah, sekar, ajengan sembilan buah, pemamat dua buah, cecep dan bayuan yang terdiri atas dua wadh buah-buahan dan minuman.
2.     Ngaturang Pesaji
            Upacara Ngaturang Pesaji merupakan upacara persembahan yang dilakukan di Kemaliq sebelum acara Beteteh. Upacara ini berlangsung sekitar pukul 11.00 Wita. Upacara ini dimulai ketika Pesaji telah diletakkan di altar Kemaliq dan dipimpin oleh Pemangku.
3.      Puncak Upacara Beteteh
            Upacara Beteteh merupakan penutup seluruh rangkaian upacara Perang Ketupat dan Kebon Odeq yang diadakan sore hari menjelang matahari terbenam. Setelah selesai persembahan para wanita keluar dari Kemaliq membawa semua perlengkapan yang diluar disambut para laki-laki membawa payung agung. Upacara ngilehang di Kemaliq tiga kali selanjutnya bersama dengan umat Hindu menuju Sarasuta beriringan. Setibanya di Sarasua barisan dari Pura Lingsar Ulon dan Pura Gaduh berbelok kekiri, memberi jalan kepada barisan Kemaliq untuk maju menuju tepi sungai. Sementara umat Hindu melaksanakan persembahyangan bersama, Wetu Telu melangsungkan upacara di tepi Sungai Sarasuta dipimpin Pemangku, setelah selesai semua isi Kebon Odeq dibuang ke sungai. Seluruh masyarakat berebut isi Kebon Odeq untuk dijadikan penolak bala.
            Salah satu acara acara yang menegangkan dan mengundang rasa ingin tau masyarakat pendukung Upacara perang topat adalah saat akan membuka Botol Momot yang disimpan dibale penyimpanan, yang dibungkus daun andong pada saat Penaek Gawe. Semua bagian-bagian dan bahan-bahan dari Momot direbut masyarakat yang menurut kepercayaan Wetu Telu untuk dijadikan Ajimat dan Penolak Bala. Benang kuning langsung dibagikan dan digelangkan pada tangan, kasiatnya juga untuk Penolak Bala. Momot tadinya dalam keadaan kosong biasanya akan berisi air secara gaib, air gaib ini pertanda bagi mereka bahwa Upacara yang berlangsung dengan baik sesuai dengan aturan dan permohonan mereka agar selalu memperoleh kemakmuran dikabulkan.
B.6. Bentuk dan Fungsi Sesaji yang digunakan dalam Upacara Perang Topat di Pura Lingsar Kemaliq
            Bentuk dan Fungsi Sesaji yang digunakan dalam Upacara Perang Ketopat yaitu ; Sedah, Bunga, Lauk pauk, Palawija, Rempah-rempah, Beras ketan, Kebon odek, Lamak, Botol momot, Cecepan, Topat.
Adapun Bentuk dan Fungsi Sesaji yang digunakan dalam Upacara Perang Topat yaitu meliputi ;
a.    Sedah
Sedah merupakan Sesaji yang berbentuk pecanangan atau pabuan yang didalamnya berisi daun sirih, tembakau, pamor sirih, gambir juga berisi lanjaran atau rokok dan sesaji sedah ini ditaruh paling depan diantara sesaji lainya.
Sedah mempunyai fungsi sebagai pembuka kori atau pembuka acara ritual upacara perang topat tersebut.
b.    Bunga
Bunga merupakan Sesaji yang terdiri dari 9 (Sembilan) macam bunga yang mana bunga-bunga tersebut ditaruh diatas nare atau bokor yang disusun secara rapi yang meliputi bunga nusa indah, gemitir, jepun, dan lain-lain.
Bunga mempunyai fungsi sabagai kembang setaman yang digunakan sebagai persembahan yadnya dengan tulus iklas.
c.    Delapan Belas Dulang Sesaji
Sesaji yang berjumblah 18 (Delapan belas) dulang tersebut merupakan Sesaji yang terdiri dari Pesaji makanan, lauk pauk, daging serta jajan-jajanan, teri, saur, kacang-kacangan, ikan asin yang semua ditaruh diatas dulang kayu yang berkaki satu dan dipisah sesuai dengan jenisnya masing-masing serta ditutup dengan penutup yang terbuat dari daun lontar yang dihiasi mute-mute yang dikenal dengan tembolaq atau dalam bahasa balinya Saab. Semua Sesaji yang digunakan dalam acara ritual Perang Topat ini harus dibuat sendiri dan tidak boleh dibeli seperti jajan ranggi, cerorot, serta jajan basah lainya. Pesaji yang dibuat tersebut dibagi dua yaitu 9 (Sembilan)  untuk umat sasak dan 9 (Sembilan ) lagi untuk Umat Hindu. Umat Hindu dalam hal ini tidak membuat langsung Sesaji Perang Topat, melainkan Umat Hindu menyerahkan bahan-bahannya kepada Suku Sasak untuk dibuatkan Sesaji Perang Topat tersebut.
Fungsi delapan beras dulang sesaji tersebut adalah sebagai Sarana persembahan dalam upacara ritual perang topat.
d.   Satu Rombong berisi Palawija dan Rempah-rempah
Palawija dan Rempah-rempah merupakan hasil bumi yang ditaruh didalam rombong atau tempat yang terbuat dari bambu yang dianyam berbentuk wadah kotak atau kotak persegi.
Fungsi sesaji palawija dan rempah-rempah sebagai persembahan dari hasil bumi untuk meminta kesuburan.
e.    Satu Rombong berisi Beras Ketan
Rombong disini adalah wadah yang berbentuk kotak dan terbuat dari daun lontar, wadah kotak tersebut didalamnya dimasukan beras ketan.
Fungsi sesaji ini sama dengan sesaji palawija dan rempah-rempah diatas.
f.     Dua Buah Kebun Odeq
Dua Buah Kebun Odeq yang terdiri dari Kebun Odeq Lanang dan Kebun Odek Istri yang mana keduanya terdiri dari bahan-bahan seperti daun sirih, gambir, pamor, buah pisang keladi, pepaya, nenas, jambu, mangga, pinang, manggis, bunga kamboja, nusa indah, kembang pinang, kembang gadung, gemitir, kantil, daun beringin, daun andong, daun temen merah dan putih, rokok kulit jagung, kelapa, lidi, bambu, beras kuning, uang bolong dan empok-empok yang disusun rapi.
Fungsi kebun odeq yaitu sebagai kebun mini atau penggambaran dari bentuk dunia ini dan isinya.
g.    Lamak
Lamak merupakan kain yang dibuntal atau dilipat dan dibuat dua buah buntalan yang mana masing-masing buntalan terdiri dari sembilan kain berupa seperangkat alat tidur seperti bantal guling dan dibungkus kain putih yang masih baru.
Fungsi lamak adalah sebagai alat tidur yang dibuat mini yang dipersembahkan kepada yang melingga dikemaliq.
h.    Botol Momot
Botol Momot merupakan sebuah botol kaca trasparan berbentuk bundar dan berleher panjang yang dibungkus dengan kain kuning dan dibungkus lagi dengan daun andong yang ditata rapi seperti membungkus Kebun Odeq.
Fungsi Botol Momot yaitu sebagai bentuk bukti dari pegabdian diri seorang manusia diterima atau tidak oleh yang kuasa.
i.      Cecepan
Cecepan berupa ceret yang terbuat dari kuningan berisi air dan cecepan tersebut ditaruh disebuah wadah berbentuk bundar.
Fungsi Cecepan yaitu sebagai tempat air yang nantinya dilungsur karena air dalam cecepan dipercaya sebagai air suci.
j.      Topat
Topat merupakan nasi beras yang dibungkus daun kelapa yang dianyam rapi berbentuk segi empat yang direbus sampai matang. Topat tersebut ditaruh diatas 9 (sembilan) dulang yang mana masing-masing dulang berisi 90 (sembilan puluh) biji topat yang diatasnya ditutup pake tembolaq atau saab.
Fungsi topat adalah sebagai alat yang digunakan untuk saling lempar dalam ritual acara perang topat yang mana topat-topat tersebut sudah diupacarai terlebih dahulu. Topat inilah yang nantinya akan dibawa dan ditaruh disawah atau kebun bahkan dipekarangan rumah yang dipercaya dapat membawa kesuburan. Topat yang digunakan perang berjumblah ribuan yang mana topat-topat itu selain topat yang berjumblah 9 (sembilan) dulang tadi juga merupakan sumbangan dari masyarakat sekitar dan masyarakat yang ikut dalam upacara pujawali tersebut.
            Berdasarkan dari beberapa bentuk dan fungsi Sesaji yang dijelaskan diatas maka dapat kita beri suatu kesimpulan bahwa Sesaji Upacara Perang Topat itu Bentuk dan Fungsinya bersifat baku, baku dalam arti bahwa Sesaji Perang Topat itu tidak berubah dari tahun ketahun, dimana bentuk Sesaji yang digunakan selalu sama seperti menggunakan sedah, bunga, dulang, rombong pawija, beras ketan, rempah-rempah, kebon odek, lamak, botol momot, cecepan, topat. Sesaji yang digunakan susunannya tetep seperti tahun-tahun sebelumnya, yang mana kalau ada berubah paling jenis bunga yang digunakan dan penambahan jenis jajan-jajanan, Sesaji Upacara Perang Topat ini memiliki fungsi masing-masing sesuai bentuknya, fungsinya kebanyakan mengarah pada rasa bakti kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai Ucapan syukur atas berkah dan karunia yang telah diberikan sehingga dapat dikatakan Sesaji ini merupakan gambaran rasa sukur, rasa bakti dan trima kasih kehadapan Tuhan Yang Maha Esa dituangkan dalam bentuk Sesaji tersebut diatas. Sesaji atau Sesajen adalah Upakara yang berisi unsur makanan dan hasil bumi lainnya yang digunakan dalam setiap Upacara ritual Suku Sasak (di Bali lebih dikenal dengan nama Bebanten). Menurut Wiana ( 2002 : 1-2 ), Banten dalam Agama Hindu adalah bahasa Agama dalam ajaran suci Weda, Sabda Tuhan disampaikan kepada umat dalam berbagai bahasa. Ada menggunakan bahasa tulis seperti dalam Weda Samhita disampaikan dengan bahasa Sansekerta, dan ada juga yang disampaikan dengan bahasa lisan. Bahasa lisan ini disesuaikan dengan bahasa tulisannya. Setelah di indonesiakan dengan bahasa jawa kuno dan di Bali disampaikan dengan bahasa Mona yang artinya diam namun banyak menyampaikan informasi tentang kebenaran weda bahasa Mona itu adalah Banten. Penjelasan diatas bermaksud bahwa banten/sesaji sebagai alat konsentrasi dalam mendekatkan diri dengan Tuhan dan segala manifestasinya. Hal ini disebabkan karena kemampuan yang dimiliki oleh manusia sangat terbatas adanya untuk menyampaikan rasa terima kasih karena berbagai anugrah yang diberikan. Gejala bhakti dalam kehidupan disalurkan melalui pencurahan rasa, yang diwujudkan dengan kerinduan untuk bertemu pada suatu upacara secara lahir dan bhatin. Secara lahir diwujudkan dengan persembahan Banten atau Sesaji dan secara bhatin dengan cara melalui persembahyangan.
B.7.Makna Sesaji dalam Upacara Perang Topat di Pura Lingsar Kemaliq
            Sesaji yang digunakan dalam Upacara Perang Topat yang meliputi Sedah, Bunga, Lauk pauk, Palawija, Rempah-rempah, Beras ketan, Kebon odek, Lamak, Botol momot, Cecepan serta Topat memiliki makna masing-masing yaitu sebagai berikut ;
a.    Sedah
Sedah memiliki makna sebagai ucapan salam penyapa atau salam pembuka pada acara ritual perang topat (seperti kita bilang om swasti astu kalau kita membuka suatu acara).
b.   Bunga
Bunga memiliki makna bahwa kita harus selalu berniat atau berpikir yang bersih dan tulus dalam setiap melakukan yadnya, sedang jumblah 9 (Sembilan) mempunyai makna sebagai lambang adanya pancoran siwaq dan 9 (sembilan) serta adanya 9 (sembilan) Wali.
c.    Dulang
Dulang berisi buah-buahan dan makanan memiliki makna yaitu sebagai suatu persembahan yang dilakukan dengan tulus iklas.
d.   Satu Rombong berisi Palawija
Rombong berisi palawija yang bermakna memohon agar hasil sawah dapat subur seta panen palawija yang melimpah dan juga terjauh dari serangan hama.
e.    Satu Rombong berisi Beras Ketan
Rombong berisi beras ketan bermakna agar setiap hasil dari sawahnya selalu dapat menghasilkan panen padi yang melimpah.
f.    Dua  Buah  Kebun Odeq
Kebun odek itu mempunyai makna lambang kehormatan, menunjukan kita menghormati Bhatara untuk umat hindu dan menghormati Wali untuk suku sasak, sikap saling menghormati dari dua suku tersebut sehingga dapat bersatu dalam satu ritual dengan tercipta toreransi antara keduanya.
g.   Lamak
Lamak berupa seperangkat alat tidur seperti bantal guling dan dibungkus kain putih maknanya sebagai alat tempat tidur atau suatu tempat tidur yang dipersembahkan untuk beliu tidur atau istirahat.
h.   Botol Momot
Botol Momot yang mempunyai makna sebagai sebuah bentuk pengapdian dari diri seorang manusia apakah pengabdian yang kita lakukan itu diterima atau tidak, yang mana bentuk dari pegabdian itu diterima atau tidak nanti buktinya dipercaya bahwa pada waktu beteteh maka pada waktu beteteh itu botol akan terisi atau tidak, bila berisi maka pegabdian kita diterima, begitu juga sebaliknya.
i.     Cecepan
Cecepan yang terbuat dari kuningan maknaya adalah sebagai tempat yang digunakan untuk wadah air yang digunakan untuk bersuci seperti meraup, minum yang kalau umat hindu seperti tempat tirta
j.     Topat
Topat yang berjumblah 9 (sembilan) dulang yang mana masing-masing dulang berisi 90 (sembilan puluh) biji topat yang mempunyai makna sebagai alat untuk mengatasi peperangan yang bertujuan untuk mencapai suatu perdamaian. Topat juga bermakna sebagai permohonan agar diberikan kesuburan untuk pertanian dan perkebunan yang dimiliki masyarakat.
            Dari beberapa makna Sesaji Upacara Perang Topat yang telah dijelaskan di atas maka dapat dikatakan bahwa meskipun Sesaji yang digunakan dalam Upacara Perang Topat itu dapat dikatakan simpel namun memiliki makna yang sangat luar biasa dimana dalam setiap Sesaji yang digunakan memiliki suatu makna baik itu sebagai ungkapan trima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa atas anungrah kesuburan, kamakmuran serta rejeki yang diberikan kepada Masyarakat Lingsar. Pelaksanaan Upacara Perang Topat ini tampak sangat meriah dan semarak karena dijiwai oleh ajaran Agama dan ditopang oleh adat istiadat yang kuat. Upacara Perang Topat di Pura Lingsar Kemaliq bukan hanya sebuah ritual untuk mengungkapkan emosi keagamaan dari para pendukungnya namung memiliki makna memberi contoh bagai mana suatu kehidupan bermasyarakat berlangsung sacara harmonis ditengah perbedaan dan keragaman, baik itu suku, agama dan budaya, bertemu menjadi satu dalam suatu ritual Upacara Perang Topat yang mana Perang Topat merupakan perang perdamaian.


BAB V
PENUTUP

A.    Simpulan
            Dari hasil penelitian dan analisis data dapat disimpulkan bahwa Upacara Perang topat didasari kesadaran bersama dalam persiapan dan pembersihan, dalam arti membersihkan segala sesuatu yang terkait dengan Upacara Perang Topat, yang mana pembersihan dimaksud meliputi pembersihan komplek Pura secara bergotong royong. Ada enam tahapan dalam pelaksanaan Upacara Perang Topat itu yaitu : Masa Persiapan, Upacara Pendahuluan, Puncak Acara Perang Ketupat, Langlan dan Beteteh.
1.      Bentuk sesaji perang topat bersipat baku dalam arti tidak berubah dari tahun ketahun meliputi sedah, bunga, dulang, rombong pawija, beras ketan, rempah-rempah, kebon odek, lamak, botol momot, cecepan, topat.dan kalau ada berubah paling dari jenis jajan serta bunga yang digunakan.
2.      Fungsi diadakannya Upacara perang topat diyakini oleh masyarakat baik Umat Hindu maupun Suku Sasak Watu Telu bahwa mereka percaya Upacara Perang Topat tersebut dapat membawa kesuburan, kemakmuran serta rejeki untuk seluruh masyarakat, Upacara Perang Tupat juga digunakan sebagai media/wahana untuk membangun solidaritas sosial antara penganut Islam Wetu Telu dengan penganut Hindu di Desa Lingsar Kecamatan Lingsar.
3.      Upacara perang topat memiliki makna sebagai ungkapan trima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa atas anungrah kesuburan, kamakmuran serta rejeki yang diberikan kepada Masyarakat Lingsar
B.     Saran
1.      Perlunya adanya peningkatan pemahaman kepada umat yang melaksanakan dan umat yang ikut berperan serta dalam ritual tersebut supaya mereka bisa memahami lebih dalam terhadap hakikat yang tersirat dalam pelaksanaan Upacara Perang Topat.
2.      Perlu dilestarikannya keberadaan Upacara Perang topat yang menggunakan sarana sesaji tersendiri karena selain sebagai pengalaman sistem kepercayaan bagi yang melaksanakan, juga sekaligus memiliki daya tarik wisata yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakat yang ada disekitar pelaksanaan upacara tersebut.
3.      Perlu dilakukan penelitian  yang lebih lanjut berkaitan dengan aspek-aspek lainnya yang belum diungkap dalam penelitian ini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar