ABSTRAK
Sesaji Upacara Perang Topat di Pura Lingsar Kemaliq
Kecamatan Lingsar
( Kajian Bentuk,
Fungsi dan Makna )
Prosesi upacara Perang Topat di Pura Lingsar Kemaliq,
Kecamatan Lingsar dilaksanakan setiap tahunnya pada setiap Purnaming Sasih Keenam yang bersamaan dengan Upacara Pujawali di Pura
Lingsar, yang meliputi Pura Gaduh, Pura Kemaliq, Pura Pesiraman atau lebih
dikenal dengan Pura Bhatara Bagus Balian. Khusus di Pura Kemaliq, kegiatan Piodalan
atau Pujawalinya tidak hanya diikuti oleh Umat Hindu saja tetapi juga
dilaksanakan dari kalangan Suku Sasak yang menganut Waktu Telu. Hal ini yang memotivasi penulis untuk melakukan
penelitian dan yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini : (1)
Bagaimana Bentuk dan Fungsi Sesaji Upacara Perang Topat di Pura Lingsar Kemaliq
Kecamatan Lingsar. (2) Apa Makna Sesaji Upacara Perang Topat di Pura Lingsar Kecamatan
Lingsar.
Metode penelitian yang digunakan
adalah pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif, berlokasi di
Pura Lingsar, Kecamatan Lingsar. Yang menjadi informan dalam penelitian ini
adalah tokoh masyarakat dan tokoh umat yaitu pengurus krama pura dan tokoh dari
Suku Sasak Waktu Telu, serta
masyarakat sekitar pura. Informasi digunakan sebagai sumber data primer yang
dilengkapi dokumentasi di lapangan.
Hasil penelitian menunjukan bahwa Sesaji Ritual Perang Topat mempunyai
bentuk dan fungsi yang bersifat baku, dalam arti bahwa Sesaji Perang Topat
tidak berubah dari tahun ke tahun, dimana bentuk sesaji yang digunakan selalu
sama seperti menggunakan sedah, bunga, dulang, rombong pawija, beras ketan,
rempah-rempah, kebon odek, lamak, botol momot, cecepan dan topat. Sesaji yang
digunakan susunannya tetap seperti tahun-tahun sebelumnya, yang berubah hanya
jenis bunga yang digunakan dan penambahan jenis jajan-jajanan. Sesaji atau Sesajen adalah Upakara yang
berisi unsur makanan yang digunakan dalam setiap Upacara Ritual Suku Sasak (di
Bali lebih dikenal dengan nama Bebanten).
Fungsi Sesaji Upacara Perang Topat
adalah sebagai sarana memohon kesuburan, kemakmuran dan juga diyakini membawa
rejeki, disamping untuk dapat menghubungkan umat manusia kepada Sang Pencipta.
Makna yang terkandung dalam Upacara Perang
Topat sebagai ungkapan trima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa atas anungrah
kesuburan, kamakmuran serta rejeki yang diberikan kepada Masyarakat Lingsar.
Kata Kunci : Sesaji Upacara Perang Topat, Pura Lingsar Kemaliq
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Provinsi Nusa Tenggara Barat
memiliki banyak pulau dan salah satunya adalah Pulau Lombok, dimana Pulau Lombok didiami
oleh berbagai masyarakat yang berbeda suku, budaya dan agama yang hidup rukun
dan berdampingan. Agama yang dominan di Pulau Lombok adalah Agama Islam, dimana
Agama Islam merupakan agama mayoritas yang dianut oleh masyarakat di Pulau
Lombok, selain Agama Islam di Pulau Lombok banyak juga kita jumpai berbagai
agama seperti Agama Hindu, Agama Kristen, Agama Budha dan Agama Konghucu. Agama
Hindu merupakan agama terbesar kedua di Pulau Lombok, sehingga di Pulau Lombok
banyak dijumpai pura-pura yang tersebar dengan bentuk dan ciri khasnya
masing-masing. Pura di Lombok sebagian besar merupakan peninggalan sejarah yang
dibangun pada masa kerajaan Hindu Bali yang berkuasa di wilayah Lombok Bagian
Barat, salah satu pura peninggalan kerajaan Hindu Bali adalah Pura Lingsar di Kecamatan Lingsar
Kabupaten Lombok Barat. Pura ini menjadi unik karena Pura Lingsar tersebut
disakralkan bukan hanya dari kalangan Umat Hindu saja, tetapi juga disakralkan
oleh Suku Sasak yang merupakan penganut Agama Islam,
Suku asli di Pulau Lombok adalah
Suku Sasak, mereka terbagi menjadi Suku Sasak yang beragama Islam Waktu Lima
yang merupakan agama mayoritas yang dianut oleh Suku Sasak, Suku Sasak Agama
Islam Waktu Telu (Waktu Tiga /Wetu Telu), dan juga ada sebagian Suku Sasak
Agama Buda atau dikenal dengan Orang Budha. Suku Sasak yang melaksanakan
Upacara Perang Topat tersebut adalah Suku Sasak yang menganut Agama Islam Waktu
Telu, yang mana Suku Sasak Waktu Telu ini merupakan Suku Sasak yang beragama
Islam yang tidak melakukan sembahyang lima waktu sesuai ajaran Agama Islam pada
umumnya, akan tetapi mereka melakukan sembahyang tiga waktu yakni sembahyang
tarawih pada Bulan Ramadan, sembahyang pada waktu Lebaran Tinggi (bersamaan
Idul Fitri Islam Sunni), dan sembahyang waktu Lebaran Pendek (bersamaan Idul
Adha). Mereka yang menganut Islam Wetu Telu ini juga tidak melakukan sembahyang
jumat dan tidak melakukan Ibadah Haji, karena kewajiban itu hanya kewajiban kyain atau pemimpin agamanya saja yang
dianggap oleh mereka sebagai perantara hubungan dengan Tuhan. Suku Sasak Wetu
Telu ini adalah sinkritisme Hindu – Islam, sumber ajarannya berasal
dari Ajaran Sunan Kalijaga, sinkritisme ini dalam kepercayaan mistik merupakan kombinasi dari
Hindu (Adwaita) dengan Islam (Sufisme). Dengan adanya ajaran pantheisme ini, maka kepercayaan
animisme masih berlaku terus dan mistik dari segi agama bisa diterima secara
sukarela oleh semua penduduk Lombok yang masih paham animisme, ajaran inilah yang
kemudian dinamakan Wetu Telu (Sujana : 2006 : 19 - 20).
Setiap tahun pasti dapat kita
jumpai suatu acara yang jadi kebanggaan kita semua yaitu lokasinya di Pura
Lingsar Kecamatan Lingsar yang pada saat Pujawali kita akan jumpai suatu
upacara yang kita kenal dengan Perang Topat. Upacara Perang Topat yang
dilaksanakan sekali dalam setahun tepatnya setiap purnaming sasih keenam menurut Kalender Bali. Dalam acara tersebut
masyarakat dari etnis yang berbeda saling melempar topat dan mereka meyakini
bahwa upacara tersebut dilaksanakan dengan tujuan untuk memohon kesuburan,
kemakmuran dan juga dinyakini membawa rejeki sehingga topat yang dilempar
selalu direbutkan, diambil oleh kedua belah pihak. Topat yang dijadikan alat
untuk saling lempar bukan topat yang dibuat sembarang orang, topat tersebut
harus dibuat oleh Suku Sasak Wetu Telu, karena disinilah letak keistimewaan
topat yang dijadikan alat saling lempar tersebut. Topat yang dipakai untuk
saling lempar tersebut tidak boleh dibawa pulang langsung apabila belum
digunakan untuk saling lempar, karena topat tersebut dipercaya dapat memberi
kesuburan, kemakmuran dan rejeki apabila topat tersebut sudah digunakan untuk
saling lempar dan keadaan bentuk dari topat tadi sudah tidak utuh lagi.
Dalam setiap Upacara Pujawali di
Pura manapun pada umumnya pastilah ada banten
atau dalam bahasa Sasak yaitu Sesaji.
Sesaji dalam Upacara Perang Topat ini tidak sama dengan banten yang digunakan oleh Umat Hindu,
karena Sesaji tersebut dibuat oleh
Suku Sasak sendiri yang mempunyai aturan tersendiri juga. Sebelum
dilangsungkannya Upacara Perang Topat, terlebih dahulu diadakan persembahyangan
di Pura oleh Umat Hindu. Setelah Umat Hindu selesai melaksanakan
persembahyangan dilanjutkan dengan Mendak
Pesaji. Mendak Pesaji berarti
menjemput Sesaji yang disimpan di
bale penyimpanan. Dilaksanakan pada sore hari menjelang Raraq Kembang Waru. Sesaji
untuk Perang Topat tersebut pada waktu pujawali dibawa masuk ke Kemaliq diletakkan di Altar Kemaliq dan dilaksanakan Ngaturan Pesaji kepada roh-roh gaib
dipimpin oleh seorang Pemangku Sasak. Selesai upacara ngaturan pesaji, sarana
persembahyangan seperti Kebon Odeq,
bunga ditempatkan di dalam Kemaliq,
kemudian dilanjutkan dengan Perang Topat sekitar jam 17.30 menjelang
tenggelamnya sinar matahari, perang topat tersebut dilaksanakan sebagai
ungkapan rasa terima kasih umat manusia kepada sang pencipta yang telah
memberikan keselamatan, sekaligus memohon berkah.
Pura lingsar merupakan salah satu
tempat ibadah Umat Hindu yang berada di Lombok dimana Pura ini lokasinya
sekitar 7,5 km dari kota Mataram tepatnya di Desa Lingsar, Kecamatan Lingsar. Pura
Lingsar ini dibangun pada masa jayanya raja Kerajaan Karangasem yaitu pada abad
ke 17. Pura Lingsar adalah merupakan
peninggalan sejarah dan merupakan cagar budaya yang masih terawat sampai saat
ini. Pura ini dibangun pada masa pemerintahan Anak Agung Karangasem yang
memerintah pada waktu itu. Pura lingsar merupakan bukti toreransi antar umat
beragama yang mana meskipun berbeda keyakinan, mereka bisa hidup rukun dan
harmonis.
Untuk menjaga kedamaian antar
pemeluk agama di Pura Lingsar tersebut, di sekitar tempat itu ada suatu
larangan bagi masing-masing agama yang akan melaksanakan persembahyangan di
Pura Lingsar. Di sekitar areal Pura Lingsar dilarang memotong binatang yang
dianggap suci dan binatang yang diharamkan, seperti memotong babi bagi yang
Hindu dan dilarang memotong sapi bagi yang Islam. Ketika masuk ke dalam kawasan
Pura Lingsar tersebut pengunjung disarankan untuk memakai selendang yang diikat
pada pinggang untuk menghormati tempat tersebut, yang mana tempat tersebut
dianggap suci. Upacara Perang Topat ini dilaksanakan dengan tujuan untuk
memohon suatu kesuburan dan kemakmuran serta rejeki untuk masyarakat baik itu
suku Sasak juga untuk umat Hindu yang ada di Pulau Lombok. Topat yang digunakan
dalam Perang Topat itu yang telah digunakan untuk saling lempar biasanya selalu
direbut untuk dibawa pulang oleh kedua belah pihak untuk disebar di Sawah atau
di Kebun bahkan pekarangan, juga di Letakan di Tempat mereka berjualan guna
memperoleh rejeki, kesuburan dan kemakmuran.
Pura Lingsar ini dibangun oleh I
Gusti Anglurah Made Karangasem (Dewata di Balakapal Mataram) yang berkuasa pada
waktu itu, kemudian pura tersebut dipugar kembali oleh Raja Mataram-Lombok
yaitu I Gusti Anglurah Ketut Karangasem (Dewata di Rum Metaram). Pada sekitar tahun
1860 oleh Raja yang berkuasa saat itu, Pura tersebut diperluas lagi. Pura
Lingsar dibangun lebih luas lagi dengan pembagian pura menjadi tiga bagian
sesuai fungsinya masing masing. Komplek Pura yang dibangun yakni Pura Gaduh di
Sebelah Utara atau paling atas, Pura Kemariq di Tengah-tengah dan Pura Pesiraman
berada di Sebelah Selatan, dimana Komplek Pura tersebut menjadi satu kesatuan
yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Pada jaman dahulu jika saat akan
melaksanakan Persembahyangan keluarga raja dan masyarakat akan melakukan mandi
suci terlebih dahulu di Pura Pesiraman sambil memohon Lugra atau Ijin kepada
Bhatara yang Melingga di Pura Lingsar baru naik ke Pura Kemaliq untuk
melaksanakan persembahyangan, setelah dari Pura Kemaliq diteruskan naik lagi ke
Pura Gaduh untuk melaksanakan persembahyangan kembali.
Pelinggih di komplek Pura Lingsar
masing-masing diamong atau disungsung oleh Banjar-banjar yang ada disekitar
Pura Lingsar, seperti Pelinggih Bhatara Gede Lingsar yang ada di Kemalik, diamong
oleh Banjar Montang dan warga desa sekitar Lingsar (Mangku Parman), Pelinggih
Bhatara Gunung Agung yang ada di Pura Gaduh diamong oleh Banjar Lingsar, Pelinggih
Gaduh diamong oleh Banjar Tragtag, Pelinggih Bhatara Ngerurah yang juga ada di
Pura Gaduh diamong oleh Banjar Pemangkalan, Pelinggih Bhatara Gunung Renjani yang juga berada di Pura Gaduh diamong oleh
Bannjar Karang Baru. Banjar-Banjar yang mengamong masing-masing pura tersebut
mempunyai tanggung jawab masing-masing pada setiap Pelinggih yang diamongnya.
Pada waktu Pujawali dari kedua Suku yakni Suku Sasak Watu Telu dan Umat Hindu
saling tolong menolong memasang abah-abah dan keperluan pura lainya.
Keunikan Upacara Perang Topat yang
hanya terdapat di Pulau Lombok yaitu di Pura Lingsar Kemaliq menjadi suatu model Upacara Keagamaan
yang dilakukan oleh dua Etnis yang berbeda dengan agama yang berbeda pula,
namun mampu mewujudkan suatu ritual yang sama dan menyatu dalam areal tempat
yang satu pula serta pada hari yang sama yaitu pada saat Upacara Pujawali di
Pura Lingsar Kemaliq Kecamatan Lingsar. Melihat adanya tradisi yang unik ini peneliti sangat tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul “Sesaji Upacara
Perang Topat di Pura Lingsar Kemaliq Kecamatan Lingsar (Kajian Bentuk, Fungsi
dan Makna)”
B. RUMUSAN MASALAH
Dari uraian
latar belakang di atas, maka permasalahan yang dapat dirumuskan adalah sebagai beriku :
1. Bagaimana
Bentuk dan Fungsi Sesaji Upacara Perang Topat di Pura Lingsar Kemaliq Kecamatan
Lingsar.
2. Apa Makna
Sesaji Upacara Perang Topat di Pura Lingsar Kemaliq Kecamatan Lingsar.
C. TUJUAN
PENELITIAN
Didalam melakukan penelitian ini
terlebih dahulu dipaparkan mengenai tujuan umum dan tujuan khusus penelitian
yaitu sebagai berikut :
1. Tujuan Umum
Adapun tujuan umum penelitian ini
adalah untuk memberikan kontribusi kepada masyarakat
Hindu maupun non Hindu yaitu Suku Sasak yang ada di Desa Lingsar, pada khususnya tentang prosesi Sesaji
Upacara Perang Topat di Pura Lingsar Kemaliq Kecamatan Lingsar.
2. Tujuan Khusus
Adapun yang menjadi tujuan khusus penelitian
ini adalah untuk mendeskripsikan Bentuk, Fungsi, dan Makna Sesaji Upacara
Perang Topat di Pura Lingsar Kemaliq Kecamatan Lingsar.
D. MANFAAT
PENELITIAN
Setiap kegiatan tertentu pasti ada
manfaatnya atau guna yang ingin dicapai. Sehubungan dengan itu maka hasil dari
penelitian ini diharapkan dapat memiliki manfaat atau kegunaan bagi mereka yang
memerukannya baik itu secara teoritis maupun secara praktis.
Adapun Manfaat Penelitian sebagai berikut ;
1. Manfaat Teoritis
Secara Teorotis dari hasil
penemuan-penemuan yang ada di buku-buku atau pustaka diharapkan dapat
memperkaya sarana penyebaran informasi, bahan studi dalam usaha pembinaan,
pengembangan dan pemahaman dalam segi Bentuk, Fungsi dan Makna dari Sesaji
Upacara Perang Topat di Pura Lingsar Kemaliq Kecamatan Lingsar.
2. Manfaat Praktis
Secara Praktis hasil penelitian ini bisa menghasilkan manfaat yang bisa digunakan untuk
memahami dalam arti memperjelas informasi yang tidak diketahui agar mereka yang ingin tahu menjadi lebih tahu
mengenai Bentuk, Fungsi dan Makna dari
Sesaji Upacara Perang Topat di Pura Lingsar Kemaliq Kecamatan Lingsar.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
A. Penelitian Relevan
Penelitian yang relevan biasanya
digunakan untuk mencari persamaan dan perbedaan penelitian orang lain dengan
penelitian yang sedang kita buat atau membandingkan penelitian yang satu dengan
yang lain dengan maksud untuk menghindari duplikasi. (http://berita-ntb
.blogspot.com/2012/penelitian-yang relevan-contohdan.html).
Sujana (2006), dalam bukunya “Upacara Perang Topat Dalam Kehidupan Suku
sasak Waktu Telu Dan Umat Hindu Di Pura Lingsar Kecamatan Lingsar Kabupaten
Lombok Barat (Kajian Bentuk, Fungsi Dan Makna)” buku ini membahas tentang Upacara Perang Topat. Terkait dengan
obyek penelitian ini yaitu mengenai Upacara Perang Topat, buku ini sangat cocok
dan menunjang dalam pembuatan penelitian ini. Karena buku ini memaparkan Mengenai
upacara Perang Topat di Pura Lingsar.
Sumada (2011), dalam bukunya yang
berjudul “Ritual Kebon Odek Sebagai
Wahana Membangun Solidaritas Sosial Penganut Islam Wetu Telu Dengan Penganut
Hindu Di lingsar, Kabupaten Lombok Barat”. Dalam buku ini membahas mengenai
Kebon Odek yang merupakan salah satu sesaji yang digunakan dalam Upacara Perang
Topat. Sehingga buku ini dapat dijadikan pedoman didalam membahas tentang Sesaji Upacara Perang Topat.
Wijayananda (2004), dalam bukunya
yang berjudul “Makna Filosofis Upacara
dan Upakara”. Buku ini membahas hal-hal yang berhubungan dengan upakara. Sehingga buku ini dapat
dijadikan acuan di dalam pembuatan penelitian ini, karena menjelaskan bentuk,
fungsi, makna upakara.
B. Konsep
Konsep adalah merupakan unsur pokok
penelitian. Penentuan dan perincian konsep ini dianggap sangat penting agar
persoalan-persoalan utamanya tidak menjadi kabur. Konsep yang terpilih perlu
ditegaskan agar tidak terjadi salah pengertian mengenai arti konsep tersebut.
Tetapi perlu diperhatikan karena konsep merupakan hal yang abstrak maka perlu
diterjemahkan dalam kata-kata sedemikian rupa sehingga dapat diukur secara
empiris ( Narbuko dan Achmadi, 2013:140).
Kata pura berasal dari kata “Pur”
yang artinya benteng. Pura berarti suatu tempat yang khusus dipakai untuk dunia
kesucian dengan dikelilingi oleh tembok. Hampir semua pura (tempat suci)
dikelilingi atau dibentengi dengan tembok atau pagar untuk memisahkan dengan
dunia sekitarnya yang dianggap tidak suci (Netra, 1997 : 3).
Menurut I Gusti Gde Goda dalam
bukunya yang berjudul pura, Pura berasal
dari Sanskerta dari urat kata “pur” yang artinya benteng. Kalau ditinjau dari
segi proses pembuatannya supaya suci dan selanjunya dijaga kesuciannya. Secara
sederhana pura dapat diartikan sebagai tempat suci yang disesuaikan dengan
batas-batas yang jelas, berpagar/bertembok sebagai tempat dewa-dewa.
Upacara Perang Topat
yang berkaitan dengan pelaksanaan pujawali di Pura Lingsar dengan rangkaian
acaranya adalah termasuk Upacara Dewa Yadja yaitu persembahan kepada Tuhan
sebagaimana yang telah dinyatakan dalam bagawad gita III sloka 14 ( S.Pendit.
2002;92 ).
Annad bhawanti bhutani
Parjanyad annasambhavah
Yajnad bhavati parjanyo
Yajnah karma samudhavah
Artinya
Karena
makanan, mahluk hidup
Karena hujan, makanan tumbuh
Karena persembahan hujan turun
Dan persembahan lahir karena kerja
Mengenai sistem kepercayaan
masyarakat Suku Sasak, mereka masih percaya akan adanya suatu kekuatan gaib,
juga percaya akan adanya kekuatan supranatural. Kepercayaan-kepercayaan
demikian diaktualisasikan dengan melaksanakan suatu ritual oleh masyarakat Suku
Sasak itu sendiri, masyarakat yang menganut Islam Wetu Telu untuk melaksanakan
ritual tersebut memerukan alat-alat serta perlengkapan upacara. Melalui
perlengkapan upacara inilah mereka mengungkapkan emosi, perasaan mereka dengan
melaksanakan Upacara Perang Topat yang disadari dan dipercayai oleh masyarakat
Suku Sasak yang menganut sistem Islam Wetu Telu tersebut akan mendatangkan
hujan dan mereka akan merasa terbebas sesuai dengan sistem kepercayaan mereka
tersebut.
Sesaji atau Sesajen adalah Upakara yang brisi
unsur makanan yang digunakan dalam setiap upacara ritual Suku Sasak (di Bali
lebih dikenal dengan nama Banten). Sesaji yang dibuat oleh suku Sasak terdiri
dari nasi, buah-buahan, daging dan sayur-sayuran atau lauk pauk seperti
Lekes, Sekar, Kebon Odeq, buah pisang keladi, pepaya, nanas, jambu, mangga, pinang, manggis, dan buah-buahan lainya,bunga-bunga (bunga
Kamboja, Nusa Indah), Kembang Pinang, kembang Gadung, Gemitir, kantil, daun beringin,
daun sirih, daun andong, daun temen merah dan putih, daun pria, rokok kulit
jagung, kelapa, lidi, bambu, beras kuning, kepeng bolong dan empok-empok, Pedek , Rombong, kotak, Momot, Gedah., Wastra, Cecepan berupa ceret
berisi air dan Ajengan. Dalam hal membuat dan menata sesaji yang dikerjakan oleh kerabat pemangku, jumlahnya sembilan
dulang, sebagai runtutannya dibuat sanganan, yaitu dulang berisi jajan sebanyak
sembilan dulang berisi buah-buahan. Semua kegiatan ini dilakukan oleh kaum perempuan,
kemudian disimpan di bale penyimpanan. Sesaji tersebut tidak boleh dikerjakan oleh
perempuan yang sedang haid, demikian pula mereka tidak diperbolehkan masuk ke areal pura Lingsar Kemaliq atau ke Pura Gaduh.
Upacara Secara etimologi berasal dari kata Upa dan Cara, dalam hal ini Upa
berarti dekat atau mendekatkan, sedangkan Cara
berasal dari kata Car berarti
harmonis, seimbang dan seraras (Wijayananda, 1999 : 52). Dengan keseimbangan,
keharmonisan dan keserarasan dalam diri, kita mendekatkan diri kepada Ida sang
Hyang Widhi Wasa. Sebelum kita mendekatkan diri kepadanya hendaknya terlebih
dahulu kita dapat memciptakan keseimbangan dan keserarasan serta keharmonisan
dalam diri kita, agar dapat terwujud keharmonisan dengan Ida sang Hyang widhi
Wasa. Upacara merupakan suatu perwujudan dari religi ritual yang dilakukan
bersama-sama dan sungguh-sungguh yang meliputi emosi keagamaan, sistem
keyakinan, sistem ritus, peralatan ritus, upacara dan umat manusia
(Koentjaraningrat, 1987 ; 81-83).
Upakara
itu berasal dari bahasa Sansekerta yang mana terdiri dari dua suku kata yaitu
“Upa” dan “Kara”. Upa yang artinya hubungan dengan, sedangkan kara artinya
pekerjaan tangan. Sehingga pengertian upakara itu adalah segala sesuatu yang
berhubungan dengan pekerjaan tangan. (Dupa Bandem dan Heri Juniawan, 2009 : 3).
Menurut Suryasin Upakara berasal dari kata “Upa” dan “Kara”. Upa artinya
berhubungan dengan dan Kara artinya perbuatan atau pekerjaan atau tangan. Jadi
Upakara adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan perbuatan atau pekerjaan
atau tangan. Pada umumnya Upakara adalah berbentuk materi. Dan bentuk materi
dari pada upakara-upakara tersebut disebut Banten atau Sesaji. Jadi Sesaji
dalam hal ini merupakan semua perkerjaan tangan yang berbentuk materi yang
digunakan dalam melaksanakan suatu yang berkaitan dengan suatu upacara yang
masih dijaga dan dilaksanakan secara turun temurun.
Yajnya merupakan korban suci dengan
tulus iklas. Dalam hal ini Suku Sasak Watu telu melaksanakan Upacara Perang
Topat yang merupakan korban suci berupa Sesaji dengan tulus iklas. Yajnya juga
merupakan salah satu bagian dan merupakan aspek terakhir dari Tri Kerangka
Dasar Agama Hindu yaitu mengenai Upacara
Yajnya. Tim dalam buku Panca Yajna (2008 : 2) kata Yajna berasal dari
bahasa Sanskerta dari urat kata Yaj yang berarti memuja, mempersembahkan atau
memberi pengorbanan, jadi Yajna itu berarti pemujaan, persembahan atau korban
suci. Istilah Yajnya tersebut juga dipersamakan dengan pengertian Ritual. Tiga
Kerangka Dasar Agama Hindu itu yaitu:
1. Tatwa
(Filsapat)
Tatwa adalah personifikasi dari
kekuatan Mahat (Intuisi) dengan kenyataannya adalah merupakan tempat jaringan
otak, sebagai sumber berpikir dan merupakan tempat susunan syaraf pusat sebagai
tempat pusat perintah.
2. Etika (Susila)
Etika adalah merupakan personifikasi
dari kekuatan Buddhi (Akal) yaitu
menerima perintah dari Mahat, untuk diteruskan kepada Ahamkara, kenyataan
sebagai badan penyebab, sebagai tempat memproses perintah Mahat sehingga
menjadi kebijaksanaan.
3. Upaca (Ritual)
Upacara adalah personalifikasi dari
kekuatan ahamkara sebagai pelaksana
perintah dari buddhi sehingga muncullah prilaku, kenyataan sebagai simbul
anggota badan (tangan dan kaki).(Sudarsana, 2002 : 6).
Secara harfiah tata pelaksanaan suatu Yajnya
disebut Upacara. Kata Upacara dalam bahasa Sangskerta berarti mendekati. Dalam
kegiatan Upacara Agama diharapkan terjadinya suatau upaya untuk mendekatkan
diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, kepada sesama manusia, kepada alam semesta,
kepada Leluhur maupun kepada Para Rsi. Pendekatan itu diwujudkan dalam berbagai
bentuk persembahan maupun tata pelaksanaannya. Yajnya merupakan bagian yang
utuh dari seluruh ajaran dan aktivitas agama. Bahkan yajnya merupakan unsur
yang sangat penting, bagaikan seperti kulit telur yang membungkus dan
melindungi bagian didalamnya yang merupakan dari sari telur itu sendiri.
Seperti itulah Yajnya dengan Upacara dan Upakaranya merupakan kulit telur yang
nampak dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Yajnya tidak hanya
menandakan identitas keagamaan, tetapi lebih dari pada itu Yajnya merupakan
pengejawantahan ajaran agama.
Adapun yajnya tersebut dapat
digolongkan menjadi lima bagian yang disebut dengan Panca Yajnya, terdiri dari
yaitu :
1. Dewa
Yajnya
Dewa Yajnya yaitu korban suci dengan tulus iklas
yang ditujukan kehadapan Tuhan atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan semua
Manifestasinya (dewa-dewa)
2. Bhuta
Yajnya
Bhuta Yajnya yaitu
korban suci dengan tulus iklas yang dipersembahkan kepada Para Bhuta dan
berbagai tingkatannya.
3. Pitra
Yajnya
Pitra Yajnya yaitu
persembahan yang tulus iklas yang dipersembahkan kepada Roh Leluhur.
4. Rsi
Yajnya
Rsi Yajnya yaitu korban
suci dalam bentuk berdana punia yang ditujukan kepada Para Rsi guru rohani.
5. Manusia
Yajnya
Manusia Yajnya yaitu
upacara yang ditujukan untuk keselamatan manusia termasuk penghormatan kepada
para tamu.
Kalau dihubungkan
dengan Panca Yajnya maka Upacara Perang Topat di Pura Lingsar Kemaliq kecamatan Lingsar ini dapat
dikaitkan dengan Dewa Yajnya karena merupakan korban suci dengan tulus iklas yang dipersembahkan
kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Di dalam Athawar Weda XII.1, yang dikutip oleh Sudiastiawan (2005 : 642) dijelaskan mengenai yajnya tersebut di atas
yang berbunyi sebagai berikut :
Satyam
brhadrtamugram, diksa tapo
Brahma
Yajnah prthivin dhrayanti, sa no
Bhutasya
bhavyasya patnyurum lokam
Prthivi
nah krnotu
Artinya :
Kebenaran (
Satya ) hukum yang agung, yang kokoh dan suci ( Rta ), tapa brata, doa dan
jayna, inilah yang menegakkan bhumi. Semoga bhumi ini, ibu kami sepanjang masa
memberikan tempat yang lega bagi kami.
Selanjutnya dijelaskan dalam Bhagawad
Gita IV.12, yang dikutip oleh Tim (2008 : 7)
Kanksantah karmanam siddim
Yajanta iha devantah
Ksipram hi manuse loke
Siddhir bhavanthi karmanja
Artinya :
Mereka yang
menginginkan hasil dari pekerjaannya diatas dunia ini menyembah para dewa,
karena dari sesuatu perkerjaan adalah mudah sekali didapat diatas dunia ini.
Dari kedua sloka di atas, maka sudah
sepantasnya kita sebagai umat manusia melakukan yajnya, karena merupakan salah
satu penyangga tegaknya kehidupan didunia ini. Biasanya orang itu yakin akan
sesuatu hal sehingga membuatnya kagum dan akhirnya membawa dia untuk melakukan
sesuatu dengan tulus iklas baik dengan cara menyembah ataupun berkorban akan
sesuatu hal. Tulus iklas adalah kemauan dasar dalam pelaksanaan yajnya, karena
tulus iklas itu adalah jiwa yajnya, berkerja dengan rela berkorban adalah
berbhakti pada kewajiban tampa pamrih. Tuhan menciptakan dunia ini berserta
manifestasinya termasuk manusia adalah dengan yajnya, maka dengan yajnya
pulalah kita sebagai manusia melaksanakan kewajiban didunia ini agar dunia ini
sepanjang masa memberikan tempat yang membuat bahagia bagi kita semua.
C.
Landasan Teori
1.
Bentuk
Menurut Farlin (2000: 44) dalam
judul bukunya Kamus Praktis Bahasa Indonesia, bentuk berarti bangunan,
gambaran, rupa, wujud yang tampak. Berdasarkan pengertian bentuk di atas, maka
bentuk dalam penelitian ini adalah bagaimana bentuk Sesaji Upacara Perang Topat
di Pura Lingsar Kemaliq Kecamatan Lingsar.
2.
Fungsi
Menurut Poerwadaminta (1976 :
122) fungsi berarti kegunaan. Menurut
tim ( 2001: 322-703) Kamus Besar Bahasa Indonesia fungsi berarti kegunaan.
Fungsi dalam penelitian ini adalah sebagai sarana memohon kesuburan, kemakmuran
dan juga diyakini membawa rejeki, disamping untuk dapat menghubungkan umat
manusia kepada Sang Pencipta.
3. Makna
Makna artinya kita berbicara
mengenai sesuatu yang padat nilai. Nilai
suatu upacara keagamaan tentunya berbeda sekali dengan nilai suatu kegiatan
hidup lain seperti kegiatan bidang ekonomi serta bidang kegiatan lainnya.
Menurut Tim (2001 : 508) makna berarti
maksud, seperti orang, benda, tempat, sifat, proses dan kegiatan. Maka makna
yang dimaksud dalam penelitian ini adalah nilai suatu kegiatan dan proses
upacara. Kegiatan upacara dimaksud seperti Sesaji Upacara Perang Topat haruslah
dilihat nilainya dari sudut spiritual.
D. KERANGKA BERPIKIR
|
Dari kerangka berpikir di Atas,
maka penulis dapat memberikan suatu gambaran secara garis besar mengenai Sesaji Upacara Perang Topat di Pura
Lingsar Kemaliq Kecamatan Lingsar, yaitu Suku Sasak yang mempunyai kepercayaan Wetu Telu melaksanakan Upacara Perang
Topat, mereka melaksanakan upacara tersebut melalui proses dari persiapan alat
dan sarana upacaranya sampai puncak acara Perang Topat tersebut. Suku Sasak
Waktu Telu dalam melaksanakan Upacara Perang Topat di Pura Lingsar Kemaliq
Kecamatan Lingsar mempunyai sesaji tersendiri yang mereka buat sendiri yang
mana sesaji tersebut menjadi kajian dalam penelitian ini adalah untuk mencari
Bentuk, Fungsi dan Maknanya, agar masyarakat yang belum mengetahui mengenai hal
tersebut selanjutnya menjadi tahu mengenai Sesaji Upacara Perang Topat tersebut.
E. ASUMSI
DAN KETERBATASAN
1. Asumsi
Asumsi
adalah sesuatu yang diyakini kebenarannya (Arikunto, 1998: 18) atau dengan kata
lain asumsi adalah anggapan-anggapan dasar tentang sesuatu hal yang akan
dijadikan acuan dalam berpikir dan bertindak dalam melaksanakan penelitian. Adapun asumsi
dalam penelitian ini sebagai berikut :
a. Suku
Sasak Watu Telu maupun Umat Hindu Lombok yang melaksanakan Upacara Perang Topat
di Pura Lingsar Kemaliq Kecamatan Lingsar pada saat ini lebih mengutamakan pada
upacaranya saja yang dilakukan secara turun-temurun di Pura Lingsar tampa
memahami makna dari Upacara Perang Topat tersebut.
b. Pura
Lingsar Kemaliq dibangun untuk menyatukan secara batiniah masyarakat Sasak
dengan masyarakat Hindu Bali yang ada di Lingsar.
2. Keterbatasan
Mengingat terbatasnya waktu, biaya dan
kemampuan peneliti, maka perlu diadakan pembatasan penelitian. Tetapi
pembatasan ini bukan berarti mengurangi hasil yang diharapkan. Aspek penelitian
yang terlalu luas dengan kemampuan yang terbatas akan mengakibatkan kekacauan
atau kekaburan dalam hasil penelitian dan sulit untuk dipertanggung jawabkan.
Untuk menghindari hal-hal tersebut dan untuk menyatukan presepsi, maka dalam penelitian ini kajiannya dibatasi hanya pada Sesaji Upacara Perang Topat di Pura Lingsar
Kemaliq Kecamatan Lingsar Kajian Bentuk, Fungsi dan Makna.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitin
Menurut Moleong (2002 : 2), menyatakan bahwa keputusan rancangan apa
yang akan dipakai akan tergantung pada tujuan peneliti, sifat masalah yang akan
digarap dan berbagai alternatif yang mungkin digunakan. Sifat masalah akan
memainkan peranan utama dalam menentukan cara-cara pendekatan yang cocok,
selanjutnya akan menentukan rancangan penelitinya.
Berdasarkan sifat masalahnya, maka pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pendekatan kualitatif yaitu penelitian yang tidak
mengadakan perhitungan (Moleong, 2002 : 2). Penelitian ini bertujuan untuk
mendapatkan temuan-temuan empiris yang dapat dideskrifisikan secara rinci,
jelas dan lebih akurat (Netra, 1976 : 35). Dalam hal ini peneliti, meneliti
tentang Sesaji Upacara Perang Topat dilihat dari segi bentuk, fungsi dan makna.
Dengan demikian dalam menghimpun dan mengumpulkan data yang akan dipergunakan
peneliti adalah dengan menghubungi informan yang bisa memberikan keterangan
baik lisan maupun tulisan.
B. Lokasi penelitian
Penelitian
ini dilakukan di Pura Lingsar Kemaliq, Desa Lingsar, Kecamatan Lingsar,
Kabupaten Lombok Barat. Dipilihnya Lokasi Pura Lingsar Kemaliq ini, karena di
Pura Lingsar Kemaliq tersebut pada Waktu Pujawalinya diadakan Upacara Perang
Topat, Upacara tersebut merupakan upacara yang dipercayai untuk memperoleh
kesuburan, kemakmuran serta rejeki. Upacara Pujawali di Pura Lingsar ini
dilaksanakan bukan hanya oleh Umat Hindu saja akan tetapi Suku Sasak yang
beragama Islam Wetu Telu. Dimana dalam Upacara Perang Topat ini mereka saling
lempar topat satu sama lain tanpa ada suatu rasa dendam kalau mereka terkena
lemparan topat lawannya Mereka pada saat pujawali selalu melaksanakan Upacara
Pearang Topat dan Upacara Kebon Odeq, yang mana acara tersebut tidak dapat
dipisahkan dari acara Pujawali Pura Lingsar karena Upacara ini merupakan satu
kesatuan yang saling berkaitan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Kemudian mengenai apa sarana Upakaranya dan makna yang terkandung dalam Upacara
Perang Topat tersebut belum banyak masyarakat yang memahaminya bahkan
masyarakat tidak tahu siapa yang bikin topat serta apa saja banten yang
digunakan dalam acara Upacara Perang Topat tersebut.
C. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
data kualitatif dengan menyajikan data berupa keterangan yang disajikan dalam
bentuk kata-kata atau kalimat meliputu data primer dan data sekunder.
C.1.Data primer
Data primer yang diperoleh dari penelitian lapangan
yaitu penelitian langsung kelapangan untuk mendapatkan data primer (Subagyo,
2004 : 88). Data primer dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh
langsung dari sumber pertama. Data ini dikumpulkan dari informan yang pernah
atau terlibat dalam proses Upacara Perang Topat yaitu Pemangku di Pura Lingsar,
tokoh masyarakat serta masyarakat yang mengetahui masalah yang diteliti dengann
menggunakan metode wawancara secara langsung.
C.2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber
kedua yang berasal dari tinjauan pustaka, dokumen yang berkaitan dengan maslah
yang diteliti.
D. Teknik Pengumpulan Data
Nawawi (2001 : 94), menyatakan
bahwa teknik pengumpulan data yang tepat
dalam suatu penelitian akan memungkingkan dicapainya pemecahan masalah secara
valid dan pada gilirannya akan memungkingkan dirumuskannya genelarisasi yang
objektif. Dalam penelitian ini yang digunakan untuk memperoleh data yang
diperlukan dalam penelitian ini adalah observasi, wawancara, dan dokumentasi.
1. Observasi.
Pengamatan atau observasi adalah metode pengumpulan data dimana peneliti
sebagai kolabulatornya mencatat informasi sebagai yang mereka saksikan selama
penelitian. Penyaksian terhadap peristiwa-peristiwa itu bisa dengan melihat,
mendengar, merasakan yang kemudian dicatat seobyektif mungkin. Peranan
pengamatan dapat dibedakan berdasarkan hubungan partisipartifnya dengan
kelompok yang diamati. Dimana peneliti melakukan pengamatan secara terstruktur
serta si peneliti telah mengetahui aspek apa dari aktivitas yang diamatinya
yang relevan dengan masalah serta tujuan penelitian (Sugiono, 2005 : 64)
Sedangkan menurut Sugiono (2005 : 165), menjelaskan bahwa observasi
adalah merupakan tehnik pengumpulan data yang mempunyai ciri-ciri yang spesifik
bila dibandingkan dengan tehnik yang lain yaitu observasi tidak terbatas pada
orang juga dengan objek-objek lainya. Observasi juga diartikan pengamatan
secara langsung ke objek penelitian untuk melihat dari dekat kegiatan yang
dilakukan (Riduwan, 2006 ; 76).
Berdasarkan beberapa pengertian tentang observasi, maka dalam penelitian
yang dilakukan dipura kemaliq lingsar desa lingsar kecamatan lingsar, dalam
metode pelaksanaan observasi. Peneliti melakukannya pada objek penelitian yang
meliputi kegunaan perang topat, sesaji yang digunakan dalam perang topat,
ritual upacara perang topat.
2. Wawancara.
Menurut Marjuki (2005 : 66), menyatakan bahwa wawancara merupakan cara
mengumpulkan data dengan jalan tanya jawab sepihak yang dikerjakan secara
sitematis dan berlandaskan tujuan penelitian. Wawancara juga diartikan suatu
percakapan dengan maksud tertentu yang dilakukan oleh dua pihak antara
pewawancara yang mengajikan pertanyaan dan yang terwawancara yang memberikan
jawaban atas pertanyaan yang diajukan kepadanya. Wawancara juga merupakan suatu
proses interaksi dan komunikasi verbal dengan tujuan untuk mendapatkan suatu
informasi penting yang diinginkan (Danin, 2002 : 130)
Berdasarkan pengertian tentang wawancara tersebut diatas, sehingga dalam
penelitian ini yang diwawancarai adalah pemangku, tokoh agama dan tokoh
masyarakat serta informan yang mengetahui atau memiliki informasi tentang
kaitannya dengan prosesi upacara Perang Topat di pura kemaliq lingsar kecamatan
lingsar.
3. Dokumentasi
Dokumentasi merupakan data yanag diperoleh secara langsung dari tempat
penelitian yang meliputi buku-buku yang relevan, laporan kegiatan, foto
(Riduwan, 2006 : 77). Menurut Moleong (2005 : 216) , menyatakan bahwa
dokumentasi yang diartikan setiap bahan tertulis yang dipersiapkan karena
adanya permintaan seorang peneliti.
Metode pencatatan dokumentasi merupakan cara memperoleh data dengan
jalan mengumpulkan segala macam dokumen dan melakukan pencatatan secara
sistematis. Yang dimaksu dokmen dalam hal ini adalah buku-buku, jurnal, majalah
dan berbagai jenis dokumen lainya (Agung, 1999 : 74).
Dalam penelitian ini dokumentasi yang digunakan adalah foto dan
buku-buku yang berkaitan dengan Upacara Perang Topat, metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah hanya menggunakan foto dan buku-buku serta situs
internet yang relevan terhadap judul dari penelitian ini.
E. Teknik Analisi Data
Setelah selesai tahap pengumpulan data, maka dilakukan analisis data.
Analisis data adalah proses penyempurnaan data yang ditfsirkan dan
diinterpretasikan. Menyusun data berarti menggolongkannya dalam pola tema atau
kategori. Berhubung data-data yang diperoleh adalah data yang bersumber dari
literatul dan langsung menganalisis data tersebut serta memberi interpretasi
(Nasution, 1992 : 126).
Penelitian ini bersifat kualitatip
yakni data-data yang disajikan berwujud kata-kata dan bukan angka. Analisis
kualitatif diartikan sebagai usaha berdasarkan kata-kata, disusun dalam bentuk
teks. Analisis data dilakukan pada saat pengumpulan data, yang diawali dengan
proses klarifikasi data agar tercapai kosistensi (Gulo, 2002 : 179).
F. Penentuan Informan
Sebelum menentukan informan, Perlu dijelaskan apa yang dimaksud dengan
informan. Informan dalam penelitian ini adalah mereka yang diwawancarai secara
kongkrit, para informan tersebut dipilih dengan mempertimbangkan pengetahuan
mereka tentang masalah yang diteliti atau yang mengetahui hal-hal yang
berkaitan dengan obyek yang diteliti dengan menunjuk informan kunci yang
berperan untuk memberikan informasi berikutnya sampai tingkat kejenuhan dan
untuk banyaknya informan dalam penelitian ini tidak dibatasi (Sanapiah, 2003 :
67).
BAB
IV
HASIL
PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1.
Gambar Umum Lokasi Penelitian
Desa Lingsar merupakan suatu bagian
dari satu kesatuan wilayah adminitrative yaitu masuk Kecamatan Lingsar,
Kabupaten Lombok Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Di Desa Lingsar terdapat
sebuah Taman yang luas dimana di Dalamnya terdapat deretan pura peninggalan kerajaan
dahulu yang bersejarah dan cukup terkenal. Pura tersebut digunakan oleh dua
etnis yang berbeda untuk melaksanakan sarana kegiatan ritual keagamaan. Kedua
kelompok etnis yang berbeda tersebut menamakan peninggalan bersejarah ini
dengan sebutan yang berbeda pula menurut kepentingan mereka masing-masing,
yaitu dengan sebutan Kemaliq Lingsar dan Pura Lingsar. Lokasi Pura Lingsar
berjarak kurang lebih 7,5 km dari Kota Mataram. Kecamatan Lingsar terdiri dari
desa-desa yang subur dengan banyak sumber mata airnya, mata pencaharian
penduduknya sebagian besar adalah sebagai petani. Desa Lingsar terdiri dari 15
(lima belaas) Dusun yaitu ; 1) Dusun Nirbaye; 2) Dusun Repok Keri; 3) Dusun
Lingsar Timur; 4) Dusun Lingsar Barat; 5) Dusun Lingsar Keling; 6) Dusun
Keling; 7) Dusun Gegelang Dasan; 8) Dusun Gegelang Daye; 9) Dusun Gegelang Lauq;
10) Dusun Gegelang Bantek; 11) Dusun Bantek; 12) Dusun Gontoran Timur; 13)
Dusun Kroye; 14) Dusun Onor; 15) Dusun Sandongan.
Batas-batas
wilayah Pura Lingsar adalah sebagai berikut :
a.
Sebelah Utara Desa Sandongan, Sigerongan
dan Karang Bayan.
b.
Sebelah Selatan Desa Gegelang, Desa
Dasan Tereng dan Gerimak Indah.
c.
Sebelah Barat Desa Honor, Desa Peteluan
Indah dan Kelurahan Bertais.
d.
Sebelah Timur Desa Tragtag, Desa Batu
kumbung dan Batu Mekar.
Pada tahun 1993-1995 terjadi pemugaran dan pembenahan Taman Lingsar yang
dilakukan oleh Dinas Pariwisata Nusa Tenggara Barat dalam bentuk pembuatan
pintu gapura dan pagar keliling komplek kolam kembar yang berada disebelah
utara Taman Lingsar, praktis hal tersebut mengubah dan mengurangi luas Taman Lingsar
tersebut, karena disebelah barat kolam kembar itu masih terdapat sebuah kolam
lagi yang merupakan bagian Taman Lingsar. Tetapi dengan dibuatnya pagar
keliling, kolam yang berada disebelah barat, menjadi terletak di luar Taman
lingsar. (Sujana : 2006 : 39 -40)
Kompleks Pura dan Kemaliq Lingsar merupakan kompleks taman yang besar
dengan bangunan Pura di dalamnya. Bangunan Pura sendiri tidak begitu besar
tetapi mempunyai beberapa keistimewaan. Pura ini terdiri atas tiga kompleks,
yaitu : 1) Kompleks Pura Lingsar (Pura Gaduh); 2) Kompleks Kemaliq; 3) Kompleks
Pesiraman.
Kompleks Pura Lingsar (Pura Gaduh) terletak di bagian atas sebelah utara
menghadap ke barat dan merupakan tempat ibadah Umat Hindu. Sedangkan kompleks
Kemaliq dan kompleks Pesiraman terletak di bagian bawah di sebelah selatan,
juga menghadap ke barat tetapi letaknya sedikit ke utara. Bangunan Pura Lingsar
(Pura Gaduh) dan Kemaliq dihubungkan dengan dua buah Kori Agung. Di halaman
luar (Bencingah) Pura Lingsar dan Kemaliq terdapat tiga buah bangunan Bale. Dua
buah Bale Jajar di halaman barat Pura dan sebuah Bale Bengong. Kedua bangunan
Bale Jajar ini merupakan tempat kegiatan kesenian dan beristirahat bagi
umat yang bersembahyang, berbentuk segi empat panjang, bertiang enam (Sekenem). Atapnya berbentuk limasan
dan terbuat dari seng, lantai dari batu bata dengan ketinggian 0,66 m dari
permukaan tanah, panjang 10,71 m dan lebar 5,25 m.
Bangunan Bale Bengong terletak di halaman Jaba Pisan (halaman
luar Kemaliq) yang merupakan tempat kegiatan rapat dan beristirahat bagi umat
yang bersembahyang. Bentuknya segi empat panjang, dan bertiang enam (Sekenem). Atapnya berbentuk
limasan dan terbuat dari seng, lantainya dari batu bata dengan tinggi lantai
dari permukaan tanah 0,60 m, panjang 6 m, dan lebar 6 m. Di samping
bangunan-bangunan tersebut diatas, di sebelah selatan Pura/Kemaliq terdapat
pancuran Siwak (Sembilan buah pancuran), yaitu bangunan yang merupakan tempat
mandi kaum laki-laki dengan panjang 21,50 m dan lebar 3,50 m di sebelah barat,
dan tempat mandi kaum perempuan yang letaknya di sebelah barat dengan
panjang 18,50 m dan lebar 4,20 m. Kemudian pada pancuran yang berada disebelah
barat pemandian kaum wanita ada pancuran yang dinamakan Pancuran Loji,
pancurannya sebanyak 2 buah. Pada bagian paling selatan kompleks taman terdapat
Kolam Ageng berukuran keliling 6.230 m2. Sedangkan perigi kolam terbuat dari
pasangan batu kali yang direkat dengan semen.
Di
sebelah utara halaman luar (Bencingah) terdapat Kolam Kembar. Halaman tempat
Kolam Kembar ini dikelilingi oleh tembok yang bahannya dari batako. Pada sisi
sebelah selatan dan sisi sebelah utara terdapat candi bentar dari batu bata.
Candi Bentar yang ada di sebelah selatan merupakan pintu masuk ke halaman
Bencingah, sedangkan Candi Bentar yang ada di sebelah utara merupakan pintu
masuk ke halaman parkir (Jabaan). Di halaman parkir ini terdapat bangunan
gedung baru yang dimanfaatkan sebagai tempat pagelaran. Di sebelah utara,
paling ujung utara halaman Jabaan terdapat dua buah gapura yang merupakan
bangunan lama dengan bentuk seperti pilar tinggi dari batu bata
2. Letak Administrasi
Desa
lingsar terletak di Kecamatan Lingsar yang jaraknya kurang lebih 7.5 km dari
Kota Mataram, Desa Lingsar ini terdiri dari 15 dusun yang sebagian besar
merupakan daerah pertanian.
3. Keadaan Geografis
Desa
lingsar yang merupakan daerah pertanian dengan luas tanah pertanian 834 Ha reratif
tidak mengenal musim hujan dan musim kemarau karena dengan adanya beberapa
sumber mata air yang ada di wilayah Desa Lingsar tersebut yaitu Sarasuta,
Saraswili, Lingsar, Manggong dengan curah hujan 134mm/tahun membuat daerah Lingsar
menjadi daerah yang subur.
4. Sosial Ekonomi dan
Budaya
Secara
umum rata-rata kemampuan ekonomi masyarakat Desa Lingsar termasuk kategori
sedang/mencukupi dengan sebagian besar masyarakatnya hidup dari pertanian,
perternakan, tukang, pegawai negeri sipil dan usaha industri pariwisata. Desa
lingsar mempunyai kesenian tari-tarian seperti Tari Betek Baris Lingsar,
Gendang Beleq, Beleganjur, Pereret, Gong Gebyar.
B. Status dan Fungsi Pura Lingsar
Kemaliq
Pura Lingsar adalah salah satu
tempat Umat Hindu untuk melaksanakan kegiatan upacara dengan segala ritus-ritus
yang didasarkan atas keyakinan agama Hindu dengan kitab suci Weda. Menurut
Selayang pandang Pura Lingsar, Pura Lingsar adalah salah satu tempat suci yang
juga sebagai tempat persembahyangan Umat Hindu. Ajaran Agama Hindu yang
bersumber pada kitab Weda dapat menerima siapa saja untuk melakukan
persembahyangan ditempat suci Agama Hindu selama tata upacata itu tidak bertentangan
dengan prinsip ajaran Agama Hindu yang bersumber dari Weda. Agama Hindu dapat
menempatkan cara-cara dan tradisi-tradisi serta keyakinan masyarakat pada
tempat terhormat sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip ajaran Agama
Hindu, sehingga Pura Lingsar sampai saat ini dijumpai berbagai kelompok
masyarakat yang melakukan persembahyangan seperti Suku Sasak dan keturunan Cina
( Sujana : 2006 : 54 – 55 ).
Pura Lingsar Kemaliq merupakan
salah satu Pura yang ada di Pura Lingsar yang merupakan satu kesatuan dari
Pura-pura di Lingsar. Pura Lingsar ini meliputi Pura Gaduh, Pura Kemaliq, Pura
Pesiraman, Pura Ulon dan Pura Manggis. Dalam Areal Pura Kemaliq Terdapat sebuah
kolam yang diatasnya ada Arca Dewa Wisnu dan disebelah timurnya terdapat Artar
Kemaliq serta terdapat dua buah bale sekepat dan sebuah bangunan penyimpanan
area.
Pura Lingsar merupaka tempat suci
milik bersama seluruh masyarakat di Lombok sehingga di Pura Lingsar Agama Hindu
maupun Agama non Hindu seperti Sasak sama-sama menjalankan adat tradisi, Agama
Hindu melaksanakan Pujawali/Piodalan sedangkan Suku Sasak melaksanakan Perang Topat,
kedua acara tersebut dilaksanakan berbarengan pada hari yang sama sehingga di Pura
Lingsar tersebut tercipta sikap toreransi yang tinggi.
6. Kemaliq
Kemaliq
itu sendiri berasal dari kata Maliq
yang artinya Sakral, tempat bersejarah bagi Umat Islam Tempo dulu. Konon di Kemaliq tersebut merupakan tempat hilang
atau Moksanya tokoh ulama yang bernama Raden
Mas Kertajagat atau yang lebih dikenal dengan sebutan Datu Sumilir. Beliau merupakan penyebar Agama Islam di Lombok Barat
dengan tetap mengadopsi budaya lama atau budaya nenek moyang yang kemudian
disebut dengan Wetu Telu, sinkritisme
Islam dengan ajaran nenek moyang tersebut melahirkan kebudayaan seperti saat
ini yang kita liat. Dengan adanya ajaran
Pantheisme ini, maka kepercayaan Animisme masih berlaku terus dan mistik dari
segi agama bisa diterima secara sukarela oleh semua penduduk Lombok yang masih
paham Animisme sehingga di Kemaliq Pura Lingsar merupakan tempat untuk menghaturkan
Sesaji atau Sesajen.
Kemaliq
itu merupakan tempat makam Wali Allah yang menyebarkan Agama Islam di Lombok
yang mana Wali Allah tersebut Muftah atau Moksa menghilang tampa bekas disitus Kemaliq.
7. Pengemong Pura
Lingsar
Pelinggih di Komplek Pura Lingsar
itu masing-masing diamong oleh Banjar-banjar yang ada disekitar Pura Lingsar
tersebut, seperti Pelinggih dikomplek Pura Lingsar tadi masing-masing diamong
oleh Banjar-banjar yang ada disekitar Pura Lingsar tersebut seperti Pelinggih
Bhatara Gede Lingsar (Kemalik)
diamong oleh Banjar Montang dan warga desa sekitar Lingsar (Mangku Parman),
Pelinggih Bhatara Gunung Agung diamong oleh Banjar Lingsar, Pelinggih Gaduh
diamong oleh Banjar Tragtag, Pelinggih Bhatara Ngerurah diamong oleh Banjar
Pemangkalan, Pelinggih Bhatara Gunung Renjani di among oleh Bannjar Karang
Baru. Banjar-banjar yang mengamong masing-masing Pura tersebut mempunyai
tanggung jawab masing-masing pada setiap Pelinggih yang diamongnya.
Pada setiap waktu Pujawali dari
kedua Suku yakni Suku Sasak Watu Telu
dan Umat Hindu saling tolong menolong memasang Abah-abah dan keperluan pura
lainya. Sehingga secara garis besar Pengemong Pura Lingsar dapat dikatakan
adalah seluruh masyarakat yang ada di Desa Lingsar, Kecamatan Lingsar.
B.4.
Pemangku Pura Lingsar
Menurut Mangku komang Saputra
selaku salah satu Pemangku di Pura Lingsar (Wawancara tanggal 30 Nopember
2013). Pura Lingsar ini secara Keseruluhan memiliki 8 (delapan) orang pemangku
yang terdiri dari yaitu: 1) Pemangku Purna; 2) Pemangku Rai; 3) Pemangku Reme; 4)
Pemangku Komang Saputra; 5) Pemangku Wedarba; 6) Pemangku Karyasa; 7) Pemangku
Japa Astaman; 8) Pemangku Suparman
Khusus untuk di Kemaliq memiliki
pemangku dari Suku Sasak yaitu Mangku Suparman dan untuk Pemangku dari Umat Hindunya
diberlakukan sistem bergilir bergilir agar semua Pemangkunya dapat melaksanakan
tugasnya.
Yang menjadi Pemangku dari Suku Sasak
adalah satu keturunan dari Pemangku sebelumnya. Pemangku Suparman merupakan Pemangku
yang ke 9 (Sembilan) Lingsar Kemaliq. Adapun ke 9 (Sembilan) Pemangku yang
pernah menjadi Pemangku di Lingsar Kemaliq adalah : 1) Nursalam (Mbiq Bagiq),
2) Nursalim (Sigar batu), 3) Indrawan, 4) Amaq Lingsari, 5) Lingsari, 6) Amaq Nurawan;
7) Nurawan; 8) Amsiah, Sanusi, Asmin. ( bersaudara ), 9) Suparman.
B.5. Proses Upacara Perang Topat
Perang Topat diadakan
di Pura Lingsar Kemaliq sebagai bentuk permohonan untuk meminta kesuburan,
kemakmuran yang mana Perang Topat itu dilakukan oleh masyarakat di wilayah Pura
Lingsar yang biasanya sebagai petani atau masyarakat umum yang Sembahyang di
Pura Lingsar tersebut, Perang Topat merupakan simbul perang kegembiraan atas panen yang melimpah. Untuk diketahui Raden Mas Kerta Jagat pernah diangkat
menjadi Raja di daerah tersebut dengan gelar Pemban Pengerakse Jagat atau yang lebih dikenal dengan Datu Sumilir dan kemudian beliau Moksa
di suatu tempat yang namanya Kemaliq, untuk mengingat kejadian itu pada setiap Purnamaning Sasih Kaenam tepatnya saat
Upacara Pujawali di Pura Lingsar diadakan prosesi Upacara Perang Topat yang bertempat di Pura Lingsar Kemaliq.
Perang Topat ini diadakan untuk
memohon kemakmuran, kesuburan dan rejeki sehingga masyarakat yang datang ke Kemaliq
tidak hanya dari masyarakat Lingsar saja tapi banyak masyarakat dari luar
seperti dari Lombok Utara, Lombok Tengah, ada juga dari Lombok Timur, mereka
datang bersama keluarganya sambil membawa Topat untuk di Sembahkan ke Kemaliq.
Guna menyukseskan rangkaian pelaksanaan
Upacara Pujawali Pura Lingsar perlu adanya suatu perencanaan yang matang,
pengorganisasian yang baik serta penyusunan seksi-seksi yang akan ditugaskan
untuk menggerakkan dan mengawasi pelaksanaan Upacara Pujawali Pura Lingsar.
Adapun prosesi Upacara Perang Topat di Pura Lingsar Kemaliq
dibagi menajdi tiga tahapan yaitu : Masa
Persiapan, Upacara Pendahuluan, Puncak Acara Perang Ketupat, Langlan dan
Beteteh.
Adapun
proses atau rangkaian pelaksanaan upacara meliputi :
a. Masa persiapan
Agar pelaksanaan Upacara Perang Topat itu lancar, maka perlu adanya
perencanaan yang matang, pengorganisasian yang baik dan penyusunan seksi-seksi
yang akan menggerakkan dan mengawasi pelaksanaan Upacara Perang Topat tersebut.
Hal tersebut terdiri dari tiga kegiatan mulai dari Gotongroyong, Memasang
abah-abah, dan Penaek Gawe atau Penaek Karya.
Adapun ketiga kegiataan tersebut meliputi :
1). Gotong Royong
Gotong
royong dan pembersihan, pembersihan disina dalam arti membersihkan segala
sesuatu yang terkait dengan Upacara
Perang Topat, yang mana pembersihan dimaksud meliputi pembersihan komplek
Pura Lingsar. Pembersihan disini berarti membersihkan perlengkapan Upacara Perang Topat, pembersihan juga
meliputi perlengkapan upacaranya diantaranya :
a).
Momot dan Gedah,
sejenis botol dan gelas/toples.
b).Wadah-wadah
yang
terdiri dan Talam kuningan, dulang-dulang dan tabag
c). Kain-kain untuk hiasan di Kemaliq yang terdiri
dari lelingsir,lelangsa, lamak, leluhur dan bukus teken.
d). Piring cangkir dan runtutannya.
e). Payung agung dan tombak, semua alat ini disimpan
disebuah tempat yang disebut bale penyimpanan yang terletak disebelah timur
rumah pemangku.
2).
Masang Abah-Abah
Setelah
melakukan kegiatan gotong royong yang meliputi pembersihan areal Pura serta
prasarana yang diperlukan dilanjutkan dengan memasang abah-abah. Yang dimaksud
dengan kegiatan memasang abah-abah di sini adalah :
a). Lelamak
lapis atau alas duduk yang berfungsi sebagai alas sesaji yang dipersembahkan
pada roh gaib. Lelamak terdiri dari tiga lapisan putih, kuning dan kuning
coklat dipasang di pelatar Kemaliq.
b). Lelingsir, semacam
kain pelingsir yang dipasang di ujung atap sebelah luar dengan tiga lapisan dan
bagian dalam juga tiga lapis.
c). Pandangan, sejenis
ornamen dari kain yang ditempelkan keliling Kemaliq.
Kain dimaksud semacam kain merah dengan ornamen perada motif Bali juga dipasang dibawah cermin-cermin yang
ditempel ditembok belakang pelinggih.
d). Leluhur, kain
yang digunakan melapisi langit-langit bangunan Kemaliq sebagai bebaduk.
e). Payung
Agung, umbul-umbul dan Tombak, dipasang di pelataran
Kemaliq. Jumlah payung Agung, umbul-umbul dan tombak semuanya dua puluh buah. Payung,
umbul-umbul dan tombak digunakan pada saat mendakpesaji,
ngilehang dan beteteh.
f). Bungkus
teken, terbuat dari kain putih polos yang dipasang
tiang-tiang bangunan Kemaliq.
3). Penaek Gawe/Penaek Karya
Penaek
Gawe merupakan awal kerja untuk Upacara Perang Topat dan dilaksanakan
sehari sebelum Upacara Perang Topat.
Adapun kegiatan yang dilakukan meliputi yaitu ;
a). Membuat Sesaji atau Piaq Pesaji
Pembuatan Pesaji dilakukan oleh
masyarakat Suku Sasak Telu yang ada di Lingsar. Adapun Pesaji yang dibuat
terdiri dari nasi,buah-buahan,daging dan sayur-sayuran atau lauk pauk.
b). Membuat Kebon Odeq
Kebon Odeq terdiri
dari 2 (dua) suku kata yaitu Kebon
berarti kebun dan Odeq yang berarti
mini atau kecil. Jadi Kebon Odeq adalah kebun mini atau dunia mini ,karena di
dunia ini ada kehidupan maka segenap hasil bumi dimasukan kedalam Kebon Odeq
dengan maksud agar selalu memelihara alam semesta ini. Adapun acara upacara Kebon
Odeq
yang ada di Pura Lingsar Kemaliq serta runtutannya
sebagai berikut :
(1).Lekes adalah
Pecanangan ( Pabuan ) dan Rokok ( Lanjaran ).
(2).Sekar
adalah bunga-bunga yang ditaruh di atas bokor yang terdiri dari beraneka ragam
bunga seperti bunga nusa indah, cempaka, gemutir dan lainnya.
(3).Kebon Odeq Lanang dan Istri
bahan-bahan Kebon Odeq antara lain lekesan ( daun sirih, gambir, pamor, dan
buah pisang keladi, pepaya, nanas, jambu, mangga pinang ) buah-buahan ( manggis
) bunga-bunga (bunga kamboja, nusa indah, kembang pinang, kembang gadung,
gemitir, kantil, daun beringin, daun sirih, daun andong, daun temen merah dan
putih, daun pria, rokok kulit jagung, kelapa, lidi, bambu, beras kuning, uang
bolong dan empok-empok).
(a). Pedek
adalah tikar dan bantal yang jumlahnya satu buah. Tikar bantal ini digulung
kemudian dibungkus dengan kain songket.
(b). Rombong
adalah tempat nasi yang terbuat dari anyaman bambu, Rombong ini diisi dengan berbagai biji-bijian yang dapat dilungsur
untuk dimakan manusia. Juga berisi dengan beras kuning dan pipis bolong
sejumlah tujuh atau sembilan.
(c). Kotak yaitu
wadah yang berbentuk kotak, kotak ini terbuat dari daun lontar, isinya sama
dengan isi rombong.
(d). Momot
adalah sebuah botol berbentuk bundar dan berleher panjang. Momot ini tidak
diisi dengan apapun, kemudian dibungkus dengan kain kuning dibungkus lagi
dengan daun andong seperti menata Kebon Odeq. Menurut keyakinan para penganut
Wetu Telu bila doa mereka terkabul, maka Momot yang kosong akan berisi Tirta
atau air yang datang secara gaib. Pengecekan dilakukan setelah acara Beteth
yaitu Upacara penutupan yang dilaksanakan sore hari menjelang tenggelamnya
matahari.
(e). Gedah merupakan
gelas/toples yang tidak tertutup, diisi air yang diambil dari mata air di
Kemaliq oleh Pemangku.
(f). Wastra, berarti
kain dibuntal sebanyak dua buah, masing-masing buntalan terdiri dari sembilan
kain yang masih baru.
(g). Cecepan berupa
ceret berisi air
(h). Ajengan berarti
makanan, sejumlah sembilan dulang. Ditutup Tembolaq terbuat dari daun lontar
dengan hiasan munte-munte, dulang terbuat dari kayu berkaki tunggal, isinya :
nasi putih, lauk kering seperti dendeng, telur, ikan asin, teri dan saur
(serondeng) dan kacang-kacangan.
(i). Sanganan adalah
penganan berupa aneka jajan tradisional berjumlah sembilan seperti pisang
goreng, keciprut, kerontongan, iwel, tarik, jaja uli (jaja tujak), tape
(poteng) cerorot, tekel, kaliadem, wajik dan banget.
b.Upacara
pendahuluan
1).Upacara Mendak
Pada sore hari dilakukan Upacara Mendak, Mendak merupakan Upacara penyambutan
Tamu Agung.Tamu Agung yang dimaksud adalah Roh-roh gaib yang berkuasa di Gunung
Rinjani atau Bhatare Gunung Rinjani dan Roh-roh yang dari Gunung Agung atau
Bhatare Gunung Agung. Upacara ini dilaksanakan oleh Warga Sasak dan Bali .Upacara
Mendak berarak-arakan dari Pura Lingsar menuju ke Timur, menuju ke arah Gunung
Rinjani, ke arah Barat Gunung Agung.Ini menjadi simbol bersatunya Lombok dan
Bali.Arak-arakan ini di terdepan barisan Tari Baris, disusul pembawa Sesaji,
diapit pembawa Payung Tombak, dan umbul-umbul barisan paling terakhir adalah
kesenian setelah itu diadakan Upacara nyambutan di pertigaan menuju Pura
Lingsar.
2). Mendak Kebon Odeq
Setelah mendak Bhatare gunung Agung
dan Gunung Rinjani kemudian dilanjutkan dengan mendak kebon odeq dari bale penyimpanan menuju Kemaliq, sebelum menuju Kemaliq terlebih dahulu
diadakan Acara Ngilahang sebanyak tiga kali dengan mengelilingi Pura termasuk
kerbau yang akan disembelih pada esok hari, setelah itu baru kemudian memasuki
Pura Kemaliq, sebelum Kebon Odeq diletakkan di Petaulan terlebih dahulu Kebon
Odeq dikelilingkan didalam Areal Pura Kemaliq sebanyak tiga kali dan kemudian Kebon
Odeq diletakkan di petaulan, dilanjutkan dengan ritual yang dilakukan oleh Suku
Sasak yang dipimpin oleh Pemangku Sasak. Didalam ritual ini harus menggunakan Pesajik
sebanyak 18 dulang. Sembilan dulang diperuntukkan bagi Umat Sasak dan Sembilan
dulang lagi diperuntukkan untuk Umat Hindu.
c.
Puncak Prosesi Upacara Perang Topat
Puncak acara Perang Topat serta Upacara Pujawali di Pura Lingsar yang dilaksanakan
sehari setelah mendak Tirta atau bertepatan dengan Purnamaning Sasih ke Enam menurut penanggalan kalender Bali atau
biasanya jatuh pada bulan Desember. Adapun kegiatan yang dilaksanakan pada saat
prosesi puncak acara yang dimulai dari sejak pagi hari hingga puncak acara
yaitu :
1.
Nampah Kaoq
Nampah Kaoq
artinya penyembelihan kerbau, yang dimulai sejak dini hari. Kepala kerbau
digantung di pelantaran Kemaliq pada pohon Nagasari.
2.
Miaq Pesaji
Miaq Pesaji
Maksudnya adalah membuat dan menata Sesaji
yang dikerjakan oleh kerabat pemangku. Jumlahnya sembilan dulang, sebagai
runtutannya dibuat Sanganan, yaitu
dulang berisi jajan sebanyak sembilan, selain itu juga dibuat bayuhan, dulang berisi buah-buahan.
Semua kegiatan
ini dilakukan oleh kaum perempuan, kemudian disimpan di bale penyimpanan. Baik Sesaji maupun Kebon Odeq tidak boleh dikerjakan oleh perempuan yang sedang haid,
demikian pula mereka tidak boleh masuk ke Kemaliq
atau ke Pura Gaduh karena masih
dianggap kotor.
3.
Nyerahang Topat
Topat
yang akan digunakan dalam Upacara Perang
Topat dibuat oleh kerabat
pemangku, namun ada juga yang dibuat oleh masyarakat yang secara sukarela
membuatnya dan menyerahkannya ke Pura Kemaliq Lingar. Topat itu diserahkan pada
siang harinya, kemudian langsung diletakan di Altar Kemaliq.
4.
Pedande Munggah Mepuje
Pedande Munggah Mepuja
pada sore hari sekitar jam 15.00, bagi umat Hindu yang ada di Kemaliq
mengadakan persembahyangan yang dipimpin oleh Pendeta Siwa yang dilanjutkan
dengan Puja Tri Sandya, pamuspayan, lanjut dengan ngelungsur Amertha, selesai.
5.
Mendak Pesaji
Mendak pesaji berarti menjemput Pesaji
yang disimpan di bale penyimpanan. Dilaksanakan sore hari menjelang Raraq Kembang Waru. Pada saat mendak
pesaji, Kebon Odeq beserta urutannya
dibawa ke bale penyimpanan. Pihak penjemput dan yang dijemput bertemu di depan
pintu gerbang dekat bale penyimpanan, kemudian Pesaji dibawa ke Kemaliq. Urutan
barisan pemendak Pesaji, diawali barisan Tari Baris, Tari Teleq, Pesaji, Kebon
Odeq, diapit Payung Agung, Tombak dan Umbul-umbul. Ketika menuju ke Kemaliq. Para
Penari Baris dan Tari Teleq berjalan sambil menari, merekalah yang menjadi pusat
perhatian para pengunjung yang berada di Pura Lingsar. Sebelum Kebon Odeq diletakkan di Altar Kemaliq
dilakukan Acara Ngilehan mengelilingi kemaliq sebanyak tiga kali.
6. Ngaturan Pesaji
Setelah
Ngilehan, Pesaji dibawa masuk ke
Kemaliq diletakkan di Altar Kemaliq
dan dilaksanakan Ngaturan Pesaji kepada Roh-roh Gaib yang ada di Pura Kemaliq
Lingsar dengan dipimpin oleh seorang Pemangku Sasak.
7.
Upacara Perang Topat
Selesai upacara Ngaturan Pesaji, dilaksanakan Upacara Perang Topat, peserta yang menunggu Upacara Perang Topat mulai bersiap-siap dikedua belah pihak, baik
itu yang berada disebelah atas yang telah selesai melaksanakan Persembahyangan
Pujawali, demikian pula disebelah bawah dari Suku Sasak yang telah bersiap dan
menanti lemparan Ketopat dari Kemaliq. Peserta
pertama yang menerima Topat adalah peserta yang berada disebelah bawah, maka
setelah lemparan pertama dimulai maka puncak Upacara Perang Topat dimulai, bunyi kul-kulpun terus bertalu-talu (
Bersautan ) selama satu jam, peserta dari bawah melempar keatas dan saling
balas-membalas seterusnya sampai selesainya acara Perang Topat tersebut.
c. Lalang
Lalang adalah penyelang atau penyela atau masa senggang dalam arti tidak
ada kegiatan. Bisa juga diartikan masa antara. Lalang dimaksudkan untuk
istirahat setelah melaksanakan serangkaian prosesi Upacara Perang Topat yang
bersamaan dengan Kebon Odeq, lalang berlangsung selama dua hari.
d. Beteteh
Setelah masa lalang atau istirahat selama dua hari, maka diadakan Upacara Beteteh. Beteteh adalah
acara membuang Kebon Odeq yang merupakan acara penutup dari rangkaian prosesi upacara Perang Topat dan Kebon
Odeq. Rangkaian acara beteteh ini terdiri dari tiga bagian.
Adapun tiga acara dalam rangkaian upacara Beteteh diantaranya :
1.
Persiapan
Pesaji
Persiapan
untuk upacara dengan membuat Pesaji dibuat pada pagi harinya, Pesaji yang
dibuat disebut bulayak. Bulayak yaitu semacam lontong berbentuk bulat panjang
dibungkus dengan daun enau muda. Turutan
pesaji bulayak diantaranya terdiri dari lekesan dan buah, sekar, ajengan
sembilan buah, pemamat dua buah, cecep dan bayuan yang terdiri atas dua wadh
buah-buahan dan minuman.
2.
Ngaturang Pesaji
Upacara
Ngaturang Pesaji merupakan upacara persembahan yang dilakukan di Kemaliq
sebelum acara Beteteh. Upacara ini berlangsung sekitar pukul 11.00 Wita.
Upacara ini dimulai ketika Pesaji telah diletakkan di altar Kemaliq dan
dipimpin oleh Pemangku.
3.
Puncak
Upacara Beteteh
Upacara Beteteh merupakan penutup seluruh rangkaian upacara Perang Ketupat
dan Kebon Odeq yang diadakan sore hari menjelang matahari terbenam. Setelah
selesai persembahan para wanita keluar dari Kemaliq membawa semua perlengkapan
yang diluar disambut para laki-laki membawa payung agung. Upacara ngilehang di
Kemaliq tiga kali selanjutnya bersama dengan umat Hindu menuju Sarasuta
beriringan. Setibanya di Sarasua barisan dari Pura Lingsar Ulon dan Pura
Gaduh berbelok kekiri, memberi jalan kepada barisan Kemaliq untuk maju menuju
tepi sungai. Sementara umat Hindu melaksanakan persembahyangan bersama, Wetu
Telu melangsungkan upacara di tepi Sungai Sarasuta dipimpin Pemangku, setelah
selesai semua isi Kebon Odeq dibuang ke sungai. Seluruh masyarakat berebut isi
Kebon Odeq untuk dijadikan penolak bala.
Salah
satu acara acara yang menegangkan dan mengundang rasa ingin tau masyarakat
pendukung Upacara perang topat adalah
saat akan membuka Botol Momot yang disimpan dibale penyimpanan, yang dibungkus daun
andong pada saat Penaek Gawe. Semua bagian-bagian dan bahan-bahan dari Momot
direbut masyarakat yang menurut kepercayaan Wetu Telu untuk dijadikan Ajimat
dan Penolak Bala. Benang kuning langsung dibagikan dan digelangkan pada tangan,
kasiatnya juga untuk Penolak Bala. Momot tadinya dalam keadaan kosong biasanya
akan berisi air secara gaib, air gaib ini pertanda bagi mereka bahwa Upacara
yang berlangsung dengan baik sesuai dengan aturan dan permohonan mereka agar
selalu memperoleh kemakmuran dikabulkan.
B.6. Bentuk dan Fungsi Sesaji yang digunakan dalam
Upacara Perang Topat di Pura Lingsar Kemaliq
Bentuk
dan Fungsi Sesaji yang digunakan dalam Upacara Perang Ketopat yaitu ; Sedah,
Bunga, Lauk pauk, Palawija, Rempah-rempah, Beras ketan, Kebon odek, Lamak,
Botol momot, Cecepan, Topat.
Adapun Bentuk dan Fungsi Sesaji yang digunakan dalam
Upacara Perang Topat yaitu meliputi ;
a. Sedah
Sedah merupakan Sesaji
yang berbentuk pecanangan atau pabuan yang didalamnya berisi daun sirih,
tembakau, pamor sirih, gambir juga berisi lanjaran atau rokok dan sesaji sedah
ini ditaruh paling depan diantara sesaji lainya.
Sedah mempunyai
fungsi sebagai pembuka kori atau pembuka acara ritual upacara perang topat
tersebut.
b. Bunga
Bunga merupakan Sesaji yang terdiri dari 9
(Sembilan) macam bunga yang mana bunga-bunga tersebut ditaruh diatas nare atau
bokor yang disusun secara rapi yang meliputi bunga nusa indah, gemitir, jepun,
dan lain-lain.
Bunga mempunyai fungsi sabagai kembang setaman yang
digunakan sebagai persembahan yadnya dengan tulus iklas.
c. Delapan
Belas Dulang Sesaji
Sesaji yang
berjumblah 18 (Delapan belas) dulang tersebut merupakan Sesaji yang terdiri dari
Pesaji makanan, lauk pauk, daging serta jajan-jajanan, teri, saur,
kacang-kacangan, ikan asin yang semua ditaruh diatas dulang kayu yang berkaki
satu dan dipisah sesuai dengan jenisnya masing-masing serta ditutup dengan
penutup yang terbuat dari daun lontar yang dihiasi mute-mute yang dikenal
dengan tembolaq atau dalam bahasa balinya Saab. Semua Sesaji yang digunakan
dalam acara ritual Perang Topat ini harus dibuat sendiri dan tidak boleh dibeli
seperti jajan ranggi, cerorot, serta jajan basah lainya. Pesaji yang dibuat
tersebut dibagi dua yaitu 9 (Sembilan)
untuk umat sasak dan 9 (Sembilan ) lagi untuk Umat Hindu. Umat Hindu dalam
hal ini tidak membuat langsung Sesaji Perang Topat, melainkan Umat Hindu
menyerahkan bahan-bahannya kepada Suku Sasak untuk dibuatkan Sesaji Perang Topat
tersebut.
Fungsi delapan
beras dulang sesaji tersebut adalah sebagai Sarana persembahan dalam upacara
ritual perang topat.
d. Satu
Rombong berisi Palawija dan Rempah-rempah
Palawija dan Rempah-rempah
merupakan hasil bumi yang ditaruh didalam rombong atau tempat yang terbuat dari
bambu yang dianyam berbentuk wadah kotak atau kotak persegi.
Fungsi sesaji
palawija dan rempah-rempah sebagai persembahan dari hasil bumi untuk meminta
kesuburan.
e. Satu
Rombong berisi Beras Ketan
Rombong disini
adalah wadah yang berbentuk kotak dan terbuat dari daun lontar, wadah kotak
tersebut didalamnya dimasukan beras ketan.
Fungsi sesaji
ini sama dengan sesaji palawija dan rempah-rempah diatas.
f. Dua
Buah Kebun Odeq
Dua Buah Kebun
Odeq yang terdiri dari Kebun Odeq Lanang dan Kebun Odek Istri yang mana
keduanya terdiri dari bahan-bahan seperti daun sirih, gambir, pamor, buah
pisang keladi, pepaya, nenas, jambu, mangga, pinang, manggis, bunga kamboja,
nusa indah, kembang pinang, kembang gadung, gemitir, kantil, daun beringin,
daun andong, daun temen merah dan putih, rokok kulit jagung, kelapa, lidi,
bambu, beras kuning, uang bolong dan empok-empok yang disusun rapi.
Fungsi kebun odeq yaitu sebagai kebun mini atau
penggambaran dari bentuk dunia ini dan isinya.
g. Lamak
Lamak merupakan
kain yang dibuntal atau dilipat dan dibuat dua buah buntalan yang mana
masing-masing buntalan terdiri dari sembilan kain berupa seperangkat alat tidur
seperti bantal guling dan dibungkus kain putih yang masih baru.
Fungsi lamak
adalah sebagai alat tidur yang dibuat mini yang dipersembahkan kepada yang
melingga dikemaliq.
h. Botol
Momot
Botol Momot
merupakan sebuah botol kaca trasparan berbentuk bundar dan berleher panjang
yang dibungkus dengan kain kuning dan dibungkus lagi dengan daun andong yang ditata
rapi seperti membungkus Kebun Odeq.
Fungsi Botol Momot
yaitu sebagai bentuk bukti dari pegabdian diri seorang manusia diterima atau
tidak oleh yang kuasa.
i.
Cecepan
Cecepan berupa
ceret yang terbuat dari kuningan berisi air dan cecepan tersebut ditaruh
disebuah wadah berbentuk bundar.
Fungsi Cecepan
yaitu sebagai tempat air yang nantinya dilungsur karena air dalam cecepan
dipercaya sebagai air suci.
j.
Topat
Topat merupakan
nasi beras yang dibungkus daun kelapa yang dianyam rapi berbentuk segi empat
yang direbus sampai matang. Topat tersebut ditaruh diatas 9 (sembilan) dulang
yang mana masing-masing dulang berisi 90 (sembilan puluh) biji topat yang
diatasnya ditutup pake tembolaq atau saab.
Fungsi topat
adalah sebagai alat yang digunakan untuk saling lempar dalam ritual acara
perang topat yang mana topat-topat tersebut sudah diupacarai terlebih dahulu.
Topat inilah yang nantinya akan dibawa dan ditaruh disawah atau kebun bahkan
dipekarangan rumah yang dipercaya dapat membawa kesuburan. Topat yang digunakan
perang berjumblah ribuan yang mana topat-topat itu selain topat yang berjumblah
9 (sembilan) dulang tadi juga merupakan sumbangan dari masyarakat sekitar dan
masyarakat yang ikut dalam upacara pujawali tersebut.
Berdasarkan dari beberapa bentuk
dan fungsi Sesaji yang dijelaskan diatas maka dapat kita beri suatu kesimpulan
bahwa Sesaji Upacara Perang Topat itu Bentuk dan Fungsinya bersifat baku, baku
dalam arti bahwa Sesaji Perang Topat itu tidak berubah dari tahun ketahun,
dimana bentuk Sesaji yang digunakan selalu sama seperti menggunakan sedah,
bunga, dulang, rombong pawija, beras ketan, rempah-rempah, kebon odek, lamak,
botol momot, cecepan, topat. Sesaji yang digunakan susunannya tetep seperti
tahun-tahun sebelumnya, yang mana kalau ada berubah paling jenis bunga yang
digunakan dan penambahan jenis jajan-jajanan, Sesaji Upacara Perang Topat ini
memiliki fungsi masing-masing sesuai bentuknya, fungsinya kebanyakan mengarah
pada rasa bakti kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai Ucapan syukur atas berkah
dan karunia yang telah diberikan sehingga dapat dikatakan Sesaji ini merupakan
gambaran rasa sukur, rasa bakti dan trima kasih kehadapan Tuhan Yang Maha Esa
dituangkan dalam bentuk Sesaji tersebut diatas. Sesaji atau Sesajen adalah
Upakara yang berisi unsur makanan dan hasil bumi lainnya yang digunakan dalam
setiap Upacara ritual Suku Sasak (di Bali lebih dikenal dengan nama Bebanten).
Menurut
Wiana ( 2002 : 1-2 ), Banten dalam Agama Hindu adalah bahasa Agama dalam ajaran
suci Weda, Sabda Tuhan disampaikan kepada umat dalam berbagai bahasa. Ada
menggunakan bahasa tulis seperti dalam Weda Samhita disampaikan dengan bahasa Sansekerta,
dan ada juga yang disampaikan dengan bahasa lisan. Bahasa lisan ini disesuaikan
dengan bahasa tulisannya. Setelah di indonesiakan dengan bahasa jawa kuno dan
di Bali disampaikan dengan bahasa Mona yang artinya diam namun banyak
menyampaikan informasi tentang kebenaran weda bahasa Mona itu adalah Banten.
Penjelasan diatas bermaksud bahwa banten/sesaji sebagai alat konsentrasi dalam
mendekatkan diri dengan Tuhan dan segala manifestasinya. Hal ini disebabkan
karena kemampuan yang dimiliki oleh manusia sangat terbatas adanya untuk
menyampaikan rasa terima kasih karena berbagai anugrah yang diberikan. Gejala
bhakti dalam kehidupan disalurkan melalui pencurahan rasa, yang diwujudkan
dengan kerinduan untuk bertemu pada suatu upacara secara lahir dan bhatin.
Secara lahir diwujudkan dengan persembahan Banten atau Sesaji dan secara bhatin
dengan cara melalui persembahyangan.
B.7.Makna Sesaji dalam Upacara Perang
Topat di Pura Lingsar Kemaliq
Sesaji yang digunakan dalam Upacara
Perang Topat yang meliputi Sedah, Bunga, Lauk pauk, Palawija, Rempah-rempah,
Beras ketan, Kebon odek, Lamak, Botol momot, Cecepan serta Topat memiliki makna
masing-masing yaitu sebagai berikut ;
a. Sedah
Sedah memiliki
makna sebagai ucapan salam penyapa atau salam pembuka pada acara ritual perang
topat (seperti kita bilang om swasti astu kalau kita membuka suatu acara).
b. Bunga
Bunga memiliki
makna bahwa kita harus selalu berniat atau berpikir yang bersih dan tulus dalam
setiap melakukan yadnya, sedang jumblah 9 (Sembilan) mempunyai makna sebagai
lambang adanya pancoran siwaq dan 9 (sembilan) serta adanya 9 (sembilan) Wali.
c. Dulang
Dulang berisi
buah-buahan dan makanan memiliki makna yaitu sebagai suatu persembahan yang
dilakukan dengan tulus iklas.
d. Satu
Rombong berisi Palawija
Rombong berisi
palawija yang bermakna memohon agar hasil sawah dapat subur seta panen palawija
yang melimpah dan juga terjauh dari serangan hama.
e. Satu
Rombong berisi Beras Ketan
Rombong berisi
beras ketan bermakna agar setiap hasil dari sawahnya selalu dapat menghasilkan
panen padi yang melimpah.
f. Dua Buah
Kebun Odeq
Kebun odek itu
mempunyai makna lambang kehormatan, menunjukan kita menghormati Bhatara untuk
umat hindu dan menghormati Wali untuk suku sasak, sikap saling menghormati dari
dua suku tersebut sehingga dapat bersatu dalam satu ritual dengan tercipta
toreransi antara keduanya.
g. Lamak
Lamak berupa
seperangkat alat tidur seperti bantal guling dan dibungkus kain putih maknanya
sebagai alat tempat tidur atau suatu tempat tidur yang dipersembahkan untuk
beliu tidur atau istirahat.
h. Botol
Momot
Botol Momot yang
mempunyai makna sebagai sebuah bentuk pengapdian dari diri seorang manusia
apakah pengabdian yang kita lakukan itu diterima atau tidak, yang mana bentuk
dari pegabdian itu diterima atau tidak nanti buktinya dipercaya bahwa pada
waktu beteteh maka pada waktu beteteh itu botol akan terisi atau tidak, bila
berisi maka pegabdian kita diterima, begitu juga sebaliknya.
i. Cecepan
Cecepan yang
terbuat dari kuningan maknaya adalah sebagai tempat yang digunakan untuk wadah
air yang digunakan untuk bersuci seperti meraup, minum yang kalau umat hindu
seperti tempat tirta
j. Topat
Topat yang
berjumblah 9 (sembilan) dulang yang mana masing-masing dulang berisi 90
(sembilan puluh) biji topat yang mempunyai makna sebagai alat untuk mengatasi
peperangan yang bertujuan untuk mencapai suatu perdamaian. Topat juga bermakna
sebagai permohonan agar diberikan kesuburan untuk pertanian dan perkebunan yang
dimiliki masyarakat.
Dari beberapa makna Sesaji Upacara Perang Topat yang telah dijelaskan di
atas maka dapat dikatakan bahwa meskipun Sesaji yang digunakan dalam Upacara
Perang Topat itu dapat dikatakan simpel namun memiliki makna yang sangat luar
biasa dimana dalam setiap Sesaji yang digunakan memiliki suatu makna baik itu
sebagai ungkapan trima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa atas anungrah
kesuburan, kamakmuran serta rejeki yang diberikan kepada Masyarakat Lingsar.
Pelaksanaan Upacara Perang Topat ini tampak sangat meriah dan semarak karena
dijiwai oleh ajaran Agama dan ditopang oleh adat istiadat yang kuat. Upacara
Perang Topat di Pura Lingsar Kemaliq bukan hanya sebuah ritual untuk
mengungkapkan emosi keagamaan dari para pendukungnya namung memiliki makna
memberi contoh bagai mana suatu kehidupan bermasyarakat berlangsung sacara
harmonis ditengah perbedaan dan keragaman, baik itu suku, agama dan budaya,
bertemu menjadi satu dalam suatu ritual Upacara Perang Topat yang mana Perang Topat
merupakan perang perdamaian.
BAB
V
PENUTUP
A. Simpulan
Dari hasil penelitian dan analisis
data dapat disimpulkan bahwa Upacara
Perang topat didasari kesadaran bersama dalam persiapan dan pembersihan, dalam
arti membersihkan segala sesuatu yang terkait dengan Upacara Perang Topat, yang mana pembersihan dimaksud meliputi
pembersihan komplek Pura secara bergotong royong. Ada enam tahapan dalam
pelaksanaan Upacara Perang Topat itu yaitu :
Masa Persiapan, Upacara Pendahuluan, Puncak Acara Perang Ketupat, Langlan dan
Beteteh.
1. Bentuk
sesaji perang topat bersipat baku dalam arti tidak berubah dari tahun ketahun
meliputi sedah, bunga, dulang, rombong pawija, beras ketan, rempah-rempah,
kebon odek, lamak, botol momot, cecepan, topat.dan kalau ada berubah paling
dari jenis jajan serta bunga yang digunakan.
2.
Fungsi diadakannya Upacara perang topat
diyakini oleh masyarakat baik Umat Hindu maupun Suku Sasak Watu Telu bahwa mereka
percaya Upacara Perang Topat tersebut dapat membawa kesuburan, kemakmuran serta
rejeki untuk seluruh masyarakat, Upacara Perang Tupat juga digunakan sebagai media/wahana
untuk membangun solidaritas sosial antara penganut Islam Wetu Telu dengan
penganut Hindu di Desa Lingsar Kecamatan Lingsar.
3.
Upacara perang topat memiliki makna sebagai
ungkapan trima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa atas anungrah kesuburan, kamakmuran
serta rejeki yang diberikan kepada Masyarakat Lingsar
B. Saran
1.
Perlunya adanya peningkatan pemahaman
kepada umat yang melaksanakan dan umat yang ikut berperan serta dalam ritual
tersebut supaya mereka bisa memahami lebih dalam terhadap hakikat yang tersirat
dalam pelaksanaan Upacara Perang Topat.
2.
Perlu dilestarikannya keberadaan Upacara
Perang topat yang menggunakan sarana sesaji tersendiri karena selain sebagai
pengalaman sistem kepercayaan bagi yang melaksanakan, juga sekaligus memiliki
daya tarik wisata yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakat yang ada
disekitar pelaksanaan upacara tersebut.
3.
Perlu dilakukan penelitian yang lebih lanjut berkaitan dengan
aspek-aspek lainnya yang belum diungkap dalam penelitian ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar