ABSTRAK
Banten Prayascitta Dalam Upacara Dewa Yadnya di
Pura Penataran Agung
(Ditinjau
Dari Bentuk, Fungsi dan Makna)
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan Bentuk, Fungsi dan Makna Banten Prayascitta dalam Upacara Dewa Yadnya di
Pura Penataran Agung. Penelitian ini
mengangkat permasalahan (1) Bagaimana bentuk Banten Prayascitta yang dipergunakan dalam Upacara Dewa Yadnya di
Pura Penataran Agung ? (2) Apa fungsi Banten
Prayascitta yang dipergunakan dalam Upacara
Dewa Yadnya di
Pura Penataran Agung ? (3) Makna apa yang terkandung di dalam Banten Prayascitta yang dipergunakan dalam Upacara Dewa Yadnya di
Pura Penataran Agung ?
Jenis penelitian yang digunakan adalah Deskriptif kualitatif dengan
menggunakan teknik obsevasi, dokumentasi dan metode wawancara terstruktur yaitu
wawancara langsung dengan informan/responden (Para pemangku, Pengamong Pura,
Sarati Banten dan Sulinggih) dimana peneliti menyiapkan daftar pertanyaan.
Dari hasil analisis data menunjukkan bahwa Banten Prayascitta dengan alas jejahitan berbentuk bundar, bahan
yang digunakan yaitu : daun kelapa yang kuning atau gading. a) Unsur-unsur
jejahitan Banten Prayascitta antara
lain : (1) Aledan bundar, (2) Buah-buahan,
(3) Aledan
peras, (4) Pisang, (5) jajan, (6) kacang, (7) Komak, (8) Saur, (9) Tumpeng,
(10) Ajengan bundar, (11) Ayam
Panggang, (12) Garam, (13) Tulung bebas,
(14) Ketipat sedayu, (15) Kwangen, (16) Ajengan Kepelan, (17) Kajer
ayam, (18) Sampean naga sari, (19) Sampean gunting, (20) Kerik keramas, (21) Tehenan, (22) Lis / bhuu,
(23) Kelungah nyuh gading, (24) Tulung Agung b) Bentuk Banten Prayascitta menyerupai atau
menggambarkan bundar atau cakra buana,
bahwa bumi ini bundar yang berputar mengelilingi matahari dan bulan sehingga
terjadi siang dan malam yang sesuai dengan ajaran rwa bhineda.
Fungsi Banten Prayascitta
adalah sebagai pembersihan atau ngelukat Pura,
Pelinggih dan Upakara dalam Upacara Yadnya tersebut.
Makna yang terkandung dalam Banten Prayascitta adalah Sebagai simbul
yang mengandung nilai religius sebagai kekuatan Siwa Guru.
Kata
Kunci : Banten Prayascitta, Upacara Dewa Yadnya.
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Umat
Hindu dalam kehidupan keagamaannya dengan jelas dapat disaksikan melalui
pelaksanaan suatu upacara. Upacara merupakan salah satu kerangka agama Hindu,
dimana kegiatannya paling jelas dapat dilihat dalam Upacara Panca Yadnya. Upacara Panca Yadnya merupakan rangkaian kegiatan
manusia untuk mendekatkan atau menghubungkan diri dengan Ida Shang Hyang Widhi Wasa atau manifestasinya. Panca Yadnya sendiri terdiri dari Dewa Yadnya, Rsi Yadnya, Pitra Yadnya,
Manusia Yadnya dan Butha Yadnya. Dewa
Yadnya adalah upacara persembahan kepada api suci Siwa (Siwagni) dengan membuat Mandala Yadnya, Rsi Yadnya adalah pemujaan kepada para pendeta dan orang-orang yang
memahami makna hakekat hidup, Pitra
Yadnya adalah pemujaan kepada roh suci leluhur, memberi makanan kepada
masyarakat itu disebut Manusia Yadnya.
Bhuta Yadnya adalah taur dan upacara kepada tumbuh-tumbuhan,
antara lain dalam bentuk Upacara Walikrama
dan Eka Dasa Rudra.
Ngurah dkk, (2005: 155-156) kelima jenis Yadnya tersebut erat kaitannya dengan Tri Rna yaitu tiga jenis hutang yang
patut dibayar dalam kehidupan ini. Tri
Rna terdiri dari Dewa Rna, Rsi Rna
dan Pitra Rna. Dewa Rna adalah
hutang urip atau jiwa pada Hyang
Widhi yang telah menciptakan kehidupan serta segala yang menunjang
kehidupan alam semesta ini. Rsi Rna
yaitu hutang kepada para maha rsi atas jasa dan kemurahannya yang menuntun dan
membebaskan kita dari kebodohan dengan pengetahuan suci yang mengantarkan pada
kesejahteraan dan kebahagiaan jasmani dan rohani. Pitra Rna adalah hutang kepada leluhur yang telah melahirkan,
memelihara dan membesarkan diri kita. Berdasarkan keyakinan tersebut, sangat
berkaitan erat dengan upacara dan upakara.
Upakara
atau Banten merupakan salah satu alat
atau sarana dalam pelaksanaan upacara bagi mereka yang menempuh jalan bhakti, karena manusia memiliki
kemampuan yang sangat terbatas dalam menghubungkan dirinya dengan Ida Shang Hyang Widhi Wasa. Di dalam Catur Marga Yoga, Upakara tersebut diwujudkan melalui Karma Marga
Yoga yang artinya jalan bekerja atau berbuat, karena upacara menjadi bagian
integral dari Umat Hindu yang diungkapkan
melalui pelaksanaan upacara yang dilengkapi dengan upakara atau banten sebagai bentuk rasa sujud bhakti permohonan
maaf serta tuntunan keselamatan yang ditujukan kepada Ida Shang Hyang Widhi Wasa (Arwati, 2005: 1)
Sebagaimana
diyakini dan dipercayai bahwa Ida Shang
Hyang Widhi merupakan pencipta seluruh alam semesta dengan segala isinya,
termasuk umat manusia. Dalam ajaran Agama Hindu, terdapat sloka yang berbunyi :
“Purusa
evedam sarvam yad bhutam yasca bahvyam uta ‘mrtatwas yecam yudam ‘nena ‘ti rohati”.
Artinya :
“Sang
Hyang Widhi adalah pencipta alam semesta, baik yang ada maupun yang akan ada, Sang Hyang Widhi adalah kekal abadi, yang hidup tanpa makan” (Reg
Veda X.89.2)”.
Mengingat
pelaksanaan yajna tersebut sangat
penting sekali dalam kehidupan keagamaan Umat Hindu, maka lebih jauh kalau kita
simak kitab suci Manawa Darmasastra
III.70 (Nala dan Wiratmadja, 1993: 169) menegaskan
sloka tentang beberapa jenis Yajna yang
disebut Panca Yajna, berbunyi:
“Adhyapanam brahma yajnah pitr Yajniastu
tarpanam homo daivo balibhaurto
nryajno ‘tithi pujanam”.
Artinya :
“Mengajar dan belajar adalah yajna bagi brahmana, menghaturkan Tarpana dan air suci adalah yajna untuk leluhur, menghaturkan minyak dan susu adalah Yajna untuk para dewa, mempersembahkan Bali adalah Yajna untuk Bhuta dan penerimaan tamu dengan ramah
adalah Yajna untuk manusia”.
Dari beberapa kutipan sloka di atas,
maka dengan jelas kita dapat menyimak makna atau pengertian Dewa Yajna dalam sloka Manawa Dharmasastra tersebut di atas,
ditegaskan bahwa Upacara Dewa Yajna
adalah suatu upacara persembahan yang ditujukan kepada para Dewa sebagai
manifestasi dari Ida Shang Hyang Widhi
Wasa. Persembahan yang dimaksud
adalah persembahan yang disuguhkan dengan penuh keikhlasan atau ketulusan hati.
Selanjutnya pula bahwa Shang Hyang Widhi dapat menciptakan alam
semesta ini didasarkan atas Yajna,
kata Yajna berasal dari kata Yaj (Bahasa Sansekerta) yang artinya
berkorban. Jadi kata Yajna berarti
pengorbanan yang dilandasi keikhlasan hati atau ketulusan hati tanpa
mengharapkan adanya balasan. Kalau di simak bait sloka dalam kitab suci Bhagavad Gita III.10 (Netra, 1994: 46) menegaskan
sebagai berikut :
“Sahayajnah prajah srstva puro ‘vaca prajapatih
angina prasavisyadhvam esa ve’stv
istakamadhuk”.
Artinya :
Pada jaman dahulu kala Prajapatih / Tuhan Yang Maha Esa
menciptakan alam semesta atas dasar yajna
dan bersabda “dengan ini akan berkembang dan akan menjadi kamadhuk bagi keinginanmu”.
Kamadhuk
adalah sapi Dewa Indra yang dapat memberikan
/ memenuhi keinginan dan dalam hal ini yang dimaksud adalah bumi tempat manusia
hidup. Dari kutipan sloka di atas menjelaskan bahwa alam semesta diciptakan
atas dasar Yajna dan untuk
kelangsungan hidup alam semesta dan manusia, maka manusia (Umat Hindu) wajib
memelihara dan melestarikan alam ini atas dasar Yajna pula. Begitu besar sekali manfaat serta pentingnya kita
melaksanakan Upacara Dewa Yajna
dengan hati yang tulus ikhlas
Upacara
Dewa Yadnya adalah pemujaan atau persembahan sebagai perwujudan bhakti kepada Hyang Widhi
(Tuhan Yang Maha Esa) dalam berbagai manifestasinya, yang diwujudkan dalam
bermacam-macam bentuk upakara. Bhakti ini bertujuan untuk mengucapkan
terima kasih kepada tuhan terhadap hambanya dan mohon kasihnya agar kita
mendapatkan berkah, rahmat, dan karunianya sehingga kita dapat hidup dengan
selamat.
Upacara
Dewa Yadnya dapat dilaksanakan di sanggah
atau pemerajan, di pura atau kahyangan-kahyangan
dan di tempat-tempat suci yang setingkat dengan itu, sehubungan dengan Upacara Dewa Yadnya ini, sloka Bhagavad Gita IV.24 (Netra, 1994: 50)
menyatakan :
“Brahma rpanam brahma havir Brahmagnau
brhamana hutam
Brahmai’va tene gantavyam Brama karma
samadhina”.
Artinya:
“Dipujanya Brahman, persembahan itu adalah Brahman
oleh Brahman kedalam api Brahman.dengan memusatkan meditasinya kepada Brahman dalam kerja ia mencapai Brahman”.
Ada beberapa permasalahan bagi Umat Hindu pada
umumnya kurang memiliki pengetahuan filsafat serta pengetahuan mengenai makna Upakara dan Upacara. Lebih-lebih lagi Umat Hindu yang tidak mendapatkan Pendidikan
Formal maupun Informal, walaupun mereka bisa membuat upakara dan melaksanakan Upacara
Yajna, namun belum memahami dan kurang mengerti apa fungsi dan makna dari Upacara Yajna tersebut.
Umat Hindu dalam kegiatan Upacara Dewa Yajna dalam upacara
penyucian menggunakan Banten
Prayascitta, karena Banten
Prayascitta merupakan bagian dari Banten
penyucian.
Masyarakat Hindu di Lombok khususnya di
Karang Tangkeban Kelurahan Cakra Selatan sebagian besar belum memahami bagaimana
penggunaan Banten Prayascitta dalam Upacara Dewa Yajna (Ditinjau Dari Bentuk,
Fungsi, dan Makna). Sehubungan dengan hal tersebut, maka peneliti ingin
mengetahui secara langsung melalui suatu penelitian dengan judul “Banten Prayascitta dalam Upacara Dewa Yadnya di Pura Penataran
Agung Padma Kencana Kelurahan Cakra Selatan Kota Mataram (Ditinjau Dari Bentuk,
Fungsi, dan Makna)”.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana bentuk Banten Prayascitta yang dipergunakan dalam Upacara Dewa Yadnya di
Pura Penataran Agung ?
2. Apa fungsi Banten Prayascita yang dipergunakan
dalam Upacara Dewa Yadnya di
Pura Penataran Agung ?
3. Makna apa
yang terkandung di dalam Banten Prayascita
yang dipergunakan dalam Upacara Dewa
Yadnya di
Pura Penataran Agung ?
C.
Tujuan
Penelitian
C.1. Tujuan Umum
Adapun yang menjadi tujuan umum penelitian
ini adalah secara Umum, penelitian ini bertujuan sebagai salah satu persyaratan untuk
menyelesaikan Jenjang Starata Satu (S1), secara Umum Penelitian
ini juga bertujuan sebagai pelaksanaan Tri
Dharma Perguruan Tinggi yaitu Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian
Masyarakat. Selain itu penelitian ini bertujuan untuk dapat memberikan sumbangan pemikiran
serta memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan tentang tattwa, etika dan ritual dalam Upacara dan Upakara Dewa
Yadnya, sehingga dapat dijadikan pedoman dan landasan dalam mewujudkan
kehidupan yang harmonis baik lahir maupun bathin.
C.2. Tujuan Khusus
Adapun yang menjadi tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan
Bentuk, Fungsi, dan Makna Banten
Prayascita Dalam Upacara Dewa Yadnya.
D.
Manfaat
Penelitian
Manfaat penelitian adalah nilai guna
dari kegiatan penelitian. Setiap penulisan karya ilmiah atau
penelitian sudah tentu memiliki manfaat atau guna yang ingin dicapai berupa hasil
yang dapat di manfaatkan untuk kepentingan saat ini maupun yang akan datang. Melalui pelaksanaan penelitian ini
diharapkan hasilnya dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun praktis. Adapun manfaat
dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
D.1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberi manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan menambah referensi
mengenai Upacara Dewa Yadnya khususnya
Banten Prayascita yang berdasarkan tattwa, etika dan ritual yang dirangkum dalam ajaran Tri Kerangka Dasar Agama Hindu.
D.2. Manfaat Praktis
Penelitian ini
diharapkan dapat memberikan manfaat praktis sebagai berikut :
a. Mendapatkan
pengetahuan tentang Upacara Dewa Yadnya khususnya Banten Prayascita.
b.
Hasil
penelitian ini dapat dijadikan sumbangan pengetahuan bagi yang ingin
lebih mendalami tentang
Upakara Banten Prayascita.
c.
Bagi masyarakat, dapat
digunakan sebagai bahan acuan dan pertimbangan untuk mengetahui Bentuk, Fungsi, dan
Makna Banten Prayascita.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Penelitian
Relevan
Memuat hasil-hasil penelitian sebelumnya
yang relevan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti lain, dengan
maksud untuk menghindari duplikasi. Disamping itu untuk menghindari bahwa topik
yang akan diteliti belum pernah diteliti orang lain dalam konteks yang sama (http://hidayat.blog spot.com/kajian penelitian
relevan.html).
Wiana (2009), dalam bukunya “Suksmaning Banten” buku ini membahas
tentang makna banten serta arti dan
makna beberapa banten, salah satunya yaitu Banten
Prayascitta. Terkait dengan obyek penelitian ini yaitu Banten Prayascitta dalam Upacara
Dewa Yadnya tersebut, buku ini sangat cocok dan menunjang dalam pembuatan
penelitian ini. Karena buku ini memaparkan arti dan makna banten yakni Banten Prayascitta dan unsur-unsur yang
membentuknya.
Arwati (2005), dalam bukunya yang
berjudul “Perwujudan Upakara untuk
Upacara Agama Hindu”. Dalam buku ini membahas tentang sarana upakara dan jenis tetandingan upakara serta penggunaannya. Dalam hubungannya dengan
penelitian ini, ada membahas tentang jenis-jenis tetandingan Banten Prayascitta yang mana kesemua jenis tetandingannya berbeda. Sehingga buku
ini dapat dijadikan pedoman didalam membahas tentang Banten Prayascitta terutama tentang jenis tetandingannya sehingga dapat menambah wawasan kita.
Sudarsana (1998), dalam bukunya yang
berjudul “Filsafat Yadnya”. Buku ini
membahas hal-hal yang berhubungan dengan upakara
yakni bentuk, fungsi, makna dan tetandingan
upakara salah satunya adalah Banten Prayascitta. Sehingga buku ini
dapat dijadikan acuan di dalam pembuatan penelitian ini, karena menjelaskan
bentuk, fungsi, makna, serta tetandingan
upakara.
Wijayananda (2004), dalam bukunya yang
berjudul “Makna Filosofis Upacara dan Upakara”. Dalam buku ini membahas makna
yadnya, makna upacara dan upakara. Salah satu upakara yang dibahas yaitu Banten
Prayascitta, sehingga buku ini sangat cocok untuk dijadikan pedoman di
dalam penulisan skripsi ini karena membahas makna upakara/banten Prayasciita.
B.
Konsep
Konsep
adalah realisasi idea ke dalam pola yang teratur, menuju simpul-simpul makna. Simpul makna ini diwujudkan dalam kata, simbul atau adagium Tujuannya adalah untuk membuat tatanan
sistematik pola pikir dan mengekspresikan hubungan horizontal antar benda-benda
nyata/Sekala dan vertical antara
benda-benda nyata ke yang tak nyata/Niskala
(Keramas, 2008:34).
Narbuko dan Achmadi, (2013:140). Konsep adalah merupakan unsur pokok
penelitian. Penentuan dan perincian konsep ini dianggap sangat penting agar
persoalan-persoalan utamanya tidak menjadi kabur. Konsep yang terpilih perlu
ditegaskan agar tidak terjadi salah pengertian mengenai arti konsep tersebut.
Tetapi perlu diperhatikan karena konsep merupakan hal yang abstrak maka perlu
diterjemahkan dalam kata-kata sedemikian rupa sehingga dapat diukur secara
empiris.
Titib, (2001: 134) Banten atau persembahan suci
memiliki arti persembahan yang di buat
dengan sarana tertentu antara lain
berupa: bunga, buah buahan, daun tertentu seperti sirih dan makanan seperti
nasi dengan lauk pauk, jajan dan sebagainya, disamping sarana yang sangat
penting lainnya adalah air dan api.
Jayawijayananda, (2004:10) Banten atau Upakara memiliki makna pengejawantahan
dari penyatuan Bayu, Sabda, Idep atau
menyatukan pikiran, perkataan dan perbuatan untuk tujuan-tujuan yang lebih
mulia serta untuk mensejahterakan alam semesta dan segala aspek kehidupannya.
Sudarsana (1998: 18) lebih lanjut
menjelaskan tentang pengertian Banten yaitu
bahwa Banten sesungguhnya berasal
dari kata “Bangten” dan terdiri dari
dua suku kata yaitu “Bang” dan “Enten” (bahasa Bali). Suku kata Bang bisa
diartikan Brahma, dan brahma menjadi Brahman (Sang Hyang Widhi). Sedangkan Enten bisa diartikan “ingat”
atau dibuat sadar (Cetana). Jadi kata
banten mengandung pengertian, bahwa Umat
Hindu membuat banten untuk mendidik dirinya supaya selalu ingat dengan
keberadaan Sang Hyang Widhi karena
beliau adalah pencipta segala isi dunia ini.
Merujuk lontar Yajna Prakerti dalam Wiana (2009: 34) disebutkan Sehananing “bebanten” pinaka raganta twi, pinaka
warna rupaning Ida Bhatara, pinaka
anda bhuana. Artinya semua bebanten
adalah lambang dirimu sendiri, lambang kemahakuasaan Tuhan dan lambang Bhuana isi alam semesta. Berdasarkan
uraian lontar Yadnya Prakerti ini Banten memiliki tiga makna. Banten bermakna sebagai simbol manusia
baik lahir maupun batin, bermakna untuk melambangkan berbagai wujud
Kemahakuasaan Tuhan dan Banten juga
melambangkan keberadaan isi alam semesta ini berupa planet-planet isi ruang
angkasa. Planet isi ruang angkasa ini dalam lontar Wrehaspati Tattwa disebut Andha
yang artinya telor. Planet tersebut bentuknya bulat seperti telur sehingga
disebut Anda Bhuwana. Melalui
penggambaran arti banten seperti yang
diuraikan dalam lontar Yadnya Prakerti
itu, telah tergambar pula bahwa Banten
itu juga, sebagai sarana untuk mewujudkan nilai dan makna suatu yadnya sebagai landasan bagi manusia
untuk percaya dan Bhakti pada Tuhan,
yang bertujuan untuk mengabdi dengan sesama manusia dan untuk mewujudkan
kesejahteraan alam semesta.
Jadi dari uraian diatas yang menjelaskan
tentang arti/makna banten dapat
peneliti simpulkan bahwa banten
adalah suatu sarana konsentrasi dimana keterbatasan kita sebagai manusia maka
untuk mendekatkan diri dengan Tuhan dengan segala manifestasinya kita wujudkan
dengan sarana banten/upakara.
Banten
prayascita termasuk banten yang memiliki mutu kedewataan (Daiwi Sampad), oleh karena itu Banten prayascita berfungsi sebagai
pebersihan dan merupakan simbul yang mengandung nilai religius
sebagai kekuatan siwa guru. Kata Prayascita
berasal dari suku kata pra- yas dan citta yang mengandung arti penyucian segala
kesedihan (Sudarsana,1998: 46-84).
Wiana (2009: 55-56) Prayascitta berasal dari kata Prayas
dan Citta. Prayas dalam bahasa sansekerta
artinya bahagia atau gembira, sedangkan kata Citta artinya alam pikiran (Pikiran yang suci dan netral disebut citta). Dalam tradisi Hindu di Bali salah satu Banten yang dipakai dalam Upacara
Yadnya untuk mengembalikan alam pikiran yang kotor itu adalah Banten Prayascitta.
Banten
Prayascitta sebagai lambang penyucian
rohaniah. Banten Prayascitta selalu menyertai Banten
Byakala atau Banten Durmangala. Banten Prayascitta ini biasanya dipergunakan setelah Banten Byakala atau Banten
Durmengala dihaturkan. Ini berarti
penyucian sekala (lahiriah) terlebih
dahulu barulah penyucian niskala (rohaniah).
Banten Prayascitta disamping selalu menyertai Banten Byakala dan Banten Durmangala juga digunakan dalam
berbagai peristiwa. Banten Prayascitta dipergunakan saat selesai
mendirikan/memperbaiki bangunan rumah. Banten
Prayascitta juga dipergunakan saat
selesai Cunttaka. Misalnya (42 hari setelah melahirkan), setelah
upacara kematian, Banten Prayascitta
juga selalu melengkapi Banten Eteh-eteh
Panglukatan di depan Pandita Memuja. Pandita sebelum menghaturkan Upakara
Yadnya selalu didahului dengan menyucikan (Ngelukat) Upakara yang
akan dihantarkan oleh Pandita dalam Upacara Yadnya tersebut. Salah satu dari
proses panglukatan sarana Upakara Yadnya
yang akan dihantarkan oleh Pandita
itu menggunakan Banten Prayascitta.
Dalam kamus Jawa Kuna Indonesia (2004 :
859) Prayascitta (dalam bahasa
sansekerta berarti taubat, penebusan dosa, ganti rugi) penebusan dosa, korban
penebusan, upacara penyucian (menghapus dosa
atau akibat kutukan).
Dari pendapat yang disampaikan diatas
mengenai prayascitta maka peneliti
menyimpulkan Prayascitta adalah
banten pembersihan atau pengelukatan segala kekotoran baik Bhuana Agung maupun Bhuana Alit.
Bentuk Banten Prayascitta yaitu sebagai alasnya adalah sebuah kulit sesayut dan kadang-kadang berbentuk
tamas kemudian diatasnya
berturut-turut diisi kulit peras dari
janur (busung) yang bentuknya bulat,
daun tabia bun (mungkin dapat diganti
dengan daun tabia atau lombok biasa), 8 lembar yang dijait menjadi satu serta
bentuknya bundar (seperti padma), lalu
diatasnya diisi nasi yang bentuknya juga bundar. Di atas nasi diisi lauk-pauk
serta 5 iris telur dadar, yang diletakkan sedemikian rupa sehingga menunjukkan
kelima arah mata angin. Di beberapa tempat ada kalanya dilengkapi dengan 8 biji
bawang putih (kesuna) yang dialasi
dengan kukun kambing (sejenis
anyam-anyaman dari busung). Kemudian banten
ini dilengkapi pula dengan buah-buahan, jajan, sampian naga sari, canang
genten/burat wangi, penyeneng,
pasucian/pengeresikan, bhuu, padma, lis senjata (lis yang melukiskan 5/9/11 jenis senjata nawa
dewata seperti bajra, gada, danda, cakra, angkus, dan sebagainya),
kelapa gading yang masih muda (kelungah)
di kasturi (di buka dengan bukaan
yang berbentuk segitiga) dan sebuah banten
perang kecil (tumpengnya kecil).
Fungsi atau kegunaan Banten
Prayascitta adalah dapat dipergunakan sebagai pembersihan terhadap bangunan
yang baru selesai/diperbaiki, sehabis kecuntakaan
(kesebelan) seperti sehabis melahirkan (setelah berumur 42 hari), setelah
kematian, sebagai salah satu perlengkapan yang ditaruh di depan Pandita Mepuja (berfungsi sebagai eteh-eteh pengelukatan) Tim Penyusun, (1996 : 20).
Makna yang terkandung dalam Banten Prayascitta adalah sebagai lambang
penyucian rohaniah. Karena itu Banten
Prayascitta ini selalu menyertai Banten
Byakala atau Banten Durmanggala. Banten Prayascitta ini biasanya
dipergunakan setelah Banten Byakala
atau Banten Durmanggala dihaturkan.
Ini berarti penyucian sekala/lahiriah
terlebih dahulu barulah penyucian niskala/
rohaniah (Wiana, 2009 : 56)
Tata pelaksanaan suatu Yadnya disebut Upacara. Kata upacara
dalam bahasa sansekerta berarti
mendekati. Dalam kegiatan upacara agama diharapkan terjadinya suatu upaya untuk
mendekatkan diri kepada Hyang Widhi Wasa,
kepada sesama manusia, kepada alam lingkungan, Pitara maupun Rsi.
Pendekatan itu diwujudkan dengan berbagai bentuk persembahan maupun tata
pelaksanaan sebagaimana yang telah diatur dalam ajaran Agama Hindu. Upacara
memberikan identitas tersendiri bagi agama-agama tertentu yang membedakan
dengan agama yang lainnya. Masing-masing agama memiliki aturan dalam tata
pelaksanaan upacaranya (Ngurah dkk, 2005: 147-148).
Kata upacara
berasal dari dua suku kata, yaitu; Upa
dan Cara. “Upa” artinya dekat
atau mendekat. Dan “Car” yang
memiliki arti harmonis, seimbang, selaras. Upacara
Yadnya memiliki arti atau makna. Dengan keseimbangan,
keharmonisan dan keselarasan dalam diri, kita mendekatkan diri dengan Tuhan
Yang Maha Esa. Sebelum kita ingin mendekatkan diri kepadanya, hendaknya
terlebih dahulu kita dapat menciptakan keseimbangan dan keselarasan serta
keharmonisan dalam diri kita, agar dapat terwujudnya keharmonisan dengan Tuhan
Yang Maha Esa (Wijayananda, 2004: 49)
Jadi dari uraian arti atau makna
upacara, dapat peneliti simpulkan bahwa upacara adalah pelaksanaan dari suatu acara.
Tim Penyusun, (1996: 96) Dewa Yadnya adalah suatu korban suci
yang dilakukan oleh Umat Hindu dan
ditujukan kehadapan Ida Shang Hyang Widhi
Wasa dan Para Dewa- dewa.
Netra (1994: 50) Dewa Yadnya diartikan sebagai pemujaan atau persembahan sebagai perwujudan bakti kepada Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa) dalam
berbagai manifestasinya, yang diwujudkan dalam bermacam-macam bentuk Upakara.
Dari pendapat diatas tentang arti Dewa Yadnya dapat peneliti simpulkan, Dewa Yadnya yaitu korban suci yang di
persembahkan dengan hati yang tulus dan iklas kehadapan Ida Shang Hyang Widhi beserta segala manifestasinya.
Pura
adalah tempat suci untuk memuja Hyang
Widhi Wasa dalam segala Prabhawanya
dan Atma Sidha Devata (roh suci
leluhur) (Ngurah dkk, 2005: 177).
Pura
berasal dari kata “Pur” yang artinya
kota , benteng, atau kota yang berbenteng. Pura
berarti suatu tempat yang khusus dipakai untuk dunia kesucian dengan
dikelilingi oleh tembok (Netra, 1994 : 83).
Dari penjelasan yang disampaikan diatas
tentang pengertian pura maka dapat
peneliti simpulkan bahwa pura adalah suatu
tempat yang telah disucikan yang mana di pura
ini didirikan beberapa bangunan suci atau pelinggih untuk melakukan sembah bhakti kepada para Dewa maupun Tuhan.
Penataran
adalah Pura Padharman (Kawitan) yakni
klen (Kelompok) besar merupakan kelompok kerabat yang lebih luas dari klen
kecil (dadya) dan terdiri dari
beberapa kelompok kerabat Dadya. Anggota
kelompok kerabat tersebut mempunyai ikatan tempat pemujaan yang disebut Pura Paibon atau Pura Panti. Oleh karena
itu Penataran digolongkan ke dalam pura
Kawitan yaitu Pura yang penyungsungnya ditentukan oleh ikatan “Wit” atau leluhur berdasarkan garis keturunan
(Titib, 2001 : 99-100).
Dari uraian diatas dapat disimpulkan, penataran adalah pura yang masuk kedalam kelompok pura pedharman yang mana pengamong
atau anggotanya berasal dari leluhur yang sama.
C.
Landasan
Teori
Teori adalah upaya memahami fenomena
alam dengan memakai konsep yang konsisten (Keramas, 2008: 49). Konsep yang
konsisten diterjemahkan dengan konsisten dan terbukti kebenarannya melalui
testing dan retesting. Teori dipakai untuk menjelaskan fenomena alam agar mudah
dimengerti. Teori lebih sesuai untuk menjelaskan fenomena fisik karena
kekonsistenannya dalam memprediksi hasil di masa depan.Teori yang digunakan
dalam penelitian ini adalah Teori Bentuk, Teori Fungsional Struktural,Teori Semiotik
Semantik , dijelaskan sebagai berikut :
C.1. Teori Bentuk
Padma (2009 : 9) Bentuk adalah benda
yang mengandung pengertian sebuah bangun yang dapat memberikan gambaran,
tatanan, wujud atau rupa dari sesuatu. Sedangkan menurut Poerwadarminata,
(dalam Sindu 2008 : 8) menyatakan bahwa bentuk diartikan wujud dan rupa (ragam)
; wujud (yang dilihat). Bila dikaitkan dengan penelitian ini maka bentuk yang
dimaksudkan adalah bentuk Banten
Prayascitta dalam Upacara Dewa Yadnya.
C.2.
Teori Fungsionalisme
Kata fungsionalisme
merupakan kata dengan akhiran –isme.
Dalam bahasa Indonesia, kata ini berarti sebuah paham. Paham adalah salah satu
bentuk aliran atau cara berpikir. Sejauh ini, kata fungsi dimaknai sebagai kegunaan suatu hal. Setiap benda, hal,
kejadian, atau peristiwa mestinya memiliki sebuah fungsi. Apa bila tidak
dilihat dari segi fungsinya, dapat pula dilihat dari segi kegunaan.
Fungsional menekankan pada
fungsi-fungsi. Ini dapat diterapkan mulai dari hal-hal sederhana sampai
kompleks. Tidak dapat dipungkiri, bahwa dalam sebuah jabatan suatu instansi
merupakan implementasi dari sebuah fungsi kerja.
Fungsionalisme adalah sebuah studi
tentang operasi mental, mempelajari fungsi-fungsi kesadaran dalam menjembatani
antara kebutuhan manusia dan lingkungannya. Fungsionalisme menekankan pada
totalitas dalam hubungan pikiran dan perilaku. Dengan demikian, hubungan antar
manusia dengan lingkungannya merupakan bentuk manifestasi dari pikiran dan
perilaku. Dalam fungsionalisme ada kaidah yang bersifat mendasar bagi suatu antropologi
yang berorientasi pada teori, yakni diktum metodologis bahwa kita harus
mengeksplorasi sistem sistemik budaya. Artinya, kita harus mengetahui bagaimana
perkaitan antara institusi-institusi atau struktur-struktur suatu masyarakat
sehingga membentuk suatu sistem yang bulat. Kemungkinan lain ialah memandang
budaya sebagai sehimpun ciri yang berdiri sendiri, khas dan tanpa kaitan, yang
muncul disana-sini karena kebetulan historis dalam tafsir fungsionalis,
fungsionalisme adalah metodologi untuk mengeksplorasi saling ketergantungan. Di
samping itu para fungsionalis juga menyatakan bahwa fungsionalisme merupakan
teori tentang proses kultural.
Fungsionalisme sebagai perspektif teoretik dalam antropologi bertumpu pada
analogi dengan organisme. Artinya, ia membawa kita memikirkan sistem
sosial-budaya sebagai semacam organisme, yang bagian-bagiannya tidak hanya
saling berhubungan melainkan juga memberikan andil bagi pemeliharaan,
stabilitas, dan kelestarian hidup organisme itu. dengan demikian dasar semua
penjelasan fungsional ialah asumsi (terbuka atau tersirat) bahwa semua sistem
budaya memiliki syarat-syarat fungsional tertentu untuk memungkinkan
eksistensinya. Jadi, sistem budaya memiliki kebutuhan yang semuanya harus
dipenuhi agar sistem itu dapat hidup.
Aliran fungsionalisme menganggap bahwa
untuk melakukan sebuah tindakan atau lakuan diperlukan sebuah prosedur
berpikir, cukup kompleks, dan jangka panjang. Terhadap apa-apa yang akan
dilakukan tersebut, sudah memiliki kerangka berpikir. Aliran ini sangat melihat
adanya faktor internal dan eksternal atas diri orangnya. Pendapat-pandapat
tersebut sudah sejalan dengan pendapat para tokoh.
Orang yang berada di daerah pesisir
secara struktur (sebuah pemikiran jangka pendek) menciptakan sebuah pola pikir
untuk melakukan pekerjaan sebagai nelayan. Namun aliran fungsionalisme tidak
sejalan dengan pola pikir tersebut. Aliran ini juga tidak meninggalkan
faktor-faktor seperti kondisi tubuh, cuaca, kepunyaan dan hasil, dan kemampuan,
sedemikian rupa sehingga orang pesisir memiliki pola berpikir yang menghasilkan
pemahaman untuk tidak harus menjadi nelayan. Secara mudah bisa menjadi nelayan
hanya jika dalam situasi dan kondisi yang tepat. Orang yang memiliki pandangan
seperti ini, sangat mengerti kapan harus menjadi nelayan, dan kapan harus
menjadi – peternak misalnya.
Dalam perkembangannya sekarang ini,
berdasarkan alur berpikirnya, manusia dibagi atas empat aliran besar. Pertama,
aliran behaviorisme yang menggunakan pola pikir berperasaan. Insting menjadi
faktor penentu dalam hal ini. Apa bila sebuah kebudayaan yang hanya mengandal
insting seseorang, akan diklasifikasikan dalam kelompok ini.
Kedua, strukturalisme merupakan paham
dengan pola berpikir jangka pendek. Tidak mengenal peninjauan atas
faktor-faktor lain pun memiliki pengaruh sangat tinggi. Penekanan dalam hal ini
adalah secara struktur saja. Aliran ini pun dapat disebut aliran profesional,
sesuatu itu berjalan sesuai dengan perannya.
Ketiga, fungsionalisme yang
menggunakan pola pikir peninjauan terhadap fungsi. Keempat,
fungsionalisme-struktural yang merupakan perpaduan antara kelebihan ditingkat
struktur dan tingkat fungsional. Aliran keempat ini mencoba mengurangi
kelemahan-kelemahan yang ada pada tingkat sebelumnya. Yang melatar belakangi
lahirnya fungsionalisme adalah karena masih didapatkannya kelemahan-kelemahan
pada paradigma-paradigma sebelumnya (evolusi, difusi, dan sejarah kebudayaan),
meskipun sudah menggunakan metode dengan baik, dan bahkan mereka selalu
memperbaiki metode analisis dalam penelitiannya. Akan tetapi kesan yang muncul
dari hasil atau kesimpulan dari penelitian mereka seakan spekulatif.
Kelemahan-kelemahan muncul antara lain disebabkan karena, studi-studi yang
mereka lakukan tidak membandingkan kebudayaan-kebudayaan yang saling
berdekatan, akan tetapi lebih kepada data yang telah tersedia dalam budaya itu
sendiri, dan tidak dilakukannya penelitian lapangan untuk memperoleh data
tersebut.
Dalam salah satu bentuknya,
fungsionalisme adalah penekanan dominan dalam studi antropologi khususnya
penelitian etnografis, selama beberapa dasawarsa silam. Artinya, menonjolnya
fungsionalisme dan kerja lapangan dalam antropologi secara bersamaan ini
bukanlah suatu hal yang kebetulan. Fungsionalisme, menurut para
ilmuwan-ilmuwannya adalah sebuah paradigma kebudayaan yang meliputi, metodologi untuk mengeksplorasi saling
ketergantungan, dan fungsionalisme
merupakan teori tentang proses kultural. Selain berminat melacak
cara saling pertautan yang sangat bermacam ragam dan sering kali mengejutkan
antara unsur-unsur suatu budaya, banyak fungsionalis berpandangan dan mengklaim
bahwa mereka telah menciptakan sosok teori yang menjelaskan mengapa unsur-unsur
itu berhubungan secara tertentu, dan mengapa terjadi pola budaya tertentu atau
setidak-tidaknya mengapa pola itu bertahan. Fungsionalisme sebagai perspektif teoretik
dalam antropologi bertumpu pada (analogi
dengan organisme), artinya ia membawa kita memikirkan sistem
sosial-budaya sebagai semacam organisme, yang bagian-bagiannya tidak hanya
saling berhubungan melainkan juga memberikan andil bagi pemeliharaan,
stabilitas, dan kelestarian hidup “organisme” itu. Dengan demikian dasar semua
penjelasan fungsional adalah asumsi (terbuka maupun tersirat) bahwa semua sisem
budaya memiliki syarat fungsional tertentu untuk memungkinkan eksistensinya yang
semuanya harus dipenuhi agar sistem itu dapat bertahan hidup, dapatlah diduga
bahwa jika kebutuhan sistem fungsional itu tidak dipenuhi maka sistem itu akan
mengalami disintegrasi dan “mati”. Atau ia akan berubah menjadi sistem lain
yang berbeda jenis. Maka dalam hal ini institusi, kegiatan budaya, dan kompleks
kultural lainnya, dipahami atau dijelaskan bukan hanya sebagai spesifikasi
hubungan dengan suatu sistem yang lebih besar dan mengimplikasikan hal-hal
tersebut. Hendak ditunjukkan pula bahwa hubungan tadi ikut berperan memelihara
sistem besar itu atau sebagian tertentu darinya.
Dari uraian diatas menimbulkan asumsi
bahwa kesempurnaan paradigma fungsionalis masih harus dibumbui dengan beberapa
aspek yang tanpanya bisa jadi wujud fungsionalis adalah sebuah paradigma yang
stagnan atau bahkan bisa dikatakan mati. Artinya paradigma ini masih mempunyai
kelemahan, meskipun secara eksplisit teorinya sudah mampu menyimpulkan keadaan
sebuah kebudayaan (http://maychan9.blogspot.com/2013/10/may-anjars-world-bagi-ilmu.html).
Teori fungsionalisme dalam kaitannya
dengan penelitian ini akan digunakan untuk menelaah masalah-masalah yang
mengacu pada fungsi, dalam hal ini Banten
Prayascitta Dalam Upacara Dewa Yadnya.
C.3. Teori Semiotik
Semantik (semiotic semantic)
Semiotik Sematik menguraikan tentang pengertian
suatu tanda sesuai dengan ‘arti’ yang disampaikan. Dalam arsitektur Semiotik Semantik
merupakan tinjauan tentang sistem tanda yang dapat sesuai dengan arti yang
disampaikan. Hasil karya arsitektur merupakan perwujudan makna yang ingin
disampaikan oleh perancangnya yang disampaikan melalui ekspresi wujudnya. Wujud
tersebut akan dimaknai kembali sebagai suatu hasil persepsi oleh pengamatnya.
Perwujudan makna suatu rancangan dapat dikatakan berhasil jika makna atau ‘arti’
yang ingin disampaikan oleh perancang melalui rancangannya dapat dipahami dan
diterima secara tepat oleh pengamatnya, jika ekspresi yang ingin disampaikan perancangnya
sama dengan persepsi pengamatnya (http://junaedi2008.blog
spot.com/2009/01/teori-semiotik.html).
D.
Kerangka
Penelitian
![]() |
Keterangan Bagan
:
Pelaksanaan upacara dalam kehidupan
sehari-hari Umat Hindu yang lebih menonjol tercermin dari pelaksanaan upacara
yang berupa Panca Yajna yaitu : Dewa Yajna, Rsi Yajna, Manusia Yajna, Pitra
Yajna dan Bhuta Yajna. Fokus penelitian yang peneliti lakukan adalah pada
upacara Dewa Yajna yaitu sarana
upacara yang digunakan berupa “Banten
Prayascitta”, dengan fokus kegiatan penelitian mengenai “Bentuk, Fungsi dan
Makna dari Banten Prayascitta”.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A.
Rancangan
Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis
penelitian kualitatif. Pengertian penelitian kualitatif dapat diartikan sebagai
penelitian yang berdasarkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau
lisan dari orang-orang atau prilaku yang diamati (Zuldafrial dan Lahir, 2012: 2).
Pendekatan penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini mengacu pada karakteristik pendekatan kualitatif
deskriptif karena data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar dan bukan
angka-angka. Selain itu semua yang dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci
terhadap apa yang diteliti. Tujuan digunakannya pendekatan ini adalah untuk
melakukan penggalian yang mendalam tentang Banten
Prayascitta dalam Upacara Dewa Yadnya agar diperoleh data yang lengkap dan mendetail
sesuai dengan batas penelitian untuk dapat mendeskripsikan secara mendalam guna
dapat menjawab permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini.
B.
Jenis
dan Sumber Data
Jenis data dalam penelitian ini adalah
data kualitatif dengan menyajikan data berupa keterangan yang disajikan dalam
bentuk kata-kata atau kalimat, informasi-informasi yang memberikan ciri
pendekatan kualitatif. Jenis data ada dua yaitu (Mustari, 2012: 38) :
B.1. Data Primer
Data primer adalah data yang dihasilkan
dari sumber primer. Sumber primer adalah istilah yang digunakan dalam sejumlah
disiplin ilmu untuk menggambarkan bahan sumber yang terdekat dengan orang,
informasi, periode, atau ide yang dipelajari.
B.2. Data Sekunder
Data Sekunder adalah data yang diambil
orang lain dalam penelitian yang lain, kemudian kita ambil untuk mendukung
penulisan penelitian kita.
C.
Teknik
Pengumpulan Data
Penelitian
yang bersifat kualitatif membutuhkan data-data yang akurat agar penelitian ini
di akui sebagai penelitian ilmiah dan bisa dibuktikan.
Adapun teknik pengumpulan data yang
paling tepat dalam penelitian ini adalah teknik observasi, wawancara, dan
dokumentasi.
C.1. Teknik Observasi
Narbuko dan Achmadi, (2013: 70) Observasi
(Pengamatan) adalah alat pengumpulan data yang dilakukan cara mengamati dan
mencatat secara sistematik gejala-gejala yang diselidiki.
C.2. Teknik Wawancara
Wawancara merupakan proses tanya jawab
dalam penelitian yang berlangsung secara lisan dalam dengan dua orang atau
lebih bertatap muka mendengarkan secara langsung informasi-informasi atau
keterangan-keterangan.
Dewasa ini teknik wawancara banyak dilakukan di Indonesia
sebab merupakan salah satu bagian yang terpenting dalam setiap survai. Tanpa
wawancara penelitian akan kehilangan informasi yang hanya dapat diperoleh
dengan bertanya langsung kepada responden. Seperti kita lihat atau dengan lewat
teknik wawancara, televisi atau radio merupakan teknik yang baik untuk menggali
informasi di samping sekaligus berfungsi memberi penerangan kepada masyarakat
(Narbuko dan Achmadi, 2013: 83). Dalam penelitian ini peneliti menggunakan
teknik wawancara terstruktur dimana
peneliti menyiapkan daftar pertanyaan yang diberikan kepada responden/informan
yang mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan Banten Prayascitta dalam Upacara
Dewa Yajna.
C.3. Teknik Dokumentasi
Dokumentasi dari asal katanya dokumen
yang artinya barang-barang tertulis. Didalam melaksanakan metode dokumentasi,
peneliti menyelidiki benda-benda tertulis seperti buku-buku, majalah,
peraturan-peraturan, notulen rapat, catatan harian dan sebagainya (Zuldafrial
dan Lahir, 2012: 80).
Teknik dokumentasi digunakan dalam
penelitian ini untuk melengkapi data-data yang diperoleh dari hasil observasi
dan wawancara, jika data yang diperoleh belum representatif untuk sebuah data
penelitian yang ilmiah. Metode dokumentasi dalam penelitian ini dapat berupa
foto/gambar.
D.
Teknik
Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Analisis Model Miles dan Hubermen dalam Mustari (2012:
75) yang terdiri dari :
1. Reduksi
data (data reduction) adalah proses
pengumpulan data penelitian dengan cara merekam data lapangan dalam bentuk
catatan-catatan lapangan yang harus ditafsirkan dan diseleksi agar
masing-masing data menjadi relevan dengan fokus masalah yang diteliti.
2. Tampilan
data (data display). Kegiatan menampilkan
data adalah mengorganisasi, meringkas, dan menyambungkan informasi.
3.
Kesimpulan atau Verifikasi adalah bagian penyimpulan data dimana data masih dapat diuji kembali dengan data di
lapangan atau berdiskusi agar kebenaran
ilmiah dapat tercapai.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
A.
Hasil
Penelitian
1. Bentuk,
Fungsi dan Makna Banten Prayascitta menurut
Umat Hindu di Kota Mataram
a. Bentuk Banten Prayascitta
“Banten Prayascitta
adalah Banten pebersihan dari
kekotoran dasa mala agar dapat melaksanakan Upacara
Dewa Yadnya. Sedangkan bentuk Banten
Prayascitta adalah bundar melambangkan bumi yang merupakan tempat kehidupan
mahluk hidup yang terikat dengan hukum rwa
bineda sehingga pelaksanaan upacara salah satu unsur dari rwa bineda harus disucikan. Bahan Banten Prayascitta adalah terbuat dari
daun kelapa yang serba kuning (gading). Unsur-unsur Banten Prayascitta terdiri dari aledan
bundar, sampean naga sari, jajan, buah-buahan, bhuu, tumpeng, lis ,kelungah nyuh gading,ajengan. Upacara yang
menggunakan Banten Prayascitta selain
Upacara Dewa yadnya adalah Upacara Rsi yadnya, Pitra yadnya, dan Manusia yadnya. Kedudukan Banten Prayascitta dalam Upacara Dewa Yadnya yaitu sebagai banten
arepan pendeta yang akan difungsikan sebagai pembersih sarana Upakara dan pelaksana Upacara. Sumber yang digunakan yakni
lebih banyak menggunakan buku-buku tentang Upakara
Yadnya dan buku tetandingan banten Upacara Dewa Yadnya”.
“Banten Prayascitta merupakan Banten Pebersihan. Bentuknya menggambarkan
bundar, karena perputaran bumi mengelilingi matahari atau bulan. Bahan Banten Prayascitta menggunakan daun
kelapa gading atau semua serba gading. Sedangkan unsur-unsur Banten Prayascitta adalah aledan bundar, kerik keramas, sampean naga
sari, kacang komak, ayam, tehenan,
bhuu, lis, nyuh gading,
buah-buahan, jajan, toya siram. Banten Prayascitta dapat digunakan pada Upacara Dewa Yadnya, Rsi Yadnya, Manusia
Yadnya. Kedudukan Banten Prayascitta
adalah disamping manggala puja”.
“Banten Prayascitta adalah Banten pembersihan dalam Upacara Yadnya. Bentuk Banten Prayascitta adalah bundar
melambangkan bhuwana atau windhu
melambangkan nol. Banten Prayascitta
terbuat dari daun kelapa nyuh gading. Adapun unsur-unsur tersebut adalah tulung 5, sampean naga sari, kwangen, tipat sedayu 5, nasi kepel 5, nasi bunder (diatas
nasi berisi bawang, jahe, usus ayam, ayam, nyuh
gading dikasturi, bhuu, buah-buahan, pisang, jajan. Banten Prayascitta digunakan pada semua
upacara, kecuali Bhuta yadnya. Kedudukan
Banten Prayascitta yaitu berada
disamping pendeta yang muput upacara”.
“Banten Prayascitta adalah
untuk Banten Pembersihan. Bentuknya bundar sebagai simbol alam semesta. Bahan
yang digunakan yaitu janur kelapa gading. Sedangkan unsur-unsur Banten Prayascitta adalah buah-buahan,
jajan, tulung 5, kwangen, tipat sedayu 5,
tipat sari 5, tumpeng kecil 5, sampean naga sari, kelungah nyuh gading, kerik
keramas, tehenan, bhuu, lis nawa sanga. Kedudukan Banten prayascitta yakni didepan dengan posisi ngayab kebagian atas adalah pembersihan tempat dan sarana sesudah Banten Duurmanggala. Banten Prayascitta dapat digunakan dalam Upacara Dewa Yadnya, Manusia Yadnya, Bhuta Yadnya. Tetandingan atau susunannya yaitu aledan bundar, diatasnya ditaruh raka-raka, jajan, dibelakang raka-raka
ditaruh ketipat sedayu, ketipat sari,
tumpeng, tulung urip, tulung agung,
tetongger mecelek ring duur tumpeng, trus diatasnya sampian naga sari, diatas sampian
tehenan, kerik keramas, lis nawa
sanga, disamping ditaruh kelungah
nyuh gading dan tirte pemeras citta.
Sumber sastranya adalah Empu Klutuk”.
“Banten Prayascitta adalah suatu sarana yang
untuk menenangkan, mengendalikan hal-hal yang dihubungkan dengan pergejolakan
buta yang membuat yadnya kita menjadi
kacau. Adapun bahan yang digunakan dalam membuat Banten Prayascitta adalah daun kelapa gading. Bentuknya yaitu
bundar melambangkan bumi. Sedangkan unsur-unsur Banten Prayascitta adalah aledan
bundar, tulung, tumpeng, sampean naga
sari, buah-buahan, tipat sedayu,
tipat sari, tehenan, kerik keramas, lis nawa sanga, bhuu. Banten Prayascitta dapat digunakan dalam
Upacara Dewa Yadnya, Manusia Yadnya.
Kedudukannya berada diseputaran sang manggala
puja. Banten yang melengkapi Banten Prayascitta yaitu Banten Pejati”.
“Banten Prayascitta adalah merupakan Banten penyucian atau pengelukatan. Bentuk Banten Prayascitta adalah berbentuk
bundar sebagai simbul dunia ini yang tidak berawal dan tidak berakhir. Bahan
yang digunakan dalam Banten Prayascitta
adalah daun kelapa nyuh gading.
Sedangkan unsur-unsurnya adalah aledan
bundar, ajengan bundar, tumpeng, tulung
agung, ketipat sedayu, kwangen, ajengan kepel, sampean naga sari, kerik
keramas, tehenan, bhuu, kacang, komak, saur, buah-buahan, jajan, kelungah nyuh gading. Banten Prayascitta dapat digunakan dalam
Upacara Manusia Yadnya, Bhuta Yadnya
(dalam upacara besar seperti Caru Rsi
Gana). Kedudukannya berada disamping manggala
upacara, yang merupakan banten
pengeresikan. Sumber sastranya adalah lontar purwakaning wewantenan kinucap pepangeran”.
“Banten Prayscitta merupakan Banten penyucian. Bentuk Banten Prayascitta yaitu bulat . Bahan
yang digunakan adalah daun kelapa yang serba gading atau berwarna kuning.
Unsur-unsur Banten Prayascitta ialah aledan bundar, ajengan kepel, ajengan bundar,
telur dadar, kacang, komak, saur, sampean
bundar, ketipat sedayu, ayam panggang, buah-buahan, jajan, pisang, bhuu, kerik keramas, kelungah nyuh gading.
Banten Prayascitta dapat digunakan pada Upacara
Manusia Yadnya. Kedudukannya berada di dekat pedande atau pemuput upacara”.
“Banten Prayascitta adalah
merupakan suatu Banten penyucian.
Bahan yang digunakan ialah daun kelapa gading yang berwarna kuning. Bentuk Banten Prayscitta adalah bundar. Unsur-unsur
Banten Prayascitta adalah aledan bundar, nasi berbentuk bundar,
daun dapdap, nasi kepel, ketipat sedayu,
kwangen, tumpeng, lis bebuu, kelapa muda gading dikasturi. Banten Prayascitta
dapat digunakan dalam Upacara Manusia
Yadnya. Kedudukannya berada disebelah kanan Pedanda mepuja. Sumber sastranya yaitu lontar Tapini, lontar Bhama Kertih.
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa bentuk Banten
Prayascitta adalah bundar, bahan yang digunakan yakni daun nyuh kelapa gading/semua serba kuning
atau gading. Unsur- unsurnya adalah aledan
bundar, ajengan bundar, ajengan kepel, kwangen, ketipat kukur/ketipat sedayu, kacang, komak, saur, ayam
panggang, tulung agung, jajan,
buah-buahan, sampian naga sari, kerik
keramas, lis/bhuu, kelungah nyuh
gading di kasturi.
Ini sesuai dengan teori
yang ada di dalam buku “Filsafat Yadnya”
tetapi yang membedakan adalah unsur- unsur pembentuk dari Banten Prayascitta
yang mana di dalam hasil wawancara yang peneliti lakukan unsur-unsur
pembentuknya tidak ada menggunakan pekir bunga duren, jajan uli merah putih,
tebu dan kekaputan tape.
b. Fungsi Banten Prayascitta
“Fungsi Banten Prayascitta
dalam Upacara Dewa Yadnya adalah
untuk pengelukatan dengan menggunakan bhuu
dan pensucian”.
“Fungsi Banten Prayascitta
dalam Upacara Dewa Yadnya adalah
untuk penyucian betare dan upakara dalam upacara”.
“Fungsi atau kegunaan dari Banten
Prayascitta dalam Upacara Dewa Yadnya
adalah sebagai pembersihan atau pelukatan
segala mala dan kekotoran yang datang
dari segala mahluk hidup”.
“Fungsi Banten Prayascitta
dalam Upacara Dewa Yadnya adalah
sebagai pembersihan yadnya”.
“Fungsi Banten Prayascitta dalam
Upacara Dewa Yadnya adalah untuk
ngelukat tempat maupun upakara yadnya”.
“Fungsi Banten Prayascitta
ialah sebagai pengelukatan”.
“Fungsi Banten Prayascitta
adalah untuk mensucikan sarana upakara
maupun areal tempat upacara yadnya
tersebut berlangsung”.
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa
fungsi Banten Prayascitta adalah
sebagai sarana penyucian/pengelukatan dalam
suatu upacara yadnya. Ini sesuai
dengan teori yang ada di dalam buku “Catur
Yadnya”. Akan tetapi ada yang berbeda dari hasil wawancara yang peneliti
lakukan tentang fungsi dari Banten
Prayascitta yang mana fungsi dari Banten
Prayascitta ini sebagian besar penggunaannya mengarah ke dalam upacara Dewa Yadnya saja. Sedangkan di dalam
buku “Catur Yadnya” ada disebutkan
bahwa Banten Prayascitta dapat
digunakan sehabis kecuntakaan (kesebelan) seperti sehabis melahirkan (setelah
berumur 42 hari) dan setelah kematian.
c. Makna Banten Prayascitta
“Makna yang terkandung dalam Banten Prayascitta yaitu mengembalikan
kesadaran umat manusia bahwa mereka berasal dari yang maha suci dan harus mewujudkan
kembali jati diri mereka sebagai atman
yang kekal”.
“Makna yang terkandung dalam Banten
Prayascitta adalah sebagai simbul penyucian alam semesta baik itu Bhuana Agung dan Bhuana Alit dan sebagai pengelukatan
dalam penyucian Upacara yadnya”.
“Makna yang terkandung dalam Banten
Prayascitta adalah banten pembersihan
atau penyucian, baik penyucian untuk pura,
pelinggih
maupun untuk bangunan-bangunan yang baru selesai dibuat”.
“Makna yang terkandung dalam Banten
Prayascitta adalah merupakan banten pembersihan
sekala niskala, tergantung dari upacara
yang dilaksanakan”.
“Makna yang terkandung dalam Banten
Prayascitta adalah agar keheningan dari yadnya
itu terpancar di dalam proses upakara
yadnya itu”.
“Makna yang terkandung dalam Banten
Prayascitta adalah merupakan banten pensucian alam semesta baik itu Bhuana Agung maupun Bhuana Alit”.
“Makna yang terkandung dalam Banten
Prayascitta adalah merupakan banten
pengelukatan agar tempat Upacara Yadnya menjadi suci
dan upakara atau banten menjadi suci
sebelum dihaturkan kepada para Dewa sebagai sinar sucinya Tuhan.
“Makna yang terkandung dalam Banten
Prayascitta adalah setiap sarana upakara
baik itu jenis bebantenannya maupun
tempat Upacara Yadnya tidak terlepas
dari segala kekotoran, karena kita tidak tau sejauh mana tingkat kesucian dari Banten dan tempat Upacara Yadnya tersebut. Oleh karenanya Banten/ Upakara dan areal tempat berlangsungnya
suatu upacara perlu kita sucikan”.
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa makna Banten
Prayascitta adalah sebagai lambang penyucian yang bersifat niskala (rohaniah). Ini sesuai dengan
teori yang ada di dalam buku “Suksmaning
Banten”. Tetapi ada yang berbeda dengan wawancara yang peneliti lakukan
yakni pada wawancara dengan informan/responden dilapangan makna Banten Prayascitta adalah merupakan Banten pengelukatan/pembersihan sekala
niskala sedangkan pada teori di dalam buku “Suksmaning Banten” makna Banten
Prayascitta sebagai penyucian bersifat niskala
saja.
B. Pembahasan Hasil Penelitian
B.1. Bentuk Banten Prayascitta
Berdasarkan observasi data yang
ditemukan di lapangan tentang bentuk Banten
Prayascitta menurut Umat Hindu maka bentuk Banten Prayascitta menyerupai atau menggambarkan
bundar atau cakra buana. Dari wujud Cakra
buana menggambarkan bahwa bumi atau dunia ini adalah bundar yang berputar
dan mengelilingi matahari dan bulan sehingga terjadi siang dan malam yang
sesuai dengan ajaran rwa bhineda.
Siang dan malam melambangkan dua hal yang berbeda, begitu pula kehidupan kita
sebagai manusia pikiran selalu di kuasai oleh asuri sampad dan daiwi sampad
yaitu pikiran keraksasaan dan pikiran kedewataan. Pikiran jangan sampai
diperbudak oleh sifat keraksasaan hendaknya di sucikan dengan suatu Upakara yaitu Banten Prayascitta.
Bahan yang digunakan dalam membuat Banten Prayascitta adalah daun kelapa
yang kuning atau gading. Janur yang berwarna kuning adalah simbul laksana
melambangkan Dewa Mahadewa. Membuat reringgitan pada bahan janur kelapa
gading yang digunakan pada Banten
Prayascitta menggambarkan kelanggengan hati menghaturkan bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Proses
penyusunan Banten Prayascitta yang
dilakukan sebagai cetusan hati yang penuh ketulusan, rasa kedamaian dan
keindahan bhakti suci yang tidak habis-habisnya.
Dari pengamatan yang ditemukan
dilapangan unsur-unsur Banten Prayascitta
terdiri dari aledan bundar, buah-buahan,
pisang, jajan, aledan peras, kacang,
komak, saur, tumpeng 2, ajengan bundar,
ayam panggang, garam beralaskan serojan
hiasan, tulung bebas, ketipat sedayu
5, kwangen 5, ajengan kepelan 5, kajer ayam, petangas atau sampean naga sari, sampean gunting, kerik keramas, tehenan, lis atau bhuu, air bersih (anyar), air suci yang khusus atau tirtha, kelungah nyuh gading. Jika keadaan memungkinkan, maka
perlengkapan-perlengkapan tersebut diusahakan dari daun kelapa gading semuanya,
terutama alat-alat untuk mencipratkan air.
Banten
Prayascitta tidak hanya digunakan untuk Upacara
Dewa yadnya tetapi juga digunakan saat selesai cuntaka. Misalnya habis melahirkan (42 hari setelah melahirkan),
sehabis upacara kematian. Kedudukan Banten
Prayascitta pada Upacara Dewa Yadnya
adalah diseputaran Pandita memuja yang
digunakan untuk menyucikan (ngelukat)
upakara.
B.2.
Fungsi Banten Prayascitta
Berdasarkan
hasil observasi data yang ditemukan di lapangan fungsi atau kegunaan Banten Prayascitta pada Upacara Dewa Yadnya adalah sebagai pembersihan atau ngelukat
Pura, Pelinggih dan Upakara dalam Upacara Yadnya tersebut.
B.3.
Makna Banten Prayascitta
Berdasarkan
hasil observasi data yang ditemukan di lapangan makna Banten Prayascitta dalam Upacara
Dewa Yadnya adalah Sebagai simbul yang mengandung nilai religius sebagai
kekuatan Siwa Guru.
Adapun
mantra Banten Prayascitta yang
digunakan dalam Upacara Dewa Yadnya
adalah :
“Om Prayascitta Kareyehi Sidhi Mandi Mantramku Angurip Amunah Sarwa Rogha, Bancane Ring Bebantenan. Om
Sidirastu Tad Astu Swaha”.
Artinya :
Dengan Banten Prayascitta ini semua pelaksanaan
upacara disucikan atau dibersihkan
semoga semua rogha atau penghalang
dan bencana dapat dimusnahkan.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan
Dari
hasil penelitian dan analisis tersebut di atas, dapat disimpulkan sebagai
berikut :
1. Bentuk
Banten Prayascitta
a. Bahan
yang digunakan membuat Banten Prayascitta
adalah dari daun kelapa gading yang serba kuning.
b. Bentuk
Banten Prayascitta menyerupai atau
menggambarkan bundar atau cakra buana.
c. Unsur-unsur
Banten Prayascitta terdiri dari aledan bundar, buah-buahan, pisang,
jajan, aledan peras, kacang, komak,
saur, tumpeng 2, ajengan bundar, ayam
panggang, garam beralaskan serojan hiasan,
tulung bebas, ketipat sedayu 5, kwangen 5,
ajengan kepelan 5, kajer ayam, petangas
atau sampean naga sari, sampean gunting,
kerik keramas, tehenan, lis atau bhuu,
air bersih (anyar), air suci yang
khusus atau tirtha, kelungah nyuh gading.
2. Fungsi Banten
Prayascitta adalah sebagai pembersihan atau ngelukat Pura, Pelinggih dan Upakara dalam Upacara Yadnya
tersebut.
3. Makna Banten
Prayascitta
a. Sebagai
Banten pensucian Bhuana Agung dan Bhuana Alit.
b. Sebagai
Banten Pensucian segala keletehan (sarwa mala).
B.
Saran
1. Demikian
pentingnya fungsi dan makna Banten
Prayascitta dalam Upacara Dewa Yadnya
sudah selayaknya Umat Hindu
melestarikan Budaya Hindu yang selama ini menjadi kebanggaan umat.
2. Lembaga
keagamaan seperti Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) hendaknya dapat
memberikan pelatihan bagi generasi muda agar mampu membuat Banten Prayascitta dan dapat membemberikan pemahaman tentang fungsi
dan makna Banten Prayascitta dalam Upacara Dewa Yadnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar