Jumat, 18 Oktober 2013

BABAD IDA PEDANDE SAKTI WAWU RAWUH



DWIJENDRA TATTWA
Om ksantawiya ta sang hulun, tan
kawrateng capa tulah, mangasta wa
Danghyang mangke, Danghyang
Dwijendra sinuhun, nganugraha tatwa
kwruh, tatwa gama Hindu Bali, weda
mantra tembang kidung, solah bawa
tatacara, lawan pancayajna kabeh,
Dewa yajneka maka di, gumawe
treptining kahyun, raharja
jiwatmaningong, mogha Danghyang
tulus asung, mangacraya risang hulun,
sidharekang don, swa nagara trpti
winong.

Artinya :
Ya Tuhan, ampunilah kami, semoga
tidak tertimpa kutuk dan kualat, karena
kami kini memuja Dang Hyang
Dwijendra yang merupakan guru suci,
yang menganu-gerahkan ajaran ilmu
pengetahuan suci, Ajaran Ketuhanan
Hindu Bali, Weda Mantra dan
nyanyian-nyanyian tingkah laku
peradaban hidup, dan lima yadnya,
seperti Dewa Yadnya, yang membuat
ketentraman batin, selamat sentosa, jiwa
kami, semoga roh suci Dang Hyang
tetap belas kasihan, membantu kami,
berhasillah cita-cita kami, negara kami
selamat sejahtera diselenggarakan.
 
Berikut sekilas cerita mengenai babad brahmana
Dalam babad brahmana ini diceritakan Dang Hyang Nirartha adik dari Dang Hyang Angsoka yang mana beliau dijuluki dengan beberapa nama, pada awalnya Beliau tinggal di asrama bersama ayahnya Hyang Asmaranatha di Wilwatikta. 
Setelah dewasa Beliau meninggalkan asrama itu menuju Daha. Begitu agama Islam mulai menyebar di Wilwatikta, sedikit demi sedikit kerajaan Majapahit yang pernah berkuasa di Nusantara mengalami kehancuran. 
Pembesar-pembesar kerajaan dengan pengikut setianya meninggalkan kerajaan, ada yang ke Pasuruan dan ada juga yang ke Brangbangan.
berikut sekilas perjalanan beliau yaitu :
(1) DAHA
Pada waktu Sang Nirartha masih usiaa muda/jejaka, beliau mengambil
istri di Daha, seorang putri dari Dang Hyang Panawaran yaitu golongan keturunan
Bregu di geria Mas Daha yang bernama Ida Istri Mas.
Setelah menikah, Sang Nirartha dilantik (didiksa) oleh Dang
Hyang Panawaran menjadi pendeta (Brahmana Janma) diberi gelar Dang
Hyang Nirartha. Dari pernikahan ini Dang Hyang Nirartha mendapat dua
orang putra-putri, yang sulung putri diberi nama Ida Ayu Swabhawa alias
Hyangning Salaga (yang berarti dewanya kuncup bunga melur) sebagai nama
sanjungan karena cantik jelita rupa dan perawakannya serta pula ahli tentang
ajaran batin. Adiknya seorang putra diberi nama Ida Kulwan (artinya kawuh
atau barat) dan diberi nama sanjungan Wiraga Sandhi yang berarti kuntum
bunga gambir, karena tampan dan gagah perawakannya.
(2) PASURUAN
Sementara itu kehidupan masyarakat di Jawa sangat kacau balau,
karena di sana-sini terjadi perkelahian-perkelahian dan pertempuranpertempuran,
penumpasan-penumpasan yang sangat mengerikan dan
menyedihkan di antara orang-orang Jawa yang telah masuk agama Islam
dengan orang-orang Jawa yang masih taat mempertahankan agama lamanya
(sesungguhnya agama lama yaitu agama warisan leluhurnya dengan agama
baru yaitu agama Islam sama saja hakikat tujuannya. Yang berbeda adalah
cara-caranya, bahasa yang dipergunakan dan upakara, upacaranya, serta tata
tertib pergaulan hidupnya). Akhirnya ‘kalah’ agama lama dengan Islam. Oleh
karena itu orang-orang Jawa yang masih taat dengan agama lamanya yaitu
agama yang diwariskan oleh leluhurnya, terutama orang-orang Majapahit,
banyak pindah antara lain ke Pasuruan, ke pegunungan Tengger, ke
Brambangan (Banyuwangi), dan ada yang menyeberang ke Bali. Ketika itulah
Dang Hyang Nirartha turut pindah dari Daha ke Pasuruan disertai oleh dua
orang putra-putrinya, sedang istrinya tidak disebutkan turut ke Pasuruan.
Setelah berselang beberapa tahun lamanya di Pasuruan, maka Dang
Hyang Nirartha mengambil istri pula, yaitu seorang wanita yang terhitung
saudara sepupu olehnya, putri dari Dang Hyang Panawasikan bernama Ida Istri
Pasuruan, dengan nama sanjungan disebut Diah sanggawati (seorang wanita
yang sangat menarik dalam pertemuan) karena cantiknya. Perkawinan ini
menghasilkan dua orang putra laki-laki, yaitu yang sulung diberi nama Ida
Wayahan Lor atau Manuaba. Manuaba (mulanya Manukabha) berarti burung
yang sangat indah karena tampan dan indah raut roman muka dan bentuk
raganya. Adiknya bernama Ida Wiyatan atau Ida Wetan berarti fajar
menyingsing.
(3) BRAMBANGAN (BANYUWANGI)
Kemudian Dang Hyang Dwijendra pindah pula dari Pasuruan ke
Brambangan (banyuwangi) disertai oleh empat orang putra-putrinya namun
istrinya tidak disebutkan turut. Tiada beberapa lama antaranya Dang Hyang
Nirartha mengambil istri di sana yaitu adik dari Sri Aji Juru-Raja Brambangan
bernama Sri Patni Kaniten yang sungguh-sungguh cantik molek rupanya
sehingga terkenal dengan sebutan ‘jempyaning ulangun’, yaitu sebagai obat
penawar jampi orang yang kena penyakit birahi asmara. Beliau itu turunan
raja-raja (dalem) dan turunan Brahmana, terhitung buyut dari Dang Hyang
Kresna Kepakisan di Majapahit, putri dari raja Brambangan kedua. Saudara
adik dari raja Brambangan ketiga yang menjadi raja ketika itu, tegasnya
bersaudara kumpi sepupu Dang Hyang Nirartha kepada Sri Patni Kaniten.
Perkawinan ini menghasilkan tiga orang anak, seorang putri dan dua
orang putra. Yang sulung seorang putri bernama Ida Rahi Istri rupanya cantik
dan pandai dalam ilmu kebatinan; yang kedua bernama Ida Putu Wetan atau
Telaga atau disebut juga Ida Ender (yang berarti ugal-ugalan) karena terkenal
pandainya, kesaktiannya, dan ahli ilmu gaib. Banyak tulisan buah tangannya.
Yang bungsu bernama Ida Nyoman Kaniten (yang berarti tenag dan disiplin
air).
(4) MPULAKI / DALEM MELANTING
setelah beberapa tahun lamanya Dang Hyang Nirartha bertempat
tinggal di Brambangan, maka terjadi suatu hal yang menyebabkan tidak baik
hubungan Dang Hyang Nirartha terhadap Raja Sri Aji Juru, karena raja
mengandung benci dan murka kepada Mpu Dang Hyang. Mpu Dang Hyang
didakwa oleh raja memasang guna-guna disebabkan oleh keringat Dang Hyang
Nirartha harum sebagai minyak mawar. Tiap-tiap orang turut berdekatan
dengan beliau turut harum tanpa memakai minyak wangi. Adik wanita Sri
Dalem Juru mengandung cinta birahi kepada Mpu Dang Hyang, sebab itu
Dang Hyang Nirartha berusaha pindah dari Brambangan, hendak menyeberang
ke Bali bersama tujuh orang putra-putrinya dan istrinya Sri Patni Kaniten.
Pada suatu hari menyeberanglah sang pendeta bersama anak istrinya
mengarungi laut selat Bali yang disebut Segara Rupek. Sang pendeta sendiri
waktu menyeberang mempergunakan sebuah labu pahit (waluh pait) bekas
kele kepunyaan orang desa Mejaya. Kaki-tangannya dipergunakan sebagai
dayung dan kemudi. Penyeberangan selamat tidak mendapat rintangan suatu
apa. Dang Hyang Nirartha seorang pendeta yang tajam perasaan intuisinya itu
mengerti bahwa penyeberangannya itu selamat atas bantuan sebuah waluh pait
dan kekuasaan Tuhan. Sebab itu beliau bersumpah dalam lautan tidak akan
mengganggu hidupnya waluh pahit seumur hidupnya sampai pada turunanturunannya.
Adapun anak-istrinya menyeberang menumpang jukung (perahu)
bocor yang disumbat dengan daun waluh pahit, juga kepunyaan orang desa
Mejaya.
Tiada berapa lama antaranya karena mendapat tiupan angin barat
yang baik, maka beliau tiba di pantai pulau Bali bagian barat. Sang Pendeta
telah sampai terlebih dahulu, menantikan anak-istrinya sambil menggembala
sapi. Di tempat itu lama-kelamaan dibangun sebuah Pura kecil lalu dinamai
Purancak. Atas petunjuk orang-orang gembala itu, sang pendeta bersama anakistrinya
berangkat berjalan ke arah timur memasuki hutan belukar. Di tengan
perjalanan, rombongan sang Pendeta agak ragu-ragu. Jalan kecil (lisikan;bali)
yang mana harus dituruti, karena banyak cabangnya. Tiba-tiba muncul seekor
kera di tengah jalan. Ia berjalan lebih dahulu sambil bersuara ‘grok-krok’
seraya melompat-lompat di atas dahan-dahan pohon sebagai menunjuk jalan.
San pendeta berkata kepada kera itu :
“Hai kera, semoga turun-turunanku kelak tidak boleh menyakiti
kera dengan dalih memelihara”, demikian pastu beliau terus berjalan ke arah
timur bersama anak-istrinya.
Tiba-tiba bertemu dengan naga yang besar terbuka mulutnya sangat
lebar dengan rupa dan bentuk yang dahsyat mengerikan. Putra-putri dan
istrinya terperanjat hebat, nyaris lari cepat-cepat, namun sang pendeta dengan
wajah yang tenang masuk ke dalam mulut naga itu. Setibanya beliau di dalam
perut naga itu, dijumpainya sebuah telaga yang berisi bunga tunjung (teratai)
tiga warna yaitu tunjung yang di pinggir timur berwarna putih, yang di pinggir
selatan merah, yang di pinggir utara hitam. Ketiga kuntum tunjung itu dipetik
oleh sang pendeta, yang merah dikenakan di telinga kanan, yang hitam di atas
telinga kiri, yang putih dipegang dengan tangannya, lalu keluar dari perut naga
itu seraya mengucapkan Weda Mantra “Hayu Werddhi”. Naga itu musnah
dengan tidak meninggalkan bekas. Rupa sang pendeta terlihat oleh istri dan
putra-putrinya berwarna merah dan hitam, kemudian berubah berwarna mas.
Melihat keadaan yang demikian, maka putra-putri dan istrinya diserang oleh
parasaan takut yang amat sangat, sehingga tidak dapat menahan dirinya, lalu
lari tunggang-langgang masuk ke dalam hutan tidak tentu tujuannya, masingmasing
membawa dirinya sendiri.
Dang Hyang Nirartha setibanya di luar tercengang terperanjat
karena anak-istrinya tidak ada lagi. Dengan perasaan yang sangat cemas sang
pendeta tergopoh-gopoh mencarinya ke dalam hutan belukar yang rapat dan
padat tumbuhannya, tambahan pula hari telah mulai menggelap. Untung tidak
jauh dari tempatnya semula didapati istrinya seorang diri duduk bersimpuh
terengah-engah dalam kepayahan, pucat-pasi, lesu-letih tidak dapat berjalan
lagi.
Wahai Ketut,” kata Dang Hyang Nirartha. “Kemana larinya anakanak
kita?”
Ampun sang Pendeta, hamba tidak tahu kemana larinya anak-anak
kita, karea mereka lari tak berketentuan dan berpencar masing-masing
dengan kehendaknya sendiri-sendiri. Hamba tidak dapat mengejar mereka
karena lesu kepayahan,” jawab istri beliau.
Sang pendeta merasa cemas dan ada pula getaran perasaan yang
tidak enak menyelinap dalam hatinya yang seakan-akan membisikkan ada
sesuatu bahaya yang sedang menimpa putrinya.
Setelah istrinya reda sedikit payahnya, lalu bangun bersama sang
pendeta berjalan perlahan-lahan mencari dan mengumpulkan putra-putrinya di
dalam hutan yang gelap diselimuti malam itu. Semalam-malam itu sang
pendeta terus berjalan bersama istrinya sambil memanggil-manggil nama
putra-putrinya itu. Karena suara panggilan itu maka lama-kelamaan dapat
dikumpulkan putra-putrinya seorang demi seorang dan akhirnya kurang lagi
seorang, yaitu putrinya yang tertua, Ida Ayu Swabhawa belum diketemukan.
Mpu Dang Hyang disertai anak dan istrinya terus mencari Ida Ayu Swabhawa
sambil memanggil-manggil namanya. Setelah lama dicari, ditemuinya telah
berbadan halus (astral). Tampat rupanya pucat lesu.
Apa sebabnya kau lari sampai sejauh ini, anakku?” ’tanya Dang
Hyang Nirartha.
Ampunilah Mpu Dang Hyang...,” jawab Ida Ayu Swabhawa.
Sebabnya hamba lari sejauh ini, karena diserang oleh rasa takut yang sangat
hebat tatkala melihat rupa ayahanda ketika baru keluar dari mulut naga,–
sebentar merah, sebentar hitam. Hamba lari dan terus dibuntuti dan dkejar
oleh rasa takut itu, sehingga lari hamba.....kian lama kian cepat
menghabiskan tenaga......sampai ke luar hutan, memasuki daerah desa,
lalu....,” baru sampai sekian katanya lalu Ida Ayu Swabhawa terdiam. Wajah
mukanya tampak sedih pedih kemudian berkata lagi, “Mpu Dang
Hyang,....hamba malu hidup sebagai manusia lagi...karena merasa cemar diri,
penuh dosa. Kasihanilah hamba, ajarilah sungguh-sungguh supaya hamba
bersih dari dosa, tidak dilihat orang. Bisa menjadi dewa di surga, tidak lagi
menjadi manusia....”
Dang Hyang Nirartha terharu hatinya mendengarkan, kasihan
kepada putrinya dan murka kepada orang-orang desa (Pegametan) itu. “janga
khawatir, anakku. Ayah akan sedia mengajarkanmu suatu ilmu rahasia, agar
anakku terlepas dari segala dosa dan dapat duduk sebagai dewa.”
Lalu Ida Ayu Swabhawa diajar suatu ilmu rahasia kaparamarthan
yang berkuasa melepaskan segala dosa. Setelah selesai ajarannya maka Ida
Ayu Swabhawa menggaib, suci dari dosa, menjadi dewi yang bernama Dewi
(Bhatari) Melanting, yang akan menjadi junjungan persembahan orang-orang
desa di sana. Adapun ketika sang pendeta mengajar ilmu rahasia kepada
putrinya, didengar pula oleh seekor cacing kalung, maka secara tiba-tiba
musnah dosa cacaing itu, lalu menjelma menjadi seorang manusia perempuan
yang memohon agar diperkenankan menghamba kepada Mpu Dang Hyang
dengan menyembah kakinya sang pendeta dan mengajukan permohonan
tersebut, sebagai pembalasan jasa beliau memusnahkan dosanya dan ia bisa
kembali menjadi manusia. Sang pendeta menerima permohonannya, lalu diberi
nama Ni Berit.
Ketika itu istri Dang Hyang Nirartha, Sri Patni Kaniten yang telah
diberi gelar Empu Istri Ketut, dalam keadaan payah berdatang sembanh
kepada sang pendeta.
Mpu Dang Hyang, hamba tidak kuasa berjalan lagi. Rasanya ajar
hamba akan datang. Izinkanlah hamba turut sampai di sini dan ajarilah juga
hamba ilmu yang diberikan kepada putri Ida Ayu Swabhawa, agar hamba
terlepas dari dosa dan papa kembali menjadi dewa.”
Dang Hyand Dwijendra menjawab, “Baiklah, adikku. Diam di sini
saja bersama-sama putri kita Ni Swabhawa. Ia sudah suci menjadi Bhatari
Dalem Melanting dan engkau boleh menjadi Bhatari Dalem Ketut yang akan
dijunjung disembah oleh orang-orang di sini di desa bersama orang-orangnya
yang ada di sini yang akan kupralinakan (hanguskan) agar tidak kelihatan
oleh manusia biasa. Semuanya akan menjadi orang halus, orang Sumedang.
Dan daerah desa ini kemudian bernama Mpulaki,” kata Dang Hyang.
Setelah mengajarkan ilmu rahasia kepada istrinya maka Mpu Dang
Hyang mengeluarkan agni rahasia (api gaib) menghanguskan seluruh desa dan
penghuninya sekalian.
(5) GADING WANI
Kemudian Dang Hyang Nirartha bersama 6 orang putra-putrinya
berangkat meneruskan perjalanan ke timur. Lalu mereka tiba di sebuah desa
bernama GADING WANI. Kebetulan waktu itu orang-orangdesa diserang
penyakit sampar (grubug; Bali). Bendesa (Kepala Desa) Gading Wani tatkala
mengetahui sang pendeta datang lalu segera menjemput di tengah jalan, duduk
bersila menyembah.
Mpu Dang Hyang, kami mengucapkan selamat datang. Bahwa
sang pendeta telah sudi datang ke tempat kami yang sedang ditimpa penyakit
sampar. Setiap hari ada saja orang-orang kami yang meninggal mendadak.
Kami mohon urip (hidup) dengan hormat. Sudilah kiranya Mpu Dang Hyang
memberikan kali obat agar kami sembuh dan wabah ini hilang,” harapnya.
Demikian katanya seraya berlinang-linang air matanya. Dang
Hyang Nirartha terharu dan belas kasihan mendengarkannya. Seketika Ki
Bendesa disuruh mengambil air bersih ditempatkan di sangku, periuk atau
sibuh. Setelah diberi mantram oleh sang pendeta, lalu disuruh memercikkan
kepada yang sakit dan meminumnya. Mpu Dang Hyang beserta putra-putrinya
dihaturkan pesanggrahan tempat beristirahat dan dipersiapkan hidangan berupa
santapan dan buah-buahan. Orang yang sakit setelah diperciki dan meminum
air tirtha dari Mpu Dang Hyang seketika itu sehat bugar kembali.
Pada sore harinya (sandhyakala) sang pendeta memerintahkan
orang-orang meletakkan ganten (kunyahan sirih) beliau itu di empat penjuru
tepi desa untuk mengusir bhuta kala yang membuat penyakit. Orang-orang
desa yang diberi perintah menyembah dan segera berjalan melaksanakannya.
Memang benar-benar sang pendeta adalah orang yang sakti, seketika itu orang
desa dapat membuktikan dan melihat bayangan bhuta kala itu lari ke dalam
laut, rupanya beraneka ragam. Orang desa banyak yang turun menyaksikan
pemandangan yang ajaib itu, dan semuanya heran terhadap kesaktian sang
pendeta. Mulai ketika itu beliau diberi gelar PEDANDA SAKTI WAWU
RAWUH (pendeta sakti yang baru datang). Yang pandai bahasa Kawi
menyebut beliau DANG HYANG DWIJENDRA (raja guru agama).
Orang desa semuanya riang gembira. Tiap-tiap hari bergilir
menghaturkan santapan kehadapan sang pendeta dan putra-putrinya serta
membuatkan pamereman (tempat tinggal) di desa Wani Tegeh. Harapan orangorang
desa agar sang pendeta menetap di sana, tetapi sang pendeta keberatan
karena masih akan meneruskan perjalanan ke timur. Kemudian Ki Bendesa
Gading Wani mohon berguru dan mebersih (mediksa) menjadi pendeta. Sang
pendeta berkenan meluluskan permohonannya agar ada orang tua pembimbing
agama di sana.
Ki Bendesa diajar ilmu kebatinan dan ketuhanan. Selanjutnya
dibersihkan (didiksa) menjadi pendeta (Dukuh) Gading Wani. Setelah itu
diberi suatu panugrahan dicantumkan dalam “Kidung Sebun Bangkung” . Ki
Bendesa Gading Wani setelahnya dilantik menjadi pendeta (Dukuh)
menghaturkan anaknya wanita cantik kepada Dang Hyang Dwijendra yang
bernama Ni Jro Patapan sebagai pangguru yoga, yaitu tanda bakti berguru
untuk menjadi pelayan Mpu Dang Hyang Dwijendra dalam mengatur sesajensesajen
berama Ni Berit. Dengan senang hati Dang Hyang Dwijendra
menerimanya.
(6) PURA RESI DESA MUNDEH
Entah berapa waktu lamanya Pedanda Sakti Wawu Rawuh
berasrama di desa Wani Tegeh. Maka tersebarlah beritanya sampai ke desa
Mas, Gianyar, yaitu sanak saudaranya Ki Bendesa Gading Wani yang
bertempat di Mas, dan sanak keluarganya di desa Mundeh, Kaba-Kaba.
Pada suatu hari Ki Pangeran Mas mengadakan persiapan untuk
pergi ke dea Wani Tegeh atau Gading Wani untuk memberitahu Dang Hyang
agar sudi datang ke Mas. Sang pendeta menyetujui. Lalu berangkatlah sang
pendeta bersama putra-putrinya dari desa Wani Tegeh menuju desa Mas.
Setelah tiba di desa Mundeh , beliau dijemput oleh Ki Dendesa Mundeh di
tengah jalan dengan suatu maksud mohon berguru pada sang pendeta, tetapi
ditolak oleh sang pendeta karena permohonannya itu dilakukan ketika sedang
ada di jalan. Tetapi oleh karena amat khidmat baktinya Ki Bendesa menjemput
beliau, maka ada juga anugerahnya, yaitu debu tapak kaki beliau ketika beliau
berdiri berhenti di tempat itu, laksana suatu lingga yang harus dihormati oleh
orang-orang mundeh sampai kemudian. Ki Bendesa Mundeh amat senang
hatinya menerima anugrah pendeta itu. Di tempat itu lambat laun dibangun
sebuah pura bernama PURA RESI atau PURA GRIA KAWITAN RESI.
(7) MANGA PURI (MANGUI)
Dari desa Mundeh sang pendeta berangkat ke arah timur laut. Di
tengah jalan beliau bertemu dengan sebuah aliran sungai. Di pinggi sebelah
baratnya ada sebuah mata air. Airnya sangat suci dan sejuk. Di pinggirannya
terhias dengan bunga-bungaan yang sedang mekar. Menebarkan bau harum
yang menyedapkan penciuman hidung. Bunga rampai yang pupus gugur dari
kuntumnya menutupi tanah seakan-akan kasur tilam sari, sungguh-sungguh
menggugah rasa indah nikmat mesra membatin. Sang pendeta berhenti di
tempat itu, dengan tenang melakukan yoga semadhi disertai pujastuti dan japa
mantra utama. Dan di sekeliling beliau itu disebut Mangopuri (Mangui).
(8) PURA SADA
Tidak lama sang pendeta ada di sana, lalu didengar oleh Ki Bendesa
Kapal turunan dari Ki Patih Wulung, tentang sang pendeta ada di Mangopuri
(Mangwi). Maka cepat-cepat Ki Bendesa Kapal datang menghadap Mpu Dang
Hyang untuk menghaturi agar beliau berkenan singgah di sana serta
menjelaskan bahwa beliau membawa surat pemberian Krian Patih Gajah Mada
yang berisi perintah supaya memperbaiki pura Kahyangan yang ada di Bali,
dan pada waktu itu kebetulan ada karya pujawali (odalan) di Pura Sada Kapal.
Demikian isi permohonan Ki Bendesa Kapal. Sang pendeta memenuhi
permohonannya dengan senang hati dan berangkat saat itu juga.
Tiada diceritakan bagaimana beliau di tengah jalan. Akhirnya
tibalah sang pendeta di dea Kapal lalu masuk ke dalam pura serta duduk di
balai piasan di sebelah barat.
Kaki Arya,” panggil Dang Hyang kepada Ki Bendesa. “Siapakah
yang akan menyelesaikan karya pujawali Bhatara di parahyangan ini?”
“Singgih Mpu Dang Hyang,” jawab Ki Bendesa. “Tiada lain Mpu
Guto kami aturi di gunung Agung, untuk menyelesaikan karya pujawali ini.”
Ki Arya,” panggil sang pendeta. “Ki Guto itu adalah pelayanku
yang disangka pendeta Brahmana. Ia adalah penjelmaan gandharwa yang
terkutuk dahulunya. Yang harus diselesaikan olehnya segala caru yang kecil
dan untuk upacara selamatan sawah ladang, demikianlah hak wewenangnya.”
Ujar sang pendeta.
Tidak lama antaranya maka datanglah rakyatnya yang diutus pergi
ke gunung Agung mengaturi Ki Guto, memikul Ki Guto dengan tandu
pegayotan serta berpayung agung dan langsung masuk ke dalam parahyangan
pura Sada. Demi dilihat Dang Hyanh Dwijendra duduk di balai piasan, maka
Ki Guto cepat-cepat turun dari tandu duduk bersimpuh di hadapan sang
pendeta seraya mohon ampun atas kesalahan tingkah lakunya.
“Hai Guto, mulai sekarang kamu jangan menipu masyarakat
umum. Aku mengampuni kesalahanmu,” ucap sang pandita.
Demikianlah kata sang pandita kepada Ki Guto, kemudian menoleh
kepada Ki Bendesa.
“Kaki Arya, ketahuilah bahwa aku yang mengutus Ki Guto pergi ke
Bali untuk menyelidiki Dalem Sri Watorenggong, telah lama tidak muncul lagi
ke Jawa. Kini urungkan Ki Guto menyelesaikan upacara pujawali di sini!”
perintah Dang Hyang. “Yang patut dihadapinya adalah korban (caru)
terutama pada waktu tileming kesanga (bulan mati pada bulan kesembilan
pada kalender Bali, sekitar bulan Maret-April), anangluk mrana (pengusir
hama), mebalik sumpah di sawah ladang, dan amugpug desti teluh tranjana
(menghalau sebangsa ilmu hitam). Itulah wewenangnya. Jika ditugaskan
untuk pujawali persembahyangan Dewa di pura-pura, panas kesakitan
masyarakat desa olehnya.”
Ki Guto dan Ki Bendesa menyembah berulang-ulang. Dang Hyang
Dwijendra dihaturi memuja menyelesaikan upacara pujawali di Pura Sada,
sedang Ki Gito disuruh memuja pada upacara korban (pecaruan).
(9) DESA TUBAN
Setelah selesai upacara odalan di Pura Sada, maka sang pendeta
bersama putra-putrinya dan 2 orang pelayannya pergi ke arah selatan, tiba di
desa Tuban di daerah selatan Badung. Beliau dijemput oleh orang-orang desa
Tuban. Semuanya dengan hormat dan tulus ikhlas menghaturkan hidangan
santapan kepada sang pendeta dan putra-putrinya semua. Sementara sang
pendeta diam di sana, banyak ikan laut yang tertangkap. Itu adalah karena
kasidhian (kesaktiak) Pedanda Sakti Wawu Rawuh itu. Demikian juga tanamtanaman
dan segala sesuatunya menjadi baik semuanya.
Pada suatu hari sang pendeta dan putra-putrinya dihaturi hidangan
yang penuh dengan berbagai masakan ikan laut. Sang pendeta bersama putraputrinya
dengan senang menikmati hidangan yang luar biasa itu. Setelah
bersantap ada masih tersisa ikan separo. Setelah diberi mantram oleh sang
pendeta lalu dilemparkan ke dalam laut, maka ikan itu hidup kembali dan
diberi nama ikan tampak (telapak), oleh karena dagingnya habis sebagian. Ikan
tampak itu diberi mantra suci oleh Dang Hyang Nirartha dan diumumkan
kepada orang-orang yang ada di sana, apabila kemudian ada orang magawe
hayu (melaksanakan upacara untuk kesejahteraan), ikan itu boleh digunakan
sebagai isi sesajen suci. Orang-orang desa Tuban yang kebetulan ada di tempat
itu melihat dan menyaksikan keadaan yang sedemikian itu, semuanya
tercengang, heran takjub dengan kesaktian sang pendeta itu. Kemudian sang
pendeta mengajar dan menasihati orang-orang desa Tuban membuat pukat
(bubu) tanpa umpan agar banyak mendapat ikan dengan cara diam-diam.
(10) ARYA TEGEH KURI
Kurang lebih tujuh hari lamanya sang pendeta di desa Tuban, maka
datang Kyayi Arya Tegeh Kuri menjemput sang pendeta bersama putraputrinya
agar sudi simpang di puri beliau. Pada suatu ketika berangkatlah sang
pendeta diiringkan oleh Kyayi Tegeh Kuri.
Setibanya di desa Buangan terpaksa beliau berhenti dalam sebuah
parahyangan pura Batan Nyuh karena dihalangi oleh banjir besar.
Banyak orang yang datang mengahadap dari sebelah timur jalan
memalui jembatan gantung, semuanya menyembah serta memohon pengalah
air oleh karena rumah-rumah mereka dilanda banjir. Sang pendeta belas
kasihan kepada orang-orang yang kena bencana alam kebanjiran itu. Lalu
beliau memberikan sepotong kayu anceng (tongkat) yang telah dirajah Sang
Hyang Klar, disuruh agar dipancangkan di muara banjir itu. Dengan tiba-tiba,
menggelombang naik air itu lalu bertolak lari ke barat memutus jalan. Sangat
heran orang-orang yang melihat tentang kekuatan batin sang pendeta demikian
itu. Orang-orang desa berdatangan menghaturkan buah-buahan dan antapsantapan
lainnya. Tidak diceritakan lebih lanjut tentang sang pendeta di tengah
jalan, akhirnya tiba di puri Arya Tegeh Kuri di Badung.
(11) DESA MAS
Setelah beberapa lama beristirahat di Badung, maka datang Ki
Pangeran Mas menjemput Mpu Dang Hyanh diaturi pergi ke desa Mas. Dang
Hyang Dwijendra bersama putra-putri dan dua orang pelayan beliau pergi ke
desa Mas. Di sana beliau dibuatkan Gria (rumah untuk para Brahmana) yang
baik, sehingga menetap sang pendeta , diam di desa Mas.
Lama-kelamaan Ki Pangeran Mas menghaturkan anaknya wanita
yang amat cantik. Putri Bendesa Gading Wani, yang dipakai pelayan oleh sang
pendeta bersama Ni Berit, kini dipakai pelayan oleh putrinya Pangeran Mas
yang bernama Sang Ayu Mas Genitir. Kemudian setelah itu Pangeran Mas
dibersihkan (didiksa) oleh Mpu Dang Hyanh, menjadi pendeta dan telah lama
paham tentang Agama, ilmu ketuhanan, dan ilmu batin.
Setahun telah berselang pertemuan suami-istri Dang Hyang Nirartha
dengan Sang Istri Mas Genitir lalu melahirkan seorang putra diberi nama Ida
Putu Kidul.
Dalam antara itu ada seorang pelayan Pangeran Mas bernama Pan
Geleng menghaturkan sebuah pusuh (jantung pisang) pisang batu yang berisi
gading mas asal tanamannya sendiri kepada Dang Hyang Dwijendra.
Kata Dang Hyang waktu menerima pusuh pisang batu, “semoga
Pan Geleng kaya sampai seturun-turunannya kelak.”
(12) PERGAULAN HIDUP BRAHMANA
WANGSA
Diceritakan pada suatu hari sang pendeta memangcing di taman,
berdiri di tengah telaga, kakinya beralas daun tunjung (teratai), bisa
mengambang dan tidak tenggelam. Setelah banyak mendapat ikan, sang
pendeta berhenti memancing, lalu mandi menyucikan diri, kemudian
melakukan Surya Sewana. Setelah selesai, sang pendeta dihaturi hidangan
santapan. Setelah beliau selesai bersantap maka keempat putranya disuruh
meneruskan menkmati. Empat orang putranya yaitu Ida Putu Kemenuh
(Daha), Ida Putu Manuaba (Pasuruan), Ida Putu Telaga (Brambangan), dan
Ida Putu Mas (desa Mas), yang yang biasa disebut Kulwan, Lor, Wetan, dan
Kidul. Sedang para putranya itu menikmati hidangan maka sang pendeta
memberikan nasihat.
“Anakku semuanya, engkau boleh saling cuntakain sampai turunturunanmu
kemudian. Saling cuntakain artinya tenggang rasa, gotongroyong,
bela-membela, dalam keadaan suka-duka hidup di dunia. Apabila
seseorang berduka maka semuanya harus berbelasungkawa. Tentang
perkawinan boleh ambil-mengambil. Tiap orang yang lebih tua dan pandai
boleh dipakai guru (nabe). Jika kemudian engkau lupa akan ikatan
bersaudara, semuga salah satu di antaranya yang melanggar amanatku ini
turun da surut derajat kewibawaannya.” Demikian amanat sang pendeta.
Lama-kelamaan terjadi hal yang agak ganjil mungkinkarena kodrat
Tuhan, yaitu Dang Hyang menjamah pelayan Sang Istri Ayu Mas anak dari Ki
Bendesa Gading Wani yang bernama Jro Patapan, akhirnya berputra seorang
laki-laki bernama Ida Wayan Sangsi atau Ida Patapan.
Lain dari itu, pelayan yang bernama Ni Berit pada suatu malam
dijumpai sedang mengeluarkan air kencing sebagai air pancuran sehingga
menembus tanah sampai sehasta dalamnya, lalu dijamah juga oleh sang
pendeta, kemudian melahirkan seorang putra laki-laki diberi nama Ida
Wayahan Tamesi atau Ida Bindu.
Diceritakan setelah dua orang putranya terakhir sama-sama besar,
sang pendeta pagi-pagi pergi pula ke suatu telaga di taman untuk memancing
ikan, berdiri di tengah telaga beralas daun tunjung, tetapi tetapi daun tunjung
itu tenggelan sepergelangan kaki sang pendeta, dan terlihat oleh beliau ikan
kakul (siput) yang telah disantap dagingnya, sisanya dilemparkan ke dalam
telaga, lalu hidup kembali. Dalam keadaan seperti itu menyelinap suatu
perasaan ke dalam hati sanubarinya, bahwa dua orang putranya yang terakhir
ini akan surut perbawanya. Setelah selesai memancing lalu beliau bersiram
menyucikan diri, kemudian pulang dan masuk ke tempat pemujaan, lalu
melakukan pemujaan seperti biasa.
Setelah keluar dari tempat memuja maka dihaturi hidangan untuk
bersantap. Setelah sang pendeta habis bersantap maka dipanggil putranya
keenam orang untuk makan bersama-sama dalam satu hidangan. Putraputranya
berenam telah siap untuk makan bersama (magibug) satu hidangan,
demi masing-masing telah menggenggam nasi kepelan di tangannya, maka
tiap-tiap alat makan itu berkontak berkelahi dengan kawan-kawnnya. Ada
yang bertarung, ada yang jatuh, ada yang berbenturan di dulang, yang kalah
membalas pula dan lain sebagainya sehingga alat-alat makan itu berantakan.
Hal itu dilihat oleh sang pendeta, lalu orang disuruh membawakan lagi
makanan dua hidangan yang berlain-lainan. Setelah siap, maka Ida Wayahan
Sangsi (Ida Patapan) makan menjadi satu hidangan, dikumpulkan dengan Ida
Bindu. Sedang putranya empat orang lagi makan menjadi satu hidangan.
Dengan keadaan yang demikian maka tentramlah keadaan masing-masing,
asyik menikmati hidangan dengan sepuas-puasnya tidak ada suatu sengketa
pun yang terjadi.
Sementara sang pendeta memberikan nasihat, “Anakku sekalian,
dengarkanlah nasihatku baik-baik. Anakku Putu Sangsi dan Putu Tamesi
dalam kehidupanmu turun-temurun boleh sembah-kasembah dan boleh ambilmengambil
istri, tetapi dalam turun-turunannya anak-anakku empat orang
lagi, (yaitu Putu Kulwan, Putu Lor/Manuaba, Putu Wetan, dan Putu Mas)
tidak boleh. Tetapi engkau Putu Sangsi dan Putu Bindu seturun-turunanmu
boleh menghaturkan sembah, menghaturkan putri dan berguru kepada
saudara-saudaramu yang empat orang ini dan turun-turunannya, sebab
ibumu adalah orang-orang pelayan. Demikianlah harus diingat benar-benar
amanatku ini. Siapa yang melanggar akan mendapat papa, surut wibawa dan
wangsanya.” Demikian amanat Dang Hyang Dwijendra.
(13) KI GUSTI PANYARIKAN DAUH BALEAGUNG
Lambat laun tersebar berita Dang Hyang sampai Ke Gelgel,
bahwasanya ada seorang pendeta sakti baru datang disebut oleh umum
Pedanda Sakti Wawu Rawuh, saktinya hampir sama dengan pendeta Loh
Gawe. Sebab itu Dalem Watu Renggong (Raya Bali saat itu) sangat besar
hasratnya untuk memanggil pendeta sakti itu untuk dijadikan gurunya. Pada
suatu hari diutus Ki Gusti Penyarikan Dauh Baleagung pergi ke desa Mas
untuk menghaturi Dang Hyang agar datang ke Gelgel dan diharapkan datang
esok harinya.
Pada hari yang baik berangkatlah Gusti Penyarikan mengendarai
kuda putih, berpakaian putih, hanya giginya saja yang hitam. Setibanya di
desa Mas, dilihatnya Ki Bendesa Mas sedang menghadap sang pendeta di
sebuah pendopo kecil, maka segera beliau turun dari kendaraan.
KI Gusti Penyarikan segera duduk menghadap sang pendeta seraya
memperkenalkan diri dan mempermaklumkan kedatangannya itu. Setelah
banyak kata-katanya menceritakan keadaan di Bali kemudian timbul
pikirannya hendak menyelami pengetahuan sang pendeta tentang ajaran
pemerintahan negara.
Setelah sang pendeta menjelaskan tentang tata negara, Kyayi
Panyarikan merasa sangat beruntung dalam hatinya, sebagai kodrat Tuhan
mempertemukannya dengan seorang pendeta sakti dan ahli dalam bidang
agama. Lalu mengajukan permohonan agar ia diangkat sebagai muridnya,
berguru kepada sang pendeta, belajar rahasia ilmu ketuhanan dan akhirnya
memohon dibersihkan dan dinobatkan sebagai Bagawan, pendeta ksatria.
Sang pendeta berkekan mengabulkan permohonan Ki Gusti, pada
malam harinya sang pendeta mengajarkan rahasia ilmu ketuhanan dengan
yoga samadhinya dengan Weda mantra yang penting-penting.
Ki Gustu memang sudah mempunyai dasar dan bakat yang baik
tentang ilmu ketuhanan, karena usaha dan latihannya sendiri. Sebab itu ajaran
sang pendeta cepat dapat ditampung dan dipenuhinya. Besok paginya
kebetulan hari baik, beliau didiksa oleh sang pendeta menjadi Bhagawan.
Setelah itu Mpu Dang Hyang lanjut memberikan nasihat dan ajaran penting
kepada muridnya, sehingga kyayi Panyarikan terlambat sehari kembali ke
Gelgel mengiring Dang Hyang Nirartha.
(14) PURA SILAYUKTI, TELUK PADANG
Pagi-pagi setelah dua malam lewat, maka Kyayi Penyarikan
berangkat mengiring Pedanda Sakti Wawu Rawuh ke Gelgel sama-sama
mengendarai kuda. Tiada diceritakan lagi di tengah jalan maka tibalah beliau
di Gelgel. Tetapi sayang Dalem Watorenggong telah berangkat pagi-pagi ke
teluk Padangbai untuk berburu binatang dan menangkap ikan diiringi oleh
para mantri punggawa dan rakyat sangat banyaknya. Oleh karena demikian
halnya maka terpaksa Ki Gusti Penyarikan mengiring Dang Hyang ke Teluk
Padang.
Setibanya di Padang, sang surya telah lewat tengah hari, para
punggawa mantri telah sama-sama mulai mencari pondoknya masing-masing.
Kyayi Penyarikan mengiring Dang Hyang menuju pesanggrahan Dalem.
Dalem Waturenggong agak murka kepada Ki Penyarikan, katanya,
Kenapa sampai lewat janji baru datang?! Sebagai bukan orang tua.
Penyarikan, antarkan Mpu Dang Hyang ke parahyangan Mpu Kuturan!”
Setelah Dang Hyanh Nirartha beristirahat, datang Dalem
Waturenggong menghadap bersama beberapa orang pelayan membawa
santapan seraya berkata, “Selamat datang, Mpu, maafkanlah keadaan tempat
yang tidak sepertinya ini, dan silakan menikmati santapan ala kadarnya.”
Sang pendeta mengucapkan banyak terima kasih, lalu berkata,
“Tuanku, maafkanlah Ki Penyarikan agak terlambat pada janjinya, sebab
beliau ingin berguru dan mempelajari ilmu ketuhanan dan minta didiksa
menjadi Bhagawan. Kami sedia melakukannya. Jangan tuanku kecewa karena
belakangan, sebab soal agama tidak mengenal carikan atau sisa-sisa, karena
agama adalah soal ketuhanan yang suci,” demikianlah kata sang pendeta.
tuanku, apakah hari ini tuan mendapatkan banyak ikan?”
“Wah, kami benar-benar sial, tidak dapat seekorpun!” jawab
Dalem Waturenggong.
“Tuanku, cobalah sekarang perintahkan rakyat tuanku menangkap
ikan dan berburu binatang, kiranya banyak berhasil,” kata sang Pendeta.
Dalem menurut sang pendeta, memerintahkan rakyatnya
mengulangi menangkap ikan dan berburu. Sebelum rakyat masuk ke laut akan
menangkap ikan dan ke hutan akan berburu binatang, sang pendeta keluar dan
berdiri di halaman memandang ke laut memanggil ikan dan memandang ke
hutan memanggil binatang. Tidak berselang lama banyaklah ikan dan binatang
tertangkap oleh rakyat. Dalem dan sang pendeta sangat gembira melihatnya.
Setelah hari sore semua rakyat penangkap ikan dan pemburu binatang telah
kembali ke tempatnya dengan membawa hasil yang sangat banyak, dan Sri Aji
Bali dan sang pendeta kembali lagi ke pesanggrahan. Pada malam harinya
sampai larut malam Dalem Waturenggong bercakap-cakap dengan sang
pendeta tentang agama. Tetapi soal mebersih (mediksa) Dalem masih berfikir.
Besok paginya Dalem kembali ke Gelgel diiringi oleh seluruh
menteri, punggawa, dan rakyat. Dalem duduk dalam satu pedati yang ditarik
kuda bersama sang pendeta. Setibanya di kali Unda, jalan pedati berhenti
karena air sungai sedang naik, banjir karena hujan di pegunungan.
Kemudian sang pendeta membisikkan ajaran Aswa-Siksa, setelah
Dalem mengerti dan paham tentang ajaran itu, terutama mantramnya, lalu
diambil oleh beliau sebuah cambuk dan dilecutkannya dengan keras, maka
ujungnya keluar api sedang pangkalnya keluar air amrta. Dalam keadaan
seperti itu kuda mendobrak air sungai, kakinya tenggelam sepergelangannya
dan akhirnya selamat ke tepi sungai di barat. Semua yang melihat sangat
heran.
Tiada diceritakan lebih lanjut betapa iring-iringan raja Bali di
tengah jalan, maka tibalah di istana Gelgel. Sang pendeta ditempatkan di
tempat yang suci dengan menikmati hidangan yang secukupnya. Dalem pada
kesempatan ini menceritakan sikapnya, katanya, “Mpu Dang Hyang, sampai
saat ini saya belum ada niat akan mediksa, karena telah merupakan surudan
dari pangeran Dawuh.”
Sang pendeta menjawa, “Tuanku, maklumilah seyakin-yakinnya,
bahwa agama itu tidak ada yang merupakan surudan (sisa-sisa), kalau
diandaikan sama dengan air yang diucurkan,”
Sekalipun demikian penjelasan sang pendeta, namun Dalem
Watorenggong tetap pada pendiriannya tidak mau mediksa.
(15) IDA BURUAN
Diceritakan Ki Gusti Penyarikan Dauh Baleagung yang telah
berkedudukan sebagai pendeta Bhagawan acapkali menghadap kepada Dang
Hyang untuk mendalami ajaran agama dan kebatinan sampai juga pada sastra,
tembang-tembang bersanjak, pupuh, kidung, dan guru-lagu kekawin, sehingga
pengetahuan Ki Gusti Bhagawan sungguh-sungguh padat dan suci. Lamakelamaan
sebaga pengguru yoga (bakti kepada guru) beliau menghaturkan
seorang putrinya yang cantik dan menaruh bakat agama serta kesusastraan
kepada Dang Hyang. Dang Hyang Dwijendra menerima dengan senang hari
pangguru yoga tersebut, lalu dinikahkan dengan putranya yang bernama Ida
Putu Lor. Dari perkawinan ini menurunkan dua orang putra, yaitu Ida Wayan
Buruan dan Ida Ketut Buruan.
Dang Hyang Dwijendra mempunyai dua asrama (gria), yaitu di dea
Mas dan di desa Gelgel. Tiap-tiap hari purnama atau tilem Sira Mpu tetap
masuk ke istana menghadap Dalem diiringi oleh cucu-cucu beliau yang masih
kecil, Ida Wayan Buruan. Pada hari-hari baik sedemikian itu Dalem dipuja
oleh Mpu Dang Hyang dengan Weda pangjaya-jaya dan diperciki air tirtha
yang telah diberikan mantram kekuatan batin ketuhanan. Dengan hal demikian
lambat laun Dalem menjadi seorang raja besar perbawanya, karena segala
batin kependetaan ada pada beliau, namun sayang beliau belum mau mediksa
karena belum bersih hatinya didahului oleh Kyayi Penyarikan Dauh
Baleagung.
(16) DALEM WATURENGGONG BERGURU,
MEDIKSA
Diceritakan Mpu Dang Hyang Angsoka, kakak dari Dang Hyang
Nirartha membuat suatu karangan yang diberi nama Smara Rencana dikirim
ke Bali kepada adiknya, kemudian dibalas dari Bali oleh Mpu Nirartha dengan
kidung Sarakusuma.
Dengan demikian Dalem tahu bahwa Dang Hyang Angsoka
seorang pendeta yang pandai, maka niatnya timbul akan berguru kepada
beliau. Lalu Dalem mengirim utusan ke Daha untuk menghaturi Dang Hyang
Angsoka datang ke Bali untuk menjadi gurunya sekalian memberi padiksaan.
Tetapi Dang Hyang Angsoka menolak permintaan Dalem Bali. Beliau berkata
kalau di Bali sudah ada Dang Hyang Nirartha yang lebih pandai darinya.
Beberapa lama kemudian, tiba-tiba turun Betara Mahadewa dari
gunung Agung, diiringi oleh sang Boddha datang ke Gelgel menemui Dalem,
beliau lalu bersabda, “Anakku Dalem Waturenggong, jika tidak terus engkau
berguru kepada Mpu Dang Hyang Dwijendra, karena tidak ada pendeta yang
sama dengannya, tidak dapat dielakkan lagi bahwa negara akan kacau,
anakku. Segala tanah tidak bisa dipetik buahnya, penyakit akan mengembang,
musuh akan timbul banyak, dan tidak selamat negara olehmu,” demikian
sabda Beliau lalu musnah dari pandangan. Dalem Waturenggong menyembah
dan berjanji akan menaati sabda Betara.
Setelah itu Dalem memohon dengan hormat kepada Dang Hyang
Dwijendra untuk berguru dan didiksa. Mpu Dang Hyang dengan gembira
meluluskan permohonan Dalem, karena telah lama dinanti-nantikan. Hari
untuk mediksa dipilah hari purnamaning kapat (purnama bulan keempat dalam
kalender Bali). Setelah tiba hari yang baik itu, maka dengan upacara kebesaran
Dalem didiksa oleh Mpu Dang Hyang.
Setelah selesai upacara pediksan itu, Mpu Dang Hyang memberi
nasihat tentang tatacara orang memangku kerajaan dan supaya jangan lupa
kepada Tuhan dan leluhur. Tetapi tatkala sedang menguncarkan Weda Puja,
jangan memegang genta, menyamai Bhatara namanya, sangat berbahaya.
Setelah itu Sri Aji Waturenggong kian mashyur namanya
memegang pemerintahan, negaranya tenteram kerta raharja, makmur sandang
pangan, tidak ada penyakit merajalela, dan tidak ada musuh timbul.
(17) SIRA AJI KRAHENGAN DARI SASAK
Pada suatu ketika Sri Aji Waturenggong mempermaklumkan
kepada Dang Gurunya bahwa negara Bali sering diserang oleh Sri Aji
Krahengan dari Sasak (Lombok) yang sangat sakti dan pandai mengubah diri
(maya-maya) dan ahli melayang. Acapkali prajurit Dalem kalah dalam
pertempuran di tepi laut, hanya itu saja yang menggangu negaranya. Sebab itu
beliau memohon nasihat bagaimana caranya menghadapi musuh itu.
Dang Hyang Dwijendra menjawab, “nanak Waturenggong,
baiklah, aku akan coba pergi ke Sasak sebagai utusan nanak, untuk datang
kepada Sira Aji Krahengan mengadakan persahabatan. Oleh karena untuk
keselamatan bersama, lebih baik bersahabat daripada bermusuhan.
Bersahabat akan lebih banyak mendapat keuntungan bersama, sedangkan
kalau bermusuhan banyak mendapat kerugian.
Akhirnya, pada suatu hari baik, Dang Hyang Dwijendra berlayar
dengan menumpang jukung. Pelayarannya lancar dan tidak mendapat aral
suatu apa. Setibanya di Sasak, langsung beliau masuk ke dalam purinya Sri
Aji Krahengan. Ketika Sri Aji melihat pendeta datang, segera beliau turun dari
tempat duduknya dan menjemput sang pendeta dengan hormat dan
dipersilakan duduk dekat dengan beliau. Setelah bersama-sama menikmati
suguhan minuman, maka Sri Aji Krahengan berkata dengan hormat
menenyakan perihal kedatangan sang pendeta.
Dang Hyang Dwijendra menjelaskan maksud beliau datang, itu atas
perkenan, bahkan merupakan utusan dari Dalem Waturenggong untuk
mengadakan suatu ikatan persahabatan kepada Sira Aji Krahengan. Dan
Hyang juga menyatakan bahwa dengan persahabatan kita akan dapat
memupuk rasa persaudaraan dan memecahkan masalah bersama, sebagai
tanda persahabatan, Dang Hyang mengatakan bahwa ada baiknya kalau Sira
Aju memberikan salah seorang putrinya untuk menjadi istri Dalem
Waturenggong.
“Sang pendeta, harap dimaafkan saja, karena kami tidak dapat
memenuhi sebagai anjuran sang pendeta itu. Sebaiknya sang pendeta pulang
saja!”
Dengan hal yang demikian sang pendeta keluar dari dalam puri
seraya mengeluarkan kata-kata kutukan, “Semoga si Krahengan surut
kesaktianmu dan surut kebesaranmu!” Demikian kata beliau seraya menuju
pesisir, naik ke atas jukung yang ditumpangi tadinya lalu menuju pulau Bali.
Setelah beliau tiba di Gelgel kembali, sang pendeta dijemput Dalem
Waturenggong dengan khidmad.
Wahai Dang Guru, apakah berhasil usaha Dang Guru di sana?”
tanya Dalem Waturenggong ketika mereka duduk bersama.
“Nanak Waturenggong, tidak berhasil usahaku mengadakan ikatan
persahabatan kepada si Krahengan dan aku telah memberi kutukan (pastu)
agar ia surut kewibawaannya, tidak lanjut menjadi ksatria,” jawab sang
pendeta.
(18) PURA RAMBUT SIWI
Setelah Dang Hyang Dwijendra menjabat Pandita Kerajaan di
Gelgel dan sudah memberikan diksa kepada Dalem Waturenggong, beberapa
tahun kemudian beliau berniat untuk melakukan tirthayatra, melihat dari dekat
perkembangan ajaran kerohanian di desa-desa. Untuk melaksanakan niat
Beliau tersebut, beliau minta izin kepada Dalem Waturenggong agar beliau
berkekan memberikan persetujuannya. Karena tujuannya sangat baik, Dalem
tidak berkeberatan dan mengizinkan sang Mpu untuk melaksanakan
perjalanan bertirthayatra itu.
Konon berangkatlah beliau menuju arah barat, mula-mula sampai di
daerah Jembrana. Kebetulan beliau sampai pada sebuah parahyangan yang
biasanya pura itu dujaga oleh seorang penjaga pura sekalian sebagai pemilik
parahyangan itu. Seperti kebiasaan sang penunggu parahyangan itu, setiap
orang yang lewat di tempat itu diharuskan untuk bersembahyang terlebih
dahulu sebelum mereka meneruskan perjalanan. Kebetulan hari itu yang
tengah lewat adalah Dang Hyang Nirartha. Sang penunggu parahyangan itu
menegur sang Mpu agar beliau mengadakan persembahyangan di tempat suci
itu. Dia juga menjelaskan bahwa parahyangan itu sangat angker sekali.
Barangsiapa yang tidak mau menghaturkan persembahyangan di sana, dia
tidak mau menjamin keselamatannya. Pasti orang itu akan menemukan celaka.
Setelah sang Mpu bertanya, kesusahan apa yang akan dialami orang-orang
yang tidak mau menghaturkan persembahyangan di parahyangan itu, sang
penunggu parahyangan itu mengatakan bahwa yang bersangkutan pasti akan
dimakan macan. Di daerah sekitar itu banyak macan yang sangat ganas yang
merupakan rencangan parahyangan ini.
Dia meminta berkali-kali kepada Mpu Nirartha agar beliau mau
bersembahyang terlebih dahulu sebelum beliau melanjutkan perjalanannya
agar benar-benar selamat di perjalanannya nanti. Mpu Nirartha menuruti
perkataan sang penjaga pura itu, seraya beliau mempersiapkan diri akan
bersembahyang. Di situ beliau menyatukan bayu, sabdha, dan idhepnya seraya
mengarahkan konsentrasinya berngara sika atau mata ketiga. Tak lama
kemudian tiba-tiba saja parahyangan menjadi pecah dan rubuh. Sang pemilik
parahyangan itu angat kaget melihat kejadian yang sangat gaib itu, seraya ia
minta ampun, agar parahyangan itu bisa dibangun lagi, sehingga ada tempat ia
menghaturkan persembahyangan kehadapan Ida sang Hyang Widhi Wasa.
Sambil menangis ia mohon ampun kepada sang Mpu agar sudi memaafkan
kesalahan-kesalahannya dan mohon agar parahyangannya dapat dibangun
kembali. Sang Mpu Nirartha menasihatinya agar tidak membohongi penduduk
yang tidak tahu apa itu, dan harus berjajni bakti kepada Sang Hyang Widhi
selain kepada leluhur. Maka setelah ia berjanji tidak akan membohongi
penduduk lagi, Maka Dang Hyang Nirartha membangun kembali tempat
persembahyangan itu. Selanjutnya beliau emutuskan untuk tinggal lebih lama
di sana. Lama kelamaan didengar sang Mpu berada di sana, banyak para
penduduk datang, ada yang ingin berguru agama dan tidak sedikit yang datang
untuk berobat. Hal itu terjadi karena nama beliau sebelumnya di Gadingwani
sudah sangat dikenal betul sebagai ahli pengobatan di samping ahli ilmu
agama. Ramailah orang datang ke parahyangan itu. Lama-kelamaan karena
beliau memang ingin beranjangsana berkeliling, maka beliau menyatakan akan
meninggalkan mereka dan meneruskan perjalanan. Para penduduk sangat
sedih karena kepergian beliau, karena mereka sudah merasa senang beliau
berada di sana.mereka memohondengan sangat agar sang Mpu bersedia
tinggal lebih lama di sana. Sang Mpu tetap tidak bisa menuruti permintaan
para menduduk itu. Maka untuk mengikat mereka, sang Mpu berkenan
memberikan selembar rambut beliau agar ditaruh di tempat parahyangan itu
untuk dijadkan penyiwian sebagai pertanda peringatan akan keberadaannya.
Kemudian dari tempat itu disebut Parahyangan Rambut Siwi atau Pura
Rambut Siwi. Selanjutnya beliau menetapkan hari baik untuk pujawali
Parahyangan Rambut Siwi tersebut.Piodalannya jatuh pada RABU UMANIS
PRANGBAKAT. Pada hari itu disuruh menyelenggarakan pujawali untuk
memohon berkah.
Matahari ketika itu telah pudar cahayanya, kian merendah hendak
menyembunyikan wajahnya di tepi langit barat, karena itu sang pendeta
berniat akan bermalam di Pura Rambut Siwi. Orang-orang makin banyak
menghadap sang pendeta, yang berniat memohon nasihat soal agama, ada pula
yang mohon obat. Semalam-malaman itu sang pendeta menasihatkan ajaran
agama kepada penduduk, terutama berbakti kepada Ida Sang Hyang Widhi
dan Bhatara-Bhatari leluhurnya, agar sejahtera hidupnya di dunia. Dan
diperingatkan juga pelaksanaan puja wali di Pura Rambut Siwi agar
masyarakat menjadi selamat dan tentram.
(19) PURA PAKENDUNGAN (PURA TANAH LOT)
Diceritakan besok paginya ketika sang surya mulai memancarkan
cahayanya ke seluruh permukaan bumi, Mpu Dang Hyang melakukan
sembahyang Surya Sewana disertai oleh orang-orang yang ada di sana.
Setelah memercikkan air tirtha kepada orang-orang yang ikut sembahyang,
maka Mpu Dang Hyang berangkat dari dalam pura Rambut Siwi ke arah timur
menyusuri tepi pantai, diiringi oleh beberapa orang yang tertaut cinta baktinya
kepada sang pendeta. Mpu Dang Hyang selalu memperhatikan keindahan
alam yang dilaluinya dan dilihatnya.
Dalam keindahan pemandangan itu selalu terbayang kebesaran
Tuhan yang menjiwai keindahan itu yang menyebabkan mesra menyerap dan
menyulut batin orang menjadi indah dan bahagia. Sang pendeta selalu
membawa lembaran lontar dan pengutik pengrupak (pisau raut alat menulis
daun lontar) untuk menggoreskan keindahn alam yang dijumpainya. Akhirnya
beliau tiba di daerah Tabanan, di sana terhihat olehnya sebuah pulau kecil di
tepi pantai yang terjadi dari tanah parangan, indah tampaknya dan suci
suasananya. Lalu beliau berhenti di sana. Kemudian dilihat oleh orang-orang
penangkap ikan yang ada di sana, lalu mereka itu datang menghadap sang
pendeta masing-masing membawa persembahannya.
Pada waktu itu hari sudah sore. Orang-orang nelayan itu
menghaturi sang pendeta supaya beristirahat di pondoknya saja, tetapi sang
pendeta menolak, beliau lebih suka beristirahat di pulau kecil itu.
Malam itu sang pendeta mengajarkan agama kepada orang-orang
yang datang dan dinasihatkan supaya membuat parahyangan di tempat itu
karena tempat itu dirasa sangat suci, baik untuk tempat memuja Tuhan demi
kesejahteraan dan kemakmuran daerah lingkungannya.
Orang-orang yang menghadap berjanji akan membuat parahyangan
di sana, dan dinamai Pura Pakendungan atau Pura Tanah Lot, karena terletak
di sebuah pulau (karang) di tengah pantai.
(20) PURA ULUWATU DAN PURA BUKIT GONG
Besok paginya setelah melakukan Surya Sewana, maka Mpu Dang
Hyang Nirartha berangkat dari Pakendungan ke arah tenggara dengan jalan
darat menyusuri pantai. Dari jauh tampak oleh beliau suatu tanjung yang
menonjol ke laut bagian wilayah bukit Badung, maka tanjung itulah yang
beliau tuju. Perjalanan agak dipercepat di pantai, air laut sedang surut.
Setibanya di sana maka diperhatikan oleh beliau bahwa tanjung itu terjadi dari
batu karang seluruhnya dan sangat besar. Selanjutnya diperiksa keadaan batu
karang itu ke utara, ke barat, ke selatan, dan ke timur serta diperhatikannya
pula pemandangan yang ada di sana. Sungguh-sungguh indah dan bebas lepas
ke seluruh dunia. Kemudian terdengar bisikan jiwa beliau bahwa tempat itu
baik untuk memuja Sang Hyang Widhi dan terutama tempat “ngeluhur”
melepas jiwatmanya kelak ke alam surga.
Akhirnya beliau mengambil keputusan membuat kahyangan di
tempat itu. Untuk kepentingan itu terpaksa beliau membuat asrama di
sebelahnya untuk menetap sementaramengerjakan kahyangan itu. Pekerjaan
membuat kahyangan itu mendapat bantuan dari orang-orang yang dekat di
sana. Setelah beberapa hari lamanya maka kahyangan itu selesai diberi nama
Pura Uluwatu. Di tempat asrama Mpu Dang Hyang lama-kelamaan didirikan
juga sebuah kahyangan oleh orang-orang di sana dinamai Pura Bukit Gong.
(21) PURA BUKIT PAYUNG
Setelah Pura Uluwatu selesai dan dinasihatkan kepada orang-orang
di sana untuk menjaganya, maka Dang Hyang Nirartha melanjutkan
perjalanan lagi ke arah timur dengan melalui tanah berbukit-bukit. Beliau
kemudian tiba di goa Watu, dari sana menuju Bualu. Di sebelah tenggara
Bualu ada sebuah tanjung, di sana beliau berhenti. Ketika beliau menancapkan
payungnya ke tanah, maka tiba-tiba memancar air dari dalam tanah,sangat suci
dan hening.
Air itu dipergunakan menyucikan diri. Oleh orang-orang yang
dekat di sana karena gembira hatinya seakan-akan mendapat anugerah air
amrta (air kehidupan), maka di tempat itu dibangun sebuah kahyangan
dinamai Pura Bukit Payung.
(22) PURA SAKENAN
Setelah menyucikan diri di Pura Bukit Payung, maka Dang Hyang
Nirartha berangkat ke arah utara menyusuri pantai. Tidak jauh dari sana
dijumpainya dua buah pulau batu yang disebut sebagai Nusa Dua. Di sana
beliau berhenti dan mengarang kekawin Anyang Nirartha yang melukiskan
segala obnyek keindahan yang dilihat oleh beliau sepanjang perjalanan,
digubah dijadikan sajak kekawin yang terikat dengan guru lagu.
Setelah selesai mencatat kekawinnya, Dang Hyang Dwijendra
melanjutkan perjalanan ke arah utara. Tidak diceritakan halnya di tengah jalan
maka sampailah beliau di Serangan. Pada bagian tepi barat laut Serangan sang
pendeta kagum memandang keindahan alam di sana, yaitu keindahan laut
yang tenang berpadu dengan keindahan daratan yang mengelilinginya. Sang
pendeta tak puas-puasnya memandang keindahan alam yang dianugerahkan
Tuhan di sana, dapat mempengaruhi batin menjadi tidak ternoda sedikit pun,
sehingga beliau terpaksa berhenti dan menginap beberapa malam di sana.
Terasa oleh beliau bahwa di tempat itu ada sumber kekuatan gaib yang suci,
san baik sebagai tempat sembahyang memuja Tuhan untuk keselamatan dan
kesejahteraan. Sebab itu beliau membangun pula suatu kahyangan di sana
diberi nama Cakenan (yang asalnya dari kata cakya yang berarti menyatukan
pikiran). Puja wali dilakukan pada hari Saniscara (Sabtu) Kliwon Kuningan,
dan keramaiannya pada hari Umanis-nya (sehari sesudahnya).
(23) PURA AIR JERUK
Setelah Pura Sakenan selesai dibangun, Dang Hyang Dwijendra
keluar dari dalam pura lalu berangkat ke arah utara menumpang sebuah
jukung, lalu mendarat di Renon. Selama beliau berdiam di sana ada suatu
kejadian, yaitu ketika tongkat beliau dipancangkan, tidak berapa lama lalu
keluar tunas dan hidup menjadi pohon sukun. Setelah beberapa hari ada di
sana, beliau meneruskan perjalanan ke arah timur, tiba beliau di Udyana
Mimbha (Taman Intaran). Dari sana sang pendeta meneruskan perjalanan ke
arah timur laut, menyusuri pantai laut kemudian tiba di pantai selatan wilayah
Bumi Timbul (Sukawati).
Dari sana beliau masuk darat arah utara lalu tiba di sawah Subak
Laba. Di sana sang pendeta berhenti dan menginap, dijamu oleh orang-orang
subak dengan buah jeruk yang sedap rasa airnya. Di asrama tempat menginap
Mpu Dang Hyang setiap malam penuh orang-orang subak menghadap mohon
nasihat ajaran agama terutama dari hal bercocok tanam padi dan palawija
lainnya menurut musim dan hari wewaran. Sejak sang pendeta ada di sana
segala tanam-tanaman dan binatang ternak berhasil baik.
Sebab itu setelah Mpu Dang Hyang pergi daroi sana, maka oleh
orang-orang subak dibuatkan satu pura di bekas tempat asrama sang pendeta
(yang dikenal dengan sebutan Pedanda Sakti Wawu Rawuh) diberi nama Pura
Air Jeruk, tempat sembahyang mohon keselamatan tanam-tanaman dan
binatang ternak. Dan di sana ditanam satu pohon lontar sebagai peringatan
ajaran agama yang diwejangkan oleh sang pendeta.
(24) PURA TUGU
Diceritakan Dang Hyang Dwijendra berangkat dari Subak Laba ke
timur pula menyusuri pantai laut. Setelah tiba di Rangkung lalu berbelok ke
utara. Sesudahnya di hulu desa Tegal Tugu, sang pendeta lalu berhenti di luar
suatu kahyangan.
Kemudian keluar seorang pemangku dari dalam pura setelah
menyapu melakukan pembersihan, datang kepada sang pendeta yang tengah
berhenti di luar pura. Setelah bertemu, sang pemangku berkata dan menyuruh
sang pendeta menyembah ke dalam pura. Dang Hyang tidak membantah, dan
menuruti permintaan sang pemangku itu. Beliau lalu masuk ke dalam pura.
Sang pendeta duduk bersila di halaman pura berhadapan dengan
bangunan-bangunan pelinggih, lalu melakukan yoga mengheningkan cipta
menghubungkan jiwatmanya dengan Tuhan. Tiba-tiba rusak bangunan
pelinggih itu semua. Sang pemangku bukan main terkejutnya dan terharu
hatinya melihat keadaan itu, lalu menangis memohon ampun kepada Mpu
Dang Hyang disertai permohonan agar sang pendeta berkenan pura itu
kembali seperti sedia kala.
Dang Hyang Dwijendra meluluskan permohonan pemangku itu,
lalu dengan yoga bangunan pura itu kembali seperti semula.
Kemudian sang pendeta berkata, “Sri mangku, ini kancing gelung
saya, saya berikan kepada mangku. Tempatkanlah di pura ini, dan
sesudahnya kahyangan ini diberi nama pura Tugu,”
Sangat gembira pemangku itu menerimanya dan berjanji akan
melakukan segala nasihatnya.
(25) GENTA SAMPRANGAN
Setelah selesai persoalan di pura Tugu maka Dang Hyang Nirartha
meneruskan perjalanan ke arah timur sampai di Samprangan lalu berhenti.
Ketika beliau duduk-duduk beristirahat, tiba-tiba terdengar oleh beliau suara
genta yang dibunyikan memenuhi angkasa, sangat merdu dan indah didengar
oleh sang pendeta, sehingga lama beliau termenung mengira-ngirakan
darimana asal suara genta tersebut. Tidak lama setelah itu datanglah dari arah
timur seorang pengalu (pedagang) menuntun seekor kuda yang berkalung
gentorag (genta) yang suaranya sangat indah didengar oleh sang pendeta, lalu
dipanggillah pengalu itu.
Etelah ia mendekat, maka berkatalan Dang Hyang, “Bolehkah saya
meminta gentorag kalung kuda saudara, untuk saya pergunakan dalam
memuja, karena saya tertarik denga suaranya yang indah.”
Orang pengalu itu demi mendengar kata sang pendeta demikian,
dengan cepat membuka kalung kudanya, dan dengan khidmad serta tulus
ikhlas menghaturkannya kepada sang pendeta. Ketika sang pendeta menerima
genta itu dari tangan sang pengalu, beliau dengan gembira berkata, “semoga
engkau selalu dalam perlindungan Sang Hyang Widhi.”
Lalu genta itu bernama Genta Samprangan, karena didapat di
Samprangan.
(26) PURA TENGKULAK
Berangkat pula sang pendeta dari Samprangan ke timur sampai di
desa Syut Tulikup. Di pinggir kali beliau berhenti duduk-duduk. Kemudian
datang beberapa orang turut duduk menghadap sang pendeta, dengan hormat
menyapa sang pendeta dan menanyakan dari mana datang ke mana tujuannya.
Setelah sang pendeta menerangkan halnya berkelana menjelajah pulau Bali,
maka mereka menyuruh salah seorang di antaranya memanjat pohon kelapa
dan memetik buahnya yang muda (kuud) untuk dihaturkan kepada sang
pendeta.
Yang disuruh segera memanjat pohon kelapa memetik sebuah
kuud, dan sesudah kelungah itu dikasturi (dipotong bagian tampuknya), lalu
dihaturkan kepada sang pendeta untuk diminum.
Sang pendeta menerima kuud itu dengan ucapan terima kasih.
Sebagai biasa apabila pendeta akan minum atau bersantap sesuatu apapun,
selalu didahului dengan ucapan-ucapan Weda mantram yang mengandung
ucapan syukur kepada Tuhan. Setelah selesai sang pendeta meminum airnya,
maka kuud itu dipecah dua untuk disantap isinya. Sang pendeta menyantap isi
kuud itu perlahan-lahan sambil bercakap-cakap dengan orang-orang desa di
sana. Orang-orang itu menjelaskan bahwa kesejahteraan dan kemakmuran
mereka kurang memuaskan, karena sering dilanda penyakit dan tanamtanaman
mereka kurang berhasil.
Sang pendeta menasihatkan apabila terjadi halangan, agar beliau
dipanggil secara batin, tentu beliau akan datang secara niskala memberi
pertolongan memohonkan kepada Tuhan agar halangan itu dapat
dimusnahkan. Lalu san pendeta berangkat ke arah selatan dan diiringi oleh
orang-orang di sana sampai tepi pantai.
Setiap malam, pecahan kuud yang isinya disantap oleh Dang Hyang
dilihat oleh oang-orang menyala seperti bulan, sehingga seluruh orang desa
dapat melihat pada malamnya kuud itu menyala gemilang bagai bulan, dan
dapat dirasakan kalau di sana terdapat kekuatan gaib.
Oleh karena itu orang-orang desa sepakat membuat suatu pura di
sana untuk memohon kepada Tuhan demi keselamatan dan kemakmuran desa.
Pura itu diberi nama Pura Tengkulak.
(27) PURA GOWA LAWAH
Diceritakan dang Hyang Dwijendra terus berjalan ke timur
menyusuri pantai laut. Akhirnya beliau sampai di Sowan Cekug. Lalu
melewati pantai Gelgel dan beliau terus ke timur melalui pantai Kusamba dan
akhirnya sampai pada sebuah gua yang penuh dengan kelelawar. Sang pendeta
masuk ke dalam gua dan menemukan banyak kelelawar yang sedang
bergelantungan di dalamnya. Suaranya hiruk-pikuk tiada putus-putusnya.
Sebab itu gua tersebut disebut Goa Lawah.
Di atas gua ini terdapat aneka macam bunga yang sedang tumbuh
dengan suburnya, baunya harum disebarkan oleh angin semilir. Dari sana
tampak pula keindahan pulau Nusa Penida. Segala keindahan ini menawan
hati sang pendeta sehingga berkenan menetap beberapa lama di sana.
Lambat laun dibangunlah sebuah parahyangan di sana yang
dinamai Pura Goa Lawah. Setelah beberapa malam sang pendeta menginap di
sana, beliau lalu kembali ke Gelgel.
Dalem Waturenggong sangat gembira melihat kedatangan sang
pendeta. Beliau dihadiahkan sebuah rumah dengan 200 orang pelayan. Tiap
malam Dalem menghadap gurunya untuk mempelajari ilmu kamoksan
(kelepasan/bersatu dengan Sang Hyang Widhi).
(28) PURA PONJOK BATU
Beberapa bulan kemudian, Dang Hyang berniat melihat-lihat
daerah Bali Denbukit, yaitu daerah Bali utara. Apabila ada kesempatan akan
terus ke Sasak untuk mengetahui agama yang dipeluk di sana. Dalem
berkenan akan niat gurunya itu, dengan harapan jangan lama-lama bepergian.
Pada suatu hari Mpu Dang Hyang berangkat ke utara dari Gelgel, akhirnya
tiba di pantai barat laut dari gunung Agung.
Di sana ada sebuah tanjung (ponjok) yang terjadi dari batu bulatan/
batu gunung yang ditutupi lumut menghijau. Sang pendeta berhenti di sana
dan duduk untuk melihat pemandangan laut.
Tiba-tiba beliau melihat sebuah perahu dengan layar sobek
terdampar di pantai pasir. Awak perahu tersebut pingsan di pantai pasir karena
mabuk laut yang hebat. Kemudian, dengan kekuatan gaib, Mpu Dang Hyang
menyadarkan mereka lagi. Mereka mengaku berasal dari Lombok. Mpu Dang
Hyang menasihati agar mereka menginap dulu di sana beberapa lama, baru
kemudian kembali ke Lombok, sekalian Mpu Dang Hyang akan ikut ke sana.
Besok paginya mereka berangkat menyusuri selat Lombok yang
membiru. Diceritakan kembali perihal keadaan di Ponjok Batu. Setiap malam
tampak oleh orang-orang di sana bahwa batu tempat peristirahatan Dang
Hyang Nirartha menyala terus-menerus. Akhirnya di sana didirikan sebuah
Pura dengan bangunan sanggar agung (tempat memuja kebesaran Hyang
Widhi) dinamai Pura Ponjok Batu.
(29) TUAN SEMERU PURA SURANADI
Setibanya di Sasak, Dang Hyang Nirartha juga mengajarkan agama
Islam waktu tiga kepada orang-orang sasak, sehingga beliau diberi gelar
TUAN SEMERU. Sebab itu beliau berkenan membuat syair bernama Tuan
Semeru bertembang Dandang. Asrama beliau tempat mengajarkan agama
disebut SURANADI, yang berarti asrama yang sangat indah diapit dua buah
telaga yang penuh bunga yang harum.
Karena kebesaran dan kesaktian jiwa beliau, maka di pinggir
asrama muncul empat buah mata air yang bernama Catur Tirtha, yaitu tirtha
panglukatan, tirtha pabersihan, tirtha pangentas, dan toya racun.
Tidak putus-putusnya orang datang ke sana untuk membersihkan
diri. Orang-orang Islam dan non-Islam menjadi rukun dan tidak ada
percekcokan. Mpu Dang Hyang menjelaskan tujuan agama itu tiada lain
adalah Sang Hyang Widhi itu sendiri atau Tuhan Allah, yang berbeda
hanyalah bahasanya dan praktek agamanya saja.
(30) GUNUNG API TAMBORA
Beberapa lama kemudian, sang pendeta berniat untuk pergi ke
Sumbawa untuk menemui saudara sepupu beliau. Pada suatu hari berangkatlah
beliau ke Sumbawa bersama tukang perahu yang beliau tolong di Ponjok Batu.
Akhirnya, beliau tiba di Sumbawa.
Beliau diiring ke lereng sebuah gunung berapi bernama Tambora.
Beliau menginap di rmah seorang petani. Beliau disuguhi ketela rebus dan
pisang rebus ala kadarnya, karena sawah-ladang petani di sana sedang
terserang hama ulat dan belalang.
Besok paginya Kepala Desa datang ke tempat Dang Hyang dan
menceritakan perihal desa mereka. Mpu Dang Hyang kasihan melihat
masyarakat di sana, lalu menyuruh mereka menyalakan pedupaan dan
membakar kemenyan malam harinya di sawah mereka, sementara beliau
sendiri akan memohon kepada Betara yang bersthana di unung Tambora agar
hama-hama itu dipindahkan dari sana.
Setelah matahari terbenam, orang-orang mulai melaksanakan apa
yang diperintahkan Pendeta Tuan Semeru. Beliau bersama kepala desa pergi
ke suatu tempat di ladang yang agak tinggi, seraya memohon kepada Tuhan
agar hama-hama di daerah itu lenyap. Beliau baru kembali ke pasraman
setelah larut malam.
Besok paginya alangkah terkejutnya masyarakat di sana
menyaksikan hama-hama itu sudah lenyap tak bersisa. Sawah-ladang kembali
produktif dan semua warga gembira. Mereka bertambah yakin bahwa Tuan
Semeru adalah seoran pendeta yang benar-benar suci dan sakti.
Di sana Mpu Dang Hyang juga menyembuhkan orang sakit. Orangorang
yang berobat langsung menjadi segar, sehingga berita tentang kehebatan
beliau mulai tersebar, sampai ke seluruh Sumbawa.
(31) DENDEN SARI
Diceritakan di Sumbawa ada seorang penghulu kaya yang
mempunyai seorang putri bernama Denden Sari. Karena kayanya dia menjadi
orang yang sangat bangga akan kekayaan dan kikir. Tiap hari kerjanya hanya
menghitung jumlah kekayaannya saja. Dia juga meminjamkan uang dengan
bunga tinggi, memungut uang dari warga, dan memasukkannya ke kas
pribadinya. Hanya itu yang dilakukannya setiap hari. Anak-anaknya tidak
dihiraukannya, sehingga hidup mereka melarat. Ada salah satu putrinya
bernama Denden Sari yang baru berumur 6 tahun, dalam keadaan sakit. Ia
sejak kecil tidak dihiraukan lantaran orangtuanya sibuk dengan kekayaan
mereka. Akhirnya, lama-kelamaan sakitnya bertambah parah. Badannya lemas
dan tidak sadarkan diri selama beberapa hari.
Sang penghulu mendengar ada seorang pendeta sakti yang bisa
mengobati orang sakit sedang berada di Sumbawa. Tergerak hatinya untuk
meminta pertolongan kepada sang pendeta. Tidak diceritakan bagaimana
pertemuan mereka, akhirnya sang pendeta yang diiring sang penghulu tiba di
rumahnya. Dang Hyang Nirartha melihat dan memperhatikan anak yang sakit
itu dalam keadaan melarat sekali, nafasnya terengah-engah dan mukanya
pucat pasi seakan-akan mayat, tetapi rupanya amatlah cantik.
”Oh, tuan pendeta, hamba mohon sembuhkanlah anak hamba ini.
Kalau dia bisa hidup lagi, hamba akan mempersembahkannya padamu,” ujar
sang penghulu berharap.
“Baiklah, aku akan menyembuhkannya. Tapi setelah sehat aku
akan membawanya ke Bali,” jawab sang pendeta. Lalu beliau memegang
kening anak itu seraya diberikan bebayon (kekuatan gaib ketuhanan).
Beberapa detik saja antaranya maka anak itu tersenyum dengan wajah cerah,
lalu duduk dengan sehatnya.
Demikianlah akhirnya Dang Hyang Nirartha membawa Denden
Sari kembali ke desa Mas. Setelah Denden Sari meningkat gadis, Dang Hyang
Dwijendra menikahkannya dengan cucu beliau yang bernama Ida Ketut
Buruan Manuaba.
(32) BUAH TANGAN GURU DAN MAHAPUTRA
Ketika Dang Hyang Dwijendra kembali ke Gelgel bukan main
gembiranya Dalem Waturenggong. Setiap malam mereka membicarakan ilmu
batin dan ketuhanan. Pangeran Dauh (Ki Dauh Baleagung) tetap saja datang
pada Dang Hyang Nirartha untuk memohon nasihat-nasihat. Segala nasihat
gurunya itu citulis dalam sebuah lontar berjudul Wukir Padelegan.
Untuk mengetahui berapa banyak buah tangan (hasil karya) Dang
Hyang Nirartha dan Pangeran Dauh, di bawah ini dicantumkan namanamanya,
yaitu :
Buah tangan Pangeran Dauh :
1. Rareng Canggu
2. Wilang Sebun Bangkung
3. Wukir Padelegan
4. Sagara Gunung
5. Aras Nagara
6. Jagul Tuwa
7. Wilet Manyura Tahun Saka 1414
8. Anting Anting Timah
9. Kakawin Arjuna Pralabda
Buah tangan Dang Hyang Dwijendra :
1. Nusa Bali Tahun Saka 1411
2. Kidung Sebun Bangkung
3. Sara Kusuma
4. Ampik
5. Legarang
6. mahisa Langit
7. Hewer
8. Majadanawantaka
9. Wasista Sraya
10.Dharma Pitutur
11.Kawya Dharma Putus
12.Dharma Sunya Keling
13.Mahisa Megat Kung Tahun Saka 1458
14.Kakawin Anyang Nirartha
15.Wilet Demung Sawit
16.Gagutuk Menur
17.Brati Sasana
18.Siwa Sasana
19.Tuan Semeru
20.Putra Sasana
21.Kidung Aji Pangukiran
(33) MEDIKSA DAN MEMBAGI WARISAN; PURA
PANGAJENGAN
Pada suatu ketika Dang Hyang Nirartha mempermaklumkan pada
Dalem Waturenggong bahwa beliau ingin kembali ke desa Mas.
“Nanak Waturenggong, ingatlah segala nasihat yang sudah-sudah.
Kini aku akan pulang ke desa Mas hendak melaksanakan upacara pediksan
keempat orang anakku yang akan menggantikanku untuk menjadi pendeta,
yang akan melanjutkan tugasku sebagai Brahmana di dunia, sebab aku akan
segera pulang ke Siwaloka. Hari pediksan itu akan dilaksanakan pada tilem
sasih kalima nanti. Jangan anak kecewa sepeninggalku. Pilih antara empat
anakku untuk menjadi pendeta kerajaan!” demikian nasihat Mpu Dang
Hyang. Dalem menyembah dengan khidmad.
Setibanya Dang Hyang di desa Mas, dititahkan pangeran Mas
mempersiapkan segala upakara untuk upacara pediksan nanti.
Diceritakan tepat pada hari pediksan itu Sri Aji Dalem
Waturenggong datang diiring oleh para punggawa, turut mempersaksikan
upacara suci itu. Sesudah upacara itu selesai, maka Mpu Dang Hyang
memberikan nasihat kepada putra-putranya, antara lain tentang kewajiban
pendeta.
1. Tidak boleh minum tuak atau segala minuman beralkohol;
2. Menghindari segala hal yang menyebabkan mabuk;
3. Tidak boleh makan daging sapi, karena ia sebagai ibu yang
memberikan susu kepada kita.
4. Tidak makan daging babi rumahan (peliharaan);
5. Tidak memakan daging ayam peliharaan;
6. Menghindari segala hal kotor, baik sekala maupun niskala;
7. Tidak boleh iri hati;
8. Tidak boleh mengambil istri orang lain dan berzina.
Demikianlah nasihat Mpu Dang Hyang kepada putra-putranya.
Selanjutnya beliau mengeluarkan seluruh harta kekayaan beliau, dan akan
dibagikan kepada semua putranya. Dalem Waturenggong turut
mempersaksikan peristiwa itu, diiringi oleh Sira Arya Kenceng, Pangeran
Dauh Baleagung beserta rakyatnya, dan Ki Pan Geleng pelayannya Ida Kidul.
Adapun harta yang dibagi yaitu : emas, perak, uang kepeng,
permata mirah, cincin, tegal sawah, lontar-lontar pustaka, alat pawedan
(pemujaan kependetaan), rakyat (panjak), dan lain sebagainya. Tempat
membagi harta beliau itu dilakukan di luar gria asramanya di Mas. Harta
benda itu dibagi lima (5) untuk enam orang putranya. Di luar gria itu
diletakkan 5 buah balai amanca desa (5 arah).
Kemudian, Dalem mempersilakan keenam putra Dang Hyang untuk
mengambil warisan itu sesuai kehendak mereka.
1. Mpu Kulon mengambil emas, perak, uang kepeng,
permata, surat tegalan dan rakyat, akibatnya akan
mempunyai keturunan banyak tapi kurang pandai.
2. Mpu Lor mengambil surat tegal sawah, emas, perak,
uang kepeng, permata perhiasan, dan rakyat, akibatnya
mempunyai keturunan banyak tapi kurang pandai.
3. Mpu Wetan mengambil surat tegal sawah, emas,
perak, uang kepeng, permata perhiasan, dan rakyat,
akibatnya mempunyai keturunan banyak tapi kurang
pandai.
4. Ida Putu Sangsi dan Ida Putu Bindu mengambil satu
bagian untuk mereka berdua berupa sawah dan ladang,
maknanya kepandaian kurang, tapi banyak anak.
Mpu Kidul tetap diam tak mengambil satupun. Akhirnya setelah
diperingatkan oleh Dalem, barulan beliau mengambil : lontar pustaka, alat
pawedan, 2 buah genta bernama Ki Brahmana dan Ki Samprangan, pisau
pengrupak bernama Ki Tamlang, keris bernama Ki Sepak. Maknanya penuh
kepandaian dan bakat, tapi sayang keturunannya sedikit. Beliau mengangkat
Bendesa Mas sebagai pelayannya.
Masih ada rakyat, seekor ayam kurungan, dan sebatang pisau
pengrupak. Mpu Kulon mengambil rakyat, Mpu Lor mengambil ayam
kurungan, dan Mpu Kidul mengambil pisau pengrupak.
Setelah selesai semuanya maka Dang Hyang berpamitan pada
semuanya, sebab beliau akan berangkat mencari tempat yang suci untuk
kembali ke Siwaloka. Putra-putranya semua menyembah dengan khusuk,
demikian pula Sri Aji Dalem Waturenggong dan Pangeran Dauh Baleagung,
para Arya dan rakyat yang hadir.
Demikianlah akhirnya Dang Hyang Dwijendra berjalan ke arah
selatan seorang diri, hanya membawa tempat pacanangan (tempat sirih). Dang
Hyang Dwijendra mengembara memasuki tempat-tempat suci tanpa ada
seorang pun yang tahu. Tapi pada suatu hari ada orang yang memberitahu
Pangeran Mas bahwa Dang Hyang sedang ada di penghulu sawah antara desa
Sumampan dengan Tengkulak, dilihat sedang menulis lontar.
Beberapa hari kemudian kebetulan hari Penampahan Kuningan.
Bendesa Mas bersama istrinya pergi ke tempat Dang Hyang dengan membawa
makanan yang enak rasanya yang akan dihaturkan kepada Mpu Dang Hyang.
Mpu Dang Hyang menerimanya dengan senang hati, lalu menyuruh pangeran
Mas untuk mencarikan bungkak untuk menyucikan makanan itu.
Setelah Dang Hyang meninggalkan tempat itu, maka tempat bekas
beliau bersantap setiap malam mengeluarkan sinar dan berbau harum, karena
itu di sana didirikanlah sebuah pelinggih bernama Pura Pangajengan
(pangajengan = tempat makan).
(34) PURA MASCETI DAN PURA PETI TENGET
Diceritakan setelah itu Dang Hyang pergi ke pantai selatan Bali,
berjalan menuju desa Rangkung mendekati pelabuhan Masceti. Tiba di sana,
beliau merasakan dewa sedang mendekati beliau, maka timbullah semangat
untuk melakukan pemujaan di dalam pura Masceti. Ketika beliau
mengucapkan Weda Matram, tangan beliau dipegang oleh Betara Masceti.
“Tidak patut Dang Hyang menyembah seperti ini, karena sudah
suci menunggal kepada Sang Hyang Widhi. Apa sebab Dang Hyang masih di
dunia?” tanya Bhatara Masceti.
“Saya masih menunggu saat turunnya perintah dari Tuhan,” jawab
Dang Hyang.
“Kalau begitu,” ujar Bhatara Masceti. “Marilah kita bersamasama
bercengkrama di daerah pinggir laut.”
Kemudian, karena kesaktian Bhatara Masceti, akhirnya mereka tiba
di pulau Serangan bagian barat laut. Seseorang melihat mereka serupa cahaya
merah dan kuning, lalu memberanikan diri mendekat. Dilihatnya Mpu Dang
Hyang sedang bercakap-cakap dengan Bhatara Masceti, lalu dia berkata.
“Mpu Dang Hyang, tinggallah dulu di sini, sebab hamba akan
memuja Sesuhunan.”
“Baiklah,” jawab Mpu Dang Hyang. “Buatlah di sini sebuah candi
yang akan disungsung oleg jagat dan buat pula sebuah gedong pelinggih
Bhatara Masceti, karena beliau iring Bapak sampai ke sini!”
Dang Hyang melanjutkan pembicaraannya dengan Bhatara Masceti,
tiba-tiba telah sampai mereka di tepi laut Krobokan. Dari sana Mpu Dang
Hyang melihat tanjung Uluwatu sebagai perahu hendak berlayar memuat
orang-orang suci menuju surga.
“Dang Hyang, maafkan saya. Saya mohon diri di sini,” demikian
kata Bhatara Masceti lalu menggaib.
Dang Hyang Dwijendra berjalan menuju Uluwatu, pecanangannya
diletakkan. Ketika itu beliau melihat ada orang halus bersembunyi di semaksemak
karena takut melihat perbawa Dang Hyang yang suci itu. Makhluk
halus itu adalah Buto Ijo.
Buto Ijo kemudian diperintahkan oleh Dang Hyang untuk menjaga
pecanangannya di sana, dan daerah itu diberi nama Tegal Peti Tenget. Kalau
ada yang hendak merusak daerah itu, Buto Ijo ditugaskan untuk melawan.
Dang Hyang Nirartha terus menuju Uluwatu. Setelah tiba di sana,
tidak terperikan senang hati beliau, karena tempat itu sunyi dan hening, di
sana beliau mengheningkan cipta, menunggu panggilan Tuhan untuk
ngeluhur.
Pada suatu hari datang kepala desa Krobokan bersama beberapa
orang menghadap Mpu Dang Hyang. Ia bercerita mengenai orang-orang yang
sakit dan tidak bisa diobati setelah datang ke tegal (Peti tenget) tersebut. Lalu
Dang Hyang memberitahu bahwa pecanangan beliau ada di sana karena beliau
tidak memerlukannya lagi, dan dijaga ketat oleh Buto Ijo. Dang Hyang
kemudian memerintahkan agar di sana dibangun sebuah kahyangan pelinggih
Bhatara Masceti. Pecanangan milik beliau juga diperintahkan untuk
disungsung agar memperoleh kesejahteraan desa. Pada hari pujawali, Buto Ijo
harus diberi cecaruan, berupa nasi segehan atanding, ikannya jejeron, babi
mentah, segehan agung, lengkap dengan tetabuh tuak arak.
Kelihan Krobokan berpamitan, kemudian di Tegal Peti Tenget
kemudian dibangun sebuah pura bernama Pura Peti Tenget.
(35) PURA LUHUR ULUWATU
Pada hari Selasa Kliwon Medangsia, Dang Hyang Dwijendra
mendapatkan wahyu dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa bahwa beliau pada hari
itu dipanggil untuk ngeluhur. Merasa bahagia sekali beliau, karena apa yang
dinanti-nantikan telah tiba. Hanya ada sebuah pustaka yang belum dapat
diserahkan kepada salah seorang putranya. Tiba-tiba Mpu Dang Hyang
melihat seorang bendega (nelayan) bersama Ki Pasek Nambangan sedang
mendayung jukung di lautan di bawah, lalu dipanggil oleh beliau.
Setelah bendega itu menghadap, lalu Dang Hyang berkata,
“Engkau akan kusuruh menyampaikan kepada anakku Mpu Mas di
desa Mas, katakan pada beliau bahwa bapak menaruh sebuah pustaka mereka
di sini yang berisi ajaran ilmu kesaktian.”
“Singgih, pukulun sang sinuhun,” ujar bendega lalu mohon diri.
Setelah Ki Pasek Nambangan pergi, maka Dang Hyang Nirartha
mulai melakukan yoga samadhinya. Beberapa saat kemudian beliau moksa
ngeluhur, cepat bagai kilat masuk ke angkasa. Ki Pasek Nambangan
memperhatikan juga hal itu dari tempat yang agak jauh, namun ia tidak
melihat Mpu Dang Hyang, hanya cahaya cemerlang dilihat melesat ke angkasa
bagai petir.
Demikianlah akhir riwayat hidup Dang Hyang Nirartha. Kahyangan
tempat beliau ngeluhur itu kemudian disebut Pura Luhur, lengkapnya Pura
Luhur Uluwatu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar