Jumat, 18 Oktober 2013

GAMBELAN


Gamelan Dalam Ritual Hindu




Penggunaan gamelan dalam kegiatan ritual Hindu pada dasarnya memiliki arti yang sagat penting. Gamelan bukan saja sebagai penghibur tetapi memiliki makna yang sangat dalam. Gamelan yang merupakan lambang dari Bathara Iswara mampu menghadirkan vibrasi dalam sebuah upacara. Dalan upacara tertentu, Dewa Yadnya, Pitra Yadnya, maupun Manusa Yadnya, Rsi Yadnya maupun Bhuta Yadnya, gamelan bukan saja untuk menciptakan kemeriahan semata, tetapi merupakan satu kesatuan dalam upacara tersebut.

---------------------------

MENURUT lontar Aji Gurnita gamelan memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan kegiatan ritual. Hal ini sudah terjadi sejak zaman kerajaan. Misalnya saja selonding, merupakan jenis gamelan yang dipakai pada pasraman-pasraman untuk mengiringi kegiatan upacara para pendeta.

Namun menurut Ketua Jurusan Karawitan STSI Denpasar I Wayan Sueca, SS. Kar., M.Mus, perkembangan gamelan mengalami perubahan dan perkembangan seusia dengan peradaban manusia. Pada zaman kerajaan pun perkembangan gamelan terjadi walaupun tidak sebanyak sekarang. Jenis gamelan Gambang diperkirakan mendapat pengaruh dari Jawa. Gambang ini lebih banyak digunakan pada saat upacara Pitra Yadnya.

Kemudian kalau melihat pada zaman pertengahan, yaitu pada zaman Waturenggong, terjadi perubahan yang lebih besar lagi. Satu jenis gamelan telah mempunyai fungsi ganda. Artinya, satu jenis gamelan bisa digunakan pada beberapa kegiatan ritual. Semarpegulingan misalnya, sudah bisa digunakan pada beberapa kegiatan ritual, tetapi bukan pada saat Dewa Yadnya. Jenis gamelan ini lebih banyak digunakan untuk upacara Manusa Yadnya, dan sering juga dipakai dalam kegiatan penyambutan tamu agung pada zaman Waturenggong.

Sedangkan yang terkait dengan Dewa Yadnya, lebih banyak menggunakan jenis gamelan Gong Gede. Dilihat dari sejarahnya, kelahiran Gong Gede lebih banyak dipakai di lingkungan puri, kemudian berkembang pada masyarakat sampai sekarang. Bahkan sekarang Gong Gede selain sebagai sarana dalam upacara keagamaan juga bisa dipakai untuk mengiringi kesenian terutama tari-tarian. Pada zaman itu juga tumbuh jenis gamelan gambuh yang mengkhusus untuk mengiringi tari Gambuh.

Sedangkan Drs. Nyoman Astita, M.A., dosen seni karawitan yang juga Wakil Ketua Listibya Bali itu mengatakan, memang dalam lontar Catur Muni-muni disebutkan mengenai pengelompokan jenis-jenis gamelan terkait dengan fungsinya sebagai iringan upacara Hindu, termasuk penempatan instrumen gamelen itu dalam Tri Mandala areal pelaksanaan kegiatan adat dan keagamaan. Namun, dalam pelaksanaan di lapangan pun tak bisa saklek. ''Karena menganut sistem desa mawacara itulah, seringkali di satu desa jenis gamelan tertentu dianggap sakral, sementara di desa lainnya tidak,'' katanya.

Penggabungan dan Penyimpangan

Sueca menyebutkan, sesuai dengan perkembangan zaman, perubahan juga terjadi pada jenis gamelan itu sendiri. Setelah kelahiran Semarpegulingan, kemudian ada jenis gong yang dinamakan Gong Kebyar. Gong jenis ini mengalami perkembangan yang sangat pesat pada saat ini. Diperkirakan tiap banjar di Bali telah memiliki jenis gong yang satu ini. Kehadiran gong ini merupakan gabungan dari beberapa jenis gamelan.

Karena hadir dari hasil penggabungan beberapa jenis gamelan, Gong Kebyar ini seringkali dipakai dalam berbagai kegiatan upacara keagamaan. Dalan upacara Manusa Yadnya maupun Dewa Yadnya, bisa saja menggunakan gong jenis ini. ''Untuk sekarang inilah yang terjadi. Menggunakan Gong Kebyar dalam tiap upacara Dewa Yadnya sampai pada Pitra Yadnya merupakan bentuk efisiensi karena gong jenis ini merupakan gabungan dari berbagai jenis gamelan,'' ujarnya. Apakah hal ini tidak menyalahi aturan yang ada? Menurut Wayan Sueca, kalau dilihat dari lontar Aji Gurnita dan Prakempa, memang terjadi penyimpangan. Karena sudah ditentukan mana yang dipakai untuk upacara Dewa Yadnya dan mana yang dipakai untuk Pitra Yadnya. Sehingga kalau berpatokan pada lontar tersebut jelas terjadi penyimpangan dalam hal etikanya.

Selain itu, pemakaian jenis gamelan sangat tergatung pada desa, kala patra yang ada. Tiap desa atau wilayah biasanya memiliki ketentuan sendiri dalam hal penggunaan gamelan tersebut. Karena bagaimana pun dresta dalam suatu wilayah sangat ditentukan oleh keadaan daerah yang bersangkutan. Hal ini menandakan bentuk dan jenis gamelan dalam melengkapi sebuah upacara memang tidak terlalu baku. Misalnya saja, jenis gamelan angklung biasanya digunakan untuk upacara Ngaben, namun di beberapa tempat ada pula yang menggunakan dalam upacara Dewa Yadnya. ''Yang seperti ini siapa berani menyalahkan?'' tanya Sueca.

Untuk mengevaluasi rambu-rambu yang ada dan dipakai selama ini, menurut Astita, usai Pesta Kesenian Bali (PKB) Juni nanti, Listibya Bali bakal membahas kembali rambu-rambu mengenai fungsi tarian dan gamelan, wali, bebali dan bali-balihan melalui suatu seminar. ''Dari sana diharapkan ada evaluasi, masukan atau koreksi terhadap rambu-rambu yang ada, sehingga ada acuan dalam pelaksanaan kehidupan berkesenian yang terkait dengan iringan pelaksanaan adat dan upacara keagamaan,'' ujarnya.

Terkait Fungsi

Secara umum, kata Astita, ada beberapa jenis gamelan yang dianggap sakral sebagai pengiring upacara keagamaan seperti gambang, selonding, caruk (modifikasi gambang dan caron), serta gong luang. Dianggap sakral atau tidaknya sebuah gamelan, terkait dengan fungsinya sebagai pengiring upacara keagamaan.

Dia menambahkan, gamelan sakral yang berfungsi sebagai wali lebih mempertahankan nilai magisnya dan sedikit memperhatikan unsur entertainment (hiburan). Berbeda dengan tari yang berfungsi sebagai pelengkap atau berfungsi memeriahkan, membuat suasana lebih mantap, berwibawa tetapi tetap khidmat. Memang, menurut dia, Listibya Bali pernah mengelompokkan jenis gamelan menjadi tiga, yakni wali (iringan wali untuk adat dan keagamaan), bebali dan bali-balihan.

Namun penggunaan gamelan dalam upacara keagamaan masyarakat Bali menganut sistem fleksibilitas sesuai desa mawacara. Karena itu, tak ada salah benar dalam penggunaan tabuh pelengkap upacara. Dalam lontar ataupun kitab atau sastra agama, katanya, tak ada ketentuan yang mengharuskan gamelan tertentu untuk iringan upacara tertentu. Kreativitas, kata Pembantu Ketua III STSI Denpasar itu, menyebabkan di lapangan penggunaan gamelan dalam ritual tidak kaku. ''Kreativitas berkesenian mesti bergerak mengalir. Apalagi, Bali menganut sistem fleksibilitas. Karena itu, kalau pada upacara Pitra Yadnya juga dilengkapi iringan baleganjur saat mengusung bade atau nganyut ke pantai, hal itu tak bisa disalahkan. Sebab, fungsi baleganjur misalnya, menumbuhkan atau menggelorakan semangat pendengarnya,'' katanya.

Unsur Panca Swara

Fungsi gamelan dalam kegiatan upacara ritual Hindu, kata Wayan Sueca, merupakan salah satu unsur dari Panca Swara. Sehingga gamelan memiliki arti yang sangat besar dalam upacara ritual tersebut. Kehadiran gamelan dalam kegiatan ritual diyakini mampu menghadirkan vibrasi tertentu. Dalam sabdanya Hyang Bagawan Naradha kepada seluruh umat manusia untuk mencapai moksartam jagatdhita ya caiti dharma lewat seni bunyi-bunyian. ''Gamelan yang mengiringi upacara sering kali mampu memberikan suasana lain terutama dalam hubungannya dengan yang 'di atas'. Dengan kata lain gamelan yang dipakai dalam kegiatan keagamaan tidak bisa dipandang sebagai pelengkap saja,'' katanya.

Hal ini, menurutnya, dibuktikan dengan adanya hari khusus (Tumpek Krulut) untuk mengupacarai gamelan. Saat Tumpek Krulut itu diadakan upacara tertentu atau semacam otonan untuk gamelan. ''Otonan terhadap gamelan ini dilakukan pada Tumpek Klurut sesuai dengan bunyi lontar Aji Gurnita.

(ara/bud)

Jenis Gamelan yang Umum untuk Panca Yadnya
--------------------------------------------------
Dewa Yadnya : - Tabuh Lelambatan
- Gong Kebyar
- Angklung
- Selonding
Rsi Yadnya : - Gender
Manusa Yadnya: - Gambang
- Gong luang
- Gong gede
- Gong kebyar
- Angklung
- Gender
Pitra Yadnya : (hampir sama dengan Manusa Yadnya)
Bhuta Yadnya : - Baleganjur


Tidak ada komentar:

Posting Komentar