RITUAL
PERANG API/MASEBETAN API
KATA PENGHANTAR
Om Swastiastu,salam sejahtera untuk kita semua,sebelumnya
saya ucapkan puji syukur atas asung kerte warunugrahe ring Ide Sanghyang Widhi
Wasa karena atas rahmat dan karunia beliaulah tugas ini dapat saya
selesaikan.Tugas ini saya susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Weda semester empat
pada sekolah tinggi agama hindu negeri gde pudja mataram
Memang banyak yang patut kita ungkap disekitar kehidupan
sosial masyarakat kita dimana dimasing-masing desa mempunyai tradisi yang
berbeda disatu desa dengan desa lainnya,yang mana semua hal ini dipengaruhi
oleh sejarah kehidupan masyarakat dimasa lampau,dimana dimasa tersebut terdapat
kerajaan-kerajaan yang mempunyai daerah kekuasaan masing-masing yang mempunyai
dampak pengaruh pada kehidupan masyarakatnya.
Saya menyadari bahwa tugas yang saya buat ini masih jauh
dari kata sempurna dan masih banyak kekurangannya,oleh karena itu saya selaku
penulis mengharapkan adanya saran yang membangun dari berbagai pihak sebagai
masukan buat tugas saya ini.
Belajarlah dari sejarah karena desa yang besar dan
bersrade adalah desa yang menghargai sejarah serta mengajegkan adat istiadat
atau tradisi yang berlaku didaerahnya masing-masing dan jangan jual desamu
kepada orang lain.
Mudah-mudahan penulisan ini dilain waktu akan dapat
lebih disempurnakan terus sehingga berguna untuk kita semua sebagai pelita
dalam menatap masa depan yang lebih cerah,demikain hal ini saya sampaikan
secara tertulis atas perhatiannya saya selaku penulis mengucapkan sukseme,om
canti canti canti om.
Mataram, Juni 2011
PENULIS
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Perang api atau mesabetan api merupakan tradisi yang sangat
unik dan hanya dimiliki oleh dua desa dilombok tepatnya dikota mataram
dikecamatan cakranegara mungkin tradisi ini kedengerannya tidak asing bagi kita
semua yang berada disekitar kota mataram khususnya cakranegara bahkan kita
pasti pernah menontonnya atau atau bahkan ada keluarga atau kenalan kita yang
ikut dalam perang api tersebut yang dimana ritual perang api ini merupakan
tradisidi dua desa yang telah berlangsung sudah sangat lama yaitu sejak tahun
1838 dan ritual perang api ini dilakukan secara turun-temurun hingga sekarang.
Tradisi tersebut dilaksanakan dijalan selaparang
cakranegara diperbatasan kelurahan mayura dengan kelurahan cakra timur yang
dimana dulunya konon ditempat tersebut merupakan lokasi perang saudara yaitu
peperangan antara kerajaan singosari dengan kerajaan karangasem(metaram).Tradisi
perang api/mesabetan api dilakukan oleh dua desa atau banjar yang hanya dipisahkan
oleh jalan raya yang mana perang api ini diikuti oleh ratusan pemuda dari dua
desa tersebut baik itu dari desa sweta maupun dari desa negarasakah dengan
menggunakan daun kelapa kering yang dibakar ditangan lalu disabetkan kelawan
hingga membentuk percikan-percikan api yang bertebaran,yang mana ikatan daun
kelapa kering tersebut diikat seperti sapu lalu dicelupkan keminyak tanah terus
digunakan untuk memukul lawan hinga ada yang kalah atau apinya mati.yang mana
terlebih dahulu dari kedua desa ada yang memeriksa ikatan daun kelapa tersebut
agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Menurutweda sloka
yang terkandung dalam ritual perang api ini yaitu dalam kitab suci kala tatwa tentang
hal ini ditegaskan sebagai berikut ;
“Mwah ya hana wang
wrilih ring pengastutyane ring kita,wenang sire wened kasidian dent
sapamintanya yogyd tuten dents,lawan sawad wan te kabeh, apan ika rwang sanak
ta jati ika ngaran manusa jati,apan manusa jati juga wenang orok lawan bhuta
kala-durga,bhuta-kala durga wenang arok lawan dewa betara hyang karaning
tunggal ike kabeh sira manusa sira dewa sira bhuta bhuta ya dewa ya manusa ya
makana jati tatwanya”
Yang mana artinya yaitu;
Lagi pula ada orang tabu memberikan pujaan kepadamu
(bhuta kala)boleh kamu memberikan kemanjuran,segala permintaanya patutlah kamu
menurutinya beserta sekalian pengikutnya karena sekalian pengikutmu
sesungguhnya itu adalah sesamamu karena itu bernama manusa sejati karena manusa
sesungguhnya manusalah boleh bersatu dengan bhuta kala durga,bhuta kala durga
boleh bersatu dengan dewa bhatara hyang widhi sebab asalnya satu itu semua,ia
manusa,ia dewa,ia bhuta(bhuta ya,dewa ya,manusa ya) begitulah filsafatnya
Konon tradisi perang api ini dilakukan sejak datangnya
wabah penyakit yang tidak jelas asalnya yang biasa oleh orang bali disebut gering
atau gerubug,sehingga warga didua desa tersebut banyak yang meninggal
dunia,maka untuk mengatasinya ada yang menganjurkan dilakukan pembakaran
api,kegiatan perang api ini semula dinamakan mancesanah yakni ritual untuk mengusir buthakala dan tradisi ini
dilakukan oleh umat hindu didua desa tersebut pada malam penyambutan hari raya
nyepi,biasanya perang api dilakukan seusai pawai ogoh-ogoh serta upacara tawur
kesange(memohon penyucian)dipura jagatnate taman mayure.
Tradisi perang api ini/mesabetan api bukan dilakukan
untuk menyakiti lawan,akan tetapi ditujukan untuk mengeluarkan perasaan benci dan
dendam meskipun tidak sedikit warga dikedua desa yang kulitnya melepuh terkena
bara api.Acara ini bermakna agar manusia memerangi hawa nafsu yang disimbulkan sebagai
api,agar tidak jatuh korban ritual ini disertai dengan aturan yang ketat yakni
peserta dilarang membakar kembali daun kelapa yang telah padam atau mengejar
lawan yang telah padam daun kelapanya.
1.2 PERUMUSAN MASALAH
Dari uraian latar belakang tersebut dapat Dirumuskan pemasalahan
sebagi berikut
“Apa makna filosopi
dari tradisi perang api yang dilakukan oleh dua desa antara desa sweta dengan
desa negarasakah itu berdasarkan weda”
1.3
TUJUAN DAN MAMFAAT
PENELITIAN
1.3.1 TUJUAN PENELITIAN
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah
untuk mengetahui makna filosopi dari tradisi peang api yang dilakukan oleh dua
desa antara desa sweta dengan desa negarasakah itu berdasarkan weda.
1.3.2 MAMFAAT PENELITIAN
Mamfaat dilakukannya penelitian ini adalah
1.Secara akademik merupakan salah satu syarat untuk memenuhi tugas
mata kuliah upanisad semester empat pada
sekolah tinggi agama hindu negeri gde pudja mataram.
2.Secara teoritis/ilmiah adalah dapat membandingkan teori-teori yang
diperoleh dibangku kuliah dengan
kenyataan yang terjadi dimasyarakat tentang serjarah kebudayaan hindu
3.Secara prakis yaitu diharapkan hal ini dapat memberikan masukan
pada kedua desa untuk lebih mencintai dan melestarikan adat istiadat/tradisi
kedua desa agar dilain waktu tidak diklim oleh pihk luar.
BAB 2
PEMBAHASAN
Umat hindu cakranegara melaksakan ritual mesabetan api
atau yang lebih kita kenal dengan ritual perang api,ritual ini merupakan
rangkaian penyambutan hari raya nyepi setiap tahunnya yaitu seusai upacara tawur kesange(memohon
penyucian)yang dilakukan dipura jagatnate taman mayure serta pawai ogoh-ogoh.
Tradisi perang api atau mesabetan api ini telah ada
sejak tahun 1838 dimana ditempat tersebut dahulunya telah terjadi perang
saudara antara kerajaan singasari dengan kerajaan karang asem(metaram) yang
mana kedua kerajaan ini masih mempunyai hubungan keluarga.perang api atau mesabetan
api ini pada mulanya dilakukan untuk mengenang peristiwa sejarah yang telah terjadi diperbatasan desa sweta denganm
desa negarasakah yang mana perang saudara ini terjadi pada hari rabu paing wuku
kuningan yaitu pada tanggal 13 juli 1838 yaitu 19 hari setelah gugurnya raja
metaram I Gusti Anglurah Ketut karang Asem Dirumak.
Keruntuan kerajaan singasari dimulai sejak tahun 1720
Pada masa kekuasaan sub dinasti anglurah made karang asem yang pada waktu itu
mempunyai daerah kekuasaan yang mengkoordinir 5 kerajaan-kerajaan kecil lainya
meliputi kerajaan pegesangan,kerajaan pagutan,kerajaan kediri,kerajaan metaram
serta kerajaan sengkongo.tetapi terjadi suatu peristiwa tanah perburuan didesa
kateng yang didalam prasasti pitemas memang termasuk wilayah kekuasaan kerajaan
metaram yang kini dipersengketakan.
Ditengah meruncingnya perbedaan-perbedaan pendapat
dipuri singasari sendiri dan adanya perasaan terpendam antara kerajaan singasari
dengan metaram seakan-akan hal inilah yang merupakan asal mula penyebab adanya
sengket berdarah antara kerajaan bersaudara
tersebut.
Menurut babat dan karya sastra yang masih tersisa dari
karya sastra I gusti wayan jelantik yang kemudian beliau diabiseke(istilah
jaman dulu dinobatkan menjadi raja)yang kemudian bergelar menjadi Anak agung
anglurah ketut karangasem (Dewata dirum metaram).Beberapa tahun menjelang
terjadinya perang saudara antara kerajaan singasari melawan kerajaan metaram
timbul/terlihat adanya tanda-tanda alam yang merupakan ciri akan terjadinya
suatu peristiwa besar (perang besar-besaran) ciri-cirinya antara lain gunung
tambora meletus pada tahun 1815 yang memakan bayak korban meninggal,kemudian
disusul musim paceklik yang berkepanjang disertai wabah penyakit yang menjalar
dari Lombok bagian barat sampai ke Lombok bagian timur serta masih banyak lagi
kejadian yang lain.
Konon orang-orang dulu percaya bahwa keadaan seperti itu adalah
suatu ciri akan terjadi suatu kejadian yang buruk(sipta)karena adanya ulah dan
perbuatan manusia yang tidak senonoh(salah krama/gamya-gamana)yang telah
merusak keseimbangan kehidupan didunia ini,dimana alam telah
memberontak/menjadi ganas sedangkan manusia telah kehilangan dirinya yang mana
tidak lagi mengenal mana yang salah atau bener sehingga kekuasaan yang dulunya
adil telah tidak ada.
Makin hari ketegangan antara kerajaan singasari dengan
kerajaan metaram makin memuncak dengan dipasangnya tanda-tanda
perbatasan(sawen)yang jauh masuk diwilayah desa kateng,pada waktu itu kerajaan pegesangan
telah menyerah kesigasari setelah meninggalnya I gusti nengah tegeh.
Awal perang antara kerajaan singasari dengan kerajaan
metaram terjadi pada hari sabtu wuku tambir”dwi kresne masa bulan kapitu”caka
warsa “wang gunung agiling in leng”1759 atau 1838 tahun masehi,dimana perang
tersebut banyak melibatkan pasukan dari kerajaan sekutu masing-masing bahkan
perang tersebut sudah menggunakan senjata modern seperti senjata
api,lela(meriam sulut) amunisi serta barang-barang imfor lainnya yang mana
semua peralatan tersebut diperoleh dari pihak asing,bahkan ada orang Inggris
yang bernama George peacock king dan agennya Cooper yang turut campur dalam
memberi bantuan peralatan perang buat raja metaram berupa kapal perang untuk
mengangkut prajurit-prajurit bantuan buat kerajaan Metaram dari karangasem bali
kelombok melalui Ampenan dan Tanjungkarang,serta berhasil membuka selat lombok
sebagai jalur pelayaran.
Mereka menggunakan kapal perang bernama “Pleyades” dan
perahu-perahu kecil yang diberi nama “Mongkey” dan “Laju”.untuk Pleyades saja
Goerge menarik ongkos perhari dengan mata uang belanda yaitu sebesar f
125,(gulden) kepada raja metaram sewaktu mengangkut perbekalan dan pasukan dari
karang asem bali.
Menurut Huskus Kooman(seorang pengamat yang kemudian diangkat
sebagai komisaris belanda untuk bali dan lombok)yang dalam laporannya tanggal
11 mei 1842 kepada pemerintah belanda dijakarta,pada permulaan perang saudara
itu perbandingan kekuatan antara kerajaan singasari dengan kerajaan karangasem
mataram yaitu 20 berbanding 1,karena metaram hanya mengandalkan bantuan 3000
orang dari karangasem bali.
Karena
perbandingan lawan yang tidak sebanding maka kerajaan singasari mengalami
kekalahan sehingga raja berserta prajurit yang masih tersisa mundur kearah
timur,akan tetapi disebelah timur yaitu diperbatasan desa sweta dan Negarasakah
pasukan singasari tadi dihalani oleh prajurit metaram yang kala itu dating dati
timur yang merupakan pasukan bantuan buat raja metaram,karena saking kalah
dalam jumlah dan akhirnya raja serta para prajuritnya gugur dalam pertemouran
tersebut dan pertempuran itu menyisakan manyat-mayat yang bergelimpangan
sehingga ampe nenimbulkan penyakit.karena hal tersebut raja metaram lalu
menyuruh para anak buahnya agar mayat-mayat tersebut diabenkan secara
agama.karena untuk mengenang peristiwa sejarah yang telah terjadi diperbatasan desa sweta denganm
desa negarasakah yang mana perang saudara ini terjadi pada hari rabu paing wuku
kuningan yaitu pada tanggal 13 juli 1838 yaitu 19 hari setelah gugurnya raja
metaram I Gusti Anglurah Ketut karang Asem Dirumak.
BAB 3
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Berdasarkan hasil kesimpulan diatas maka dapat diambil suatu
kesimpulan sebagai berikut;
Tradisi perang api yang telah berlangsung secara
turun-temurun sejak ratusan tahun yang lalu tersebut memang harus tetap dijaga
dan dilestarikan karena merupakan warisan leluhur dimana teradisi tersebut
mengandung sejarah yang tidak bisa dipisahkan dari kedua desa tersrbut karena perang
api tersebut yang menjadi bukti bahwa ditempat itu dahulunya telah terjadi
peristiwa sejarah perang puputan dan bila peristiwa sejarah tersebut
dilupakan,konon dapat menimbulkan bencana alam seperti terkena wabah/gering dan
ritual perang api tersebut juga berdasarkan weda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar