BAB
I
PENDAHULUAN
Latar
belakang
Seni berasal dari bahasa sanskerta,yaitu dari kata
sani yang berarti pemujaan,pelayanan,donasi,permintaan atau pencarian dengan
hormat dan jujur. Akan tetapi ada juga yang mengatakan bahwa seni berasal dari
bahasa belanda yaitu genie atau jenius. Selain itu kata dasar “ Seni “ mendapat
awalan kata “ ke “ dan akhiran kata “ an “ dan setelah disatukan menjadi
kesenian. Lazimnya orang mengartikan kesenian sama dengan objek seni, seperti
seni tari,seni drama,seni kerawitan,seni rupa dan lain-lainnya.
Sesuai dengan ungkapan tersebut diatas,bahwa seni
merupakan suatu kegiatan seseorang (
Seniman ) dalam mencari kebenaran seni dengan mengadakan penyerahan diri sepenuhnya untuk bersatu dalam sebuah karya
seni ( Siwa sebagai dewanya kesenian yakni siwa nataraja atau di bali sering
disebut dengan istilah dewa taksu ). Sehingga dapat dihasilkan sebuah karya
seni yang dapat dinikmati oleh pelaku atau penikmat seni.
BAB
II
PEMBAHASAN
Tarung Peresean (Lombok, Nusa
Tenggara Barat).
1.
Asal-usul
Peresean adalah sebuah upacara
tarian kuno yang bersenjatakan tongkat rotan (penjalin). Selama upacara
berlangsung, para petarung (Pepadu) menyerang satu sama lain (saling
empok kadu penjalin) dan menangkis sabetan lawannya dengan sebuah tameng
dari kulit sapi atau kerbau. Peresean merupakan bagian dari upacara adat
di pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, Indonesia, yang menunjukkan kembali
legenda ratu Mandalika yang bunuh diri karena melihat dua tunangannya berkelahi
sampai mati untuk memperebutkannya. Dengan kata lain, kesenian ini dilatar
belakangi oleh pelampiasan rasa emosional para raja di masa lampau ketika harus
berperang untuk mengalahkan musuh-musuhnya.
Disamping itu, seni Peresean, bertujuan untuk
menguji keberanian, ketangkasan dan ketangguhan seorang petarung (Pepadu)
dalam pertandingan. Keunikan dari pertarungan ala
Peresean ini adalah pesertanya tidak dipersiapkan sebelumnya karena para
petarung diambil dari penonton sendiri ketika acara pertarungan dimulai. Ada
dua cara untuk mendapatkan Pepadu, yaitu: pertama, Pekembar Tengaq
(tengah) menunjuk langsung calon Pepadu dari para penonton yang hadir. Kedua,
Pepadu yang telah memasuki arena pertarungan menantang salah satu
penonton untuk melawannya.
Pertarungan
diadakan dengan sistem ronde, yaitu terdiri dari lima ronde. Pemenang dalam Peresean
ditentukan dengan dua cara yaitu: Pertama, ketika kepala atau
anggota badan salah satu Pepadu mengeluarkan darah, maka pertarungan
dianggap selesai dengan kemenangan di pihak Pepadu yang tidak
mengeluarkan darah. Kedua, jika kedua Pepadu sama-sama mampu
bertahan selama lima ronde, maka pemenangnya ditentukan dengan skor tertinggi.
Skor didasarkan kepada pengamatan Pekembar Sedi terhadap jalannya
pertarungan. Untuk menggugah semangat para Pepadu dan agar unsur
hiburannya tidak hilang, acara tarung Pereseandiiringi oleh alunan
musik. Ketika musik mengalun, para Pepadu harus berhenti bertarung dan
menari mengikuti irama musik.
Tetap
eksisnya keberadaan tarung Peresean nampaknya tidak semata-mata karena Peresean
dapat dijadikan tolak ukur kemampuan dan harga diri dan berhubungan dengan
legenda ratu Mandalika, tetapi karena adanya keyakinan masyarakat bahwa darah
yang menetes berhubungan dengan hujan; semakin banyak darah menetes, semakin
besar peluang terjadinya hujan.
2. Peralatan
Peralatan untuk melakukan Tarung
Peresean adalah sebagai berikut:
1. Alat
pemukul, sebuah tongkat yang terbuat dari rotan.
2. Ende, sebuah tameng yang
dibuat dari kulit sapi/kerbau.
3. Alat musik, tujuannya
untuk menggugah semangat bertanding para Pepadu. Alat-alat musik
yang digunakan adalah:
·
Gong. Alat musik ini berbentuk bundaran yang
ditengahnya terdapat sebuah bundaran lagi dan tepat di bundaran tersebut jika
dipukul akan menghasilkan suara yag mendengung.
·
Sepasang kendang. Kendang berbentuk silinder
dengan lubang yang besar ditengahnya, terbuat dari kayu dan ditutup oleh kulit
sapi atau kambing yang telah disamak. Gendang ini dimainkan
dengan cara ditepuk dengan dua telapak tangan pada kedua sisinya.
·
Rincik / simbal.
·
Kajar.
·
Suling, dibuat dari bambu dan diberi lubang agar
menghasilkan bunyi yang merdu. Suling dimainkan oleh seorang sukaha
(pemain) dengan cara ditiup.
3. Pemain
Yang terlibat dalam permainan ini adalah:
·
Pepadu (petarung). Jumlah
petarung tidak dibatasi. Hanya saja, pertarungan dilakukan satu lawan
satu.
·
Pekembar (wasit). Ada dua Pekembar,
yaitu Pekembar Sedi (pinggir), bertugas memberikan nilai pada
pasangan yang bertarung, dan Pekembar Tengaq (tengah), bertugas
memimpin pertandingan.
4. Tempat
Permainan Peresean biasanya
diadakan di tanah lapang. Alasan penggunaan tanah lapang karena permainan ini,
biasanya, menarik perhatian banyak orang.
5. Peraturan
Untuk menjamin terjaganya
sportifitas, ada aturan-aturan yang harus dipatuhi oleh Pepadu,
diantaranya:
1. Secara
umum, Peresean diadakan dengan menggunakan sistem ronde atau tarungan.
Setiap Pepadu bertarung selama lima ronde dan akhir setiap ronde/tarungan
ditandai dengan suara peluit yang ditiup oleh Pekembar Tengaq.
2. Pertarungan
secara otomatis berhenti jika dari salah satu Pepadu mengeluarkan darah.
Keluarnya
darah dari tubuh menunjukkan kekalahan.
3. Setiap Pepadu
hanya boleh memukul bagian atas tubuh lawannya dan tidak boleh memukul bagian
bawah tubuhnya (dari pinggang hingga kaki). Nilai tertinggi akan didapat oleh Pepadu
jika ia mampu memukul kepala lawannya.
6. Pelaksanaan
Setelah acara dimulai, Pekembar
Tengaq mengundang dua orang penonton untuk menjadi Pepadu.
Setelah didapatkan dua orang Pepadu, keduanya memasuki arena
pertandingan dengan membawa sebuah perisai (ende) dan alat pukul yang
terbuat dari rotan. Sebelah tangan memegang ende untuk menangkis pukulan
lawan dan sebelahnya lagi memegang tongkat untuk memukul lawan.
Kedua
Pepadu memasuki arena dan mengambil posisi berhadapan, Pekembar Tengaq
berdiri di antara mereka. Kemudian Pekembar Tengaq menjelaskan
hal-hal tekhnis pertarungan, misalnya: Peresean akan diadakan lima
ronde, Pepadu tidak boleh memukul tubuh bagian bawah lawannya, Pepadu
yang dari tubuhnya keluar darah berarti kalah, dan lain sebagainya. Setelah
itu, Pekembar Tengaq memberi aba-aba untuk memulai pertarungan.
Di sisi arena, Pekembar Sedi mengawasi jalannya pertarungan untuk
memastikan tidak adanya kecurangan. Pada saat aba-aba dimulai, musik penggugah
semangat kemudian dimainkan. Setelah waktu ronde habis, Pekembar Tengaq
meniup peluit untuk memberikan kesempatan Pepadu untuk beristirahat
dan memikirkan strategi bagaimana mengalahkan lawannya. Bahkan di saat
bertarungpun, Pekembar Tengaq dapat menyuruh Pepadu untuk
menari.
Setelah diketahui
pemenangnya, baik karena menang angka atau karena ada tubuh salah seorang Pepadu
mengeluarkan darah, sang pemenang diberi kesempatan istirahat dan Pekembar
Tengaq kembali mengundang atau menunjuk penonton lain untuk memasuki
arena. Demikian seterusnya sampai didapatkan juaranya. Satu hal yang cukup
menarik untuk dicermati adalah seberapapun parahnya luka yang ditimbulkan dalam
Peresean tersebut, para Pepadu selalu mengakhiri Peresean
dengan saling rangkul.
7. Nilai-Nilai
Peresean
mempunyai beberapa nilai, diantaranya: pertama,
historis, yaitu untuk mengenang legenda Ratu Mandalika. Kedua, kemampuan
dan harga diri. Arena Peresean merupakan tempat para individu yang
memiliki keberanian, ketangkasan, dan ketangguhan untuk menunjukkan kemampuan
diri secara jantan dihadapan para penonton. Oleh karena acara Peresean disaksikan
oleh banyak orang, maka mereka dituntut untuk bertarung secara sportif dan
menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan yang kurang baik, curang. Dengan
cara demikian, masyarakat Lombok menunjukkan kemampuan dan harga dirinya.
Ketiga,
sosial. Ketika seorang Pepadu sedang bertarung maka di sana sedang
terjadi proses pelampiasan emosi (permusuhan) di antara dua individu yang
bertarung, tetapi ketika acara tersebut usai mereka harus segera melupakannya. Hal ini ditunjukkan
dengan keharusan mereka untuk saling berangkulan setelah acara selesai. Nilai
sosial juga dapat dilihat dari keberadaan Pekembar Tengaq dan Pekembar
Sedi. Keberadaan kedua Pekembar tersebut untuk menjamin
terlaksananya Peresean secara adil dan sportif. Keempat, Sakral. Permainan ini merupakan
salah satu bentuk permohonan kepada Tuhan agar menurunkan hujan. Mereka percaya
bahwa, sebagaimana kepercayaan nenek moyang mereka, bahwa semakin banyak darah
tertumpah maka kemungkinan hujan turun akan semakin nyata. (AS/bdy/10/09-07)
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Tiap
masyarakat memiliki suatu kebudayaan yang berbeda dari kebudayaan masyarakat
lainnya dan kebudayaan itu merupakan suatu kumpulan yang berintegrasi dari
cara-cara berlaku yang dimiliki bersama dan kebudayaan yang bersangkutan secara
unik mencapai penyesuaian kepada lingkungan tertentu. Kebudayaan merupakan
hasil dari budi dan daya dari manusia yakni suatu pemikiran,falsapah dan
kesenian. Kebudayaan merupakan suatu tradisi yang dilakukan secara turun
temurun dari generasi ke generasi berikutnya.
Seni
tari merupakan salah satu bagian dari kesenian yang ada, untuk mengetahui seni
tari lebih jelas harus mengetahui unsur-unsur yang ada dalam seni tari. Seni
tari merupakan ungkapan perasaan manusia yang dinyatakan dalam gerak-gerak dari
tubuh manusia yang ritmis dan gerak tubuh,juga terdapat unsur pendukung yang
lain yakni : Irama,iringan,tata busana,tata rias,tempat dan tema.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar