Topeng Sidakarya adalah bagian dari
pementasan tari topeng yang mengiringi sebuah upacara besar di Bali. Topeng
Sidakarya dianggap sebagai pelengkap upacara-upacara tersebut. Topeng ini
tampil sebagai pamungkas tari persembahan (wewalen) sebelum acara pemujaan
bersama yang dipimpin oleh Sulinggih dilakukan.
Pementasan Topeng Sidakarya ini bermula dari sebuah peristiwa menarik yang terjadi saat masyarakat Bali menggelar upacara besar di Pura Besakih pada zaman kekuasan Raja Dalem Waturenggong sekitar abad XV. Saat itu, datang seseorang dari Keling, mencari penanggungjawab upacara (Manggala Karya) tersebut yang tak bukan adalah sahabatnya.
Karena rupa dan penampilannya yang buruk, saat menanyakan keberadaan sang Sahabat, tamu Keling tersebut diusir oleh oarng-orang Besakih agar tak “mengotori” proses upacara. Tamu Keling itu murka dan melontarkan kutukan agar upacara tidak berjalan sukses.
Upacara besar itu pun gagal. Sang Manggala Karya menyesali tindakan orang-orang sekitarnya yang bertindak gegebah. Ia mencari sang tamu dan memintanya menyabut kutukan. Sebagai ungkapan penyesalan, Sang Manggala Karya memberikan sahabat Kelingnya itu tempat tinggal di desa Sidakarya (Denpasar Selatan). Dia kemudian dikenal dengan julukan Dalem Sidakarya.
Sejak saat itu, untuk kesuksesan penyelenggaraan ritual, pada setiap upacara besar di Bali, Dalem Sidakarya selalu dihadirkan dalam pementasan tari topeng. Atau, kehadirannya digantikan dengan tirta (air suci) yang diambil dari Pura Dalem Sidakarya yang terletak di Denpasar Selatan.
Pementasan Topeng Sidakarya ini bermula dari sebuah peristiwa menarik yang terjadi saat masyarakat Bali menggelar upacara besar di Pura Besakih pada zaman kekuasan Raja Dalem Waturenggong sekitar abad XV. Saat itu, datang seseorang dari Keling, mencari penanggungjawab upacara (Manggala Karya) tersebut yang tak bukan adalah sahabatnya.
Karena rupa dan penampilannya yang buruk, saat menanyakan keberadaan sang Sahabat, tamu Keling tersebut diusir oleh oarng-orang Besakih agar tak “mengotori” proses upacara. Tamu Keling itu murka dan melontarkan kutukan agar upacara tidak berjalan sukses.
Upacara besar itu pun gagal. Sang Manggala Karya menyesali tindakan orang-orang sekitarnya yang bertindak gegebah. Ia mencari sang tamu dan memintanya menyabut kutukan. Sebagai ungkapan penyesalan, Sang Manggala Karya memberikan sahabat Kelingnya itu tempat tinggal di desa Sidakarya (Denpasar Selatan). Dia kemudian dikenal dengan julukan Dalem Sidakarya.
Sejak saat itu, untuk kesuksesan penyelenggaraan ritual, pada setiap upacara besar di Bali, Dalem Sidakarya selalu dihadirkan dalam pementasan tari topeng. Atau, kehadirannya digantikan dengan tirta (air suci) yang diambil dari Pura Dalem Sidakarya yang terletak di Denpasar Selatan.
Sejarah
Topeng
Sidakarya ini memiliki sejarah. Singkatnya, berdasarkan referensi Filsafat
Seni Sakral dalam Kebudayaan Bali oleh I Made Yudabakti dan I Wayan Watra,
sejarah itu berawal dari bangsawan di Pura Besakih dari Zaman Dalem Waturenggong
di Gelgel yang tengah menggelar karya besar (upacara besar). Saat itu, datang
seseorang dari Keling, Pulau Jawa, mencari si bangsawan Besakih tersebut
karena mereka adalah sahabat.
Sayangnya,
beberapa pengawal bangsawan Besakih tidak percaya dan justru mengusir tamu
tersebut. Tamu tersebut murka dan mengutuk upacara tidak akan sukses.
Karya
besar pun gagal. Sang bangsawan Besakih menyesali tindakan pengawalnya yang
bertindak tanpa sepengetahuannya. Ia pun mencari sang tamu yang juga
sahabatnya itu dan terjadilah kesepakatan. Sang tamu diberikan tempat tinggal
di Dalem Sidakarya di Denpasar selatan dan setiap ada upacara di Bali harus
menggenapi dengan adanya topeng Sidakarya atau bisa digantikan dengan tirta
(air) topengnya.
Ritual
pembuatan
Tak hanya
sang penari, proses pembuatannya pun tak bisa sembarangan karena memang tak
dipakai untuk sembarangan. Topeng Sidakarya ini lain dengan topeng-topeng
yang dibuat dan dijual secara massal, seperti di pasar-pasar kerajinan atau
pasar oleh-oleh. Perbedaannya bisa mulai dari pemilihan bahan kayu, ritual
memulai memahat, pengawetannya, hingga ritual penghidupan topeng tersebut.
Namun,
jangan salah paham dengan adanya ritual penghidupan topeng ini. Penghidupan
ini bukannya topeng tersebut kemudian bisa berbicara, melainkan dimaksudkan
terasa lebih hidup dan menyatu dengan sang penarinya, yakni proses inisiasi
(penyucian) dan pesupati (menghidupkan). Biasanya, si penari topeng Sidakarya
yang telah mewinten memiliki satu topeng khusus untuk dirinya ngayah. Satu
hal lagi, pembuat topengnya pun melewati tahapan mewinten.
Ida
Bagus Sudiksa (51), asal Banjar Jambe, Keroboka Kaja, pun mengingatkan
permintaan membuat topeng Sidakarya ini tidak bisa sembarangan meminta. ”Saya
tidak akan pernah mau membuatnya jika dalam memintanya sudah mengeluarkan
sejumlah angka rupiah. Kami ini pembuat topeng sakral dan ini bagian dari
ngayah terhadap kehidupan ini,” katanya sambil tangannya tetap tak terganggu
membuat sebuah topeng.
Menurut
dia, penyakralan pada pembuatan topeng ini mampu menahan manusia untuk tidak
semena-mena terhadap alam, khususnya pepohonan. Ia beranggapan pendahulunya
telah memikirkan bagaimana agar manusia tidak sembarangan menebang atas nama
kesenian, budaya, atau adat. Karena itu, dari pemilihan kayu hingga penebangannya
pun harus disesuaikan dengan musim serta hari baiknya dengan tujuan agar alam
tidak murka.
”Namun,
ketika topeng sudah menjadi kerajinan yang dibuat secara massal, manusia
menjadi rakus tanpa memilih kayu itu sudah cukup umur sampai tanpa pemilihan
musim yang tepat pula. Semua demi kepentingan uang, bahkan pariwisata. Wajar
jika kemudian alam menjadi murka. Inilah salah satu pesan topeng Sidakarya
tentang alam,” katanya serius.
Sakral
Waktu
pembuatan topeng sakral ini pun bervariasi, tergantung dari mood sang
pengukirnya, bisa hanya tiga hari atau sebulan. Sama halnya dengan Pak Nang
Tesen, Sudiksa pun mendapatkan bakat keturunan dari almarhum ayahnya, Ida
Pedanda Gede Telaga. Mereka ini bukan perajin, melainkan seniman yang telah
melalui tahapan penyucian. Namun, bakat ini bisa dipelajari dan tidak
semuanya mendapatkan dari garis keturunan.
Hal yang
unik selama pembuatan topeng sakral, antara lain, adalah pengawetannya yang
harus direbus dengan kuah bumbu genep (bumbu dapur lengkap) selama 12 jam
tanpa putus.
”Karena
merebusnya memunculkan bau yang enak seperti kuah sayur yang bisa dimakan,
sering kali tetangga pun berkelakar saya tengah membuat sup topeng yang enak
dan gurih,” ujarnya.
Meski
demikian, lanjut Sudiksa yang juga dosen manajemen pemasaran di Universitas
Udayana itu, awet dan tidaknya topeng juga tetap tidak lepas dari awal
pencarian kayu cendana, pole, atau batang kamboja, termasuk pemilihan tanggal
penebangannya. Ia menambahkan, dari sejak ayahnya puluhan tahun lalu, semua
pembuatan topeng menggunakan ilmu logika. ”Kami semua membuatnya dalam
keadaan sadar dan pertimbangan penuh. Inilah seni lokal genius,” ujarnya.
Sayangnya,
bahan pengawetan alami ini tidak diikuti dengan pewarnaan alami. Sudiksa
mengatakan, pewarnaan alami tidak lagi memiliki kualitas sama kuat antara
puluhan tahun lalu dan sekarang. Karena itu, ia terpaksa menggantikan dengan
cat kimia dengan pemilihan kualitas nomor wahid.
Topeng
sakral selain topeng Sidakarya di Pulau Dewata, juga ada topeng yang sengaja
disakralkan dan biasanya disimpan di pura-pura, seperti Rangda, Barong, dan
Irarung. Pementasannya pun tidak setiap saat karena memiliki hari atau waktu
pementasan sendiri. Semua topeng sakral ini pun diberikan banten dan doa-doa,
terutama ketika tumpek wayang, sebagai persembahan kepada Dewa Iswara.
|
Topeng
Sidakarya
Sejarah
Topeng sidekarya
Kisahnya
konon terjadi pada pemerintahan Dalem Waturenggong di Gelgel, tatkala beliau
mengadakan upacara besar di Pura Besakih. Banyak pandita yang diundang untuk
muput upacara ini.
Tersebutlah
pandita (brahmana) sakti dari Keling, yang tidak diundang dalam upacara itu,
tetapi ingin terlibat muput karya. Niatnya ini karena didasarkan pada hubungan
kekerabatan antara Keling di Jawa dan Gelgel di Bali karena itu beliau datang.
Sayangnya, karena perjalanan yang jauh dan berhari-hari, Pandita Keling sampai
di Gelgel dalam keadaan kumal, bajunya compang-camping, mirip seorang pengemis.
Dalam pakaian seperti itu, tak ada seorang pun staf kerajaan yang percaya kalau
tamu tanpa diundang ini seorang pandita. Maka, Pandita Keling diusir dengan
paksa, setelah sebelumnya sempat dihina.
Pandita
Keling pergi dengan dendam. Di sebuah tempat yang sepi, dia melakukan
perlawanan dengan mengucapkan mantra yang berisi sumpah yadnya yang
diselenggarakan oleh Dalem Waturenggong tidak akan membawa berkah/tidak
berhasil, malahan menimbulkan bencana. Semua banten menjadi busuk dan
tikus-tikus pun mengerubungi banten busuk itu. Tikus semakin banyak sampai
merusak tanaman petani. Rakyat menjadi resah.
Raja
Waturenggong dalam samadinya tahu siapa yang mengutuk upacara besarnya itu. Dia
lantas mengutus Arya Tangkas untuk menjemput pandita yang masih tinggal di
tempat sepi (suung) itu. Raja meminta maaf dan mempersilakan Pandita Keling
untuk ikut muput upacara bahkan menjadi pamuput paling akhir sehingga karya itu
menjadi sida (diberkahi). Prosesi ini bagi masyarakat kebanyakan lantas disebut
pamuput
Sidakarya.
Dari
legenda itu masyarakat Hindu di Bali lantas membuat Topeng Sidakarya. Wujudnya
berwajah jelek dengan gigi merangas sebagai simbol dari pandita yang wajahnya
mirip gelandangan. Karena itu, penari Topeng Sidakarya biasanya lebih banyak
menutup wajah — terutama mulut — dengan kain putih yang dibawanya. Namun,
mantra yang diucapkan sangat bertuah karena dilakukan dengan ngider buwana (ke
segala arah). Itu sebabnya, tidak semua penari topeng mampu menarikan Dalem
Sidakarya.
Kebanyakan
masyarakat Bali yang tidak mementaskan Topeng Sidakarya untuk muput yadnya
beralasan lain lagi, yakni tak ingin memanggil sekaa topeng. Pengeluaran
bertambah dengan mementaskan topeng. Namun, Topeng Sidakarya sendiri
sesungguhnya bisa dipentaskan tanpa ”pementasan topeng”. Artinya, yang
didatangkan hanya seorang penari topeng yang sudah berhak (secara ritual)
membawakan topeng Dalem Sidakarya itu.
Gamelan
pengiring tidak menjadi masalah, bisa gong gede, angklung, maupun gender biasa,
disesuaikan dengan gamelan yang ada pada penyelenggaraan yadnya. Dalam hal ini
penari Topeng Sidakarya disebut ”Topeng Pajegan”, karena dia harus menarikan
berbagai peran. Dalem Sidakarya hanya muncul pada saat akhir yakni ketika
membuat tirtha. Karena itu sebelumnya ”penari pajegan” ini melakukan
improvisasi dan monolog untuk mengantar pada kemunculan Dalem Sidakarya. Penari
bisa membanyol, bisa pula memberikan semacam dharma wacana, tergantung siapa
penarinya.
Sebagai
seni ritual (seni wali) Topeng Sidakarya perlu dikembangkan dan dipopulerkan.
Tentu fungsi utamanya ditambah, bukan hanya untuk mentradisikan legenda pamuput
akhir dari yadnya, tetapi untuk media dharma wacana. Sekarang ini bukan hanya
hama tikus yang meresahkan tetapi juga terjadinya kemerosotan moral pada
generasi muda. Nah, siapa tahu Topeng Sidakarya bisa menjadi media perlawanan
dalam mengatasi masalah moral ini
Sebagai orang bali kita sudah sering
mendengar dan kadang sering melihat pertunjukan tarioan topeng sidekarya
khusunya pada upacara upacara besar seperti ngaben, tawur agung, dan lain
lainya, namun sudahkah kita tahu kenapa kita mementaskan tari topeng
sidekarya. sebenarnya saya juga baru baru memahami makna tari tupeng sidekarya
ini setelah saya berada diluar bali, karena seringnya ada orang yang menanyakan
hal hal seperti itu sehingga akhinya saya mencari cari informasi tentang tari
tupeng sidekarya ini, sebenarnya banyak juga orang bali yang tidak tahu tentang
makan tari topeng sidekarya ini. berikut ini saya dapatkan dari beberapa sumber
semoga bagi teman teman yang ingin mengetahui bisa bermanfaat
Topeng Sidakarya
Implementasi Sejarah dan
Pelengkap Upacara PADA sebuah ritual keagamaan tradisi umat Hindu di Bali,
pertunjukan Topeng Sidakarya merupakan bagian tak terpisahkan kaitannya sebagai
pelengkap dalam pencapaian kesempurnaan suksesnya sebuah yadnya. Bagaimana sesungguhnya
sejarah Topeng Sidakarya berkaitan dengan upacara keagamaan yang berfungsi
untuk menyukseskan upacara yang sedang digelar?
Dalam sumber tertulis yang mengungkap sejarah Dalem Sidakarya adalah "Lontar Bebali Sidakarya" yang merupakan koleksi dari Ida Pedanda Gede Nyoman Gunung dari Biau, Desa Muncan, Karangasem. Secara ringkas dituturkan bahwa Ida Dalem Sidakarya adalah seorang Brahmana wulaka keturunan sakya dari Keling atau disebut dengan Brahmana Keling. Brahmana Keling ini merupakan putra dari Dang Hyang Kayu Manis yang merupakan nabe dari Ida Dalem Waturenggong yang menjadi raja di Bali yang berkedudukan di Gelgel, Klungkung.
Sebelum pergi ke Bali, Brahmana Keling pernah memimpin upacara selamatan dengan sukses di Madura. Sekembalinya ke Jawa, ketika beliau sedang asyik menikmati panorama Selat Bali, datanglah ayah beliau (Dang Hyang Kayu Manis) yang baru datang dari Gelgel, Bali, dimana Keraton Gelgel Klungkung diperintah oleh Dalem Waturenggong. Mendengarkan hal itu, maka Brahmana Keling segera pergi ke Bali.
Sempat Mengutuk
Tak diceritakan perjalanan dari Jawa ke Bali, sampailah beliau di Keraton Gelgel, Klungkung. Namun Keraton Gelgel sangat sepi karena Dalem Waturenggong saat itu berada di Pura Besakih. Brahmana Keling langsung menuju Pura Besakih ingin bertemu dengan saudaranya, Dalem Waturenggong. Namun sayang sekali Brahmana ini tidak diakui sebagai saudara karena melihat pakaiannya yang compang-camping -- dikira orang gila, bahkan diusir dengan paksa.
Sebelum meninggalkan Pura Besakih karena diusir, Brahmana Keling sempat mengutuk supaya upacara yang diselenggarakan tidak berhasil dan tertimpa bencana. Akhirnya Pulau Bali diserang wabah dan hama. Berkenaan dengan bencana ini, Dang Hyang Nirartha menghaturkan upakara untuk memohon keselamatan, tapi permohonan ini tidak berhasil.
Dengan kegagalan ini maka Dang Hyang Nirartha, setelah mengadakan pertemuan, baru teringat dengan Brahmana yang mengaku saudara itu, dan dusuruhlah Dalem Waturenggong untuk memanggilnya kembali. Kemudian Dalem Waturenggong mengutus rakyatnya mencari Brahmana Keling sampai ketemu, dan akhirnya Brahmana Keling dijumpai di Bandanda Negara yang sekarang disebut Desa Sidakarya dimana Pura Mutering Jagat Sidakarya berada.
Setibanya Brahmana Keling di Pura Besakih, Dalem Waturenggong memohon belas kasihannya agar Pulau Bali dikembalikan seperti semula, tidak ada bencana dan hama. Begitu pula karya atau upacara agama dapat berlangsung dengan baik, dengan janji akan menerima Brahmana Keling sebagai saudara.
Brahmana Keling lantas minta kesaksian yang membenarkan segala yang diucapkan misalnya ayam hitam dikatakan putih maka ayam hitam menjadi benar-benar putih, pohon kelapa yang tadinya tidak berbuah dikatakan berbuah maka benar-benar berbuah. Hama dan wabah pun seketika lenyap sehingga upacara atau karya yang dilaksanakan itu dapat dilanjutkan dan berjalan dengan sidakarya atau sukses.
Setelah semua keadaan dapat dikembalikan sesuai dengan yang diharapkan, maka Dalem Waturenggong mengakui Brahmana Keling sebagai saudaranya yang diberi gelar Brahmana Sidakarya atau Dalem Sidakarya. Ini terjadi pada tahun 1615 €aka. Mulai saat itu Dalem Waturenggong memerintahkan seluruh rakyat Bali, untuk suksesnya karya atau upacara yang akan dilaksanakan, agar memohon jatu karya ke Pura Dalem Sidakarya tempat Brahmana Sidakarya). Di samping itu, pada setiap upacara keagamaan supaya diadakan pertunjukan Topeng Sidakarya -- menghaturkan wali Sidakarya -- sebagai pelengkap upacara penting umat Hindu.
Mengandung Arti
Pada setiap upacara keagamaan Hindu di Bali, terutama dalam tingkatan yang lebih besar, wali Sidakarya tidak dapat dilupakan. Dalam bentuk sederhana dibuat banten sesayut Sidakarya. Dengan demikian, pertunjukan Topeng Sidakarya sebagai pelengkap dalam upacara mengandung arti sbb.;
1. Sesuai dengan nama Topeng Sidakarya, ada tujuan supaya pekerjaan atau upacara berlangsung serta selesai dengan baik dan selamat. Selesai dengan baik mengandung arti bahwa upacara berlangsung sebagaimana mestinya lengkap terdiri dari upacara sesuai dengan tingkatan upacara. Selamat mengandung arti upacara terhindari dari segala mara bahaya. Hal ini dapat dihubungkan dengan ekspresi Topeng Sidakarya yakni tipe pelawak tersenyum, membangkitkan rasa kengerian.
2. Untuk menghubungkan umat dengan Sang Hyang Widhi dan leluhur melalui lakon yang dipentaskan memberi uraian tentang arti suatu upacara yang sedang digelar.
3. Upacara tersebut tidak hanya dipimpin dan diselesaikan atau di-puput oleh pendeta (sulinggih), tetapi pertunjukan topeng ikut memberi pengukuhan suksesnya serta sempurnanya sebuah upacara. Anugerah kesempurnaan dan kemakmuran dapat disaksikan pada akhir pertunjukan Topeng Sidakarya yakni secara simbolis peranan Sidakarya menghambur-hamburkan uang kepeng dan beras kuning (sekarura).
Demikian pentingnya pertunjukan Topeng Sidakarya keterkaitannya dengan upacara keagamaan dalam segala yadnya yang digelar di keluarga maupun di pura-pura besar perlu kiranya disikapi dengan arif sehingga tujuan inti ber-yadnya lebih meningkatkan kemantapan pencapaian spiritual. Di samping sebagai pelengkap dalam upacara agama Hindu, Topeng Sidakrya adalah seni kebudayaan Hindu yang dapat mengungkap sejarah.
Dalam sumber tertulis yang mengungkap sejarah Dalem Sidakarya adalah "Lontar Bebali Sidakarya" yang merupakan koleksi dari Ida Pedanda Gede Nyoman Gunung dari Biau, Desa Muncan, Karangasem. Secara ringkas dituturkan bahwa Ida Dalem Sidakarya adalah seorang Brahmana wulaka keturunan sakya dari Keling atau disebut dengan Brahmana Keling. Brahmana Keling ini merupakan putra dari Dang Hyang Kayu Manis yang merupakan nabe dari Ida Dalem Waturenggong yang menjadi raja di Bali yang berkedudukan di Gelgel, Klungkung.
Sebelum pergi ke Bali, Brahmana Keling pernah memimpin upacara selamatan dengan sukses di Madura. Sekembalinya ke Jawa, ketika beliau sedang asyik menikmati panorama Selat Bali, datanglah ayah beliau (Dang Hyang Kayu Manis) yang baru datang dari Gelgel, Bali, dimana Keraton Gelgel Klungkung diperintah oleh Dalem Waturenggong. Mendengarkan hal itu, maka Brahmana Keling segera pergi ke Bali.
Sempat Mengutuk
Tak diceritakan perjalanan dari Jawa ke Bali, sampailah beliau di Keraton Gelgel, Klungkung. Namun Keraton Gelgel sangat sepi karena Dalem Waturenggong saat itu berada di Pura Besakih. Brahmana Keling langsung menuju Pura Besakih ingin bertemu dengan saudaranya, Dalem Waturenggong. Namun sayang sekali Brahmana ini tidak diakui sebagai saudara karena melihat pakaiannya yang compang-camping -- dikira orang gila, bahkan diusir dengan paksa.
Sebelum meninggalkan Pura Besakih karena diusir, Brahmana Keling sempat mengutuk supaya upacara yang diselenggarakan tidak berhasil dan tertimpa bencana. Akhirnya Pulau Bali diserang wabah dan hama. Berkenaan dengan bencana ini, Dang Hyang Nirartha menghaturkan upakara untuk memohon keselamatan, tapi permohonan ini tidak berhasil.
Dengan kegagalan ini maka Dang Hyang Nirartha, setelah mengadakan pertemuan, baru teringat dengan Brahmana yang mengaku saudara itu, dan dusuruhlah Dalem Waturenggong untuk memanggilnya kembali. Kemudian Dalem Waturenggong mengutus rakyatnya mencari Brahmana Keling sampai ketemu, dan akhirnya Brahmana Keling dijumpai di Bandanda Negara yang sekarang disebut Desa Sidakarya dimana Pura Mutering Jagat Sidakarya berada.
Setibanya Brahmana Keling di Pura Besakih, Dalem Waturenggong memohon belas kasihannya agar Pulau Bali dikembalikan seperti semula, tidak ada bencana dan hama. Begitu pula karya atau upacara agama dapat berlangsung dengan baik, dengan janji akan menerima Brahmana Keling sebagai saudara.
Brahmana Keling lantas minta kesaksian yang membenarkan segala yang diucapkan misalnya ayam hitam dikatakan putih maka ayam hitam menjadi benar-benar putih, pohon kelapa yang tadinya tidak berbuah dikatakan berbuah maka benar-benar berbuah. Hama dan wabah pun seketika lenyap sehingga upacara atau karya yang dilaksanakan itu dapat dilanjutkan dan berjalan dengan sidakarya atau sukses.
Setelah semua keadaan dapat dikembalikan sesuai dengan yang diharapkan, maka Dalem Waturenggong mengakui Brahmana Keling sebagai saudaranya yang diberi gelar Brahmana Sidakarya atau Dalem Sidakarya. Ini terjadi pada tahun 1615 €aka. Mulai saat itu Dalem Waturenggong memerintahkan seluruh rakyat Bali, untuk suksesnya karya atau upacara yang akan dilaksanakan, agar memohon jatu karya ke Pura Dalem Sidakarya tempat Brahmana Sidakarya). Di samping itu, pada setiap upacara keagamaan supaya diadakan pertunjukan Topeng Sidakarya -- menghaturkan wali Sidakarya -- sebagai pelengkap upacara penting umat Hindu.
Mengandung Arti
Pada setiap upacara keagamaan Hindu di Bali, terutama dalam tingkatan yang lebih besar, wali Sidakarya tidak dapat dilupakan. Dalam bentuk sederhana dibuat banten sesayut Sidakarya. Dengan demikian, pertunjukan Topeng Sidakarya sebagai pelengkap dalam upacara mengandung arti sbb.;
1. Sesuai dengan nama Topeng Sidakarya, ada tujuan supaya pekerjaan atau upacara berlangsung serta selesai dengan baik dan selamat. Selesai dengan baik mengandung arti bahwa upacara berlangsung sebagaimana mestinya lengkap terdiri dari upacara sesuai dengan tingkatan upacara. Selamat mengandung arti upacara terhindari dari segala mara bahaya. Hal ini dapat dihubungkan dengan ekspresi Topeng Sidakarya yakni tipe pelawak tersenyum, membangkitkan rasa kengerian.
2. Untuk menghubungkan umat dengan Sang Hyang Widhi dan leluhur melalui lakon yang dipentaskan memberi uraian tentang arti suatu upacara yang sedang digelar.
3. Upacara tersebut tidak hanya dipimpin dan diselesaikan atau di-puput oleh pendeta (sulinggih), tetapi pertunjukan topeng ikut memberi pengukuhan suksesnya serta sempurnanya sebuah upacara. Anugerah kesempurnaan dan kemakmuran dapat disaksikan pada akhir pertunjukan Topeng Sidakarya yakni secara simbolis peranan Sidakarya menghambur-hamburkan uang kepeng dan beras kuning (sekarura).
Demikian pentingnya pertunjukan Topeng Sidakarya keterkaitannya dengan upacara keagamaan dalam segala yadnya yang digelar di keluarga maupun di pura-pura besar perlu kiranya disikapi dengan arif sehingga tujuan inti ber-yadnya lebih meningkatkan kemantapan pencapaian spiritual. Di samping sebagai pelengkap dalam upacara agama Hindu, Topeng Sidakrya adalah seni kebudayaan Hindu yang dapat mengungkap sejarah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar